Kajian Paket Kompensasi Pegawai di Lingk

(1)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

TANGERANG SELATAN

MAKALAH

KAJIAN PAKET KOMPENSASI PEGAWAI DI

LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

Diajukan Oleh: ISHAQ

NPM 144060006297

Kelas 8A-STAR, No. Absen 14

Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Sistem

Pengendalian Manajemen Program Diploma IV Keuangan

Spesialisasi Akuntansi STAR BPKP Semester VIII TA

2014/2015


(2)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

TANGERANG SELATAN

PERNYATAAN KEASLIAN MAKALAH

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ishaq

NPM : 144060006297

Kelas : 8 A STAR BPKP No. Urut : 14

dengan ini menyatakan bahwa makalah/paper Mata Kuliah Sistem Pengendalian Manajemen dengan judul:

Kajian Paket Kompensasi Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak

adalah merupakan hasil karya saya sendiri yang belum pernah dipublikasikan baik secara keseluruhan maupun sebagian. Makalah/paper ini sepenuhnya merupakan hasil tuliasan saya sendiri dan seluruh sumber yang menjadi rujukan dalam karya ini telah kami sebutkan sesuai kaidah akademik yang berlaku umum.

Apabila di kemudian hari saya terbukti melakukan tindakan plagiarisme (sebagian atau seluruhnya) dalam penulisan paper ini, maka saya siap dikenai sanksi Tidak Lulus dari mata kuliah ini.

Tangerang Selatan, Agustus 2015

Ishaq


(3)

Tunjangan Kinerja Pegawai Pajak Menjadi

"Reward" untuk Beban Besar

Kamis, 9 April 2015 | 18:42 WIB

KOMPAS/RIZA FATHONIDitjen Pajak

JAKARTA, KOMPAS.com- Pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center, Darussalam mendukung pemerintah memberikan tunjangan kinerja bagi pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan.

Menurut saya, tunjangan kinerja secara psikologis akan menjadi semangat bagi aparat Ditjen Pajak untuk bekerja lebih giat sesuai remunerasi yang mereka terima, kata dia ditemui usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Badan Anggaran DPR RI, Jakarta, Kamis (9/4/2015).

Darussalam mengatakan, seharusnya remunerasi ini dipandang juga sebagai penyesuaian. Selama tujuh tahun pegawai Ditjen Pajak tidak pernah mengecap kenaikan gaji. Lebih dari itu, remunerasi yang diberikan juga sebaiknya dilihat sebagai hal yang setimpal dengan besarnya beban dan tanggungjawab dalam mengumpulkan pajak.

Seharusnya dengan tanggung jawab besar, remunerasinya juga harus besar. Resiko besar ya reward besar. Itu memang harus seperti itu, kata Darussalam.

Sebelumnya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2015, yang menetapkan tunjangan kinerja terbaru bagi para pegawai Direktorat Jenderal Pajak, sebagai insentif untuk mendorong penerimaan pajak tahun ini.

Remunerasi akan diberikan sesuai dengan besaran yang diatur dalam Perpres tersebut dan telah disesuaikan dengan tanggung jawab, risiko serta peran dari masing-masing posisi untuk optimalisasi penerimaan negara dari sektor pajak.

Pejabat yang mendapatkan tunjangan kinerja tertinggi adalah Direktur Jenderal Pajak yaitu mencapai Rp 117,3 juta per bulan, sedangkan yang terendah adalah pegawai fresh graduate tingkat pelaksana dengan pendidikan S1 sebesar Rp 8,4 juta serta pendidikan D3 sebesar Rp 7,6 juta.

Penulis : Estu Suryowati


(4)

Jokowi Naikkan Tunjangan Ditjen Pajak sebagai

"Vitamin" untuk Genjot Penerimaan

Sabtu, 21 Maret 2015 | 23:22 WIB

Kompas.com/SABRINA ASRILSekretaris Kabinet Andi Widjajanto

JAKARTA, KOMPAS.com- Presiden Joko Widodo akhirnya menerbitkan Peraturan Presiden nomor 37 tahun 2015 tentang kenaikan tunjangan kinerja pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Tunjangan yang kini didapat pejabat tertinggi di sana bahkan mendapat Rp 117 juta per bulan.

Apa alasan Jokowi menambah tunjangan yang dikabarkan melebihi gaji menteri itu?

Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto menyatakan terbitnya aturan itu adalah sebagai tindak lanjut dari permintaan Ditjen Pajak pada Februari lalu soal "vitamin" yang dibutuhkan para pegawai pajak. Istilah "vitamin" itu dilontarkan Dirjen Pajak menyikapi target penerimaan pajak yang meningkat drastis pada APBN-P 2015 yaitu Rp 1.484,6 triliun atau meningkat 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya. (Baca: Jokowi Terbitkan Perpres, Dirjen Pajak Dapat Tunjangan Kinerja Rp 117 Juta)

"Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah merealisasikan 'vitamin' bagi para pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Melalui Peraturan Presiden No 37/2015 tentang Tunjangan Kinerja di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, Jokowi sudah menyetujui besaran tunjangan kinerja (remunerasi) yang baru buat para pegawai pajak," kata Andi saat dihubungi, Sabtu (21/3/2015).

Dia menjelaskan bahwa kenaikan tunjangan kinerja pegawai pajak ini juga sudah disepakati oleh Komisi XI DPR. Di dalam APBN-P 2015, alokasi remunerasi untuk Ditjen Pajak mencapai Rp 4,1 triliun. (Baca: Kunjungi Ditjen Pajak, Jokowi Beri Kado Perpres Remunerasi Rp 4,1 Triliun)

Adapun, tunjangan kinerja ini akan diberikan setiap bulannya dan di luar gaji pokok serta tunjangan jabatan. Berdasarkan dokumen yang diterimaKompas.com, besaran tertinggi didapat oleh pejabat struktural eselon I yakni Direktur Jenderal Pajak sebesar Rp 117.375.000, sedangkan paling rendah adalah untuk Penilai PBB Muda sebesar Rp 21.567.900.

Secara rinci, berikut daftarnya:

Pejabat Struktural (Eselon I) Rp 117.375.000 Pejabat Struktural (Eselon I) Rp 99.720.000. Pejabat Struktural (Eselon I) Rp 95.602.000. Pejabat Struktural (Eselon I) Rp 84.604.000. Pejabat Struktural (Eselon II) Rp 81.940.000. Pejabat Struktural (Eselon II) Rp 72.522.000. Pejabat Struktural (Eselon II) Rp 64.192.000. Pejabat Struktural (Eselon II) Rp 56.780.000.


(5)

Pranata Komputer Utama Rp 42.585.000. Pejabat Struktural (Eselon III) Rp 46.478.000. Pejabat Struktural (Eselon III) Rp 42.058.000. Pemeriksa Pajak Madya Rp 34.172.125. Penilai PBB Madya Rp 28.914.875.

Pejabat Struktural (Eselon III) Rp 37.219.800. Pranata Komputer Madya Rp 27.914.850. Pejabat Struktural (Eselon IV) Rp 28.757.200. Pemeriksa Pajak Muda Rp 25.162.550. Penilai PBB Muda Rp 21.567.900. Penulis : Sabrina Asril

Editor : Fidel Ali Permana

I. Fakta dan Data

- Kenaikan tukin (persentasenya)

Pada awal tahun 2015, para pegawai dilingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mendapat kabar baik dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkunga Direktorat Jenderal Pajak. Peraturan presiden tersebut menjadi suatu sinyal bahwa pegawai pajak mendapat sebuah tambahan stimulus yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja mereka, terutama dalam hal penerimaan pajak. Artikel di atas bahkan mengibaratkan kenaikan remunerasi tersebut sebagai vitamin bagi para pegawai pajak di tengah semakin beratnya beban yang mereka emban.

- Beban target pajak meningkat

Wacana akan kenaikan tukin bagi pegawai pajak sebenarnya sudah lama digulirkan. Akan tetapi, setelah tujuh tahun tidak mengalami kenaikan, akhirnya rencana tersebut terealisasi tahun ini. Selain karena alasan tersebut, kenaikan remunerasi pegawai pajak ini juga dipicu dengan semakin meningkatnya beban target penerimaan pajak, yang dalam artikel di atas disebutkan naik drastis menjadi sebesar Rp 1.484,6 triliun atau lebih tinggi 20% dari tahun sebelumnya. Sebagai salah satu ujung tombak terbesar dalam penerimaan negara, tentu saja peningkatan remunerasi dapat dikatakan wajar jika dibandingkan dengan tanggung jawab yang dipegang.

- Komposisinya?

