LIBRARY RESEARCH Kajian Kepustakaan Pene

MAKALAH
Dosen Pengampu Mata Kuliah: Ridwan Arifin, S.H., LL.m.
Kajian Kepustakaan Penegakan Hukum Lingkungan Oleh Masyarakat
Hukum Adat
(Analisis Peran Hukum Adat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Di
indonesia Studi Kasus PT Semen Indonesia Vs Samin /Sedulur Sikep
,Sukolilo,Kabupaten Pati )
Oleh:
Alex Candra Pamungkas
Zaki Aidina Zaen

NIM: 8111416168
NIM: 8111416164

JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017/2018

KATA PENGANTAR
Syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan tuntunanNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah penelitian kepustakaan
dengan

judul

Masyarakat

dengan
Hukum

judul
Adat

Penegakan
(Analisis

Hukum

Peran


Lingkungan

Hukum

Adat

Oleh
Dalam

Pengelolaan Lingkungan Hidup Di indonesia Studi Kasus PT Semen
Indonesia Vs Samin /Sedulur Sikep ,Sukolilo,Kabupaten Pati )
1

Makalah penelitian kepustakaan ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas
mata kuliah Hukum Lingkungan tahun ajaran 2017/2018 Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang.
Makalah penelitian kepustakaan

ini


mampu

terselesaikan

berkat

rahmatNya dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, terutama dosen
mata kuliah Hukum Lingkungan yang selalu memberikan dorongan penulis
sejak awal penulisan hingga terselesaikannya makalah penelitian kepustakaan
ini. Karena itu, penulis menyampaikan terimakasih secara tulus.
Penulis berharap makalah penulisan kepustakaan ini dapat menjadi
masukan bagi berbagai pihak terkait di dalam upaya mengsinergikan hukum
adat dengan hukum nasional dalam upaya melindungi hak gak warga
masyarakat hukum adat
Sebagai langkah awal pembelajaran penulis dalam membuat makalah
penulisan

kepustakaan,

tentu


saja

terdapat

berbagai

kekurangan

dan

kelemahan dalam tulisan ini. Untuk itu, saran dan masukan selalu penulis
harapkan, sebagai bekal meningkatkan kemampuan menulis di waktu – waktu
mendatang.
Kepada Bapak Ridwan Arifin sebagai dosen Hukum Lingkungan, penulis
menyampaikan terimakasih atas perkenannya membaca tulisan sederhana ini.
Semoga bermanfaat!

Semarang,
2017


Penulis,

2

18 Oktober

DAFTAR ISI

HALAMAN
JUDUL....................................................................................................1
KATA
PENGANTAR.................................................................................................2
DAFTAR
ISI.............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A.

Latar


Belakang.........................................................................................................4
B.

Rumusan

Masalah........................................................................................................5
C.

Metode

Penulisan.........................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
1

Sub

Pembahasan

1.......................................................................................................7
2


Sub

Pembahasan

2.......................................................................................................9
3

Sub

pembahasan

3......................................................................................................11
BAB

III

KESIMPULAN.............................................................................................17
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................18


3

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup dapat dikatakan bagian yang mutlak dari kehidupan
manusia dan menjadi sumber utama bagi manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dari lungkungan hidup, manusia memanfaatkan
bagian-bagian lingkungan hidup seperti hewan, tumbuhan, air, udara, sinar
matahari, garam, kayu, barang-barang tambang dan lain sebagainya; dari
lingkungan pula, manusia bisa memperoleh daya atau tenaga, memperoleh
kebutuhan

primer

atau

sekundernya,


bahkan

manusia

dapat

mengembangkan bakat atau seninya.1
Pengelolaan lingkungan merupakan suatu usaha secara sadar untuk
memelihara,

melindungi

dan

memperbaiki

kebutuhan dasar manusia dapat

mutu


lingkungan

agar

terpenuhi dengan sebaik-baiknya

sehingga dapat mendukung kelangsungan hidup manusia sampai pada
tingkat

kesejahteraan

dan

keadilan

sosial.

Pengelolaan

lingkungan


merupakan hal yang sangat penting dilakukan,mengingat bahwa manusia
selalu berusaha memaksimalkan segala perwujudan keinginannya dan
seringkali dengan cara yang secepat cepatnya, sehingga cenderung
mengorbankan kepentingan lingkungan hidupnya.2
Relasi yang bersifat trade-off antara pembangunan ekonomi dan
pelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam (SDA) masih terus
berlangsung di Indonesia. Kinerja ekonomi dengan angka pertumbuhan
ekonomi

6-6,5

persen

pertahun,

disamping

tidak

diiringi

dengan

peningkatan kesejahteraan masyarakat, juga tidak diikuti oleh perbaikan
kualitas lingkungan dan pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Dalam
praktiknya,

kepentingan

maksimalisasi

pertumbuhan

ekonomi

lebih

1 NHT. Siahan, Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan,( Jakarta :Erlangga, 1987 ), hlm.1.
2 M. Djafar Saidi, Hukum Lingkungan, ( Makassar : Lembaga Penerbita Universitas Hasanudin,
1989 ), hlm. 46.

