Kebijakan luar negeri cina dalam The United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) pada konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009

(1)

KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM

THE

UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON

CLIMATE CHANGE

(UNFCCC) PADA KONFERENSI

PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)

Oleh:

Nova Febriyani

NIM: 107083003348

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN Skripsi yang berjudul:

KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM THE UNITED NATIONS

FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (UNFCCC) PADA

KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.


(5)

ABSTRAK

Cina mempunyai kebijakan luar negeri yang merupakan cerminan dari prinsip dan tujuan negaranya dan diaplikasikan dalam pelaksanaan konferensi Copenhagen. Skripsi ini menjawab pertanyaan: Bagaimana Kebijakan Luar Negeri Cina dalam The United Nations Framework Convention on Climate Change

(UNFCCC) pada Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen pada Tahun 2009. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan teori kebijakan luar negeri dan diplomasi lingkungan. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif dan data-datanya terbagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Data primer terdiri dari dokumen-dokumen dan wawancara. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan berasal dari buku, jurnal, surat kabar dan berbagai artikel yang relevan. Data-data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dalam bentuk analisa deskriftif.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut di atas, dijabarkan terlebih dahulu mengenai UNFCCC serta faktor internal dan eksternal yang melatarbelakangi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim ke-lima belas (COP-15) di Copenhagen. Pada konferensi Copenhagen, Cina menggunakan prinsip diplomasi lingkungan yaitu prinsip kedaulatan, independensi, hak untuk membangun, dan tanggung jawab negara-negara maju untuk mengalokasikan bantuan finansial dan teknologi bagi negara-negara berkembang. Keempat prinsip diplomasi lingkungan tersebut dijabarkan dalam tujuan kebijakan luar negeri Cina dan diimplementasikan dalam kebijakan luar pada konferensi perubahan iklim ke-lima belas (COP-15) di Copenhagen tahun 2009.

Kebijakan luar negeri Cina pada konferensi tersebut, Cina berusaha untuk melakukan diplomasi agar penurunan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) dapat disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi negaranya. Selain itu, Cina berkomitmen untuk memotong tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 40-45 persen pada tahun 2020. Cina meminta negara indusri maju untuk bertanggung jawab sebagai aktor utama penyebab terjadinya perubahan iklim.


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robill ‘Aalamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT serta junjungan kita nabi Muhammad SAW yang telah memberikan rahmat, hidayah serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kebijakan Luar Negeri Cina dalam The United Nations

Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Konferensi

Perubahan Iklim di Copenhagen Tahun 2009”. Selanjutnya, ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua (Bapak Baskoro dan Ibu Mulyati) yang senantiasa memberikan motivasi dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang yang tulus kepada penulis, dan memberikan dukungan materi serta mengiringi penulis melalui doa dan restu.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide dan pemikiran. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

2. Dina Afrianty, Ph.D. selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

3. Agus Nilmada Azmi, M.Si. selaku Sekertaris Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.


(7)

4. Friane Aurora, M.Si selaku dosen pembimbing skrispsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan, masukan serta motivasi yang sangat berharga hingga selesainya penulisan skripsi ini. Waktu pembuatan skripsi memang singkat sehingga bagi penulis sangat berkesan sekali bisa bersilaturahmi dengan Bu Rara. “Bu terima kasih atas waktu bimbingan yang selalu diberikan setiap saat dan kadang menjadi “editor” yang begitu pengertian walaupun penulis mengetahui bahwa pada saat-saat tertentu, ibu sudah lelah mengajar”. Bagi penulis Bu Rara merupakan salah satu dosen terbaik di HI UIN. Love U Bu…

5. Kiky Rizky, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan waktu luang kepada penulis untuk bertukar pikiran dan membuka wawasan dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas sebagai mahasiswi. Kenangan belajar bersama Bapak/Ibu Dosen akan selalu terpatri dalam hati penulis selamanya.

7. Drs. Armein Daulay, M.Si. yang selalu memberikan motivasi dan info seminar yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Selanjutnya, terima kasih kepada Rahmi Fitriyani, M.Si. yang bersedia memberikan second opinion dan selalu memberi semangat kepada penulis. 8. Rendra Kurnia, S.H, Unit Mitigasi dan Pelestarian Fungsi Atmosfer,

Kementerian Lingkungan Hidup selaku narasumber yang bersedia untuk diwawancarai serta memberikan informasi dan data-data sehingga penulis


(8)

9. Dr. drh. Yanuarso Eddy, M.Sc., Ag dan drh. Erma Najmiyati yang telah menjadi dosen pembimbing penulis selama magang di Balai Teknologi Lingkungan (BTL) Puspiptek. Terima kasih atas semua bimbingan dan ilmu yang diberikan mengenai lingkungan hidup secara lebih mendalam yang selama ini belum diketahui oleh penulis.

10.Dr. Fadilah Hasim dan Yasunobu Kobuki selaku Presiden Indonesian Education Promoting Foundation (IEPF). Terima kasih atas pengertian yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan skrispi ini sehingga antara kuliah dan pekerjaan bisa berjalan beriringan.

11.Keluarga besar penulis yang selalu memberikan semangat dikala penulis jenuh saat penulisan skripsi ini. Untuk kedua adik-adik penulis yang tersayang Novi Tasari dan Shita Shahifa Iqlima. Tak lupa juga untuk nenek dan kakek penulis yang selalu mendo’akan dengan setulus hati.

12.Pungo ku tersayang, Muhammad Zubir yang selalu memberikan bantuan dan dukungan yang luar biasa di dalam kehidupan penulis baik dalam keadaan suka maupun duka. Terima kasih karena telah menjadi “ojek cinta” selama 3,5 tahun dan bersedia mengantarkan penulis untuk mencari bahan-bahan dalam penulisan skrispsi ini.

13.Sahabat-sahabat terbaik penulis, Alwiyah Binti Aly, Azzahratul Azizah, Diana Raesha, dan Faiza Hasan yang selalu memberi motivasi penulis dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih atas persahabatan yang indah selama empat tahun ini.

14.Teman-teman Mahasiswa/i Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2007 khususnya kelas A. Tanpa mengurangi rasa sayang penulis, maaf tidak bisa menulis nama kalian semua. Terima kasih telah telah memberikan rasa


(9)

kebersamaan, keakraban, kepedulian dan silaturahmi yang telah terjalin selama ini. Penulis akan selalu mengingat dan merindukan kalian semua.

15.Teman-teman Mahasiswa/i Hubungan Internasional mulai angkatan 2006 hingga 2010. Senang bisa kenal dan bersilaturahmi dengan kalian semua. 16.Fera Bayu Wati selaku rekan kerja di Indonesian Education Promoting

Foundation (IEPF) yang selalu memberikan pengertian dan kelonggaran waktu kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

17.Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.

Terima kasih atas segala bantuan yang tidak ternilai harganya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan kedepan.

Jakarta, Agustus 2011


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……….. iv

KATA PENGANTAR …………..………. v

DAFTAR ISI ……… ix

DAFTAR BAGAN ………..………... xi

DAFTAR TABEL ……….. xii

DAFTAR LAMPIRAN ...………....………... xiii

DAFTAR SINGKATAN ..………. xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Pertanyaan Penelitian ……….. 6

C. Kerangka Teori …...………... 6

D. Metode Penelitian ………... 9

E. Sistematika Penulisan ………... 10

BAB II THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (UNFCCC) A. Sejarah UNFCCC ………... 13

B. Prinsip UNFCCC………..….. 15

C. Tujuan UNFCCC ………..….. 17

D. Strukur UNFCCC ………... 18

E. Komitmen UNFCCC .………... 22

F. Peserta dalam Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC.…….. 22

G. Conference of the Parties (COP-15) di Copenhagen Tahun 2009 …………...………...……..………. 25

BAB III FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN LUAR NEGERI CHINA DALAM UNFCCC A. Faktor Internal 1. Kondisi Geografis dan Demografis China ………..………... 33

2. Struktur Pemerintah dan Filosofi Pemerintah …..………….. 35

a. Dasar-dasar Negara ………..………...….... 36

b. Pembagian Kekuasaan Pemerintah ………..…………... 37

3. Kondisi Ekonomi ………..……..……... 40

a. Konsep Sistem Ekonomi China pada masa Mao Hingga Saat Ini (Tahun 1954-2009) …..………... 40

4. Kebijakan Pemerintah China dalam Bidang Energi dan Lingkungan ………...…... 46

a. Kebijakan Energy Security ………...…………..…….... 48

b. Naskah Putih ………..……… 52

B. Faktor Eksternal 1. China dalam Sistem Ekonomi Internasional …….……….. 55

2. Masalah Isu Lingkungan Hidup Global ……….…………. 56

3. Hukum Internasional dalam Lingkungan Hidup Global ………...………….... 58


(11)

4. Respon Negara Maju (diwakili oleh Amerika Serikat) dan Negara Berkembang (diwakili oleh Cina) dalam Isu

Lingkungan Global …………,.…….………….………. 59 BAB IV KEBIJAKAN LUAR NEGERI CHINA DALAM UNFCCC PADA

KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009

1. Prinsip Kebijakan Luar Negeri China dalam UNFCCC …… 65 2. Aktor dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri China dalam

UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen Tahun 2009…. 67 3. Tujuan Kebijakan Luar Negeri China dalam UNFCCC

pada saat Konferensi Copenhagen Tahun 2009 …..……...…. 68 4. Kebijakan Luar Negeri China dalam UNFCCC pada

Konferensi Copenhagen Tahun 2009 .….……….... 70 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………..………. 75

DAFTAR PUSTAKA ………... xv


(12)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Struktur UNFCCC 18


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar Negara-negara yang Tergabung dalam Annex 1 23 Tabel 3.1 GDP China Tahun 2008, 2009, dan 2010 43 Tabel 3.2 Produksi, Konsumsi, dan Impor Minyak China 51


