T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor Pangadangu Mahamu dalam Upaya Adat Kematian di Desa Ramukabupaten Sumba Timur T1 BAB II

BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1. Kebudayaan
Koentjaraningrat (1979) mengartikan kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. E.B.Taylor mengartikan
kebudayaan sebagai keseluruhan kompleksitas yang didalamnya terkandung ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan
yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan Kroeber dan Kluckhon mendefiisikan kebudayaan merupakan pola,
baik eksplisit maupun implisit tentang dan untuk perilaku yang dipelajari dan
diwariskan melalui simbol-simbol yang merupakan prestasi khas manusia,
termasuk perwujudannya dalam benda-benda budaya (Sumarsono dan kusuma,
2007:4-6).
Dari beberapa definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai
kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga
dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan
perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,

religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Kluckhon membagi sistem
kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan universal atau disebut dengan
kultural universal. Menurut Koentjaraningrat, istilah universal menunjukkan
bahwa unsur-unsur kebudayaan bersifat universal dan dapat ditemukan di dalam
kebudayaan semua bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Ketujuh unsur
kebudayaan tersebut yaitu bahasa, sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem
organisasi sosial, Sistem mata pencaharian hidup, Sistem religi dan kesenian.
Unsur kebudayaan tersebut terdapat juga di Sumba Timur.

10

Adat istiadat merupakan bagian dari kebudayaan, adat istiadat adalah suatu
komplek norma-norma yang oleh individu-individu yang menganutnya di junjung
tinggi dalam kehidupan. Adat istiadat ini walaupun dianggap bersifat tetap namun
akan berubah dalam suatu jangka waktu yang lama. Bahkan dalam kehidupan,
manusia sering menghindari dan melanggar adat yang tidak cocok dengan
kebutuhan hidup pada masa tertentu, Hal ini disebabkan karena manusia selalu
bersifat dinamis. Menurut Koentjaraningrat adat sering menjadi undang-undang
kehidupan manusia zaman dulu. Selain itu ada bagian-bagian yang berubah

disebabkan karena keadaan masyarakat yang mengalami perkembangan.
Koentjaraningrat (2002) menjelaskan bahwa suatu adat mempunyai dasar bertata
tingkat, yaitu: 1) tingkat nilai budaya, 2) tingkat norma-norma, 3) tingkat hukum,
4) tingkat aturan khusus. Norma-norma dari golongan adat istiadat yang
mempunyai akibat yang panjang juga merupakan hukum, walaupun mores
(bersifat tetap) pada dasarnya sistem adat istiadat yang turun temurun sejak
dahulu hingga saat ini. Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang
terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan.
Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat antara lain: upacara penguburan,
upacara perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku.
Sumba Timur memiliki tradisi budaya yaitu upacara adat kematian yang
terus pertahankan dan dilakukan hingga saat ini. Adat kematian merupakan adat
yang paling besar di Sumba Timur karena berkaitan dengan kepercayaan asli
orang Sumba (Marapu). Kepercayaan marapu adalah kepercayaan terhadap
arwah-arwah leluhur nenek-moyang (arwah orang yang sudah meninggal). Untuk
itu dalam setiap kematian di Sumba Timur dilakukan acara kusus untuk
memperlakukan orang yang meninggal sebagai bentuk penghargaan. Menurut
pandangan orang Sumba tentang kematian, kematian adalah tahapan menuju alam
baka (parai Marapu). Relevan dengan penelitian ini bahwa adat kematian
merupakan fakta sosial yang menjadi reliatas dalam sistem yang menstruktur

(forum). Jadi adat kematian adalah salah satu arena budaya juga yang berimplikasi
pada area lainnya.

11

2.2 Kelembagaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:789) kelembagaan adalah
suatu sistem badan sosial atau organisasi yang melakukan suatu usaha untuk
mencapai tujuan tertentu. Aspek kata kelembagaan memiliki inti kajian kepada
prilaku dengan nilai, norma dan aturan yang mengikuti dibelakangnya. Menurut
Koentjaraningrat (1979) mengartikan pranata dan lembaga adalah sistem norma
atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus,
sedangkan lembaga atau institut adalah badan atau organisasi yang melaksanakan
aktivitas itu. Paul Horton dan Chester L.Hunt (1996) dalam Syahyuti (2009)
mendefinisikan lembaga sosial adalah sistem norma-norma sosial dan hubungan
yang menyatukan nilai-nilai dan prosedur-prosedur tertentu dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sedangkan Soerjono Soekanto (2007)
lembaga sosial adalah himpunan norma dari segala tingkatan yang berkisar pada
suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat. Peter L. Berger,
mendefenisikan lembaga sosial adalah suatu prosedur yang menyebabkan