4

dominan daripada upaya perlindungan lingkungan hidup, meskipun wacana
tentang pembangunan berkelanjutan terus berkembang dan diagendakan
dalam praktik pembangunan di seluruh negara di dunia .Dua kepentingan
yang saling bertabrakan tersebut dengan mudah dapat ditemui di negaranegara Asia Tenggara, yang biasanya selalu muncul seiring dengan
pembangunan bendungan (besar), penebangan hutan, polusi industri,
pertambangan, turisme, dan aktivitas pembangunan lainnya.3
karena itu dengan meningkatnya laju pembangunan, maka setiap
perencanaan pembangunan keberadaan tata nilai adat istiadat, norma,
kultur

budaya

yang

memiliki

kearifan

lokal

(local

wisdom)

perlu

diperhitungkan dengan melihat pendekatan holistik akan lingkungan hidup.
perbedaan-perbedaan

suku

bangsa,

agama,

adat

serta

kedaerahan,

sedangkan ciri vertikal adalah gambaran lain struktur masyarakat indonesia
yang berbentuk perbedaan-perbedaan lapisan sosial antara lapisan atas
dan lapisan bawah. Selanjutnya dikatakanpelapisan yang bersifat kentara
tersebut terlihat pada sejumlah orang berdasarkan kemampuan dan
penguasaan yang bersifat ekonomis, politis, ilmu pengetahuan, yang jelas
menunjukkan perbedan-perbedaan dan derajat sosial sehingga berpotensi
sebagai salah satu sumber konflik.4
Masyarakat yang plural ini merupakan kekayaan budaya yang
senantiasa dipertahankan dan dilestarikan yang didalamnya terdapat tata
nilai, norma-norma adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut, oleh
karena

itu

dengan

meningkatnya

laju

pembangunan,

maka

setiap

perencanaan pembangunan keberadaan tata nilai adat istiadat, norma,
kultur

budaya

yang

memiliki

kearifan

lokal

(local

wisdom)

perlu

diperhitungkan dengan melihat pendekatan holistik akan lingkungan hidup.
B. Rumusan Masalah
1. BagaimanakahSejarah keberdaan suku serta Adat istiadat samin
atau sedulur sikep?

3 Suharko, “Ditambang atau Dilestarikan Konflik Sosial Rencana Pembangunan Pabrik Semen di
Kabupaten Pati Jawa Tengah”, jurnal ilmu social dan politik, Vol.17 No.2, 2013, hlm 163-178.

4Faisal Ismail, “Keteladanan Dalam Konteks Kepemimpinan nasional Dan Realitas kemajemukan Bangsa”, Jurnal
Ilmu Sosial UNISIA, Vol.17 No.52, 2004, hlm. 105

5

2. Bagaimana nilai-nilai lokal masyarakat adat samin atau sedulur
sikep

yang

berhubungan

erat

dengan

pengelolaan

dan

perlindungan lingkungan hidup?
3. Mengapa masyarakat adat samin melakukan perlawan terhadap
pembangunan semen gresik serta pemaknaan hukum untuk
masyarakat?
C. Metode Penelitian
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Karena Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau Library
Research, maka penelitian ini dilakukan di perpustakaan Unnes Semarang, di
kampus Unnes Semarang. Sedangkan waktu untuk melakukan penelitian ini
adalah pada tanggal 8Oktober-22 Oktober 2017.
2. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan atau library research. Penelitian ini dilakukan melalui
mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek
penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan, atau telaah
yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya
tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan
pustaka yang relevan.
3. Sumber Data
Sumber sekunder adalah bahan pustaka yang ditulis dan dipublikasikan
oleh seorang penulis yang tidak secara langsung melakukan pengamatan
atau berpartisipasi dalam kenyataan yang ia deskripsikan, melainkan
dengan memberikan komentar atau kritik terhadap masalah anak jalanan
dan perlindunganya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian library research, maka teknik
pengumpulan

data

yang

digunakan

dalam

penelitian

ini

adalah

pengumpulan data literer yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan
pustaka yang berkesinambungan (koheren) dengan objek pembahasan yang
diteliti. Data yang ada dalam kepustakaan tersebut dikumpulkan dan diolah
dengan cara:
1. Editing, yaitu pemeriksaan kembali dari data-data yang diperoleh
terutama dari segi
6

kelengkapan, kejelasan makna dan koherensi makna antara yang satu
dengan yang lain.
2. Organizing

yakni

menyusun

data-data

yang

diperoleh

dengan

kerangka yang sudah
Ditentukan.
3. Penemuan hasil penelitian, yakni melakukan analisis lanjutan terhadap
hasil
penyusunan data dengan menggunakan kaidah-kaidah, teori dan
metode yang telah
ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan (inferensi) tertentu yang
merupakan hasil
jawaban dari rumusan masalah.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Suku Samin dan saminisme
Masyarakat Samin adalah keturunan para pengikut Samin Soerontiko
yang mengajarkan sedulur sikep, dimana dia mengobarkan semangat
perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan. Sedulur
Sikep hidup secara tersebar di pantai utara Jawa Tengah, seperti Kudus, Pati,
Blora, Rembang, Bojonegoro bahkan sampai ke Ngawi.
Samin Soerontiko sering disebut juga sebagai Raden Kohar. Ia masih
berdarah bangsawan Majapahit yang hidup pada zaman kolonial Belanda.
7