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Copenhagen Accord

Lampiran II : Policy Speech PM Wen Jiabao di Jakarta 30 April 2011 Lampiran III : Hasil Wawancara dengan Rendra Kurnia, Unit Mitigasi dan

Pelestarian Fungsi Atmosfer, Kementerian Lingkungan Hidup Lampiran IV : Konstitusi China, 4 Desember 1982


(15)

DAFTAR SINGKATAN

UNFCCC : The United Nations Framework Convention on Climate Change

SEPA : State Environmental Protecting Agency

COP : Conference of the Parties

UNEP : United Nations Environment Program

UNCED : United Nations Conference on Environment and Development

CBD : The Convention on Biological Diversity

UNCCD : The United Nations Convention to Combat Desertification

GEF : The Global Environment Facility

IPCC : The Intergovernmental Panel on Climate Change

AWG-KP : The Ad Hoc Working Group on Futher Commitment for Annex I

Parties under the Kyoto Protocol

AWG-LCA : The Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention

SBSTA : Body for Scientific and Technological Advice

SBI : Subsidiary Body for Implementation

CMP : The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol

EIT : Economic in Transition

OECD : Organization for Economic Cooperation and Development

NDRC : The National Development and Reform Commission

NEA : National Energy Administration

NEC : National Energy Commission

CNOOC : China National Offshore Oil Corporation

Sinopec : China Petroleum and Chemical Company

CNPC : China National Petroleum Company

MFA : Ministry of Foreign Affairs

CDM : Clean Development Movement

GRK : Gas Rumah Kaca SDA : Sumber Daya Alam


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagian negara berkembang di Asia seperti Cina dan India merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi pesat di kawasannya. Globalisasi ekonomi1 yang terjadi telah merubah sistem perekonomian suatu negara dari yang mulanya lebih fokus pada perekonomian dalam negeri menjadi terlibat dalam pasar global. Dampak globalisasi ini terhadap perekonomian Cina adalah penggunaan sistem ekonomi pasar sosialis yang menggantikan sistem ekonomi terencana pusat (Irham 2009, 2). Dampak dari keterlibatan dalam pasar dunia ini, Cina memproduksi berbagai macam barang dengan produksi masal tanpa memperhatikan dampak lingkungan.

Pada masa pemerintahan Deng Xiaoping, Cina mempunyai slogan gaige kaifang yang berarti reformasi dan membuka diri (Wibowo 2007, 2). Wibowo menjelaskan negara yang menganut sistem ekonomi terpusat selama 30 tahun ini secara konsisten mulai mengurangi peran negara serta memberi kebebasan berusaha kepada pengusaha swasta. Negara tidak lagi membuat perencanaan ekonomi yang terpusat, tidak menentukan harga barang dan jasa, dan tidak memegang monopoli dalam produksi barang. Kebijakan ekonomi Cina pada masa ini menarik perusahaan swasta dan perusahaan asing untuk masuk dan berinvestasi di Cina agar perkembangan industrinya semakin pesat (Wibowo 2010, 31).

1

Menurut Jackson & Sorenson (2005, 267), globalisasi ekonomi adalah pergeseran kualitatif menuju perekonomian dunia yang tidak lagi berdasarkan pada perekonomian nasional yang otonom, melainkan berdasarkan pada pasar global yang kuat bagi produksi, distribusi dan konsumsi.


(17)

Menurut Wibowo faktor pendukungnya adalah jumlah penduduk yang besar (Cina merupakan negara berpenduduk terbesar di dunia) dan tidak adanya serikat buruh sehingga mereka dapat digaji murah.

Wibowo (2007, 163) menjelaskan bahwa dampak pengembangan industri di Cina terhadap lingkungan, antara lain; polusi udara yang meningkat, tercemarnya air sungai oleh limbah, serta pembukaan lahan hutan yang merupakan salah satu contoh bagaimana pembangunan ekonomi mengakibatkan kerusakan lingkungan. Fakta ini diperkuat oleh pernyataan Xhou Shengxian (Kepala Badan Lingkungan negara Cina), mengatakan bahwa kondisi lingkungan di Cina mengancam kesehatan masyarakat serta kestabilan sosial (Sommerville 2006).

Pada tahun 2009 Cina merupakan negara penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) ke udara terbesar di dunia yang diakibatkan oleh berkembangnya industri mereka (Saragih 2010). Karena Cina menjadi penghasil emisi terbesar di dunia, maka Cina pun menjadi sorotan masyarakat internasional dan dituntut untuk mengurangi pelepasan emisi CO2 ke udara.

Selain itu, kerusakan lingkungan akibat pembangunan ekonomi berbasis industri tidak hanya terjadi di Cina sehingga menyebabkan terjadinya perubahan iklim global yng membuat negara-negara di dunia merasa khawatir akan berbagai bencana yang terjadi. Pemanasan global mengakibatkatkan mencairnya tudung es di kutub, meningkatnya suhu lautan, kekeringan yang berkepanjangan, penyebaran wabah penyakit berbahaya, banjir besar, coral bleaching, dan gelombang badai besar (Greenpeace, n.d.).

Untuk menghadapi masalah ini, negara-negara di dunia mengadakan konferensi internasional untuk mencari jalan keluar guna mengatasi masalah


(18)

diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dilaksanakan di Stockholm, Swedia pada tahun 1972 (Erwin 2009, 171). Konferensi ini merupakan penentu langkah awal upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global yang melahirkan kerjasama antarbangsa dalam penyelamatan lingkungan hidup. Kerjasama tersebut diwujudkan dengan membentuk lembaga United Nations Environment Program (UNEP) yang berkedudukan di Nairobi, Kenya.

Kelanjutan dari konferensi Stockholm adalah pelaksanaan berbagai konferensi lanjutan untuk membahas masalah perubahan iklim. Pada tanggal 21 Maret 1992 dilaksanakan konferensi lingkungan hidup di Rio de Jainero yang mengangkat topik permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan lapisan ozon dan meluasnya penggundulan hutan (Erwin 2009, 173). Menurut Erwin (2009, 173) Penurunan kualitas lingkungan hidup yang terjadi diberbagai belahan bumi ini dapat berimbas pada kepentingan politik, ekonomi, dan sosial secara meluas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diharapkan hasil akhir dari setiap konferensi dapat menciptakan perubahan yang lebih baik untuk pelestarian lingkungan dan dapat dilaksanakan oleh seluruh negara yang menandatangani hasil konferensi tersebut.

Konferensi Rio berhasil membuat suatu kesepakatan yang pada akhirnya diterima secara universal sebagai komitmen politik internasional tentang perubahan iklim, yaitu The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) (Deptan 2010). Selanjutnya, Deptan (2010) menjelaskan bahwa UNFCCC bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir pada taraf yang tidak membahayakan kehidupan organisme dan memungkinkan terjadinya adaptasi ekosistem guna menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan.


(19)

Pada Desember 1997 dilaksanakan Conference of the Parties (COP) ketiga di Kyoto, Jepang, yang menghasilkan Protokol2 Kyoto (Eionet 2011). Protokol Kyoto merupakan persetujuan di mana negara-negara industri akan mengurangi enam macam gas emisi GRK mereka secara kolektif minimal sebesar 5 persen dan terbagi dalam dua kategori (Eionet 2011). Kategori pertama adalah pengurangan tiga gas yang paling penting yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan oksida nitrat (N20) yang akan diukur berdasarkan tahun 1990. Kategori kedua adalah pengurangan tiga gas industri berumur panjang yaitu hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), dan heksafluorida sulfur (SF6) yang akan diukur berdasarkan pengukuran karbon tahun 1990 atau awal 1995. Setiap negara yang menyetujuinya harus mencapai target tersebut pada periode tahun 2008 - 2012.

UNFCCC hingga saat ini mempunyai 194 negara anggota dan satu anggota dari organisasi integrasi ekonomi regional (UNFCCC n.d. 3). Selain itu, pertemuan

Conference of the Parties (COP) masih rutin dilaksanakan secara bergantian di negara-negara anggotanya. Pada periode 2007 hingga 2009 dilaksanakan pertemuan COP-13 (Bali, Indonesia) pada tahun 2007, pertemuan COP-14 (Poznan, Polandia) pada tahun 2008, dan COP-15 (Copenhagen, Denmark) pada tahun 2009.

Cina merupakan salah satu negara anggota UNFCCC. Cina merupakan negara berkembang sehingga termasuk dalam kelompok Non-Annex (UNFCCC n.d. 1). Pada setiap pelaksanaan konferensi perubahan iklim Cina mempunyai sikap, peranan, serta diplomasi yang direalisasikan pada kebijakan luar negerinya dalam pembuatan kesepakatan bersama dari suatu konferensi perubahan iklim.


(20)

Menurut Heggelund (2007, 155) Cina tidak akan membuat suatu komitmen di waktu dekat karena energi merupakan kunci dari pembangunan ekonomi sehingga hal tersebut merupakan alasan keengganan negara ini membuat komitmen untuk mengurangi emisi.

Namun, pada tahun 2007 Presiden Hu Jintao (dalam Naisbitt 2010, 80) menyatakan bahwa model yang menjadikan Cina bintang pertumbuhan ekonomi global telah usang karena Cina sedang menata model baru yaitu model pertumbuhan pembangunan yang ilmiah. Sejak saat itu, pembangunan ilmiah diterapkan dalam pembangunan ekonomi di Cina dengan memasukkan standar kelestarian lingkungan, energi, dan penggunaan sumber daya alam (SDA). Selain itu, pada tahun 2007 Cina juga mengeluarkan kebijakan Naskah Putih yang mempunyai tujuan low input, low consumption, and high efficiency untuk mendorong konservasi energi negaranya (Mursitama & Yudono 2010, 56).