perbuatan manusia ditekan oleh pola tertentu dan dipaksa bergerak melalui jalan
yang dianggap sesuai dengan keinginan masyaraka (Syahyuti, 2009).
Jadi pengertian kelembagaan adalah suatu sistem sosial yang melakukan
usaha untuk mencapai tujuan tertentu yang memfokuskan pada perilaku dengan
nilai, norma dan aturan yang mengikutinya, serta memiliki bentuk dan area
aktivitas tempat berlangsungnya. Secara sederhana, organisasi bisa diartikan
sebagai suatu alat atau wadah kerjasama untuk mencapai tujuan bersama dengan
pola tertentu yang perwujudannya memiliki kekayaan baik fisik maupun non fisik.
Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu sebagai salah satu lembaga atau
organisasi yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini di kategorikan sebagai
lembaga atau organisasi sosial formal karena organisasi ini bertujuan menjadi
wadah masyarakat yaitu untuk memberikan pemahaman tentang pengaruh budaya
terhadap kehidupan sosial ekonomi terutama dilihat dari realitas kemiskinan yang
terjadi di Sumba Timur. Dalam konsep Pierre Bourdieu forum adalah instrumen
sistem yang menstruktur dan struktur yang mensistemkan. Sehingga dengan itu
Forum terbentuk untuk merubah struktur dan sistem adat kematian menjadi

12

sederhana. Hal ini terjadi melalui kemampuan aktor dalam mereproduksi habitus

dan modal dalam ranah. Konsep kelembagaan atau organisasi ini digunakan untuk
membingkai Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu yang juga merupakan hasil
produk habitus dan modal yaitu forum terbentuk sebagai praksis penyederhanaan
adat kematian.

2.3. Tindakan Aktor Pierre Bourdieu
Menurut Pierre Bourdieu (dalam Adib, 2012) praktik secara social
merupakan hubungan relasional yakni struktur objektif dan representasi subjektif,
agen dan pelaku, terjalin secara dialektik. Praktik sosial bourdieu menunjuk pada
dua hal mendasar yakni; pertama , Bourdieu coba memperlakukan kehidupan
sosial sebagai suatu interaksi struktur, kecenderungan (disposisi) dan tindakan
yang saling mempengaruhi. Artinya praktik sosial tidak didikte secara langsung
oleh struktur dan orientasi-oientasi budaya, tetapi lebih merupakan hasil dari
proses improvisasi yang kemudian distrukturkan oleh orientasi budaya, sejarang
perorangan dan kemampuan untuk berperan didalam interaksi sosial. Ringkasnya
praktik sosial merupakan hasil interaksi dialektis antara struktur dan pelaku,
antara struktur dan objektif dan refresentasi subjektif (habitus). Kedua , Praktik
sosial berada dalam ruang dan waktu (Fashri, 2014).
Konsep Habitus berasal dari tradisi pemikiran filsafat, bukan merupakan
ciptaan murni Bourdieu. Dalam bahasa Latin, habitus bisa berarti kebiasaan

(habitual), penampilan diri (appearance), atau bisa pula merujuk pada tata
pembawaan yang terkait dengan kondisi tipikal tubuh. Selain itu, istilah habitus
juga menunjukan aspek perlengkapan bagi substansi tertentu, seperti yang di
temukan dalam pemikiran Aristoteles mengenai pembagian ada being (Takwin,
2006). Ritzer (2010) yang menguraikan konsep habitus Bourdieu, bahwa habitus
sebagai “akal sehat” (common sense) yang merefleksikan pembagian objektif
dalam struktur kelas seperti kelompk usia, jenis kelamin, dan kelas sosial. Dalam
hal ini, habitus bisa jadi merupakan fenomena kolektif, dia memungkinkan orang
memahami dunia sosial, namun keberadaan berbagai habitus berarti bahwa dunia
sosial dan strukturnya tidak menancapkan dirinya secara seragam pada setiap
aktor.