Karena alasan tertentu memutuskan meninggalkan

gemerlap dunia

kebangsawanan. Ia mendalami keilmuan spiritual yang saat itu sudah mulai
diintervensi oleh kepentingan kelompok

tertentu, khususnya oleh agama-

agama baru dan tata kehidupan kolonial. Mbah Samin mendalami sendiri
nilai-nilai budi luhur serta beladiri menentang penjajahan Belanda dan pada
akhirnya mengajarkan kepada murid-muridnya. Begitu mencoloknya sikap
Mbah Samin terhadap tata kehidupan saat itu, sehingga sampai kini orang
lain mengatakan ” Dasar orang Samin” pada tindak-tanduk serupa5
Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak, menolak segala
peraturan

yang

dibuat

pemerintah

kolonial.

Masyarakat

ini

acap

memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap
itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok
diluarnya. Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri sehingga baru
pada tahun 70an mereka baru tahu Indonesia telah merdeka.
Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang
lugu, suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan
lelucon terutama di kalangan masyarakat Bojonegoro. Pokok ajaran Samin
diantaranya adalah6 :


Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak
membeda-bedakan

agama,

yang

penting

adalah

tabiat

dalam

hidupnya.


Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan irihati dan
jangan suka mengambil milik orang lain.



Bersikap sabar dan jangan sombong.



Manusia harus memahami kehidupannya, sebab roh hanya satu dan
dibawa abadi selamanya.



Bila orang berbicara, harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling
menghormati. Orang Samin dilarang berdagang karena terdapat unsur
‘ketidakjujuran’ didalamnya. Juga tidak boleh menerima sumbangan
dalam bentuk apapun.
Masyarakat Samin terkesan lugu, bahkan lugu yang amat sangat,

berbicara apa adanya, dan tidak mengenal batas halus kasar dalam
5 Anis Sholeh Baasyin,SAMIN Mistisme Petani ditengah Pergolakan, Gigih Pustaka
Mandiri,Semarang ,Hlm 87
6Wahyu nugroho,konstitusionalitas hak masyarakat hukum adat dalam mengelola hutan adat
,jurnal konstitusi volume 11,nomor 1,tahun2014

8

berbahasa karena bagi mereka tindak-tanduk orang jauh lebih penting
daripada halusnya tutur kata. Kelompok ini terbagi dua, yakni Jomblo-ito
atau Samin Lugu, dan Samin sangkak, yang mempunyai sikap melawan dan
pemberani.

Kelompok

ini

mudah

curiga

pada

pendatang

dan

suka

membantah dengan cara yang tidak masuk akal. Ini yang sering menjadi
stereotip

dikalangan

masyarakat

Bojonegoro

dan

Blora.

Mereka

melaksanakan pernikahan secara langsung, tanpa melibatkan lembagalembaga pemerintah bahkan agama, karena agama mereka tidak diakui
negara. Mereka menganggap agamanya sebagai Agama Adam, yang
diterapkan turun temurun. Dalam buku Rich Forests, Poor People - Resource
Control and Resistance in Java, Nancy Lee Peluso menjelaskan para
pemimpin samin adalah guru tanpa buku, pengikut-pengikutnya tidak dapat
membaca ataupun menulis. Suripan Sadi Hutomo dalam Tradisi dari Blora
(1996) menunjuk dua tempat penting dalam pergerakan Samin: Desa
Klopodhuwur di Blora sebelah selatan sebagai tempat bersemayam Samin
Surosentiko, dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang
memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda
dan Lance Castles (1960), Suripan menyebutkan, orang Samin di Tapelan
memeluk

saminisme

sejak

tahun

1890.

Dalam

Encyclopaedie

van

Nederlandsch Indie (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah
2.300

orang

(menurut

Darmo

Subekti

dalam

makalah

Tradisi

Lisan

Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, 1999,
jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro,
Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak
di Tapelan.
Sebagai

gerakan

yang cukup

besar saminisme tumbuh

sebagai

perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah
dan digunakan untuk perluasan hutan jati pada zaman penjajahan di
Indonesia. Sekitar tahun 1900, mandor hutan yang menjadi antek Belanda
mulai menerapkan pembatasan bagi masyarakat dalam soal pemanfaatan
hutan. Para mandor itu berbicara soal hukum, peraturan, serta hukuman bagi
yang melanggar. Tapi para saminis, atau pengikut Samin, menganggap
remeh perkara itu. Sosialisasi hukum itu lantas ditindaklanjuti pemerintah
Belanda dengan pemungutan pajak untuk air, tanah, dan usaha ternak
9

mereka. Pengambilan kayu dari hutan harus seizin mandor polisi hutan.
Pemerintah

Belanda

meningkatkan

berdalih

kesejahteraan

semua
rakyat.