Meskipun pada tahun 2007 Cina mengeluarkan kebijakan Naskah Putih namun pada tahun 2009 negara ini tetap menjadi negara penghasil emisi terbesar di dunia (Saragih 2010). Oleh karena itu, Cina ikut serta dalam pembuatan komitmen pengurangan emisi GRK pada saat konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009 yang tentunya karena mendapat tekanan dari dunia internasional. Kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim di Copenhagen pada tahun 2009 menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini.


(21)

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pemaparan di atas, maka pertanyaan penelitian (research question) yang diajukan oleh peneliti adalah:

1. Bagaimana Kebijakan Luar Negeri Cina dalam The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen pada Tahun 2009?

C. Kerangka Teori

Pasca berakhirnya Perang Dingin, isu lingkungan hidup menjadi salah satu isu yang berkembang dalam politik internasional. Hal ini terjadi khususnya sejak penyelenggaraan United Nations Conference on Environment and Development

(UNCED) atau Earth Summit di Rio de Janeiro pada tahun 1992 (Isnaeni & Wardoyo 2008, 225). Banyak kesepakatan atau perjanjian internasional yang telah dihasilkan melalui proses panjang dari sebuah negosiasi dan kerjasama internasional di bidang lingkungan hidup yang pada hakekatnya merupakan refleksi atas pilihan yang dibuat oleh suatu negara dalam kebijakan luar negerinya untuk menyikapi dinamika isu lingkungan di tingkat global. Skripsi ini menggunakan teori kebijakan luar negeri untuk menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009. Selain itu, juga digunakan konsep diplomasi untuk melihat bagaimana diplomasi dan negosiasi yang dilakukan oleh Cina untuk menghasilkan suatu kesepakatan pada saat konferensi berlangsung.

Kebijakan luar negeri tentunya mempunyai tujuan yang harus diaplikasikan dalam setiap pelaksanaannya. Menurut William Wallace (dalam Clarke & White (ed.) 1995, 5), kebijakan luar negeri merupakan arena politik yang merupakan


(22)

bangsa dan lingkungan internasional. Selain itu, menurut Roy Jones (dalam Clarke & White (ed.) 1995, 3), kebijakan luar negeri seperti menembus semua asas untuk melanjutkan kehidupan manusia dan untuk mensejahterakan manusia di masa depan. Dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan luar negeri merupakan suatu jembatan penting untuk menghadapi setiap masalah negara bangsa dan eksistensi hubungan antara negara-negara di lingkungan internasional guna melanjutkan kehidupan dan menyejahterakan masyarakatnya pada masa depan.

Menurut Holsti (1992, 272), terdapat dua faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri, yaitu; internal (domestik) dan eksternal. Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil beberapa faktor internal dan faktor eksternal yang paling dominan untuk menjelaskan latar belakang kebijakan luar negeri Cina pada saat konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009.

Holsti (1992, 272) menjelaskan bahwa faktor internal terdiri dari kondisi sosio-ekonomi, karakteristik geografis dan demografi, struktur pemerintahan, dan atribut nasional serta opini masyarakat Cina tentang masalah ekonomi dan lingkungan. Kondisi sosio ekonomi menggambarkan perubahan sistem ekonomi Cina yang awalnya agraris namun berubah menjadi industrialis. Karakteristik geografis dan demografis menggambarkan bahwa Cina merupakan negara besar serta jumlah penduduknya merupakan yang terbesar di dunia. Struktur pemerintahan menggambarkan bahwa struktur pembagian kekuasaan pemerintah Cina terbagi menjadi tiga bagian yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif serta kebijakan pemerintah Cina mengenai isu lingkungan hidup dengan membuat kebijakan energy security dan Naskah Putih pada tahun 2007.


(23)

Sementara, faktor eksternal menurut Holsti (1992, 272) terdiri dari struktur sistem, tujuan dan tindakan aktor-aktor lain, masalah regional dan global, serta hukum internasional dan opini dunia (Holsti 1992, 272). Struktur sistem menggambarkan posisi dan peranan Cina dalam sistem ekonomi internasional. Tujuan dan tindakan aktor-aktor lain menggambarkan respon dari negara berkembang dan negara industri maju terhadap isu lingkungan hidup global. Masalah regional dan global menggambarkan tentang masalah isu lingkungan hidup global serta bagaimana dampaknya bagi kehidupan masyarakat global. Hukum internasional dan opini publik dunia menggambarkan bahwa globalisasi ekonomi mengakibatkan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim serta dampaknya bagi kehidupan global. Gambaran faktor internal dan eksternal tersebut dapat melatarbelakangi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009.

Setiap negara yang ikut serta dalam setiap konferensi perubahan iklim tentunya mempunyai kebijakan yang merupakan wujud dari kepentingan negaranya. Menurut Hill (2003, 23), kebijakan luar negeri dapat ditafsirkan sebagai sebuah instrumen ataupun sarana untuk menghubungkan tarik-menarik kepentingan yang terus berjalan simultan antara tuntutan internasional dan eksternal terhadap pemerintah. Oleh karenanya, menentukan pilihan atas cara yang lebih demokratis atau lebih efisien menjadi sesuatu yang tidak mudah dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri.

Menurut Watson (2005, 1-2), diplomasi adalah response to the recognition by several decision-making beings that the performance of each one is matter of permanent consequence to some or all the others. Oleh karena itu, diplomasi


(24)

kepentingan negaranya dalam politik internasional, termasuk pada saat pelaksanaan konferensi lingkungan global.

Menurut Susskind (1994, 44), terdapat tiga keuntungan bagi suatu negara yang berperan aktif dan terlibat dalam negosiasi pembuatan suatu kesepakatan pada konferensi lingkungan global. Pertama, suatu negara dapat membentuk kebijakan internasionalnya yang merupakan hasil dari respon dan kepentingan domestiknya. Kedua, suatu negara dalam negosiasi dapat memilih antara membuat pencitraan positif bagi negaranya dengan menjadi negara yang patuh terhadap kesepakatan atau memilih untuk menolak dan berusaha mencari opsi lain sesuai dengan kepentingan nasional negaranya dengan cara mengajak negara lain yang mempunyai tujuan sama untuk membentuk suatu aliansi. Ketiga, negara berkembang dalam negosiasi lingkungan global dapat meminta agar negara maju menjadi penanggung jawab penyebab utama masalah lingkungan global dengan memberikan kompensasi.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Menurut Irham (2009, 22) metode ini bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya keterkaitan antara suatu gejala dengan gejala lainnya yang relevan dengan masalah penelitian. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah fenomena perubahan iklim pada tingkat global dan bagaimana mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina. Penelitian ini juga untuk melihat seberapa besar sumbangan emisi Cina terhadap peningkatan pemanasan global.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data yang terbagi menjadi dua. Menurut Moleong (1999, 112-114) sumber data terbagi antara primer


(25)

dan sekunder. Moleong menjelaskan lebih lanjut bahwa data primer berasal dari wawancara dan dokumen-dokumen. Sedangkan data sekunder berasal dari sumber-sumber kepustakaan, seperti; buku, jurnal, hasil penelitian, dan data dari situs-situs internet (website) yang dianggap otoritatif dan relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Kedua sumber tersebut digunakan dalam penelitian ini.

E. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Pertanyaan Penelitian C. Kerangka Teori D. Metode Penelitian E. Sistematika Penulisan

BAB II THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON

CLIMATE CHANGE (UNFCCC)

A. Sejarah UNFCCC B. Prinsip UNFCCC C. Tujuan UNFCCC D. Struktur UNFCCC E. Komitmen UNFCCC

F. Peserta dalam Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC

G. Conference of the Parties (COP-15) di Copenhagen Tahun 2009

BAB III FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG

MEMPENGARUHI KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA

DALAM UNFCCC A. Faktor Internal

1. Kondisi Geografis dan Demografis Cina 2. Struktur Pemerintah dan Filosofi Pemerintah

a. Dasar-dasar Negara


(26)

3. Kondisi Ekonomi

a. Konsep Sistem Ekonomi Cina pada masa Mao Hingga Saat Ini (Tahun 1954-2009)

4. Kebijakan Pemerintah Cina dalam Bidang Energi dan Lingkungan a. Kebijakan Energy Security

b. Naskah Putih B. Faktor Eksternal

1. Cina dalam Sistem Ekonomi Internasional 2. Masalah Isu Lingkungan Hidup Global

3. Hukum Internasional dalam Lingkungan Hidup Global

4. Respon Negara Maju (diwakili oleh Amerika Serikat) dan Negara Berkembang (diwakili oleh Cina) dalam Isu Lingkungan Global

BAB IV KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM UNFCCC PADA KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009

A. Prinsip Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC

B. Aktor dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen tahun 2009

C. Tujuan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen tahun 2009

D. Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada Konferensi Copenhagen tahun 2009

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan


(27)

BAB II

THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE

CHANGE (UNFCCC)

A. Sejarah UNFCCC

Pembentukan UNFCCC merupakan salah satu agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam konferensi Rio di Brazil pada tahun 1992 (UNFCCC n.d. 2). Konferensi ini menghasilkan tiga perjanjian internasional yang berada dalam konvensi Rio, yaitu: The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), the Convention on Biological Diversity (CBD) dan the United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD).

Dari ketiga perjanjian internasional tersebut, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda-beda. UNFCCC menitikberatkan pada pengurangan tingkat pemanasan global dan suhu bumi yang disebabkan oleh pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK) ke udara akibat industri di negara-negara maju yang mengakibatkan perubahan iklim (UNFCCC n.d.2). Sedangkan CBD menitikberatkan pada pelaksanaan perjanjian keanekaragaman hayati dengan memfokuskan kepada pelestarian spesies mahluk hidup dan transfer teknologi. Selanjutnya, UNCCD memberikan perhatian utama pada masalah penggurunan dan berupaya mengatasi degradasi lahan dengan cara pengelolaan lahan yang tidak subur.