13

Bourdieu menambahkan bahwa praktek merupakan integrasi antara
habitus dikalikan modal dan ditambahkan ranah, yang dapat dirumuskan sebagai
berikut: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Secara dialektis, Habitus adalah
“produk dari internalisasi struktur” dunia sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat
dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang.
Menurut Bourdieu, habitus adalah struktur mental atau kognitif yang

dengannya orang berhubungan dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan
serangkaian skema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsi,
memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Melalui skema ini,
orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi dan mengevaluasinya (Ritzer
dan Goodman, 2010; 581).
Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak
harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan
yang kelihatan alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu
(Bourdieu, 1994: dalam Haryatmoko, 2003). Habitus digunakan sebagai kerangka
untuk memahami dan menilai realitas sekaligus penghasil praktek kehidupan yang
sesuai dengan struktur-struktur objektif. Jadi habitus menjadi sumber penggerak
tindakan, pemikiran dan representasi.
Menurut Bourdieu (1980; dalam Haryatmoko, 2003) habitus merupakan
sistem-sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur
yang dibentuk, yang kemudian berfungsi sebagai struktur-struktur yang
membentuk adalah merupakan hasil dari suatu habitus. Dalam proses perolehan
keterampilan itu struktur-struktur yang dibentuk berubah menjadi struktur-strukur
yang membentuk. Di satu sisi, habitus berperan sebagai sebuah struktur yang
membentuk kehidupan sosial. Sedangkan di sisi lain, habitus dipandang sebagai
struktur yang dibentuk oleh kehidupan sosial. Dari skema yang telah dibatinkan,

seorang aktor menggunakannya untuk memperoleh keterampilan tertentu sebagai
tindakan praktis yang diwujudkan menjadi suatu kemampuan yang dianggap
alamiah dan berkembang dalam ranah sosial tertentu (Bourdieu, 1994: dalam
Fauzi, 2014). Senada dengan penelitian ini bahwa kehadiran aktor (forum) untuk
merubah struktur adat kematian yaitu struktur yang dibentuk kemudian struktur

14

yang membentuk. Artinya bahwa aktor dapat menstrukturkan kembali sistem adat
kematian melalui habitus yang dimiliki dengan kemampuan mereproduksi
kembali habitusnya.
Habitus

sebagai

sistem

disposisi

juga


meliputi

kecenderungan-

kecenderungan ajeg yang berlangsung lama, dan dapat diterapkan di berbagai
ranah berbeda. Meski ajeg, habitus bersifat lentur dan dapat diubah atau fleksibel.
Artinya habitus memberikan ruang adaptasi bagi individu terkait dengan posisinya
dalam ranah sosial. Dari sini kita bisa melihat bahwa kadangkala seseorang dapat
mengubah habitus-nya sesuai dengan ranah yang dihadapinya (Fashri, 2014).
Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial
dalam waktu yang panjang. Habitus tidak tetap atau permanen dan dapat berubah
di bawah situasi yang tak terduga atau selama periode sejarah panjang. Kebiasaan
individu tertentu diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi
tertentu dalam sejarah dunia sosial dimana kebiasaan itu terjadi. Pengalaman
hidup individu yang didapat dari hasil sejarah tersebut, kemudian terinternalisasi
dalam dirinya, untuk kemudian mereka gunakan untuk merasakan, memahami,
menyadari dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah individu
memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya (habitus mengendalikan
pikiran dan pilihan tindakan individu) (Ritzer dan Goodman, 2010:581).

Habitus terletak dalam fakta bahwa suatu kecenderungan membawa pola
pembawaan tertentu yang secara tidak sadar menjadi sebuah kebiasaan. Habitus
mendasari terjadinya kehendak merespons, merasa, berpikir, bertindak dan
bersosialisasi dengan individu lain, lingkungan di luar diri maupun pelbagi
perlengkapan yang menyertai diri. Habitus membimbing aktor untuk memahami,
menilai, mengapresiasi tindakan mereka berdasarkan skema atau pola yang
dipancarkan dunia sosial. Pernyataan ini senada dengan apa yang dikatakan
Bourdieu (1992) tentang habitus, “ schemata of perception, apreciation, and
action that result from the institute of the social body (or in biological

individuals).” (Fashri, 2014)
Menurut Bordieu, habitus semata-mata mengusulkan apa yang sebaiknya
dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk di lakukan. Dalam

15

menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan
kesadaran. Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai dasar
oleh aktor dalam membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan
dalam kehidupan sosial, aktor bertindak menurut cara yang masuk akal

(reasonable). Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, ada logikanya untuk

apa aktor bertindak, inilah yang disebut dengan logika tindakan Bourdieu
(Bourdieu, 1990:92). Senada dengan penelitian ini bahwa aktor dalam forum juga
merupakan produk sejarah, produk dari struktur sosial (adat kematian) yang
terbatinkan yaitu melalui pengalaman itu memberi ruang bagi reproduksi habitus
baru.

