Etika Agama di Tengah Krisis Moral Bangs

Etika Agama di Tengah
Krisis Moral Bangsa
Alo is A. N u gro h o

1

Abs tract: Our nation m oral crisis is closely related to our incapability to
do w hat so-called “expanding the circle” in the m oral deliberation today .
The corruptors and black m erchants in som e w ay are the people w ho w ant
to “feed” their fam ily , and it m eans also the “extended fam ily ”. So, w e are
too naive if judge them as a group of egoistic people. Yet, w e can say that
they suffer a m oral “m y opia”. Their solitude horizon is very narrow . They
only think the goodness of their near surrounsings. Their horizon does not
reach the “nation area” or “national interest”, let alone “hum an being” and
“the future of people,” “ecological care.”
Kata Ku n ci: etika, kesadaran, kepedulian

Pe n d ah u lu an
Dalam acara tasyakuran peringatan Hari Am al Bhakti ke-63 Departemen
Agam a tahun 20 0 9 di Pekan Raya J akarta, 17 J anuari 20 0 9, Menteri Agama
Republik Indonesia m enyim pulkan adanya keyakinan publik bahwa di

Indonesia telah terjadi krisis m oral dan etika keagam aan. Menurut Menag,
m eski belum pernah dilakukan penelitian tentang kebenaran klaim tersebut,
tetapi secara “com m on sense”, opini itu telah terlanjur diyakini m asyarakat
sebagai suatu kebenaran.2
Bagi observasi rakyat biasa yang berpartisipasi dalam kehidupan biasa,
sebenarnya tidak sukar m engum pulkan berita-berita yang dapat mendukung
“com m on sense” itu. Bagi sem entara kalangan, video m esum mirip Ariel
dengan Luna Maya atau dengan Cut Tari m enjadi salah satu bukti bahwa
telah terjadi krisis m oral bangsa, karena kasus itu m enunjukkan bahwa
sebagian m asyarakat m enganggap perzinahan dan perselingkuhan sebagai
tindakan lumrah. Efek video itu pun lebih lanjut akan mem pengaruhi m oralitas pihak-pihak yang m asih m em pertahankan etika agam a serta anak-

                                                            
1

Guru Besar etika dan filsafat Unika Atma Jaya, Jakarta.
Http://www.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=3922, diunduh pada 3 Desember
2010 pk. 10. 15.
2


Volume I, No.1, Januari 2012  I  9 7  

anak yang belum m engenal budaya perselingkuhan.3 Kasus video “Bandung
Lautan Asm ara” tahun 20 0 1 terulang sem bilan tahun kem udian dan terasa
lebih heboh karena m elibatkan para selebritas yang sedang bersinar. Ditam bah dengan berita kawin cerai dan perilaku seksual para selebritas, term asuk
para “selebritas politik”, “selebritas intelektual” dan “selebritas agam a”,
publik menangkap bahwa kasus video porno hanyalah puncak dari gunung
es yang besar.
Meski dam pak sosialnya tidak kecil, nam un krisis m oral di atas sering dikategorikan sebagai krisis dalam kaitannya dengan “kesalehan pribadi”. Lebih
lanjut, banyak pula pihak yang lebih prihatin pada krisis m oral dalam kaitannya dengan “kesalehan publik”, sem isal yang m encuat dalam bentuk
korupsi, kesenjangan kaya m iskin dan mem udarnya toleransi.
Indonesia yang disebut-sebut sebagai salah satu bintang negara em erging
m arkets ternyata m erupakan negara terkorup dari 16 negara tujuan investasi
di Asia Pasifik. Dem ikian hasil survei bisnis yang dirilis Political & Econom ic
Risk Consultancy atau PERC. Dalam survei tahun 20 10 , Indonesia m enem pati peringkat pertam a sebagai negara terkorup dengan m encetak skor 9,0 7
dari nilai 10 . Posisi kedua ditem pati Kam boja, kem udian Vietnam, Filipina,
Thailand, India, China, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Makao, J epang,
Am erika Serikat, Hongkong, Australia, dan Singapura sebagai negara yang
paling bersih.4 Dalam peringkat angka m ulai dari 0 (negara terbersih) hingga 10 (negara terkorup), “perolehan” Indonesia m eningkat dari 7,98 pada
20 0 8 dan 8, 32 pada 20 0 9 m enjadi 9,0 7 pada 20 10 .

