T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggungjawab Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pembakaran Hutan T1 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG MASALAH
Sumber daya alam dapat dibedakan atas sumber daya alam hayati dan

nonhayati. Sumber daya alam memberikan banyak manfaat kepada manusia.1 Salah
satu sumber daya alam itu adalah hutan. Hakekatnya hutan adalah penghasil oksigen
terbaik di dunia. Hal ini sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan
makhluk hidup lainnya yang berada di bumi ini. Indonesia merupakan negara yang
juga memiliki peran penting sebagai paru-paru dunia. Setelah negara Brazil dan Zaire,
hutan tropis di Indonesia merupakan yang terbesar ke tiga di dunia. Kata hutan dalam
bahasa inggris disebut forest, sementara untuk hutan rimba disebut jungle. Pada
umumnya, persepsi umum tentang hutan adalah penuh pohon-pohonan yang tumbuh
tak beraturan.2 Pengertian hutan menurut Black Law Dictionary adalah suatu daerah
tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan tempat hidup segala binatang. 3 Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,
hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya


1

Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan , PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013. hal. 163.
Leden Marpaung, Tindak Pidana terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, Penerbit Erlangga, Jakarta,
1995, hal. 11.
3
Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan: Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di Bidang
Kehutanan, Laksbang Grafika, Jogjakarta, 2012, hal. 9.
2

1

alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.4
Pada masa ini penurunan peranan dan fungsi hutan sangat mengkhawatirkan,
khususnya hutan di Indonesia. Benar bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 33 menyebutkan “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”, tetapi kenyataannya pemanfaatan sumber daya
yang berlebihan tanpa adanya upaya pengendalian dan pembaharuan kembali tentu

sangat merugikan kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Terdapat
banyak sekali sumber daya yang terkandung dalam hutan di Indonesia, dan warga
masyarakat yang berada di dalam maupun sekitarnya sangat bergantung pada hutan di
wilayahnya tersebut.
Pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan khususnya hutan di Indonesia
tentunya menjadi permasalahan yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia.
Wilayah yang masih banyak sekali hutan di Indonesia seperti Riau, Sumatera Selatan,
dan Kalimantan merupakan sasaran potensi pemanfaatan lahan hutan secara
berlebihan bagi para korporasi dan warga masyarakat dalam bidang perkebunan dan
perindustrian. Hutan-hutan sengaja dibakar untuk membuka lahan perkebunan.
Hutan-hutan yang sudah dibakar ini nantinya akan ditanami tanaman seperti sawit
ataupun karet yang memiliki nilai jual tinggi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh
kebakaran hutan mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati,
4

Pasal 1 Ketentuan Umum Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan.

2


merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro
maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu
transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara.5
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, 99 persen penyebab kebakaran hutan
dan lahan merupakan faktor yang disengaja. Citra satelit yang diambil NASA
membuktikan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatera sekarang
merupakan kesengajaan karena areal hutan yang dilalap api memiliki pola. Motifnya
jelas! Membakar hutan dan lahan dinilai sebagai cara paling mudah, murah dan cepat
untuk membersihkan lahan (land clearing) meski dampak kerusakannya sangat
dahsyat dan tak terperikan.6
Data Kementerian LHK dan Polri menyebutkan, ada ratusan kasus kebakaran
hutan dan lahan yang terjadi di area konsesi perusahaan di Sumatera dan Kalimantan
yang kini sedang mereka tangani. Di Riau terdapat 37 kasus, Sumatera Selatan 16
kasus, Kalimantan Barat 11 kasus, dan Kalimantan Tengah 121 kasus.7
Sepanjang tahun 2015 tingkat kebakaran hutan di Riau, Sumatera Selatan dan
Kalimantan sangat luas, hingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional yang
turut terhambat karena menurunnya nilai produksi dan distribusi dari daerah yang
terkena dampak kebakaran hutan dan juga gangguan asap yang telah melintasi batas
negara. Oleh karenanya penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) meningkat.
Kebakaran hutan ini juga telah memberikan kerugian untuk Indonesia senilai USD