Reproduksi

habitus

tersebut

adalah

membentuk

forum

untuk

penyederhanaan adat kematian.
Konsep habitus tidak dapat dipisahkan dari ranah perjuangan (champ).
Dua konsep ini sangat dasariah karena saling mengandaikan hubungan dua arah.
Habitus memiliki keterkaitan erat dengan posisi sosial tertentu dalam sebuah
ranah. Ranah atau lingkungan adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai
jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan dimanfaatkan
(Ritzer dan Goodman, 2010: 583). Hal ini menunjukan bahwa realitas masyarakat
yang terdiferensiasi itu, lingkup hubungan-hubungan objektif mempunyai
kekhasan yang tidak bisa begitu saja tereduksi pada hubungan yang mengatur
bidang lain. Ranah adalah jaringan relasi antarposisi objektif di dalamnya.
Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak individu. Ranah
merupakan: (1) arena kekuatan sebagai upaya perjuangan untuk memperebutkan
sumber daya atau modal dan juga untuk memperoleh akses tertentu yang dekat
dengan hirarki kekuasaan; (2) semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa
disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat
yang terbentuk secara spontan (Fashri, 2014).
Konsep ranah sendiri tidak bisa dilepaskan

dari ruang sosial (social

space) yang mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial. Konsep ini

memandang realitas sosial sebagai suatu topologi (ruang). Artinya, pemahaman
ruang sosial mencakup banyak ranah yang didalamnya yang memiliki keterkaitan
satu sama lain dan terdapat titik-titik kontak yang saling berhubungan (Fashri,

16

2014:106). Ranah juga merupakan domain perjuangan demi memperebutkan
posisi-posisi di dalamnya. “...fields is a field of forces, but it also a field of
struggles tending to transform or conserve this field of forces” Bourdieu (1993)
(dalam Fashri, 2014:107). Posisi-posisi tersebut ditentukan oleh alokasi modal
atas para pelaku yang mendiami suatu ranah. Ranah dalam penelitian ini adalah
adat kematian yang juga berimpilaksi pada arena lainnya.
Dalam hubungannya antara lingkungan dengan habitus, Bourdieu
menyebut relasionisme metodologis, yakni adanya hubungan saling timbal balik
antara lingkungan dengan habitus. Di satu pihak lingkungan mengkondisikan
habitus, di pihak lain habitus menyusun lingkungan, sebagai sesuatu yang
bermakna, yang mempunyai arti dan nilai. Keyakinan atau belief adalah sesuatu
yang di pegang oleh aktor yang memiliki nilai atau dianggap bernilai.
Keyakinanlah yang menggerakkan dan memaksa tubuh untuk mewujudkan
keyakinan itu. Sehingga peran dari keyakinan adalah sebagai dasar untuk
melakukan tindakan atau praktek dalam suatu ranah (Bourdieu, 1990: 67).
Menurut Bourdieu (dalam Adib 2012), dalam ranah social akan selalu
terdapat, mereka yang memiliki modal dan habitus yang banyak akan lebih
mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur di
bandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal. Istilah modal digunakan
Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
Istilah modal memuat beberapa ciri penting, yaitu: 1) modal terakumulasi melalui
inventasi; 2) modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan; 3) modal
dapat memberikan keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh
pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya (Bourdieu, 1998; dalam
Haryatmoko, 2003). Modal dalam penjelasan Bourdieu terdiri dari, modal
ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal simbolik.
Modal ekonomi mencakup kepemilikan alat-alat produksi (seperti mesin,
tanah, dan buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang yang dengan
mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke
genarasi berikutnya. Modal budaya mencakup keseluruhan kualifikasi intelektual
yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Modal