pajak
Akal

itu

kelak

dipakai

bulus

itu

ditentang

untuk
oleh

masyarakat pinggir hutan di bawah komando. Samin Surosentiko yang
diangkat oleh pengikutnya sebagai pemimpin informal tanpa persetujuan
dirinya. Oleh para pengikutnya Samin Surosentiko dianggap sebagai Ratu
Tanah Jawi atau Ratu Adil Heru Cakra dengan gelar Prabu Panembahan
Suryangalam. Para pengikut Samin berpendapat, langkah swastanisasi
kehutanan

tahun

1875

yang

mengambil

alih

tanah-tanah

kerajaan

menyengsarakan masyarakat dan membuat mereka terusir dari tanah
leluhurnya.
Sebelumnya, pemahaman pengikut Samin adalah: tanah dan udara
adalah hak milik komunal yang merupakan perwujudan kekuasaan Tuhan
Yang Maha Esa. Mereka menolak berbicara dengan mandor-mandor hutan
dan para pengelola dengan bahasa krama. Sebagai gantinya para saminis
memperjuangkan hak-haknya dalam satu bingkai, menggunakan bahasa
yang sama, Jawa ngoko yang kasar alias tidak taklim. Sasaran mereka
sangat jelas, para mandor hutan dan pejabat pemerintah Belanda. Ketika
mandor hutan menarik pajak tanah, secara demonstratif mereka berbaring di
tengah tanah pekarangannya sambil berteriak keras, “Kanggo!” (punya
saya). Ini membuat para penguasa dan orang-orang kota menjadi sinis dan
mengkonotasikan pergerakan tersebut sebagai sekadar perkumpulan orang
tidak santun, padahal itu adalah sebuah upaya perlawanan secara tersirat
yang dilakukan suku samin bagi pihak pihak yang secara jelas dan nyata
menyrobot serta merampas tanah adat atau tanah lingkungan mereka,
2. Nilai Lokal Samin/Sedulur Sikep Persepsi Masyarakat
Gerakan Samin pada esensinya adalah gerakan perlawanan petani
terhadap kebijakan yang menindas rakyat kecil. Dalam pandangan Amrih,
Samin adalah fenomena sosial yang tertua di Asia Tenggara sebagai gerakan
petani protonasionalisme yang semakin mekar akibat makin ditancapkannya
cengkeraman kekuasaan pemerintah kolonial pada akhir abad ke-19 M.
Kehadiran samin dalam memiliki pengaruh yang sangat besar lewat berbagai
hal berikut. Pertama, kritik terhadap merosotnya wibawa penguasa Pribumi di
10

hadapan

pemerintah

kolonial

Belanda

yang

dimanifestasikan

dengan

ritualisme, mistisisme dan isolasi diri.
Kedua, menentang penjajah Belanda dengan menolak membayar pajak,
karena pajak dipergunakan untuk penjajah, bukan untuk pribumi. Gerakan ini
kemudian dikenal dengan “gerakan sirep”, yaitu gerakan tanpa senjata karena
tidak ingin ada pertumpahan darah.
Ketiga, perlawanan terhadap penjajah dengan cara ekspresif membentuk
pasukan, merampok warga pribumi kaya yang mengikuti penjajah Belanda lalu
dibagikan kepada masyarakat miskin.
Keempat, mempersiapkan para pemuda dengan olah kanuragan, sebagai
persiapan untuk melawan Belanda. Kelima, melawan pemerintah Belanda
karenan mematok tanah untuk perluasan hutan jati tahun 1870, yang
berdampak pada terkuranginya kepemilikan tanah masyarakat Samin. Jadi
pada dasarnya, Samin adalah salah satu manifestasi dari gerakan revolusi
(perlawanan) terhadap pemerintah kolonial dengan karakteristik dan strategi
perjuangannya sendiri yang khas.7
Gerakan Samin memang lebih dikenal di tlatah Blora dan Pati. Tetapi di
Kudus, salah satu kota dengan wilayah terkecil di Jawa Tengah, juga memiliki
komunitas Samin. Masyarakat Samin di sini, juga mempunyai pertalian
hubungan yang erat dengan Samin di Blora dan Pati. Ada tiga tokoh yang
cukup dikenal dalam persebaran Samin di kota kretek. Yaitu Sosar (Desa
Kutuk), Radiwongso (Dukuh Kaliyoso) dan Proyongaden (Desa Larekrejo).
Samin Kudus sendiri memiliki prinsip dasar yang masih dipegang sampai
sekarang. Di sana dikenal enam prinsip dasar etika yaitu berupa pantangan
(larangan) drengki, srei, panasten, dawen, kemeren, lan nyiyo marang
sepodo. Masyarakat Samin mempunyai falsafah bejok reyot iku dulure,
waton meningso tur gelem di daku sedulur. Ada lima hal lain lagi yang
tidak boleh dilakukan. Yaitu bedok (menuduh), colong (mencuri), pethil
(mengambil barang yang masih menyatu dengan alam atau masih melekat
dalam