Kesahihan tem uan PERC m em ang dapat diperdebatkan. Nam un kasus
“Cicak vs Buaya” akhir tahun 20 0 9 yang m engalam i ram ifikasi dan overlapping menjadi “Kasus Makelar Kasus”, “Kasus Bank Century”, “Kasus
Mafia Peradilan”, “Kasus Rekening Gendut para Petinggi Polisi”, “Kasus
Gayus”, “Kasus Makelar Pajak”, “Kasus foto turnam en tennis”, bersam a
dengan “kasus Deputi Gubernur BI” dan kasus-kasus lain yang m enim pa
parlem en, birokrasi, aparat hukum dan para politisi, hanya m engukuhkan
hasil tem uan PERC. Badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatif kita telah
ternoda.
Dalam hal kesenjangan kaya m iskin, angka kem iskinan pada 20 10 m enurut
perhitungan Badan Pusat Statistik yang lazim nya lebih optim istis pun, tidak
banyak beranjak jauh dari angka kem iskinan pada 20 0 9. Angka Kem iskinan

                                                            
3

“Bangsa Ini Alami Krisis Moral”, Pos Kota, Juni 2010.

4.http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/03/08/21205485/PERC:.Indonesia.Nega

ra.Paling.Korup, diunduh pada 3 Desember 2010.


 

98 I

 

Konfrontasi 

di Indonesia pada Maret 20 10 m encapai 31,0 2 juta (13,33 persen), turun 1,51
juta dibandingkan dengan penduduk m iskin pada Maret 20 0 9 yang sebesar
32,53 juta (14,15 persen).5 Mereka yang tergolong m iskin m enurut BPS ialah
m ereka yang pengeluaran per kapita kurang dari Rp. 211.726,-- per bulan
atau Rp.7.0 0 0 ,-- per hari. Sem entara itu, kelom pok dengan penge-luaran 10 20 USD (Rp. 90 .0 0 0 ,-- - Rp. 180 .0 0 0 ,--) per kapita per hari naik dari 0 ,4
juta orang pada 20 0 9 m enjadi 2,23 juta orang pada 20 0 9.6
Sementara itu, kalangan lain menunjukkan m em udarnya m oralitas “bhineka
tunggal ika” sebagai salah satu bukti adanya krisis m oral itu. Pada Oktober
20 10 , Lingkaran Survei Indonesia m engum um kan hasil temuannya bahwa
tingkat toleransi atas keberagam an berdasarkan paham Bhinneka Tunggal
Ika m enurun drastis. Sebaliknya, pem benaran kekerasan dengan m engatasnam akan agam a m eningkat secara signifikan. Untuk m elihat sejauh m ana

toleransi tersebut, LSI mengajukan pertanyaan kunci tentang kekerasan
yang dialam i Ahm adiyah. Dari hasil survei per Septem ber 20 10 , sebanyak
30 ,2 persen responden menyetujui kekerasan terhadap Ahm adiyah. Hasil ini
jauh m eningkat dibandingkan hasil survei tahun 20 0 5 yang hanya 13,9
persen.7
Tidak m udah m enguraikan benang kusut dalam kehidupan berbangsa ini.
Biasanya, dikatakan bahwa harapannya terletak pada pendidikan. Namun,
pendidikan bukan hanya apa yang diajarkan m elalui kata-kata atau m elalui
tindakan-tindakan yang disengaja. Tindakan-tindakan yang tidak disengaja,
yang dijalankan sebagai kebiasaan, yang tidak direfleksi, juga m erupakan
“kurikulum pendidikan” yang tak disadari, m erupakan “kurikulum tersem bunyi”, m aksudnya tersembunyi dari kesadaran kita sendiri. Di sini kita akui
kelem ahan etika sebagai pem ikiran tentang norm a-norm a atau kewa-jibankewajiban, karena pem ikiran tentang norm a-norm a atau kewajibankewajiban itu pun didorong oleh gairah hidup yang m enggelegak sejak
dalam ketidaksadaran. Kita m ungkin punya façade yang kita sem bunyikan
dari sorot mata orang lain, apa pun alasannya. Nam un seandainya tidak
banyak facade pun, kita punya blindspot yang dilihat oleh sorot m ata orang
lain, nam un tak kita sadari. Dan kita punya sisi yang disebut ketaksadaran.8

                                                            
http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan-01jul10.pdf, diunduh pada 3 Desember 20 0.
Faisal Basri, “Pindah Gigi Lebih Tinggi”, Kompas, 13 Desember 2010, h. 5.