17

budaya antara lain kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan
benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil
pendidikan, juga sertifikat (gelar keserjanaan). Modal sosial menjukkan pada
jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam
hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Sedangkan modal simbolik
ini berupa akumulasi prestasi, penghargaan, harga diri, jabatan, status,
kehormatan, wibawa, reputasi, termasuk gelar akademis (Fashri, 2014:109).
Sedangkan

menurut

Bourdieu

(dalam

Haryatmoko,

2003),

keseluruhan

kepemilikan modal tersebut, dapat membentuk sebuah struktur tindakan sosial
(termasuk praktek keseharian) maupun lingkup sosial individu dalam masyarakat.
Dengan demikian, modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut
memiliki daya-daya yang memberikan arti. Hubungan habitus, ranah dan modal
bertaut secara langsung dan bertujuan menerangkan praktek sosial. Karakteristik
modal dihubungkan dengan skema habitus sebagai pedoman tindakan dan
klasifikasi dan ranah selaku tempat beroperasinya modal. Sedangkan ranah
senantiasa dikitari oleh relasi kekuasaan objektif berdasarkan pada jenis-jenis
modal yang digabungkan dengan habitus. Secara sederhana praktek sosial
Bourdieu berarti (Habitus x Modal) + Ranah = Praktek.

2.4. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang “Peran aktor Pangadangu Mahamu dalam upaya
penyederhanaan adat kematian di Desa Ramuk, Kabupaten Sumba Timur” ini
terinspirasi dari beberapa penelitian terdahulu. Akan tetapi, dari berbagai
penelitian tersebut, belum ada yang meneliti tentang peran aktor Pangadangu
Mahamu dalam upaya penyederhanaan adat kematian di Desa Ramuk, Kabupaten
Sumba Timur seperti yang penulis fokuskan dalam penelitian ini. Berikut
beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Penelitian ini antara lain.

18

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No.
1.

2.

Penelitian
Hasil Penelitian
Rambadeta Victor. 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
Gerakan hidup hemat (studi 1. Pola hidup masyarakat Sumba Barat adalah
kasus di desa kalimbukuni
berorientasi pada masa lampau yang
kecamatan kota waikabubak,
berlebihan dan hidup boros. Hal ini dapat
Kabupaten Sumba Barat Nusa
dilihat melalui kegiatan pesta adat yang
Tenggara Timur )
mengakibatkan pengeluaran dana yang begitu
besar tanpa mempertimbangkan kemampuan
ekonomi sehingga pemerintah daerah Sumba
Barat menempuh suatu kebijakan alternatif
sebagai suatu terobosan yang berorientasi
pada
pembangunan
ekonomi
dengan
pendekatan sosial budaya.
2. Program Gerakan Hidup Hemat yang
dilakukan oleh Pemda Sumba Barat untuk
membina rakyat Sumba Barat demi
mensejahterakan masyarakat, mempunyai
nilai interpretasi yang baik. Beberapa
masyarakat cukup antusias menerima
program Gerakan Hidup Hemat. Selain itu
Masih terdapat sebagian masyarakat yang
tetap berpendirian teguh melaksanakan ritualritual adat yang mengeluarkan biaya tinggi
tanpa memperhitungkan kemampuan diri.
Trijuliani Renda, 2012. Studi Hasil Penelitian yang di temukan :
Kasus Tentang Perubahan 1. Sistem sosial di Sumba Timur kurang
Sosial di Sumba Timur
berfungsi lagi karena kaburnya hubungan
Terhadap Persyaratan Gelar
antar unsur “individu dan tindakan” mereka
Kebangsawan.
yang awalnya adanya ketergantungan antara
ikatan masyarakat dengan paraingu dan
hilangnya loyalitas terhadap bangsawan.
2. Adanya perbedaan fungsionalis bangsawan,
kalau dahulu hanya mereka yang memiliki
hak prerogative dalam segala aspek
kehidupan, social, ekonomi politik sekarang
itu tidak lagi. Selain itu sistem pemerintahan
yang baru memberikan peluang bagi semua
individu untuk mencapai perubahan. Namun
sistem yang baru ini menjadi tantangan bagi
bangsawan bagaimana mempertahankan
eksistensinya yang sudah dilakukan oleh
leluhurnya.
3. Sumber perubahan sosial masyarakat Sumba

19

3

Marumata, M. N. 2013. Gereja
Dan Perubahan Sosial (Peran
GKS
Tanalingu
dalam
Memperjuangkan Hak Kaum
Ata/Hamba)