Penelitian ini akan difokuskan pada kajian mengenai konvensi UNFCCC. Pasca penandatanganan kesepakatan Rio, PBB memberi tenggang waktu antara tanggal 20 Juni 1992 hingga 19 Juni 1993 kepada seluruh negara di dunia untuk menyetujui dan bergabung di dalam UNFCCC (UNFCCC n.d. 3). Selanjutnya, 12


(28)

sesuai Pasal 233 PBB, maka konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 21 Maret 1994.

Konvensi UNFCCC menetapkan suatu kerangka menyeluruh bagi negara-negara anggotanya untuk mengatasi perubahan iklim (UNFCCC n.d. 4). Di bawah konvensi ini, negara-negara anggota mengumpulkan dan membagi informasi tentang perubahan iklim yang diakibatkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK). Setiap negara anggota dapat membuat kebijakan dan strategi nasional untuk dapat mengatasi emisi GRK di negaranya sehingga dapat menyesuaikan diri terhadap dampak dari perubahan iklim. Negara-negara anggota UNFCCC bekerjasama untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim dengan cara menyediakan dukungan keuangan bagi perbaikan lingkungan yang rusak dan transfer teknologi dari negara industri maju ke negara berkembang.

Sekertariat UNFCCC berada di Bonn, Jerman sejak Agustus 1996 (UNFCCC n.d. 5). Sekretariat secara institusional berhubungan langsung dengan PBB dan melaporkan secara rutin setiap hasil yang dicapai dalam konferensi namun PBB memberikan kewenangan kepada UNFCCC untuk menyelenggarakan suatu konferensi tanpa terintegrasi dengan program apapun. Sekretariat mempunyai sekitar 400 karyawan dari seluruh dunia. Kepala dan Sekretaris Eksekutif UNFCCC diangkat oleh Sekretaris Jenderal PBB. Sekretaris Eksekutif UNFCCC yang bertugas pada tahun 2006 – 2010 adalah Yvo de Boer.

Sekretariat UNFCCC terdiri dari tujuh fungsi utama, yaitu; fungsi pertama adalah membuat peraturan mengenai pelaksanaan pada setiap sesi dalam konferensi (UNFCCC n.d. 5). Fungsi kedua adalah memantau pelaksanaan

33

Pasal 23 PBB berisi setelah hari kesembilan puluh setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan, dan persetujuan maka mulai berlaku suatu konvensi.


(29)

komitmen di bawah konvensi4 dan protokol5 melalui pengumpulan, analisis, dan peninjauan atas informasi dan data yang diberikan oleh negara-negara anggota UNFCCC. Fungsi ketiga adalah membantu negara-negara anggota UNFCCC dalam melaksanakan komitmen mereka. Fungsi keempat adalah mendukung negosiasi dalam kerangka kerja UNFCCC untuk menghasilkan suatu kesepakatan. Fungsi kelima adalah mempertahankan agar negara-negara yang sudah meratifikasi isi protokol untuk berkomitmen dan benar-benar melaksanakan hasil kesepakatan protokol tersebut dalam mengurangi kredit emisi6. Fungsi keenam adalah memberikan dukungan kepada negara-negara anggota UNFCCC untuk mematuhi Protokol Kyoto. Kemudian, Fungsi terakhir adalah berkoordinasi dengan sekertariat badan internasional lain yang relevan, khususnya the Global Environment Facility (GEF) serta lembaga pelaksana (UNDP, UNEP, dan Bank Dunia), the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), maupun konvensi lain yang terkait.

B. Prinsip UNFCCC

Konvensi UNFCCC menekankan kesetaraan dan keprihatinan (precautionary principle) sebagai dasar semua kebijakan (Deptan 2010). Pada konvensi ini juga terdapat prinsip common but differentiated responsibilities, yaitu di mana setiap negara bersama-sama menekan laju peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di negaranya namun memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda.

4


(30)

Selain itu, UNFCCC mempunyai lima prinsip untuk mencapai tujuan konvensi dan untuk melaksanakan ketentuan konvensi (UNFCCC n.d. 6). Kelima prinsip ini merupakan pedoman bagi negara-negara anggota UNFCCC.

Pertama: Negara anggota UNFCCC harus melindungi sistem iklim7 bagi

kepentingan generasi umat manusia pada masa sekarang dan pada masa depan. Perlindungan ini atas dasar kesetaraan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan bersama di mana masing-masing negara mempunyai tanggung jawab berbeda. Hal ini berarti bahwa negara industri maju harus menjadi pemimpin dalam mengurangi perubahan iklim dan efek dari perubahan iklim tersebut.

Kedua: Adanya kebutuhan dan keadaan khusus bagi negara berkembang

(khususnya bagi negara-negara kepulauan kecil dan negara yang mengandalkan sumber pemasukan negaranya pada minyak) karena mereka rentan terhadap dampak perubahan iklim. Negara berkembang akan menanggung beban berat terhadap dampak yang diakibatkan oleh perubahan iklim sehingga mereka harus diberi pertimbangan penuh di bawah konvensi UNFCCC.

Ketiga: Negara anggota UNFCCC harus mengambil tindakan pencegahan untuk

mengatisipasi, mencegah, atau meminimalisasi penyebab perubahan iklim dan mengurangi dampak negatifnya.

Keempat: Negara anggota UNFCCC memiliki hak untuk dan harus

mempromosikan pembangunan berkelanjutan di negaranya. Pembangunan berkelanjutan merupakan implementasi dari pembangunan nasional namun dalam pelaksanaannya tetap harus diintegrasikan (digabungkan) dengan kebijakan untuk

7

Sistem iklim merupakan keseluruhan dari hidrosfer, biosfer, atsmosfer dan geosfer dan mereka saling berinteraksi


(31)

melindungi sistem iklim. Dalam hal ini, pembangunan ekonomi seharusnya berintegrasi dengan langkah-langkah dalam mengatasi perubahan iklim.

Kelima: Negara anggota UNFCCC harus bekerja sama untuk meningkatkan sistem

ekonomi internasional yang terbuka sehingga mampu menyokong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di semua negara anggota UNFCCC, terutama negara berkembang. Dengan adanya sistem ekonomi internasional yang terbuka ini, maka negara berkembang akan mampu mengatasi masalah perubahan iklim di negaranya.

C. Tujuan UNFCCC

UNFCCC mempunyai beberapa tujuan (UNFCCC n.d. 7), yaitu:

1. Meminimalisasi efek dari perubahan iklim yang terjadi pada lingkungan karena adanya kerusakan pada ketahanan, komposisi, atau produktifitas ekosistem alam yang semuanya disebabkan pelaksanaan sistem sosial ekonomi yang bertujuan untuk kesejahteraan manusia.

2. Mendorong negara-negara anggota UNFCCC untuk berkomitmen mengurangi pelepasan emisi GRK ke dalam atmosfer dalam jangka waktu yang telah disepakati dalam konvensi.

3. Mengikutsertakan organisasi integrasi ekonomi regional (Uni Eropa) untuk mengimplementasikan konvensi atau protokol yang telah disepakati oleh negara-negara UNFCCC agar berjalan lebih efektif.


(32)

D. Struktur UNFCCC

Bagan 2.1. Struktur UNFCCC Execut

Note: BRM, Bali Road Map, which includes support to the Ad Hoc Working Group on Further Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP) and the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA); COP, Conference of the Parties, CMP, Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol; SBSTA, Subsidiary Body for Scientific And Technological Advice; SBI, Subsidiary Body for Implementation

(Sumber: UNFCCC n.d. 8)

Bagan 2.1 di atas menggambarkan bahwa dalam struktur, Bali Road Map Support (BRM) yang di dalamnya didukung oleh Ad Hoc Working Group on Further Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP), Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention

(AWG-LCA), Conference of the Parties (COP), Conference of the Parties serving as the meeting of the parties to the Kyoto Protocol (CMP), Subsidiary Body for Scientific And Technological Advise (SBSTA), dan Subsidiary Body for Implementation (SBI) . AWG-KP merupakan kelompok kerja yang dibentuk oleh

Conference of the Parties (COP) pada tahun 2005 (UNFCCC n.d. 9). AWG-KP ini BRM Support

Executive Direction and M anagement

Office of the Deputy Executive Secretary

COP/ M OP Support

Information Services Conference Affairs Services Sustainable Development M echanisms Legal Affairs Financial and Technical Support Administrative Services Reporting, Data and Analysis Adaptations, Technology, and Science SBSTA Support SBI Support


(33)

merupakan kelompok kerja Ad Hoc yang berkomitmen lebih lanjut bagi negara-negara Annex I yang berada di bawah Protokol Kyoto untuk mendiskusikan komitmen pada masa depan bagi negara-negara industri yang berada di bawah Protokol Kyoto.

Sementara, AWG-LCA dibentuk dalam COP-13 tahun 2007 di Bali, Indonesia (UNFCCC n.d. 10). COP-13 di Bali ini menghasilkan Bali Action Plan.

Bali Action Plan merumuskan proses yang komprehensif agar memungkinkan pengimplementasian secara penuh dan efektif di bawah konvensi melalui aksi kerjasama jangka panjang (mulai tahun 2007 hingga tahun 2012) sesuai dengan keputusan yang diambil pada sesi kelima belas dari COP-13. Pada sesi kelima belas, diputuskan bahwa proses tersebut harus dilakukan dengan suatu badan pendukung yaitu, AWG-LCA. AWG-LCA akan menyelesaikan pekerjaannya pada tahun 2009 dan mempresentasikan hasil kerjanya pada COP untuk diadopsi pada pertemuan COP-15 di Copenhagen, Denmark.