sumber

kehidupannya),

jumput

(mengambil

barang

yang

jadi

komoditas di pasar), nemu wae ora kena (menemukan barang milik orang
lain, tidak boleh diambil/harus dikembalikan kepada si empunya). Sementara
itu, hal-hal yang harus diugemi dalam kehidupan sehari-hari tercermin dalam
7Moh.Rosyid, Samin Kudus Barsahaja Di Tengah Asketisme Lokal, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008 ), hlm.167.
11

prinsip adalah Kudu weruh the-e dhewe (tahu barang miliknya dan yang
bukan miliknya, Lugu (komitmen tegas kalau berjanji, kalau bisa katakan bisa
kalau tidak katakan tidak), Mligi (taat pada aturan yang berupa prinsip
beretika dan prinsip berinteraksi) dan Rukun dengan isteri, anak, orangtua,
tetangga dan siapa saja.8
Peran pegunungan kendeng secara kultural bagi masyarakat Sedulur
Sikep dan masyarakat lokal lainnya di Wilayah Kecamatan Sukolilo Kabupaten
Pati, memiliki ikatan kesadaran simbolis yang terdapat dalam situs-situs
kebudayaan yang banyak terdapat di pegunungan Kendeng.
Kesadaran masyarakat lokal di wilayah Sukolilo yang mengikat dengan
pegunungan Kendengan diantaranya Watu Payung yang merupakan simbolisasi
dari

sejarah

pewayangan

Dewi

Kunti,

dimana

beberapa

situs

narasi

pewayangan tersebut terartikulasikan dalam beberapa relief alam yang
terdapat di pegunungan Kendeng. Usaha untuk melestarikan pegunungan
kendeng ini juga merupakan “amanah” dari Sunan Muria, dimana Istri Gunritno
melakukan “jumenengan” di Watu payung” jauh sebelum ada tanda tanda
perusahaan Semen Gresik mau mendirikan pabrik Di Kecamatan Sukolilo
kabupaten Pati.
Di pegunungan yang dulu cukup lebat dengan pohon jati ini bermukim
sebagian besar penduduk Kecamatan Sukolilo. Selain digunakan untuk tempat
tinggal warga, pegunungan ini juga memberikan beberapa manfaat lain bagi
warga yang hidup di sekitarnya. Pertama, sumber air yang telah mengairi
15.873,9 ha lahan pertanian di sekitarnya. Kedua, lahan di pegunungan ini juga
menjadi lahan pekerjaan bagai ribuan peladang yang menanam berbagai
palawija di sela-sela pepohonan jati milik Perhutani.9
3. Kebijakan Pendirian Pabrik Semen Serta Pemaknaan Hukum Untuk
manusia/masyarakat
Di Kecamatan Sukolilo, rencananya akan di bangun pabrik semen oleh PT.
Semen Gresik dengan luas lahan mencapai ± 2000 hektar ( bahkan lebih luas ).
8 Suharko, “Masyarakat Adat versus Korporasi:Konflik Sosial Rencana Pembangunan Pabrik
Semen di Kabupaten Pati Jawa Tengah Periode 2013-2016”, Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Vol.20
No.2 , 2016, hlm. 97-115.
9 Hartuti Purnaweni, “Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di KawasanKendengUtara Provinsi
Jawa Tengah”, Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 12 No. 1, 2014, hlm. 53-65.

12

Bahan baku pabrik semen tersebut adalah batu gamping / batu kapur yang
berasal dari kawasan perbukitan Kars di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Kegiatan

penambangan

ini

tentunya

akan

mengambil

dan

mengeruk

perbukitan kapur yang berfungsi sebagai penyimpan air alami (reservoir) dari
mata air-mata air yang bermunculan di kaki perbukitan kawasan kars tersebut.
Masing-masing kelompok memiliki alasan dan pembenarnya masingmasing. Secara umum, masyarakat yang setuju rata-rata memiliki harapan
akan mendapatkan pekerjaan yang lebih menarik dari sekedar bertani.
Masyarakat ini juga menaruh kepercayaan pada PT. Semen Gresik yang
menjamin tidak akan merusak lingkungan serta menjamin pemenuhan
kebutuhan air bersih masyarakat jika ada kerusakan pada mata air mereka.
Selebihnya,