7 http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=6306, diunduh pada 13 Desember 2010.
8 Ini model lama dari psikologi Joseph Luft dan Harry Ingham, yang lebih dikenal
sebagai “Johari Window”.
5

6

Volume I, No.1, Januari 2012  I  9 9  

Gairah H id u p d an Etika
Ketaksadaran itu berkaitan dengan gairah hidup (elan vital) yang m enggelegak. Sigm und Freud menafsirkannya sebagai libido yang selalu bergerak
liar m enuju ke kenikm atan (pleasure), nam un ego m engaturnya agar gerakannya dibuat dengan cara-cara yang dapat diterim a secara sosial (sebagaim ana diinternalisasi dalam bentuk superego). Friedrich Nietzsche m engejanya sebagai “der W ille zur Macht” (hasrat akan kekuasaan). Meski m anusia
m estinya bey ond good and evil, yang baik yang menjadi tujuan kesem purnaan etika Nietzschean ialah yang m engejar kekuasaan. Ernst Cassirer
m engejanya sebagai hasrat untuk m engetahui (m engenal), untuk m enata
lingkungan, m elalui aksi penandaan, sehingga hidup m anusia adalah hidup
sebagai anim al sy m bolicum . Charles Darwin m enafsirkannya sebagai hasrat
untuk bertahan hidup (struggle for survival). Whitehead m engritik Darwin
dan m engajukan tafsirannya bahwa gelegak hidup itu bertujuan untuk “to
keep alive, to live w ell and to live better”.9
“W ell” dan “better” berkaitan dengan “good”. Oleh karena itu, etika Paul

Ricoeur m engatakan bahwa struktur teleologis dari hidup m anusia terletak
pada dimensi m eta-etis yang melandasi dan m emberi tenaga pada etika.
Struktur teleologis itu ialah keterarahan kepada “yang baik”, sebagaim ana
Whitehead terpukau dengan apa yang oleh Plato sudah dikenal sebagai “the
idea of the good”. Lepaskan etika dari struktur teleologis ini, maka yang
tinggal hanyalah form alism e kosong, basa-basi yang tawar dan basi, prosedur yang baku dan m ati. Tak ada gairah, tak ada cinta, tak ada keindahan
yang menjadi ruhnya. Itu banalitas, kata Hannah Arendt. Itu necrophily ,
kata Erich From m .
Gairah kehidupan yang tam pak jelas dalam sajak-sajak penyair besar Indonesia ini, 10 dan yang oleh Alfred North Whitehead disebut creativity atau
ongoingness, dan oleh Henri Bergson disebut elan vital, m em iliki struktur
teleologis, terarah (intentional) kepada “yang baik”. “Yang Baik” m engundang dan mem bisikkan panggilannya kepada gairah hidup. Dia adalah yang
“duduk m endekat” (Upanishad) dan m engeja jalan-jalan ke arah kebaikan
(m arga dari catur ary a saty ani). Paul Ricoeur, seorang failasuf, m em erinci

                                                            
Alfred North Whitehead a.b. Alois A. Nugroho, Fungsi Rasio (Yogyakarta:
Kanisius, 2001 ).
10 Misalnya dalam sajak Chairil Anwar, berjudul “Aku” (kumpulan Deru Campur
Debu) atau “Semangat” (kumpulan Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus) atau
Sutarji Calzoum Bachri dalam “Amuk” atau “Kapak”.