Ai Nurhayati dkk, “Kebakaran Hutan Indonesia dan Upaya penanggulangannya ”, 2007,
http://www.mentarikalahari.wordpross.com, dikunjungi pada tanggal 25 Januari 2016 pukul 18.00.
5

6

http://nasional.kompas.com/read/2015/10/03/16191531/Kebakaran.Hutan.dan.Kejahatan.Korporasi?pa
ge=all
7
ibid

3

16,1 miliar atau Rp 226,37 triliun (kurs Rp 14.060 per USD). Jumlah ini setara
dengan 1,9 persen dari total PDB Indonesia. Bahkan, dampak kerugian kebakaran
hutan tahun ini sama dengan dua kali biaya rekonstruksi Aceh setelah tsunami 2004.8
Tindakan pembakaran hutan untuk membuka sebuah lahan sebagai lahan
perkebunan jelas dilarang dan jika terjadi kebakaran dalam wilayah hutan industri
yang dikelola suatu korporasi, sudah merupakan kewajiban adanya tindakan
pencegahan dan pengendalian kebakaran dilahannya serta selalu memadamkan

kebakaran yang terjadi. Hal ini tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup
Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Menurut Leden Marpaung
tindakan pembakaran hutan ini merupakan salah satu jenis tindak pidana kejahatan.9
Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm),
yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal
liability. 10 Terhadap subjek tindak pidana dalam buku kedua dan ketiga KUHP

biasanya dimulai dengan kata barangsiapa, yang merujuk pada manusia yang
melakukan atau berbuat suatu tindak pidana. 11 Secara umum, sebagaimana yang
tercantum dalam KUHP (Pasal 59 KUHP), subjek tindak pidana korporasi belum
dikenal, dan yang diakui sebagai subjek tindak pidana secara umum adalah “orang”.12

Okezone.com. “World Bank: RI Rugi Rp226 Triliun akibat Kebakaran Hutan”. 15 Desember 2015
pukul 11:32:26, http://spiritriau.com/. dikunjungi pada tanggal 2 februari 2016 pukul 09.00.
9
Leden Marpaung, Op. Cit. Hal. 30.
10
Hyman Gross, A Theory of Criminal Justice, Oxford University Press, New York, 1979, hal.114.
11

Prof. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana -Edisi Revisi-, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. hal.
54.
12
Muliadi, Dwidja, Pertanggungjawaban Pidana Korpora si, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2010. hal. 14.

8

4

Korporasi atau Corporation (bahasa Inggris) atau Corporatie (bahasa Belanda)
bukanlah orang / manusia pribadi, meskipun dalam kenyataannya

ia dapat

mengadakan aktifitas sebagai seorang pribadi, seperti membuat transaksi dalam
bidang perdagangan dan keuangan, membayar pajak dan sebagainya. Dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa Korporasi adalah suatu “persona ficta ” atau “legal fiction”
atau suatu fiksi hukum. 13 Sebagaimana kita ketahui, korporasi dapat digugat dan
dapat dihukum ganti rugi dalam KUH Perdata, yang berarti dalam perdata korporasi

diakui sebagai subjek hukumnya. Dalam bukunya Profesor Sutan Remy mengatakan,
di dalam KUHP Indonesia tidak terdapat suatu pasal pun yang menentukan pelaku
tindak pidana yang bukan manusia. Dengan kata lain, tidak terdapat satu pasal pun
dalam KUHP yang menentukan tindak pidana dapat dilakukan oleh suatu korporasi.14
Akan tetapi, dalam perkembangan hukum pidana termasuk hukum pidana di
Indonesia pada tahun 1951 diterima pendirian bahwa korporasi dapat dijadikan
sebagai subjek hukum pidana. Hal itu terlihat juga dalam Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang
Perindustrian, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Pornografi, dan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Korporasi benar-benar eksis dan menduduki posisi yang penting di dalam
masyarakat kita dan berkemampuan untuk menimbulkan kerugian bagi pihak lain
dalam masyarakat seperti halnya manusia. Dalam hal dikaitkan, pembakaran hutan