Timur, terdiri dari dua sumber perubahan.
pertama, bersumber dari dalam yakni adanya
kesadaran individu atas kebutuhannya dan
bagaimana memenuhi kebutuhannya. kedua,
bersumber dari luar yaitu pengaruh
modernisasi dimana munculnya teknologi,
IPTEK, sara-prasarana dari pemerintah dan
sebagainya yang memancing kesadaran
individu dalam komunitas.
Hasil penelitian ditemukan :
1. Masyarakat Sumba terbagi dalam tiga (3)
kelas sosial, yaitu Maramba (bangsawan),
Kabihu (orang merdeka) dan Ata (hamba).
Pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas
sosial ini dikenal dengan stratifikasi sosial
yaitu sistem perbudakan. Dengan demikian,
masyarakat dari kaum Ata (hamba)
kehilangan otonomi atas diri mereka sendiri
karena di dominasi dan menjadikan mereka
sebagai manusia pekerja untuk sang tuan
(Maramba).
2. Dalam kurun waktu + 7 tahun masyarakat
desa Haikatapu mengalami perubahan baik
pola pikir masyarakat maupun tindakan.
Perubahan yang terjadi pada masyarakat desa
Haikatapu, terjadi dengan campur tangan
GKS Tanalingu, selaku lembaga agama dan
lembaga sosial dalam masyarakat yang
bertanggung jawab untuk menciptakan
masyarakat dan jemaat yang sejahtera secara
jasmani dan rohani. GKS Tanalingu berupaya
untuk mentransformasikan pola pikir dan
tindakan dalam hubungan kaum Maramba
(bangsawan) dan kaum Ata (hamba).
3. Kehidupan yang bergesekan dengan jaman
membuat kaum Maramba (bangsawan)
bertransformasi dalam pola pikir dan tindakan
terhadap kaum ata (hamba) dalam rangka
survival. Transformasi pola pikir dan
tindakan yang terjadi di desa Haikatapu
menyangkut kebebasan kaum Ata (hamba)
untuk mendapatkan pendidikkan yang layak
dapat dilihat dalam kerangka survival.

20

2.5. Kerangka Pikir
Bagan 2.1.
Kerangka Pikir Penelitian
Arena

Upacara Adat
Kematian

Habitus

Dulu

Tindakan aktor

Peran Aktor

Habitus

Sekarang

Kesepakatan
Penyederhanaan
Adat Kematian

Keterangan:
Adat kematian sebagai habitus merupakan struktur mental yang dengannya
orang dapat berhubungan dengan dunia sosial. Hal ini dikarenakan aktor yang
berperan telah memiliki serangkaian skema atau pola berpikir yang telah
diinternalisasikan untuk memahami, menyadari dan menilai dunia sosial yaitu
dengan mereproduksi habitus adat kematian. Adat kematian telah membekali
aktor atau masyarakat di Desa Ramuk, Kabupaten Sumba Timur dengan habitus
yaitu dimana adat kematian merupakan produk sejarah (habitus). Sementara

21

tindakan aktor dipengaruhi oleh kesadaran habitus dengan menggunakan modal.
Sehingga dengan itu mendorong aktor untuk berperan dalam merubah struktur
adat kematian menjadi sederhana.
Alur kerangka pikir di atas menunjukkan Peran aktor Pangadangu
Mahamu dalam upaya penyederhanaan adat kematian di Desa Ramuk, Kabupaten
Sumba Timur. Berangkat dari persoalan ekonomi dan kemiskinan sehingga
mendapat perhatian dari beberapa pihak yaitu aktor-aktor yang peduli terhadap
masalah kemiskinan di Sumba Timur salah satunya adalah Forum Peduli Adat
Pangadangu Mahamu dan Lembaga Wahana Visi Indonesia (WVI). Forum
tersebut memiliki rasa kepedulian dan keprihatinan terhadap perilaku masyarakat
dalam menlaksanakan upacara adat kemtian, oleh karena itu terbentuk forum yang
bertujuan memberdayakan masyarakat agar adat kematian dilakukan secara
sederhana. Forum ini berperan untuk memecahkan persoalan kemiskinan karena
adat kematian melalui penyadaran masyarakat. Tindakan yang dilakukan aktor ini
adalah memberdayakan masyarakat melalui sosialisasi penyederhanaan adat
kematian dan deklarasi penyederhanaan adat kematian.
Bersumber pada konsep Bourdieu tentang tindakan atau praktek maka
eksistensi aktor dalam perannya (tindakan) menjadikan arena (field) bertentangan
dengan perjuangan penyederhanaan adat kematian. Pada titik inilah peran aktor
menjadi sangat signifikan guna memecah masalah kemiskinan karena adat
kematian. Peran aktor dalam forum penyederhanaan adat ini juga ditempatkan
dalam relasi timbal balik dengan arena (field) perjuangannya. Pada prinsipnya
aktor-aktor dalam forum ini menempatkan strateginya dengan berbagai sumber
daya yang dimilikinya.

22