9

 

10 0 I

 

Konfrontasi 

arah gairah hidup ini sebagai kerinduan untuk “hidup baik, bersam a dan
untuk orang lain, dalam institusi-institusi yang adil”.11
“Yang baik” m engubah chaos m enjadi kosm os, gairah yang chaotic, yang tak
bernam a dan tak berkata, m enjadi orientasi yang dapat dirinci m elalui
“firm an” atau “sabda”. Di sinilah barangkali konsep “etika agam a” harus
diletakkan. Keterarahan kepada hy pergood 12 diperinci ke dalam norm anorm a atau kewajiban-kewajiban m oral. Dalam bahasa Ricoeur, tataran ini
disebut tataran deontologis. Bahkan tataran ini pun tidak sepi dari diskusi
dan interpretasi, yang berkaitan dengan teologi atau ilm u kalam . Dalam
denom inasi religius yang sam a pun, apa yang wajib, yang dilarang dan yang
boleh tidak selalu menimbulkan kata sepakat. Muncul fenom ena sosial dan

historis yang disebut m azhab atau schools.
Nam un dem ikian, betapa pun m ajem uknya tafsir dan m azhab atas hy pergood ini, sudah tersedia orientasi untuk m engejar perfeksionisme m oral atau
“kesem purnaan hidup”. Adalah m asuk akal sem ata bila m anusia m engarahkan hidupnya kepada “yang baik” sebagaim ana diajarkan oleh doktrin
“kesem purnaan hidup” yang dianutnya. Kem asukakalan inilah yang m enginspirasi J ohn Rawls untuk m enyebut sikap setiap orang saleh yang m engarahkan hidupnya betul-betul kepada “kesem purnaan hidup” sebagai sikap
yang “rasional”.13 Label “rasional” ini cukup m enarik, karena biasanya perfeksionis m oral sem acam ini m alah kita sebut sebagai “tidak rasional”.
Mengapa agam a-agam a dunia yang sudah m enggaram i wilayah Nusantara
selam a tak kurang dari 19 abad seperti tak berdaya m enghadapi krisis m oral
Indonesia modern? 14 Pertam a, ada kem ungkinan m anusia Indonesia tidak
betul-betul m enghayati struktur teleologisnya dan secara “rasional” m engarahkan hidupnya kepada hy pergood sebagai com prehensive doctrine atau
ajaran tentang “kesem purnaan hidup” m ereka. Kaitan antara ritus-ritus dan
norm a-norma “agam a” dengan hy pergood kurang dilihat dan didalam i.
Kedua, barangkali juga kepatuhan terhadap norm a-norm a deontologis

                                                            
11 Paul Ricoeur, Reflections on the Just (translated by David Pellauer), (Chicago:
University of Chicago Press, 2007).
12 Istilah Charles Taylor dalam Sources of the Self (Cambridge: Cambridge University
Press, 2003), h.6.
13 John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 2005), h.3.
Baca juga Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007).

14 Pertanyaan ini muncul dalam penataran P pada zaman Orba: Mengapa meski
sudah ada P4 atau Pendidikan Moral Pancasila, korupsi jalan terus? Jawaban pak
Manggala ialah: agama-agama saja tidak mampu mencegah korupsi, apalagi PMP.

Volume I, No.1, Januari 2012  I  10 1 

hanya “form alistis”, artinya hanya patuh bila dilihat oleh “sorot mata orang
lain”, tidak benar-benar didorong oleh gairah “cinta kepada yang baik”.
Dua kem ungkinan di atas m embawa kita kepada satu kata kunci lain dari
etika Ricoeur, yakni “im putabilitas”, yang dalam bahasa buku teks etika
kurang lebih berbunyi “otonom i m oral” (yang dilawankan dengan “heteronom i m oral”).15 Im putabilitas berarti kem am puan atau kapabilitas untuk
m engebawahkan diri, dalam arti mem atuhi, norm a-norm a m oral yang disadari sebagai norm a-norm a yang disetujui oleh diri sendiri, begitu besarnya
persetujuan itu seakan-akan m alah norm a-norm a itu dipasang sendiri bagi
diri sendiri.16 Gairah kehidupan yang m ewujud dalam kerinduan kepada
“yang baik” dan kem am puan “rasional” untuk m elihat kaitan antara kepatuhan kepada norm a-norma dan terwujudnya hy pergood 17 ini m em perkuat
kem am puan insani yang disebut “im putabilitas” itu.
Kita pertam a-tam a diharapkan “m em persem bahkan” bukan kurban bakaran, bukan kam bing atau sapi, m elainkan diri kita sendiri. Artinya, kita m em enuhi panggilan “yang baik” bukan sebagai kambing atau sebagai m anusia
sejauh dia m akhluk hidup, tetapi sebagai m anusia yang m em iliki kesadaran,
kem am puan refleksi, rasionalitas, perasaan keindahan, kerinduan, cinta.18
Dem ikianlah, kalau m orallitas agam a yang deontologis itu diam alkan berdasarkan m otif teleologis berupa kerinduan pada “Yang Baik”, apa yang disebut