Pada bagan di atas terdapat Conference of the Parties (COP) yang merupakan otoritas utama dan sebagai badan tertinggi konvensi UNFCCC (UNFCCC n.d. 11). COP bertugas meninjau secara teratur pelaksanaan konvensi setiap negara anggota UNFCCC. Dalam melakukan tugas ini, COP dapat mengadopsi dan membuat mandat atau suatu keputusan yang diperlukan untuk mempromosikan pelaksanaan yang efektif dari konvensi. COP bertanggung jawab untuk mengkaji ulang implementasi konvensi dan instrumen legal lain terkait dengan konvensi. COP juga berkewajiban membuat keputusan yang diperlukan untuk meningkatkan implementasi konvensi.


(34)

(SBSTA) dan Subsidiary Body for Implementation (SBI) (Deptan 2010). COP terdiri dari semua negara anggota UNFCCC dan biasanya bertemu setiap tahun selama jangka waktu dua minggu. Pertemuan ini diikuti oleh delegasi pemerintah negara anggota UNFCCC, pengamat organisasi, dan wartawan. COP mengevaluasi status perubahan iklim dan efektivitas perjanjian. COP mengkaji apa yang sudah dilakukan oleh setiap negara anggota dalam mengimplementasikan konvensi yang telah diambil. Dalam melaksanakan tugasnya, COP meninjau komunikasi nasional8 dan persediaan emisi serta memanfaatkan pengalaman untuk melanjutkan mengatasi perubahan iklim.

Dalam menjalankan tugasnya, COP dibantu oleh beberapa badan resmi, yaitu (UNFCCC n.d. 11):

a. Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) sebagai penasehat COP mengenai masalah-masalah iklim, lingkungan, teknologi, dan metode. SBSTA dan COP bertemu dua kali dalam setahun.

b. Subsidiary Body for Implementation (SBI) yang membantu meninjau bagaimana konvensi diimplementasikan, misalnya dengan menganalisis komunikasi nasional yang disampaikan oleh negara anggota. Selain itu, SBI juga berkaitan dengan masalah keuangan dan administrasi. SBI dan COP bertemu dua kali dalam setahun.

c. Kelompok ahli berdasarkan konvensi UNFCCC, ada tiga kelompok. Kelompok pertama adalah Consultative Group of Experts (CGE). CGE membangun komunikasi nasional dari negara non-Annex yang merupakan

8

Komunikasi nasional yaitu setiap anggota UNFCCC harus menyampaikan laporan nasional atas pelaksanaan konvensi yang biasanya berisi tentang keadaan nasional, sumber daya keuangan dan transfer teknologi, pendidikan dan kesadaran masyarakat kepada COP.


(35)

negara berkembang untuk menyiapkan laporan nasional mengenai isu perubahan iklim. Kelompok kedua adalah Least Developed Country Expert Group (LEG). LEG memberikan saran pada negara-negara berkembang dalam mengintegrasikan program-program nasionalnya dengan menjaga sistem iklim sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan iklim. Kelompok ketiga adalah Expert Group on Technology Transfer (EGTT). EGTT bertugas untuk memacu transfer teknologi dari negara industri maju ke negara berkembang.

d. Global Environment Facility (GEF) merupakan mitra instansi COP yang bertugas mendanai proyek-proyek di negara-negara berkembang yang memiliki manfaat bagi lingkungan global.

Pada dasarnya, COP merupakan badan tertinggi konvensi UNFCCC dan juga terdapat the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP) yang merupakan badan tertinggi dalam Protokol Kyoto yang sama-sama tergabung di dalam bagan struktur UNFCCC (UNFCCC n.d. 12). Fungsi CMP yang berkaitan dengan Protokol Kyoto sama dengan yang dilakukan COP untuk konvensi. COP dan CMP sama-sama bertemu setiap tahun dalam periode yang sama. Sama seperti COP, badan tetap yang membantu CMP berdasarkan konvensi adalah Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan the Subsidiary Body for Implementation (SBI).CMP bertugas mempersiapkan sidang para negara-negara anggota yang telah meratifikasi Protokol Kyoto9. Peserta pada konvensi yang bukan merupakan negara dalam Protokol Kyoto, dapat berpartisipasi dalam CMP tetapi tidak mempunyai hak

9


(36)

dalam pengambilan keputusan. Pertemuan pertama CMP dengan negara-negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto diadakan di Montreal, Kanada, pada Desember 2005 bersamaan dengan dilaksanakannya COP-11.

E. Komitmen UNFCCC

Terdapat lima komitmen yang harus dilaksanakan oleh UNFCCC (UNFCCC n.d. 13), yaitu:

1. Memberikan dukungan kepada negara-negara anggota untuk mengambil tindakan pengurangan emisi sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan iklim pada tingkat global, regional, dan nasional.

2. Memberikan dukungan penuh bagi pemerintah negara-negara anggota UNFCCC dalam mengimplementasikan konvensi dan Protokol Kyoto. 3. Membantu negara-negara anggota untuk menciptakan dan memelihara

kondisi domestik yang kondusif sehingga dapat lebih efektif dan efisien pada saat mengimplementasi Protokol Kyoto.

4. Menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan data yang dapat dipahami oleh seluruh masyarakat di dunia tentang perubahan iklim serta upaya-upaya untuk mengatasinya.

5. Mempromosikan dan meningkatkan keterlibatan aktif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), bisnis dan industri, serta keterlibatan masyarakat internasional dalam penanggulangan perubahan iklim melalui komunikasi yang efektif.

F. Peserta dalam Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC

UNFCCC hingga saat ini memiliki 194 negara anggota dan satu organisasi integrasi ekonomi regional yang menjadi anggota konvensi UNFCCC (UNFCCC


(37)

n.d. 3). Negara-negara yang menjadi anggota UNFCCC ini terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu; kelompok negara Annex I, kelompok negara non-Annex, dan

observer.

Annex I merupakan negara-negara industri maju yang telah menjalankan industrinya sejak tahun 1950-an dan merupakan anggota dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD)10, ditambah dengan negara-negara dengan ekonomi dalam transisi (Economic in Transition/EIT), seperti; pecahan Uni Soviet dan beberapa negara dari Eropa Tengah dan Timur (UNFCCC n.d. 15). Kelompok negara Annex I ini harus menyediakan keuangan untuk negara-negara berkembang dalam melakukan kegiatan pengurangan emisi sesuai amanat konvensi serta membantu mereka untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim.

Tabel 2.1. Daftar Negara-negara yang Tergabung dalam Kelompok Annex 1

No. Kelompok Annex I Negara

1. Negara yang tergabung dalam OECD

Australia, Austria, Belgia, Bulgaria, Kanada, Denmark, Estonia, European Union, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Luxembourg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Republik Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat.

2. Negara yang

tergabung dalam EIT

Latvia, Lithuania, Malta, Belarus, Romania, Kroasia, Lietchtenstein, Monako, Federasi Rusia, dan Ukraina.

(Sumber: UNFCCC n.d. 14)

Kelompok kedua adalah kelompok negara non-Annex. Kelompok ini terdiri dari negara-negara berkembang dan beberapa di antaranya diakui oleh konvensi sebagai negara yang rentan terhadap dampak negatif dari perubahan iklim karena

10

OECD merupakan forum di mana pemerintah negara-negara anggota dapat bekerja sama dan mendorong perubahan ekonomi (meningkatkan produktivitas, arus perdagangan global dan investasi), sosial, dan


(38)

merupakan negara kepulauan kecil yang mempunyai daratan rendah dan rentan terhadap penggurunan dan kekeringan (UNFCCC n.d. 15). Selanjutnya, dalam kelompok non-Annex terdapat 49 negara anggota UNFCCC yang diklasifikasikan sebagai Least Development Countries (LDCs) oleh PBB yang diberi pertimbangan khusus di bawah konvensi karena negara-negara tersebut mempunyai keterbatasan dalam merespon dan beradaptasi pada efek perubahan iklim.

Dalam hal ini, Cina digolongkan ke dalam kelompok negara non-Annex (UNFCCC n.d. 1). Pada tahun 2009 Cina merupakan negara penghasil emisi GRK terbesar di dunia (Saragih 2010), sehingga Cina mempunyai pengaruh di dalam pembuatan kesepakatan dalam konferensi perubahan iklim. Jika melihat posisi Cina sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia, maka konferensi perubahan iklim tidak hanya dikuasai oleh negara-negara industri maju namun juga oleh segelintir kelompok negara berkembang yang mempunyai peranan penting terutama dalam konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen, Denmark.

Konferensi perubahan iklim yang diselenggarakan oleh UNFCCC selain dihadiri oleh negara-negara anggota juga dihadiri oleh kelompok observer. Observer merupakan kelompok atau lembaga yang diizinkan untuk menghadiri dan bahkan berbicara di pertemuan internasional tetapi tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (UNFCCC n.d. 15). Observer termasuk orang yang berasal dari organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM sebagai observer dapat mewakili kepentingan bisnis dan industri, kelompok lingkungan hidup, pemerintah daerah, lembaga penelitian dan akademik, badan-badan keagamaan, organisasi buruh, dan kelompok penduduk seperti masyarakat adat.


(39)

Dalam konferensi perubahan iklim, observer yang diizinkan untuk menghadiri konvensi UNFCCC adalah lembaga antarpemerintah, seperti; the United Nations Development Programme (UNDP), the United Nations Environment Programme (UNEP), the World Meteorogical Organization (WMO),

the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), the International Energy Agency, dan the Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) (UNFCCC n.d. 15). Hingga saat ini, lebih dari 50 lembaga antarpemerintah dan organisasi internasional menghadiri sesi dari COP. Selain itu, lebih dari 600 LSM yang terakreditasi dapat berpartisipasi dalam pertemuan yang berkaitan dengan konferensi perubahan iklim yang diselenggarakan oleh UNFCCC.