masyarakat

menganggap

rencana

golongan

ini

penambangan

merasa
tersebut

tidak

berdaya

merupakan

karena

keputusan

pemerintah yang sudah tidak bisa diganggu gugat.
Di

lain

pihak,

masyarakat

yang

menolak

rencana

penambangan

umumnya memiliki kekhawatiran akan keselamatan lingkungan mereka,
terutama pada lahan pertanian dan suplai air dari mata air untuk kebutuhan
sehari-hari. Kelompok masyarakat ini tidak termakan janji yang dilontarkan
oleh pihak perusahaan, karena tidak percaya akan kebenaran realisasinya. Hal
ini didasarkan pada fakta yang sudah ada, dimana setiap industri besar berdiri
pasti akan melahirkan persoalan baru yang jauh lebih pelik. PT Semen Gresik 9
berencana berekspansi modal (sekitar 40% saham asing) 10 ke Kabupaten PatiJawa Tengah sekitar pertengahan 2008. Pabrik besar akan didirikan tepatnya di
Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang merupakan kawasan
pertanian. Tidak seperti warga lain yang biasanya menyukai bila tanah miliknya
dibeli pemodal besar karena akan dihargai mahal, warga setempat anehnya
menolak.
Kebijakan Penambangan batu kapur oleh PT Semen Gresik dan berdirinya
pabrik semen di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati atas dasar dengan
dikeluarkannya

Keputusan

Kepala

Kantor

Pelayanan

Perijinan

Terpadu

Kabupaten Pati No. 540/052/2008, tanggal 5 November 2008, tentang
Perubahan atas Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu No.
540/040/2008 tentang Ijin Pertambangan Daerah Eksplorasi Bahan Galian
Golongan

C

Batu

Kapur

di

Desa
13

Gadudero,

Desa

Kedumulyo,

Desa

Tompegunung, Desa Sukolilo, Desa Sumbersoko Kecamatan Sukolilo Kabupaten
Pati

Jawa

Tengah

yang

mengabaikan

perlindungan

lingkungan

dan

pembangunan yang berkelanjutan serta masyarakat disekitar lokasi khususnya
masyarakat Sedulur Sikep.
Penolakan warga ini dilatarbelakangi oleh sebuah pandangan hidup yang
kita kenal dengan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat sekitar, khususnya
masyarakat

Sedulur

Sikep

baik

aspek

transcendental

maupun

aspek

emperik.menurut pandangan hidup sedulur sikep air dan tanah adalah hal yang
paling utama dalam kehidupan seseorang dan pemberian serta berkah dari
yang maha kuasa,menurut filosofi hidup mereka semua di dunia ini hanyalah
titipan bagi anak keturunan kelak dan tugas dari orang yang hidup sekarang
adalah menjaga ,merawat serta mengelolanya. Penolakan warga ini berbuntut
panjang hingga sampai ke meja para wakil rakyat di Komisi VII DPR.
Untuk

menjaring

aspirasi

warga

dan

mengetahui

latar

belakang

penolakan tersebut wakil ketua Komisi VII DPR saat itu Sonny Keraf
mengadakan dialog dengan Komunitas Samin atau dikenal sebagai para
Sedulur Sikep dan perwakilan dari tujuh desa yang bakal terkena dampak
langsung pembangunan pabrik semen.
Desa-desa

itu

diantaranya

Desa

Kedumulyo,

Gadudero,

Sukolilo,

Baturejo, Sumbersoko, dan Tompe Gunung. Singkatnya, pertemuan digelar di
rumah sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno yang usianya sudah mencapai 100
tahun,

di

Desa

Baturejo,

Kecamatan

Sukolilo,

27

km

selatan

pusat

pemerintahan Kabupaten Pati, tanggal 7 September 2008 lalu. Hasil pertemuan
itu adalah Sonny Keraf meminta kepada Menteri ESDM serta Menteri Negara
Lingkungan Hidup menurunkan tim ke Sukolilo bersama-sama lembaga riset
untuk mengetahui serta menyelami inspirasi warga setempat.
Pola pemikiran yang berkaitan dengan keinginan warga Sedulur Sikep
agar apa yang ada selama ini tidak berubah termasuk pola hidup sederhana
yang sudah turun temurun termasuk keseimbangan ekologis yang masih
melekat dan terjaga dengan baik. Sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno,
mengungkapkan alasan penolakan warga bahwa selama ini bidang pertanian
merupakan sumber penghasilan dan kehidupan mereka. Sebenarnya apa yang
terjadi dengan perlawanan (kontra) terhadap pembangunan pabrik semen
karena belum ada kesamaan pandang antara masyarakat khususnya Sedulur
14

Sikep dengan Pemerintah dan atau perusahaan Semen, karena setiap
pertemuanyang “diwakili” Gunritno sebagai komunitas samin tidak pernah
menerima konsep dari Pemerintah dan atau perusahaan karena ternyata masih
ada para panambang “liar” di wilayah tersebut . Bila cara pandang akan
lingkungan itu konsisten, tentu masyarakat khususnya Komunitas Samin juga
keberatan/melarang