“etika agam a” akan secara efektif terwujud dalam perilaku m asyarakat, tidak
sebatas pada form alitas dan perilaku ritualistis saja.
Yang juga penting adalah pokok tentang apa yang diistilahkan oleh Ricoeur
dengan “solicitude”, kepedulian terhadap orang lain. Dalam realisasi hy pergood itu, m anusia melihat bahwa “yang baik” juga terefleksikan dalam kepedulian terhadap orang lain. Kepedulian terhadap orang lain ini bukan hanya

                                                            
Misal Frans Magnis Suseno, Etika Umum: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral
(Yog-yakarta: Kanisius, 1979).
16 Paul Ricoeur, Reflections on the Just, (translated by David Pellauer), Chicago:
University of Chicago Press, 2007).
17 Bagi kalangan Kristiani, terwujudnya hypergood itu dirumuskan dalam doa yang
diajarkan oleh Kristus sendiri dengan “Datanglah kerajaanMu” (adveniat regnum tuum, Thy
Kingdom come, Uw Rijk kome, kraton Dalem kawiyarna.). Hypergood Kristiani ialah bela rasa
(compassion) terhadap orang-orang yang menderita, sampai diri sendiri rela menderita,
bahkan sampai mati di salib. [Untuk catatan kaki ini, penulis berterima kasih kepada
Uskup Agung Jakarta, Mgr. Prof. Dr. Ignatius Suharyo].
18 Mazmur 0: 7, 8: “Persembahan dan kurban sajian tidak Kausukai, kurban bakaran
dan kurban penghapus dosa tidak Kautuntut. Tetapi Engkau telah memberi aku telinga
yang dapat mendengar suaraMu….Aku senang melakukan kehendakMu, ya Allah,
hukum-Mu kusimpan di dalam hati”.
15

 

10 2 I

 

Konfrontasi 

terbatas pada lingkungan dekat yang dikenal akrab dan m em iliki hubungan
afektif langsung, melainkan juga bahkan m enggapai m ereka yang anonim ,
yang tak dikenal, yang hidup tak hanya pada m asa kini, tetapi juga pada
m asa akan datang. Rasionalitas, kata Peter Singer, juga ditandai oleh m eluasnya lingkaran pihak-pihak yang dipertim bangkan atau dipedulikan (m oral
recipients) dalam deliberasi m oral,19 tidak hanya sekeluarga, sedarah, sesuku, seum at, separtai, dan sem acamnya. Bela rasa dan kesediaan m em pedulikan orang lain ini bahkan m enggapai pihak-pihak yang lazimnya dianggap “m usuh”, seperti dikisahkan dalam perum pam aan “Orang Sam aria yang
berbelas kasih” (the good Sam aritan).20
Krisis m oral bangsa dapat dikatakan berhubungan dengan ketakm am puan
kita untuk m elakukan “expanding the circle” dalam deliberasi m oral ini.
Terlalu sim plistis, bila kita menghakim i peselingkuh dan koruptor serta
penyalah guna jabatan sebagai orang-orang egois sem ata-m ata. Mereka
biasanya juga orang-orang yang m emiliki solicitude. Rasionalisasi atau
bukan, adultery sering juga dipicu oleh dorongan untuk m em beri “m inum”
orang lain yang “dahaga”, m emberi “m akan” orang lain yang “lapar”.
Koruptor dan penyalah guna jabatan juga orang-orang yang berniat baik
untuk “m encukupi” keluarga yang biasanya juga berarti “keluarga besar”
(extended fam ily ). Para pengusaha yang m elakukan tindakan-tindakan tidak
etis sering juga m elakukannya untuk kepentingan para pem egang saham ,
bahkan para pekerja. Politisi yang tidak peka terhadap kem iskinan rakyat,
sering juga didorong oleh niat untuk m em asok dana bagi partainya. Akan
tetapi, tetap bisa kita katakan bahwa m ereka sem ua m engidap m y opia
m oral. Horison solicitude m ereka am at sem pit. Mereka hanya m em pertim bangkan kebaikan bagi lingkungan dekat. Horison m ereka tidak m enjangkau wilayah “bangsa” atau “kepentingan nasional”, apalagi “um at m anusia”, “m asa depan um at manusia”, kepedulian ekologis.”
Catatan Pe n u tu p : Tataran Ke bijaks an aan Praktis
Skem a etika Ricoeur sebenarnya m asih m engenal satu tataran lagi, yaitu
yang disebutnya tataran “phronetical” (dari bahasa Yunani yang dipakai oleh
Aristoteles, phronesis, katakanlah itu keadaan proporsional, tak lebih dan
tak kurang) atau yang oleh Taylor disebut “practical w isdom ”. Dalam
kenyataan, jarang kita dihadapkan pada hanya satu norm a deontologis yang
perlu dipertim bangkan untuk diterapkan. Biasanya ada lebih dari satu,