Tunjangan kinerja ini diberikan kepada pegawai pajak setiap bulan yang merupakan salah satu komponen daritake home payyang mereka terima. Seluruh level pegawai, baik structural, fungsional maupun pelaksana memperoleh kenaikan tunjangan kinerja. Adapun rincian secara detailnya sebagaimana yang disajikan pada artikel di atas adalah sebagai berikut*):

Pejabat Struktural (Eselon I) Rp 117.375.000 Pejabat Struktural (Eselon I) Rp 99.720.000. Pejabat Struktural (Eselon I) Rp 95.602.000. Pejabat Struktural (Eselon I) Rp 84.604.000. Pejabat Struktural (Eselon II) Rp 81.940.000. Pejabat Struktural (Eselon II) Rp 72.522.000. Pejabat Struktural (Eselon II) Rp 64.192.000. Pejabat Struktural (Eselon II) Rp 56.780.000. Pranata Komputer Utama Rp 42.585.000. Pejabat Struktural (Eselon III) Rp 46.478.000. Pejabat Struktural (Eselon III) Rp 42.058.000. Pemeriksa Pajak Madya Rp 34.172.125. Penilai PBB Madya Rp 28.914.875.

Pejabat Struktural (Eselon III) Rp 37.219.800. Pranata Komputer Madya Rp 27.914.850.


(6)

Pejabat Struktural (Eselon IV) Rp 28.757.200. Pemeriksa Pajak Muda Rp 25.162.550. Penilai PBB Muda Rp 21.567.900.

*) di dalam lampiran Perpres 37 Tahun 2015 sebenarnya dijabarkan hingga level pelaksana paling rendah, namun yang ditampilkan di berita tersebut hanya sampai level Penilai PBB Muda.

- Isu-isu Kunci

Beberapa hal yang dapat menjadi poin-poin penting terkait pengendalian manajemen dalam dua artikel tersebut antara lain adalah:

No. Isu Kunci Keterangan

A Kenaikan Remunerasi Salah satu jenis pengendalian hasil keuangan (financial result control) adalah dengan adanya kontrak insentif yang mendefinisikan antara hasil yang diinginkan dengan berbagai imbalan. Direktorat Jenderal Pajak baru-baru ini menaikkan remunerasi bagi pegawai mereka setelah selama 7 tahun tidak mengalami kenaikan.

B Peningkatan Target Kinerja Kenaikan remunerasi tentu saja bukan tanpa alasan. Kenaikan tunjangankinerja, sesuai dengan namanya berkaitan erat dengan fungsi utama institusi perpajakan di indonesia. Sebagai garda terdepan dalam penerimaan negara, kinerja utama mereka diukur dari seberapa besar pencapaian target penerimaan negara. Meningkatnya insentif atas kinerja mereka adalah sebagai imbas dari semakin meningkatnya pula target penerimaan pajak yang ditetapkan bagi para pegawai pajak.

C Harapan Terciptanya Goal Congruence antara Pegawai dengan Institusi

Suntikan insentif ini pada dasarnya merupakan semacam "booster" untuk menggenjot dan memotivasi pegawai pajak dalam melaksanakan tugasnya dalam memungut pajak. Tentu saja kesejahteraan pegawai pajak mengangkat seiring dengan peningkatan tunjangan kinerja ini yang merupakan apa yang diinginkan karyawan. Harapan yang sama juga diusung oleh organisasi, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak yakni dengan tercapainya target penerimaan pajak.

II. Teori yang Relevan 1. Tujuan Insentif

Kinerja berkaitan erat dengan imbalan atau insentif, begitu pula sebaliknya. Pada dasarnya tujuan utama dari pengendalian melalui sistem insentif adalah untuk menyesuaikan antara kepentingan diri karyawan dengan tujuan organiasi. Lebih lanjut lagi, Merchant (2010) menjabarkan bahwa insentif memberikan tiga manfaat bagi pengendalian manajemen, yaitu:

a. Informational

Insentif merupakan alat yang efektif bagi manajemen untuk mengomunikasikan apa sesungguhnya hal-hal yang menjadi main focus dan main goal dari organisasi. Dengan mengaitkan kinerja tertentu dengan insentif yang diberikan, pegawai akan mengetahui bahwa ada penekanan khusus terhadap pencapaian target-target kinerja tertentu tadi yang kemudian diterjemahkan pegawai dengan berusaha mencapai apa yang ditetapkan perusahaan. Misalnya, perusahaan menetapkan adan ya bonus kepada karyawan jika tingkat kepuasan pelanggan melebihi sekian persen. Para karyawan kemudian akan


(7)

menginterpretasikan hal tersebut dengan tidak hanya menggenjot penjualan, tetapi juga memberikan perlayanan terbaik dengan pelanggannya.