13

JE Sahetapy, Kejahatan Korporasi, PT Eresco, Bandung, 1994, hal.32.
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Grafiti Pers, Jakarta. 2006. hal. 3031.
14


5

untuk membuka lahan yang dilakukan oleh korporasi dapat dikatakan sebagai tindak
pidana dikarenakan secara jelas disebutkan melanggar Pasal 108 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
dan juga melanggar ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001
Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang
Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, serta Pasal 187 dan Pasal 188
KUHP.
Mengenai pertanggungjawaban terhadap korporasi dalam perkembangan
kaedah hukum pidana Indonesia, dapat dibebani dengan pertanggungjawaban
pidana 15 atau dapat dikatakan sebagai subjek hukum pidana. Memperlakukan
korporasi

seperti

manusia

(natuurlijk


persoon)

16

dan

membebani

pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dibuat oleh korporasi, sejalan dengan
asas hukum bahwa siapa pun sama di hadapan hukum (principle of equality before
the law).

Prof. Mardjono Reksodiputro mengemukakan terdapat dua hal yang harus
diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi, yaitu: (a) Perbuatan
pengurus atau orang lain harus dikontruksikan sebagai perbuatan korporasi; (b)
Kesalahan pada korporasi. 17 Berdasarkan “Doctrine of Identification” atau “teori
identifikasi”, maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi dapat

15


Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
16
M. Haryanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Individualisasi Pidana , Refleksi Ilmu
Hukum. Edisi Oktober 2012. FH-UKSW. 2012. hal. 191.
17
Mardjono Reksodiputro. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana , Pusat
Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum UI. Jakarta. 1997. hal. 106.

6

diidentifikasikan/ dipersamakan dengan perbuatan korporasi itu sendiri setelah dalam
lalu lintas hukum dapat dibuktikannya. Dengan demikian perbuatan pengurus/
anggota dan kesalahan apakah berupa dolus atau culpa juga dianggap sebagai
kesalahan dari suatu korporasi.18 Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak
pidana maka korporasi tidak dapat dilepasakan dari persoalan pertanggungjawaban
pidana. A.Z Abidin 19 menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas
sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi
hukum, untuk tujuan tertentu.
Seperti halnya dalam kasus PT Kallista Alam yang merupakan sebuah

perusahaan dalam bidang perkebunan kelapa sawit. PT Kallista Alam yang digugat
secara pidana oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) karena telah melakukan
pembakaran untuk membuka lahan perkebunan sawit. PT Kallista Alam membakar
sekitar seribu hektar hutan yang berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)
pada pertengahan 2012 lalu. Atas ulah tersebut, Kementerian Kehutanan dan
Lingkungan Hidup (KLH) menggugat PT Kallista Alam ke pengadilan.
Kemudian pada 2014, Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh dalam putusan nomor
131/Pid.B/2013/PN.MBO. memutus PT Kallista Alam yang diwakili oleh Subianto
Rusid selaku Direktur sebagai terdakwa menyatakan perbuatan terdakwa secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan dipidana denda sebesar Rp 3
miliar.20

18

Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit. hal. 33.
Abidin, A.Z. Bunga Rampai Hukum Pidana , Pradnya Paramita, Jakarta. 1983.
20
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO.
Pengadilan Meulaboh.
19

7

Pertimbangan hakim dalam hal ini, “setiap orang” mengandung arti yakni
adalah orang atau badan hukum selaku subyek hukum yang mempunyai hak dan
kewajiban

yang

dapat

melakukan

perbuatan

hukum

dan

dapat

pula

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan dalam Undang-Undang Nomor 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dipergunakan
Terminologi baru yaitu “setiap orang”, yang didalam ketentuan umum dinyatakan
bahwa setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi, sehingga
dengan demikian sudah barang tentu harus ada orang/manusia sebagai subjek hukum
yang didakwa melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
undang-undang.21
Selanjutnya bahwa lebih lanjut dalam undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pasal 2 mengenai asas
diatur adanya asas kehati-hatian, sehingga dengan demikian dengan tidak hati-hatinya
pengelolaan perkebunan PT Kallista Alam karyawan dan staf terdakwa tidak mampu
memadamkan api, haruslah dinyatakan pembukaan lahan telah dilakukan dengan cara
membakar. Dan pada saat kebakaran tersebut terjadi, wajib adanya tindakan
pencegahan dan pengendalian kebakaran dilahannya serta selalu memadamkan
kebakaran yang terjadi. Hal ini tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup
Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.