G. Conference of the Parties (COP-15) di Copenhagen Tahun 2009

UNFCCC hingga tahun 2009, telah melaksanakan Conference of the Parties (COP) selama lima belas kali. COP-15 diadakan di Copenhagen, Denmark. Sebelum COP-15 berlangsung, terdapat beberapa konferensi sebelumnya yang dilaksanakan oleh UNFCCC. Salah satunya yang terpenting adalah COP-3 pada tahun 1997 yang dilaksanakan di Kyoto, Jepang. Konferensi tersebut menghasilkan Protokol Kyoto yang dipandang sebagai langkah penting pertama menuju rezim pengurangan emisi secara global yang akan menstabilkan emisi GRK dan menyediakan arsitektur penting dalam setiap perjanjian internasional tentang perubahan iklim di masa mendatang (UNFCCC n.d. 16).

Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-limabelas (COP-15) diselenggarakan oleh pemerintah Denmark pada tanggal 7 – 19 Desember 2009 di Copenhagen


(40)

pemerintah Denmark, dan negara-negara anggota UNFCCC. Untuk itu, baik pemerintah Denmark maupun negara-negara anggota UNFCCC berusaha keras agar konferensi Copenhagen berjalan sukses dengan menghasilkan Protokol Copenhagen untuk mencegah pemanasan global dan perubahan iklim (Erantis 2009). Hal tersebut dilaksanakan karena pada tahun 2012 Protokol Kyoto akan habis masa berlakunya.

Konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009 dihadiri oleh 120 kepala negara dan kepala pemerintahan, delegasi dari 190 negara sebanyak 10.500 orang, 13.500 pengamat, dan lebih dari 3.000 perwakilan media yang meliput konferensi ini (UNFCCC n.d. 17). Dengan banyaknya undangan yang hadir dan mengikuti konferensi ini mengindikasikan bahwa kepedulian masalah iklim global dalam dunia dan masyarakat internasional makin meningkat.

Konferensi Copenhagen terdiri dari dua konferensi (UNFCCC n.d. 17). Pertama adalah konferensi sidang COP-15 (15th Conference of the Parties – COP15) yang terlibat dalam Konvensi PBB tentang agenda perubahan iklim, UNFCCC. Kedua adalah pertemuan kelima CMP yang berfungsi sebagai sidang yang terkait dengan Protokol Kyoto. Dalam konferensi Copenhagen terdapat negosiasi intensif antarnegara anggota UNFCCC yang menghasilkan lebih dari 1000 pertemuan, baik resmi maupun informal dan kelompok antarnegara. Selain itu, pembahasan perubahan iklim terjadi di lebih dari 400 pertemuan dan lebih dari 300 konferensi pers.

Menurut Rendra Kurnia,11 “dalam pelaksanaan konferensi Copenhagen terjadi perdebatan yang cukup alot antara

11

Unit M it igasi dan Pelest arian Fungsi dan Pelest arian Fungsi At mosfer, Kement erian Lingkungan Hidup dalam w aw ancara di Jakart a, 19 April 2011.


(41)

negara anggota UNFCCC”. Rendra menambahkan bahwa pada saat itu terjadi deadlock (jalan buntu) ketika perundingan antara the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA) dan the Ad Hoc Working Group on Futher Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP). AWG-LCA membahas konvensi yang merupakan komitmen pertama dalam UNFCCC. Sedangkan AWG-KP membahas Protokol Kyoto yang merupakan komitmen kedua pada konvensi UNFCCC. Namun, tidak tercapai kesepakatan antara AWG-KP dengan AWG-LCA. Maka, pada saat itu Amerika Serikat mengadakan pertemuan dengan beberapa perwakilan negara anggota UNFCCC untuk membentuk Copenhagen Accord. Pertemuan tersebut dinamakan

green room yang membahas kontribusi seluruh negara anggota UNFCCC dalam meningkatkan energi efisien sebesar 30 persen, bukannya mereduksi emisi.

Green room terdiri dari dua puluh enam negara peserta yang terbagi dalam kelompok negara maju, negara berkembang, negara kepulauan kecil dan negara tertinggal (Ashadi 2010). Negara-negara tersebut di antaranya adalah Ethiopia, Sudan, Aljazair, Lesotho, Grenada, Bangladesh, Maldives, Kolombia, Cina, India, Brazil, Afrika Selatan, Saudi Arabia, Indonesia, Swedia, Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Amerika Serikat, Rusia, Australia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, Mexico, Gabon, dan Papua Nugini. Dalam Copenhagen Accord tersebut disebutkan bahwa pada Januari 2010 setiap negara harus menetapkan target pengurangan emisi GRK pada tahun 2020 namun tidak akan mengikat secara hukum seperti Protokol Kyoto pada tahun 1997 (YD 2009).

Dalam Copenhagen Accord, negara-negara anggota UNFCCC membuat komiten tentang pengurangan perubahan iklim dan harus disepakati oleh seluruh negara anggotanya (UNFCCC n.d. 18). Berikut ini adalah kedua belas poin

Copenhagen Accord yang harus disepakati:


(42)

mendesak untuk segera diselesaikan dengan prinsip common but differentiated responsibilities, yaitu di mana setiap negara bersama-sama menekan laju peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di negaranya namun memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda. Prinsip ini merupakan tujuan utama dalam konvensi guna menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir hingga pada level yang tidak berbahaya bagi sistem iklim. Karena itu, temperatur global harus diturunkan sebesar dua derajat celsius dengan cara meningkatkan kerja sama jangka panjang untuk menanggulangi perubahan iklim antarnegara-negara anggota UNFCCC sehingga mereka akan mampu mengadapi dampak negatif dari perubahan iklim. Kedua: Kami setuju untuk mengurangi tingkat emisi global yang merupakan kewajiban semua negara-negara UNFCCC (terutama negara industri maju) sehingga akan mampu menurunkan tingkat suhu global sebesar dua derajat celcius. Kami akan bekerja sama untuk mencapai pengurangan tingkat emisi global dan emisi nasional karena semakin cepat semakin baik. Kami mengakui bahwa saat ini kerangka puncak pelepasan emisi terbesar akan berada di negara-negara berkembang karena mengingat bahwa pembangunan sosial, ekonomi, dan pemberantasan kemiskinan merupakan prioritas utama negara-negara berkembang. Oleh karena itu, penerapan pengembangan strategi emisi rendah12 di negara berkembang sangat penting untuk pembangunan berkelanjutan.

Ketiga: Setiap negara harus beradaptasi untuk menghadapi efek negatif dari perubahan iklim dan mereka harus mampu merespon dengan meningkatkan kerjasama internasional yang merupakan kewajiban dalam pengimplementasian

12

Strategi pengembangan emisi rendah yaitu transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang agar negara berkembang dapat menggunakan teknologi yang lebih baik dalam pembangunan ekonominya sehingga menghasilkan emisi yang lebih rendah.


(43)

konvensi. Tujuan dari adaptasi ini adalah untuk mengurangi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim, khususnya di negara kurang berkembang, negara kepulauan kecil berkembang, dan Afrika. Kami setuju bahwa negara-negara industri maju harus dapat menyediakan dan menyokong sumber keuangan, teknologi, dan peningkatan kapasitas untuk mendukung pelaksanaan tindakan adaptasi di negara-negara berkembang.

Keempat: Negara-negara Annex I berkomitmen baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama dengan negara lain untuk mengukur seberapa besar target emisi yang akan dihasilkan dari perekonomian pada tahun 2020. Hasil komitmen tersebut akan disampaikan dan dimasukkan oleh negara-negara Annex I dalam lampiran I (Appendix I) yang akan diserahkan kepada Sekertariat UNFCCC pada tanggal 31 Januari 2010. Negara-negara Annex I yang tergabung dalam Protokol Kyoto akan memperkuat penggurangan emisi yang telah diprakarsai oleh Protokol Kyoto. Pengurangan emisi dan bantuan pendanaan dari negara industri maju ke negara-negara berkembang akan diukur, dilaporkan, dan diverifikasi (buktikan) sesuai dengan garis pedoman selanjutnya yang telah diadopsi oleh Conference of the Parties (COP).

Kelima: Negara-negara non-Annex berdasarkan konvensi akan mengimplementasi tindakan mitigasi termasuk menyampaikannya kepada Sekretariat UNFCCC untuk dimasukkan dalam lampiran II (Appendix II) pada tanggal 31 Januari 2010. Kemudian, berdasarkan Pasal 4.1 dan Pasal 4.7 dalam konteks peningkatan pembangunan bagi negara kurang berkembang dan negara kepulauan kecil berkembang akan dilakukan tindakan sukarela atas dasar dukungan bagi kebaikan bersama. Tindakan mitigasi selanjutnya akan diambil dan dipertimbangkan oleh


(44)

oleh negara-negara non-Annex, termasuk laporan inventaris nasional yang akan dikomunikasikan agar terjaga konsistensi komunikasi nasional.

Keenam: Kami mengakui bahwa terdapat peran penting untuk mengurangi emisi dari penebangan dan degradasi hutan. Selanjutnya, untuk meningkatkan kembali penyerapan GRK oleh hutan maka harus segera membuat suatu mekanisme agar memungkinkan untuk memobilisasi sumber daya keuangan dari negara-negara industri maju.

Ketujuh: Kami memutuskan untuk mengejar berbagai pendekatan termasuk kesempatan untuk menggunakan pasar guna meningkatkan efektivitas biaya dan untuk mempromosikan tindakan mitigasi kepada seluruh negara di dunia. Pendekatan ini khususnya ditujukan bagi negara-negara berkembang karena kondisi perekonomian mereka lemah maka harus diberikan insentif (dorongan) agar mereka terus melanjutkan pengembangan pada jalur emisi rendah.