adanya

penambangan,

ternyata

tidak

demikian,

penambangan tetap berjalan terus.
Akhirnya perjuangan mereka membuahkan hasil, pada tanggal 26 Juli
2009, Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo memutuskan membatalkan rencana
pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati.Kawasan
Kars Kendeng Utara yang melingkupi Kabupaten Grobogan, Kabupaten Pati
hingga Kabupaten Blora belum ditetapkan mengenai klasifikasi wilayah kars
tersebut. Berdasarkan ” Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya
Mineral Nomor : 1456 K/20/MEM/2000 Tentang Pedoman Pengelolaan
Kawasan Kars”10dalam pengelolaan sebuah kawasan kars harus melakukan
sebuah pengkajian dan survey terlebih dahulu. Apabila dalam penetapannya
sebuah kawasan kars memiliki kriteria sebagai kawasan Kars Kelas 1 (Pasal 12)
maka segala penambangan tidak diperbolehkan di kawasan tersebut.Itulah
salah satu wujud implementasi pelaksanaan hukum adat/kearifan lokal yang di
padukan menggunakan pendekatan hukum nasional dalam rangka menjaga
,melestarikan,serta melindunggi lingkungan sosial,alam masyarakat hukum
adat .
Pemaknaan Hukum Untuk Masyarakat/Manusia dalam kasus Semen vs
Samin
Hukum pada awalnya berfungsi untuk mengatur tingkah laku manusia
dan

mempertahankan

masyarakat

(Social

pola-pola

Control),

kebiasaan

tetapi

dalam

yang

sudah

ada

dalam

perkembangannya

hukum

berfungsi sebagai sarana untukmencapai tujuan (social Engineering). Hukum
dimanapun akan tumbuh dari cara hidup, pandangan hidup dan kebutuhan
hidup masyarakatnya, sehingga hukum akan tumbuh dan berkembang
10Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1456 K/20/MEM/2000 Tentang
Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars

15

bersama masyarakatnya; Hal ini sebagaimana diajarkan Rescoe Pound,
bahwa

hukum

itu

adalah

lembaga

kemasyarakatanuntuk

memenuhi

kebutuhan sosial11. Pandangan yang demikian berbeda dengan konsep
hukum aliran sejarah yang dikemukakan oleh pendirinya Friedrich Von
Savigny, dimana hukum di pandang sebagai ekspresi dari kesadaran hukum
rakyat atau Volksgeist ( jiwa bangsa ) ; Yang dimaksud Volksgeist adalah
falsafah hidup suatu bangsa atau pola kebudayaan yang tumbuh akibat
pengalaman dan tradisi dimasa lampau. Hukum itu tumbuh bersama
pertumbuhan masyarakat, menjadi kuat bersama kuatnya suatu bangsa.
Hukum

tersebut

akan

hilangbersama-sama

dengan

lenyapnya

nasionalitas12.secara sadar dengan sengaja dianggapnya sebagai suatu
aktivitasyang

tidak

wajar,

sehingga

sesungguhnya

tidak

lebih

hanyamemberikan pengesahan saja terhadap norma-norma yang di bentuk
secara informal oleh pergaulan hidup itu sendiri. 13senada dengan apa yang
dikemukakan diatas,bahwa di dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat
berbagai kepentingan dari warganya. Di antara kepentingan itu ada yang
bisa selaras dengan kepentingan yang lain, tetapi ada juga kepentingan yang
memicu konflik dengan kepentingan yang lain.Untuk keperluan tersebut,
hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsitertentu untuk mencapai
tujuannya. Dengan kata lain, fungsi hukum adalah menertibkan dan
mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan konflik yang
terjadi

11Sunarjati Hartono, Capita SelectaPerbandingan Hukum ( Bandung, Alumni,1968) halaman.58
12Sulaiman Nitiatma, Hukum Yang Baik, (Semarang, GUPPI –Undaris- 1997) halaman 29
13Satjipto Rahardjo, Hukum DanMasyarakat, ( Bandung, Angkasa, 1980 ) halaman 112
16

Fungsi hukum menurut Franz Magnis Suseno, adalah untuk mengatasi
konflik kepentingan. Dengan adanya hukum, konflik itu tidak lagi dipecahkan
menurut siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang
berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai objektif dengan
tidak membedakan antara yang kuat dan yang lemah, dan orientasi itu
disebut keadilan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan
tujuan-tujuan hukum, ide-ide hukum menjadi kenyataan,
Tujuan atau ide para pembuat hukum diwujudkan dalam penegakan
hukum ( law enforcement). Keberhasilan dalam penegakan hukumsangat
dipengaruhi

oleh sistem

hukumnya.MenurutLawrence

M.Friedman, sistem hukum terdiri dari tiga komponen, yaitu:
(1) Komponen Struktural (lembaga penegak hukum)
(2) Komponen Substansial (peraturan perundang-undangan) dan
(3)Komponen Kultural, baik internal legal culture (polisi,hakim, lawyers) atau
externallegal culture (masyarakat, roleoccupant)
Dari tiga komponen di atas komponen struktural menjadi faktor yang
sangat penting dalam proses penegakan hukum. Dalam perspektif sosial
pengadilan
adalah
sebagai
institusi
sosial
dalam
melaksanakantugasnyaakandipengaruhi
oleh
kekuatankekuatansosial,politik,ekonomi, budaya dan sebagainya.
Senada dengan pemikiran hukum, terkait dengan lingkungan hidup
maka etika lingkungan tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan yang
berkelanjutan dan good governance. Teori etika lingkungan menurut Sony
Keraf terbagi tiga, yaitu:
Antroposentrisme:

lingkungan

diperhatikan

sejauh

memenuhi

kepentingan manusia (yang utama adalah kepentingan ekonomi manusia).
Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam
17

tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yangdiambil dalam kaitan dengan
alam, baik secara langsung atau tidak langsung.
Biosentrisme: Lingkungan hidup diperhatikan karna berkaitan dengan
tanggung jawab moral menjaga kehidupan.
Ekosentrisme: manusia adalah bagian dari alam, maka alam menjadi
tanggung

jawab

manusia;

seluruh

ekosistem

bernilai

karna

kehidupan

bergantung pada eksosistem; makhluk ekologis.
Menurut Sony Keraf, untuk mengatasi permasalahan permasalahan serta
konfik yang terjadi antara masyarakat hukum adat dengan korporasi
perusahaan, warga negara lain serta pemerintah, maka perlu dilakukan
tindakan agar krisis lingkungan dapat teratasi yaitu:




perubahan perilaku setiap individu maupun kelompok
Kedua, perubahan paradigma pembangunan dari pembangunan
berkelanjutan ke pembangunan keberlanjutan ekologi
perlunya Good Environmental Government, yang memiliki komitmen
moral yangkonsisten (individu, masyarakat, dunia usaha dan
pemerintah).

BAB III
KESIMPULAN
Kearifan lokal merupakan bentuk penghayatan atas rasa kemanusiaan
dan sebagai hamba Tuhan dalam proses interaksi sosial, tidak hanya
dengan sesama manusia, tetapi juga terhadap lingkungan. Pemahaman
Sedulur Sikep terhadap lingkungan hidup yang ada selama ini tidak
berubah termasuk pola hidup sederhana yang sudah turun temurun
termasuk keseimbangan ekologis yang masih terpelihara dan terjaga
18

dengan baik.Kondisi kearifan lokal masyarakat Sedlur Sikep dapat dilihat
dari 2 (dua) aspek yaitu :Aspek transendental dan aspek emperik
Perlawanan yang dilakukan oleh orang orang samin atau sedulur sikep di
wilayah pegunungan kendeng wilayah sukolilo,kabupaten pati terutama
terkait dengan pradigmaatas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang
kearifan

lokal

masyarakat

Sedulur

Sikep.

Bahasa

“mensejahterakan”

dipahami berbeda karena masyarakat dengan pola yang sedehana itu sudah
sejahtera baik lahir maupun bathin sehingga pembangunan pabrik semen
dengan penambangan batu kapur (kars) justru akan merusak lingkungan dan
membuat

masyarakat

mendrita.

Disamping

itu

bertentangan

dengan

Rencana Tatat Ruang (RTRW) Jawa Tengah yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU BUKU :


NHT.

Siahan,

1987,Ekologi

Pembangunan

dan

Hukum

Tata

Lingkungan ,Jakarta ,Erlangga.


M. Djafar Saidi,1989,Hukum Lingkungan, Makassar , Lembaga Penerbitan
Universitas Hasanudin.



Satjipto Rahardjo,1980,Hukum DanMasyarakat, Bandung, Angkasa.



Sulaiman Nitiatma,1997,Hukum Yang Baik, Semarang, GUPPI –Undaris.
19



Moh.Rosyid,

2008,Samin

Kudus

Barsahaja

Di

Tengah

Asketisme

Lokal,Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


Anis Sholeh Baasyin,2015,SAMIN Mistisme Petani ditengah Pergolakan,
semarang ,Gigih Pustaka

JURNAL


:

Hartuti Purnaweni, “Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di Kawasan
Kendeng Utara Provinsi Jawa Tengah”, Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 12 No.
1, 2014.



Suharko, “Masyarakat Adat versus Korporasi:Konflik Sosial Rencana
Pembangunan Pabrik Semen di Kabupaten Pati Jawa Tengah Periode
2013-2016”, Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Vol.20 No.2 , 2016.



Wahyu nugroho,konstitusionalitas hak masyarakat hukum adat dalam
mengelola hutan adat ,jurnal konstitusi volume 11,nomor 1,tahun2014



Suharko,

“Ditambang

atau

Dilestarikan

Konflik

Sosial

Rencana

Pembangunan Pabrik Semen di Kabupaten Pati Jawa Tengah”, jurnal ilmu
social dan politik, Vol.17 No.2, 2013.
JURNAL Internasional


:

Mirza Satria Buana, Living adat Law, Indigenous Peoples and the State
Law: A Complex Map of Legal Pluralism in Indonesia, New Zealand: vol
31, no 3:241-254

JURNAL FH UNNES
Jawahir
Tonthowi,Pengaturan
Masyarakat
Hukum
Adat
dan
Implementasi Perlindungan Hak-hak Tradisionalnya,Semarang :Jurnal
Fakultas Hukum UNNES Vol 10, No 1
PERATURAN


:

Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1456
K/20/MEM/2000 Tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars

20

21