                                                            
Peter Singer, The Expanding Circle: Ethics, Evolution and Moral Progress (Princeton:
Princeton University Press, 2011).
20 Lukas 10:25-37. Yang menarik ialah bahwa perumpamaan itu merupakan jawaban
atas pertanyaan: ”Dan siapakah sesamaku manusia?”
19

Volume I, No.1, Januari 2012  I  10 3  

sehingga kita perlu m engembangkan kem am puan untuk m enem ukan
“takaran” yang tepat dalam pelaksanaan norm a-norm a itu. Situasi-situasi
yang m elibatkan dimensi m oral itu pun tidak selalu persis sama, sehingga
perlu pula dikem bangkan kem am puan untuk “m enakar situasi”.
Akan m uncul pentingnya istilah lain di sam ping “rationality ” dalam kaitannya dengan hy pergood tadi, yakni istilah reasonableness yang dikem bangkan oleh para pem ikir Rawlsian. Kalau rasionalitas berhubungan dengan
“kesem purnaan”, perfeksionism e, “reasonableness” dalam praktik berhubungan dengan “proporsionalitas” tadi.21 Dalam konteks J ohn Rawls, istilah
ini justru m uncul dalam kaitannya dengan peranan kosa kata yang berasal
dari “etika agam a” dalam forum publik politik yang resm i. Bagi Rawls,
diskursus dalam forum publik politik resm i (eksekutif, legislatif, yudikatif)
wajib m enggunakan “penalaran publik” dan bahasa yang tidak m enggunakan “kosa kata agam a” tertentu, karena hal itu akan m emarginalkan
sebagian warga negara yang tidak fam iliar dengan “penalaran” dan “kosa
kata” bersangkutan. Namun pada tingkat civil society , etika agam a berperanan penting. Dan republik dem okratis yang sehat dan kuat ialah republik
yang ditopang oleh civil society yang sehat dan kuat, artinya republik
dim ana setiap warga negara berupaya hidup sesuai dengan hy pergood yang
diajarkan oleh agam a m asing-m asing.

                                                            
21

 

Samuel Freeman, Rawls

10 4 I

 

Konfrontasi 

Biblio grafi
Freem an, Sam uel, Raw ls (New York: Routledge, 20 0 7).
Rawls, J ohn, Political Liberalism (New York: Colum bia University Press,
20 0 5).
Ricoeur, Paul, Reflections on the Just (translated by David Pellauer),
(Chicago: University of Chicago Press, 20 0 7).
Singer, Peter, The Expanding Circle: Ethics, Evolution and Moral Progress
(Princeton: Princeton University Press, 20 11).
Taylor, Charles, Sources of the Self (Cam bridge: Cam bridge University Press,
20 0 3).
Whitehead, Alfred North a.b. Alois A. Nugroho, Fungsi Rasio (Yogyakarta:
Kanisius, 20 0 1).
Whitehead, Alfred North a.b. Alois A. Nugroho, Mencari Tuhan Sepanjang
Zam an (Bandung: Mizan, 20 0 9).

Volume I, No.1, Januari 2012  I  10 5