Kedelapan: Peningkatan dan penambahan pendanaan yang memadai serta peningkatan akses harus disediakan bagi negara-negara berkembang sesuai dengan ketentuan konvensi agar memungkinkan mereka dapat mendukung tindakan mitigasi. Penambahan keuangan ini untuk digunakan dalam masalah deforestasi dan degradasi hutan, adaptasi, serta peningkatan kapasitas pengembangan dan transfer teknologi untuk pengimplementasian konvensi. Selanjutnya, negara-negara industri maju akan menyediakan sumber daya baru dan tambahan, termasuk investasi kehutanan melalui lembaga-lembaga internasional mendekati 30 milliar USD antara tahun 2010-2012 untuk dialokasikan secara seimbang antara mitigasi dan adaptasi. Pendanaan untuk adaptasi dikhususkan bagi negara-negara berkembang yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kemudian dalam tindakan mitigasi, negara-negara maju berkomitmen untuk tujuan bersama


(45)

dengan menyalurkan dana 100 milliar USD pada tahun 2020 untuk mengatasi kebutuhan di negara-negara berkembang. Dana ini berasal dari berbagai sumber baik publik maupun swasta di mana sebagian dana tersebut harus mengalir melalui

Copenhagen Green Climate Fund.

Kesembilan: Untuk tujuan ini, suatu High Level Panel akan dibentuk di bawah bimbingan COP dan akan bertanggung jawab pada COP. Tujuan pertemuan High Level Panel untuk mempelajari kontribusi dari sumber-sumber pendapatan yang potensial, termasuk sumber pembiayaan alternatif.

Kesepuluh: Kami memutuskan bahwa Copenhagen Green Climate Fund akan dibentuk sebagai suatu eksistensi mekanisme keuangan dalam konvensi.

Copenhagen Green Climate Fund yang berfungsi untuk mendukung proyek-proyek, program, kebijakan, dan kebijakan-kebijakan lainnya di negara berkembang yang terkait dengan mitigasi, adaptasi, pengembangan, serta transfer teknologi.

Kesebelas: Dalam rangka meningkatkan tindakan dalam transfer serta pengembangan teknologi, maka kami memutuskan untuk mendirikan Technology Mechanism untuk mempercepat transfer dan pengembangan teknologi guna mendukung tindakan mitigasi dan adaptasi yang akan dipandu oleh pendekatan negara pemberi (negara industri maju) berdasarkan pada keadaan nasional dan prioritasnya.

Kedua belas: Kami menyerukan bahwa penilaian pelaksanaan Copenhagen Accord ini akan selesai pada tahun 2015. Hal ini termasuk pertimbangan untuk memperkuat tujuan jangka panjang karena kenaikan tingkat suhu bumi mencapai 1,5 derajat celsius.


(46)

Pada skripsi ini, pembahasan difokuskan pada kebijakan luar negeri Cina pada saat konferensi Copenhagen berlangsung. Pada COP-15 di Copenhagen, Cina memiliki peranan penting. Bab selanjutnya akan membahas faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi UNFCCC, khususnya pada COP-15.

Berkaitan dengan konferensi UNFCCC, ada beberapa identitas Cina yang memiliki relevansi dengan isu lingkungan hidup. Pertama, Cina sedang bersiap menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi dunia dalam dua dekade kedepan dan tentunya negara tersebut sangat tergantung pada batubara sebagai sumber energi (Song & Woo (ed.) 2008, 171). Kedua, Cina merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia (CIA 2011). Ketiga, secara geografis, Cina merupakan negara terbesar di Asia Timur dan negara ketiga terluas di dunia setelah Rusia dan Kanada (Naisbitt. 2010, 20). Keempat, pemerintahan Cina yang menganut sistem sosialis komunis namun menggunakan sistem ekonomi pasar sosialis dengan mengikuti pesatnya globalisasi dan pasar bebas (Irham. 2009, 2). Kelima, negara dengan kerentanan tinggi terhadap banyak masalah lingkungan hidup global, (seperti, perdagangan dan penggunaan limbah berbahaya, pencemaran udara, serta penggunaan sumber energi yang sangat besar untuk kebutuhan industri (CIA 2011). Kelima hal tersebut membuat Cina menjadi negara yang mempunyai peranan penting dalam proses negosiasi internasional pada setiap forum atau konferensi internasional terkait dengan isu lingkungan hidup khususnya di konferensi Copenhagen tahun 2009.


(1)

telling stories of how Zheng He, who visited the place during his voyages to the Western Seas, made friends with the local people. In modern times, people of our two nations sympathized with and supported each other during the hard struggles for national independence and forged a strong bond of friendship. As one of the first countries to establish diplomatic relations with the People's Republic of China, Indonesia helped New China break the trade embargo imposed by the West. The Chinese people will never forget those episodes.

Entering the new century, our two countries have enjoyed frequent high-level exchanges, deepening political mutual trust and fast growing business cooperation. The establishment of the strategic partnership in 2005 brought our bilateral relations to a new stage. Last year, two-way trade approached 43 billion U.S. dollars, making China one of Indonesia's major trading partners and export markets. In the face of the severe international financial crisis, our two countries worked together to tide over difficulties. We signed a bilateral currency swap agreement worth 100 billion RMB yuan and played a positive role in maintaining regional financial stability. Our two sides have maintained close communication and coordination in international affairs, which has enhanced the influence of developing countries. It is worth mentioning in particular that when major natural disasters truck, peoples of our two countries shared each other's pain and stood together to counter difficulty. For instance, in the wake of the earthquake in Wenchuan, China in 2008, Indonesia sent a medical team to the affected area. An 80-year-old village chief in Aceh traveled more than 2,000 km to deliver donations from his village to the Chinese Embassy in Jakarta. Likewise, when Indonesia was hit by an earthquake and tsunami in 2004, the Chinese international rescue team hastened to the disaster area. This fully shows that China and Indonesia are good neighbors and good brothers.

My visit this time is a journey of friendship and cooperation. It is also aimed at planning for the future. Yesterday, I had comprehensive and in-depth talks with President Yudhoyono. We reached important agreement and decided to further strengthen China-Indonesia strategic partnership. The two sides released a joint communique and signed several inter-governmental cooperation documents. President Yudhoyono and I set the new target of raising two-day trade to 80 billion U.S. dollars by 2015. Later today, the two sides will sign economic and trade agreements worth about 10 billion U.S. dollars. The Chinese side announced the decision to provide 1 billion U.S. dollars of preferential export buyer's credit and 8 billion U.S. dollars of credit line to support Indonesia in developing its infrastructure and priority industries. We decided to step up cooperation in mineral resources and clean energy and expand collaboration on maritime research and fishery. Indonesia plays an important role in affairs related to the Malacca Strait.

China will enhance coordination with Indonesia and provide support in this regard. The aforementioned projects, agreed amidst the continuing impact of the international financial crisis, are bound to lend strong impetus to our endeavors to sustain the good economic momentum and deepen mutually beneficial cooperation. They will raise our strategic partnership to a new high.

Being in Indonesia, I would be remiss if I did not mention the Bandung spirit. On my flight to Jakarta, I could not help but recall that during my visit to Indonesia 16 years ago,


(2)

I made a special trip to the venues of the Bandung Conference to pay my respects. In 1955, Premier Zhou Enlai, on behalf of the new People's Republic, came to Indonesia in defiance of danger and difficulty, and initiated, together with leaders of other Asian and African countries, the Bandung spirit, a spirit that is still highly relevant today. The Bandung Conference left us a most valuable legacy. Seeking common ground while shelving differences and embracing peaceful coexistence are the core of the Bandung spirit and they remain the guiding principle for handling state-to-state relations today. We must hold dear and carry forward the ever-lasting Bandung spirit.

Ladies and Gentlemen,

Indonesia, being the largest country in ASEAN, has played a key role at many defining moments in ASEAN's development and made outstanding contribution to a stronger ASEAN through unity. As ASEAN's good partner, China highly commends Indonesia's efforts and rejoices at ASEAN's achievements.

All-round East Asian cooperation came into being in the wake of the Asian financial crisis in 1997. Today, in the face of the international financial crisis, China and ASEAN will further strengthen their relations, setting yet another example of mutual assistance and cooperation between developing countries. Under the principles of consensus, responsibility sharing and non-interference, ASEAN has promoted regional political stability, economic growth, and social progress in the ASEAN way. This is in keeping with the trend of peace, development, and cooperation of our time. It is a successful approach with has had an important and positive impact internationally. The ASEAN Charter has set the goal of establishing the ASEAN Political-Security Community, Economic Community and Socio-Cultural Community by 2015. We have every confidence that ASEAN will enjoy greater cohesion, influence and competitiveness and we look forward to the day when the goal becomes a reality.

China has all along supported a stronger ASEAN through unity. We highly value and have worked actively to promote our relations with ASEAN. China was the first country to establish the strategic partnership for peace and prosperity with ASEAN and the first big country outside the region to accede to the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia. We were also the first country to launch the FTA negotiation with ASEAN, and together, we have put in place the largest FTA among developing countries. All these endeavors accord with the trend of economic globalization and regional integration. They serve the interests of all ASEAN countries and China.

At the 7th China-ASEAN summit held in Bali in 2003, I stated China's commitment to a policy of securing an amicable, tranquil and prosperous neighborhood. Eight years on, people can see that China has kept its word. And China will remain committed to this policy no matter what changes may take place in the international landscape.

China firmly supports ASEAN's leading role in regional cooperation. Over the years, ASEAN has developed its principles and practices of regional cooperation in keeping with the realities of East Asia. These principles and practices have proved effective and mature and should and must be followed. The existing regional cooperation mechanisms in East Asia, including 10+1, 10+3 and the East Asia Summit, should always develop with the "10" or ASEAN in the driver's seat. East Asian cooperation will enjoy sound development


(3)

only if ASEAN continues to play its leading role. China's position on this issue is steadfast.