21

Ibid.

8

Bahwa oleh karena Terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya,
dan Majelis Hakim tidak menemukan adanya alasan pembenar ataupun pemaaf yang
dapat menghapus kesalahan dan perbuatan yang telah dilakukannya, maka Terdakwa
harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman yang setimpal dengan kesalahannya.
Pertanggungjawaban pidana yang diberikan oleh hakim berupa denda sesuai dengan
pasal yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Tidak adanya pengaturan hukum yang jelas mengenai kedudukan dan
pertanggungjawaban

korporasi

dalam

hukum

pidana

serta

hukum

acara

mengakibatkan timbulnya multitafsir dan pemikiran yang saling berbeda diantara
aparat penegak hukum. Hal ini mengakibatkan dalam proses penyidikan dan sampai
penuntutan jarang sekali memasukkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana,
bahkan tidak sedikit juga jaksa dalam dakwaannya tidak mencantumkan korporasi
sebagai pelaku tindak pidana dengan dalih pengurus korporasi sudah dipidana, sudah
membayar denda, dan uang pengganti, sehingga korporasi dibiarkan bebas karena
kasusnya dianggap selesai.
Berangkat dari uraian diatas, penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai
korporasi yang dapat dijadikan sebagai subjek hukum dalam tindak pidana, dan juga
bagaimana pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam hal
kejahatan pembakaran hutan. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk
membuat penelitian yang berjudul “TANGGUNGJAWAB PIDANA KORPORASI
DALAM TINDAK PIDANA PEMBAKARAN HUTAN”.

9

1.2

RUMUSAN MASALAH
Berpijak pada uraian di atas, rumusan masalah yang menjadi fokus dari

penelitian ini adalah: bagaimana korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana dalam tindak pidana pembakaran hutan?

1.3

TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan skripsi ini ialah untuk mengetahui bagaimana korporasi dapat

dimintai pertanggungjawaban pidana sebagai pelaku tindak pidana pembakaran hutan.

1.4

MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik dari segi teoritis,

maupun praktis.
1.

Segi Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memeberikan perspektif
yang utuh tentang tanggungjawab korporasi dalam tindak pidana
pembakaran hutan.

2.

Segi Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
positif sebagai bahan masukan kepada korporasi di Indonesia, agar
senantiasa mematuhi kaedah dalam peraturan perundang-undangan yang

10

mengatur tentang kehutanan dan lingkungan hidup, agar tercipta
kepastian

hukum,

keadilan,

dan

manfaat

dalam

melindungi

keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya yang berada
di bumi ini.

1.5

METODE PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode peniltian untuk

mendapatkan informasi yang tepat dari berbagai sumber mengenai permasalahan
yang hendak dijawab.
1.

Jenis penelitian
Mengingat penelitian ini berhubungan dengan peundang-undangan maka
jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif.

2.

Metode peniltian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum.
Fungsi penelitian dalam rangka mencari kebenaran koherensi adalah
merupakan sesuatu yang secara aksiologis merupakan nilai atau
ketetapan/aturan sebagai referensi untuk ditelaah.

3.

Pendekatan yang digunakan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan dengan
pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang hendak dicari jawabannya. Dalam penulisan ini
pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan konseptual.

11

Pendekatan dengan data hukum yang digunakan.
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
a.

Bahan hukum primair
Bahan-bahan hukum primair terdiri dari perundang-undangan,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, Perma Nomor 13 Tahun 2016 tentang
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, putusan
hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor
131/Pid.B/2013/PN.MBO.

b.

Bahan hukum sekunder
Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan
hukum sekunder yang dimaksud adalah buku-buku teks, jurnal
hukum, dan internet.

c.

Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan
hukum premier dan sekunder dengan memberikan pemahaman dan
pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang
digunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia
Online.

12