Menuju Pembelajaran yang Memerdekakan Te

Menuju Pembelajaran yang Memerdekakan:
Telaah Singkat Atas Kurikulum 2013 Bahasa dan Sastra
Indonesia1
Oleh
Rony K. Pratama2

1/
Pergantian Kurikulum dalam jagat pendidikan di Indonesia pada
tiap kabinet pemerintahan merupakan persoalan biasa. Anekdot yang
muncul di lingkungan masyarakat umum mengenai “ganti menteri ganti
Kurikulum” agaknya dapat bernilai benar. Di akhir masa kabinet Indonesia
Bersatu Jilid II oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono munculah garis
batas itu: seorang menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh,
mengeluarkan kebijakan baru nasib pendidikan Indonesia dengan
diberlakukannya Kurikulum 2013—penandanya, usailah KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan) yang diprakarsai oleh Bambang Sudibyo;
Mendiknas kabinet Indonesia Bersatu Jilid I. Hal itu tiada lain karena
Kurikulum mustahil tanpa kepentingan politis di baliknya.3
Kurikulum dimaknai oleh pendidikan Indonesia sebagai sebuah
perencanaan pembelajaran yang hendak diajarkan di sekolah.4 Terlebih,
dalam konteks pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, versi Kurikulum

2013 sebetulnya hadir dikarenakan adanya survei internasional ihwal

1

Disusun sebagai pemantik diskusi dalam acara Seminar Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pada Jumat 28 November 2014
2
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Yogyakarta 2011
3
Beyer, London E. dan Michel W. Apple. 1998. The Curriculum: Problems, Politics, and
Possibilities. New York: State University of New York.
4
Taba, Hilda 1962. Curriculum Develompent: Theory and Practice. New York: Harcourt Brace and
World.

rendahnya tingkat literasi pelajar Indonesia.5 Hasil penelitian oleh
International Education Achievement (IEA) ihwal budaya baca pelajar di
Indonesia menyebutkan penilaian minor siswa SD Indonesia di peringkat
38 dari 39 negara peserta. Pada level SMA, jumlah buku wajib dibaca siswa

SMA Indonesia 0 buku, sangat berbeda dengan Thailand (5 buku),
Singapura (6 buku), Brunei Darussalam (7 buku), Jepang (22 buku), Rusia
(12 buku), Prancis (30 buku), Belanda (30 buku), Amerika Serikat (32 buku).6
Dari persoalan di atas maka pembelajaran teks (tematik integratif)
pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Kurikulum 2013 dinilai dapat
menjawab tantangan keterpuruknya kualitas literasi bangsa. Namun
demikian, pembelajaran bersifat tematik integratif itu sebetulnya bukanlah
hal yang baru—terlebih pada aspek sastra. Pada Kurikulum terdahulu
(KTSP), dikenal Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang pada
hakikatnya pembelajaran sastra telah dikehendaki sebagai tematik
integratif: tidak terbatas pada konektivitas antara sastra dengan mata
pelajaran lain, yang biasa digambarkan secara variatif; jejaring, konetktif,
dan lainnya; bahkan dalam tataran relasional antara bahasa dan sastra
itupun harus terintergrasi.7

2/
Pergantian Kurikulum pun tak menjamin keberhasilan pembelajaran
di kelas. Adanya konsepsi “baru” dalam Kurikulum hanya sekadar ikhtiar
kolektif pemerintah untuk memerbaiki kualitas pendidikan Indonesia ke
arah lebih baik. Sejalan dengan itu, sebagus apapun Kurikulum itu bila

diinterpretasikan oleh pendidik (guru) menjadi pembelajaran di kelas yang

5

Mahsun (2013) dalam Buku Guru: Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan. Jakarta: Politeknik
Negeri Media Kreatif Jakarta.
6
Bacaan lebih lanjut dapat di a a: Duta Ba a Indonesia Andi F. Noya .
7
Sayuti, A. Suminto. 2013. Meruwat “astra dalam Kurikulum
(Makalah). Yogyakarta: UNY.

monoton dan “memenjara” kreativitas siswa, pun juga sama saja:
pembelajaran dinilai kurang berhasil. Dua komponen antara Kurikulum dan
pendidik haruslah diposisikan secara seimbang. Artinya, bila satu aspek
dari keduanya dibiarkan lepas (hilang?) tujuan pendidikan untuk
mencerdaskan manusia pun akan gagal.
Sejauh dari pengalaman penulis tatkala melakukan proses belajar
mengajar dalam kesempatan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)
beberapa bulan di sebuah sekolah menengah pertama negeri favorit ke3—versi RTO online 2014—di kota Yogyakarta dapat dijadikan refleksi.

Penulis berkesempatan untuk mengajar dienam kelas (VII) yang telah
menerapkan Kurikulum 2013. Dari catatan harian, siswa cenderung kurang
“puas” ketika diajarkan menggunakan pendekatan saintifik. Kata mereka,
materi yang diajarkan cenderung beruntut tapi tak komprehensif. Alhasil,
para siswa banyak yang mengeluh karena kurang menguasai materi di
kelas—meski penulis pun telah mengulang materi secara bertahap dan
memberikan tugas pendalaman di rumah. Sebaliknya, saat penulis
“mendekonstruksi” pembelajaran (tanpa) pendekatan saintifik, mereka
sangat merespons pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dengan positif.
Ilustrasi tersebut bukanlah kesimpulan absolut: pemebelajaran versi
Kurikulum 2013 tak menyenangkan atau dikatakan “gagal”. Selain itu,
penulis juga mendapati kelas yang menerima pembelajaran dengan
metode saintifik. Mereka menikmati pembelajaran dari penulis saat itu.
Inilah wujud keadaan lapangan saat penulis hadapi; segala kemungkinan
pastilah terjadi: Kurikulum 2013 bisa direspons positif atau negatif,
tergantung kreativitas guru.

3/
Kesadaran yang mesti dibangun di tengah perhelatan opini antara
pro dan kontra terkait Kurikulum 2013 adalah pendidik (guru) teruslah

berkreativitas dalam mengajar. Sebab, Kurikulum 2013 tak terlepas dari
interpretasi—proses penerjemahan—ke dalam strategi pembelajaran.
Ungkapan pendidikan purba yang tak jelas dari mana munculnya pernah
mengatakan “siswa kreatif tak jauh karena gurunya kreatif pula” dapat
dijadikan motivasi dasar dalam mengajar.
Apabila menyikapi lembaga survei apapun itu—yang beriktikad
menyeragamkan keberagaman siswa—dalam bentuk nilai “numerik”
perlulah disikapi secara bijaksana; namun tak seolah “kebakaran jenggot”
saat menghadapinya. Dalam filosofi pembelajaran tradisional, subjek didik
diarahkan untuk “sebebas-bebasnya” berkarya dan kuatlah karakter
manusianya sebagai manusia seutuhnya. Bukan sebaliknya, pembelajaran
cenderung “memenjarakan” subjek didik dalam berekspresi/berdialektika
(pinjam istilah Hegel). Terpenting, bagi penulis, siswa senang dan bangga
(menikmati) pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia—dengan atau
tidaknya keberadaan Kurikulum itu sendiri. Kreativitas tanpa batas!
Merdeka!

Yogyakarta, 27 November 2014