China is committed to deepening practical cooperation with ASEAN. Last year, China became ASEAN's biggest trading partner. We launched the largest FTA among developing countries. And we have set the target of 500 billion U.S. dollars in two-way trade by 2015. The Chinese government will continue to increase imports of competitive products from Southeast Asian countries and encourage Chinese companies to invest in ASEAN countries with a view to expanding our common interests. In the next 10 years, we will speed up the realization of land transport connectivity between China and ASEAN countries and provide financial support to road, rail, communication, electricity and other infrastructure development in ASEAN countries through bilateral aid and loans, the China-ASEAN Investment Cooperation Fund, commercial loans and other means. At the same time, we will, in the light of ASEAN's needs, increase input into maritime and air connectivity and take steady steps to promote facilitation and standardization of related areas in a bid to create better conditions for the free flow of goods, capital and information, people-to-people exchanges, and economic and social development in this region. Time will tell that the decision to set up the China-ASEAN FTA is one of strategic vision and will bring greater benefits to the businesses and people of both sides.

China will actively promote cultural and people-to-people exchanges with ASEAN countries. People play an essential role in enhancing state-to-state relations and interactions between people are instrumental to strong friendship. This year is the Year of China-ASEAN Friendship and Exchange. Over 40 large events have been planned for the year and are being implemented, covering culture, education, tourism, journalism, youth and other areas. Among them, the "Experience China" event has been launched in Indonesia. ASEAN will feature prominently in the Asian Culture Festival to be held in China. The two sides have drawn up the plan to increase the numbers of Chinese students in ASEAN countries and ASEAN students in China to 100,000 respectively by 2020. The spectacular natural beauty and the rich folk culture of China and Southeast Asia are our unique assets for promoting mutual understanding and friendship between our people. At the China-ASEAN Summit last year, a target was announced to have 15 million mutual visits between the two sides by 2015. We need to further tap the potential of cooperation in education and tourism, and encourage more two-way flow of students and tourists so that our traditional friendship will win greater popular support and be passed on from generation to generation.

China will continue to assist the less developed countries in ASEAN with no conditions attached. Due to historical reasons, some ASEAN members have yet to get rid of poverty. China will, as always, support their development endeavor and do what it can to help them. China's support and assistance are sincere and selfless with no strings attached. As an old Chinese saying goes, "It is better to teach one how to fish than simply give him a fish." China has learned from its own development that to shake off poverty and backwardness once and for all, a country must rely on well-trained professionals and science and technology. The Chinese government will increase input in capacity-building and human resources training to help the less developed ASEAN members gain faster progress towards their development goals.


(4)

China stands ready to work with ASEAN to maintain regional security and stability. History tells us that peace is a blessing while chaos a scourge. There is no denying that there are some disputes over territorial sovereignty and maritime rights and interests in this region. We need to adhere to the principle of good-neighborliness and equal consultation, and work tirelessly for proper solutions to these issues through bilateral channels. China disapproves of any attempt to play up or create tensions and make the issues bigger and more complicated. We are firmly against the use or threat of force. Over the years, China and ASEAN members have made important contributions to maintaining the security of and unfettered access to the international shipping lanes. These contributions have been widely recognized. China will continue to honor its due responsibilities and obligations. China wants to work more closely with ASEAN to tackle such non-traditional security threats as terrorism, transnational crimes, natural disasters and communicable diseases, and foster a peaceful and harmonious social environment.

China supports efforts to steadily push forward East Asian cooperation and maintain its openness. Openness and transparency are the source of vitality of regional cooperation. East Asian cooperation has always been open and non-exclusive since its very beginning. In recent years, the East Asian region, including ASEAN, has become the most dynamic and fastest-growing region, with rising status and influence on the world economic stage. To involve countries and regions outside the region in East Asian cooperation is a natural choice that conforms to the trend of economic globalization. China welcomes all the proposals that are conducive to regional stability and development, and supports the participation of the United States, Russia, the European Union and other countries and organizations in the East Asian cooperation process. It is important to note that the independence and diversity of East Asia must be respected. And in advancing East Asian cooperation, we should follow a step-by-step approach. We should start with the easier tasks before moving on to the more difficult ones. The priority now is to bring into full play the role of the existing cooperation frameworks, including 10+1, 10+3, and China, Japan and the Republic of Korea, and at the same time explore other cooperation models consistent with the characteristics of the region.

Ladies and Gentlemen,

Over the past 60 years since the founding of New China, particularly since reform and opening-up, China's economy has grown fast, the Chinese people's livelihood has improved significantly, and China's international standing has risen steadily. Yet China remains a developing country. There is no change of this basic feature about China. Nor is there any change in China's commitment to an independent foreign policy of peace, and to good-neighborliness and cooperation with ASEAN countries.

How do we Chinese see ourselves? And how do we view our relations with the world? I want to say we are both confident and clear-headed. We are confident about the development path we have chosen and about our future. We are clear-headed because we know full well the difficulties and risks we face. True, China's economic aggregates are growing year by year, yet when divided by 1.3 billion, they only ranked around 100th in the world. Much remains to be done if China is to meet the goal of building a moderately prosperous society in all respects. We still have a long way to go before we can achieve modernization.


(5)

Lao Tzu, the Great ancient Chinese thinker, once observed in his well-known work, the Tao Te Ching, "He who knows others is intelligent; He who knows himself is wise." I am now in my ninth year as Chinese Premier. I am heartened by the development and progress of my motherland. Yet at the same time, I often find it difficult to eat or sleep with ease as I have to think long and hard about the ways to counter the various difficulties and challenges facing China. It is true that some regions and some people in China have become rich. But there are still those who have not come out of poverty and face pressing difficulties in education, medical care and social security. We have encountered all the difficulties that many other countries came across in their industrialization and urbanization process. We have even run into challenges that others never experienced. We cannot afford to slacken our efforts in the slightest if we are to live up the people's trust and expectations. We must be receptive to the good experience of other countries. More importantly, we must make bold experiment and exploration in keeping with China's national conditions. To advance national development and meet the needs of the 1.3 billion people represent hefty responsibilities on our shoulders and call for long and arduous efforts. China has no reason whatsoever to be complacent.

With a cultural heritage running several thousand years, the Chinese nation values peace and more than anything else. We keep good faith, build amicable ties, and treat others with respect. The ancient Silk Road was used to transport exquisite textiles, tea and porcelain to faraway countries. And Zheng He did not take a single inch of foreign land on his seven voyages to the Western seas. China cannot develop itself in isolation form the world. Nor can the world achieve prosperity without China. The Chinese people cherish their friendship and cooperation with other countries and peoples, and value even more deeply their hard-won independence. I believe this is a shared feeling among people in Southeast Asia and in China. China's development will not stand in the way of any country, nor will it ever pose a threat to any country. China is firmly committed to an independent foreign policy of peace and will always pursue peaceful development for generations to come. Ladies and Gentlemen,

As an Indonesian proverb reads, "jauh di mata, dekat di hati (Though living far, it is close to my heart)." The Chinese people cherish beautiful impression of indonesia. They are enchanted by its unique island landscape, diverse culture, and exotic atmosphere. Half a century ago, China, Indonesia and many other newly independent Asian countries came onto the international political stage, announcing the birth of an new Asia. Today, we are witnessing the all-round rise of Asia and a great rejuvenation of the Oriental Civilization. The dream of our forefathers for a thriving Asia is coming true in our time. And China and Indonesia are important force driving in this epoch-making change. Similar historical experiences brought us together, and a shared historical mission will link us even more closely. Let us join hands to strengthen our good-neighborly relationship, deepen comprehensive cooperation, create a bright future, and usher in an Asian century.

Terima Kasih. (Thank you.)


(6)

Lampiran III

Hasil Wawancara dengan Rendra Kurnia, Unit Mitigasi dan Pelestarian Fungsi

Atmosfer, Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta, 19 April 2011.

Penulis : Apa saja yang terjadi pada saat pelaksanaan konferensi perubahan iklim

ke-limabelas

(COP-15) di Copenhagen tahun 2009?

Rendra : Pada saat pelaksanaan konferensi perubahan iklim ke-lima belas

(COP-15) di Copenhagen tahun 2009 terjadi perdebatan antar negara anggota

terjadi perdebatan yang cukup alot dan saat itu juga terjadi jalan buntu

(

dead lock

).

Penulis : Mengapa bisa sampai terjadi jalan buntu (

dead lock

)?

Rendra : Jalan buntu (

dead lock

) terjadi karena antara

The Ad Hoc Working

Group on Long-term Cooperative Action under the Convention

(AWG-LCA) yang membahas konvensi yang merupakan komitmen pertama

dalam UNFCCC dengan

The Ad Hoc Working Group on Futher

Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol

(AWG-KP)

yang membahas Protokol Kyoto yang merupakan komitmen kedua pada

konvensi UNFCCC, keduanya mencapai kesepakatan. Kesepakatan

keduanya sangat dibutuhkan untuk membuat suatu komitmen baru bagi

negara-negara anggota UNFCCC.

Penulis : Setelah tidak tercapainya kesepakatan antara LCA dengan

AWG-KP, lalu apa yang terjadi?

Rendra : Setelah itu, Amerika Serikat mengadakan pertemuan dengan beberapa

perwakilan negara anggota UNFCCC untuk membentuk

Copenhagen

Accord.

Pertemuan tersebut dinamakan

green room.

Namun, pertemuan

tersebut hanya membahas kontribusi seluruh negara anggota UNFCCC

dalam meningkatkan energi efisien sebesar 30 persen, dan bukannya

mereduksi emisi.