Begitu pula halnya dengan yang terjadi di Direktorat Jenderal Pajak. Peningkatan remunerasi ini berkaitan erat dengan target pencapaian pajak. Artinya, para pegawai pajak harus merespon hal tersebut dengan meningkatkan kinerja mereka untuk tercapainya target penerimaan negara yang ditetapkan pemerintah melalui APBN.

b. Motivasi

Konsep pay for performance sangat relevan dengan sistem insentif. Terkadang beberapa karyawan perlu sebuah semacam jaminan secara kontraktual akan sebuah imbalan atas kerja kerasnya. Dengan demikian, dengan adanya insentif ini pegawai akan terdorong untuk mengeluarkan yang terbaik bagi organiasasi (effort-inducing-purpose).

Dalam kasus kenaikan remunerasi pajak, hal ini tentu saja sesuai dengan konsep di atas. Bahkan secara lisan, juru bicara Presiden RI menyatakan kenaikan remunerasi ini sebagai suntikan vitamin bagi para pegawai pajak untuk mendorong dan memotivasi mereka dalam menjalankan tugasnya mencari sumber penerimaan negara.

c. Menarik dan Mempertahankan Personel

Beberapa imbalan dijanjikan organisasi karena organiasasi ingin meningkatkan proses rekrutmen karyawan dan mempertahankan baik dengan cara menawarkan paket kompensasi yang sebanding atau uang terbaik seperti yang ditawarkan oleh para pesaing atau dengan menghubungkan pembayaran pada keberlanjutan karyawan.

Pegawai pajak merupakan salah satu tulang punggung negara dalam mengumpulkan penerimaan negara yang dikelola dan digunakan pemerintah untuk pembangunan nasional. Dengan demikian sangat penting bagi Direktorat Jenderal pajak untuk mempertahankan karyawan-karyawan terbaik mereka. Tidak merasakan kenaikan selama 7 tahun bisa menjadi sinyal negatif bagi para pegawai pajak jika pada akhirnya mereka tetap diberikan target yang semakin tinggi. Adanya kenaaikan remunerasi ini setidaknya menjadi angin segar bagi karyawan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI.

Selain itu, penawaran paket kompensasi yang baik diharapkan juga dapat menarik minat masyarakat umum dan para pencari kerja untuk mengabdi sebagai PNS di Direktorat Jenderal Pajak, tentu saja melalui seleksi yang ada (salah satunya mungkin dengan menjadi mahasiswa PKN STAN).

2. Desain Sistem Insentif yang Efektif

Merchant (2010) dalam bukunya membagi setidaknya ada 3 unsur dalam mendesain insentif yaitu:

1. Formula perhitungan insentif 2. Bentuk insentif fungsi kinerja 3. Ukuran pembayaran insentif

Selain itu, di pembahasan lain dijabarkan juga apa saja kriteria yang mengindikasikan bahwa sebuah sistem insentif itu efektif. Pertama, sebuah insentif harus memiliki nilai. Imbalan yang tidak bernilai di mata karyawan tidak akan memberikan efek motivasi bagi mereka. Tentu saja tidak selamanya yang bernilai itu dikaitkan dengan uang. Reward yang berbentuk finansial dan non-finansial masing-masing memiliki nilai tersendiri di mata karyawan. Manajemen harus tepat dalam menentukan sebuah insentif agar pegawainya dapat melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang bernilai.

Kedua, sebuah sistem insentif yang baik seharusnyamemiliki pengaruh positifyang cukup besar bagi karyawan. Reward yang sejatinya bernilai jika disediakan dalam jumlah yang kurang tentu akan berdampak kontraproduktif. Pegawai bahkan dapat bereaksi negatif terhadap skema insentif


(8)

yang ditawarkan organisasi jika manajer salah dalam memformulasikan ukuran reward yang diberikan kepada karyawan.

Ketiga, sebuah insentif sebaiknya dapat dimengerti oleh para pegawai. Karyawan sekiranya dapat memahami dengan baik untuk alasan apa sebuah imbalan diberikan dan apa nilai yang terkandung dari imbalan tersebut.

Keempat, insentif yang baik seharusnya diberikan secara tepat waktu. Penundaan pemberian imbalan setelah kinerja yang ditargetkan telah selesai dilaksanakan pegawai akan melemahkan efek motivasi bagi karyawan. Kelima, sebuah reward yang diberikan kepada karyawan sebaiknya memberikan pengaruh yangtahan lama.Sebuah reward dapat dikatakan memiliki nilai yang lebih besar aoabila perasaan senang yang dihasilkan dengan pemberian imbalan tersebut bertahan lebih lama dalam ingatan karyawan.

Terakhir, sebuah imbalan seharusnya dapat tarik kembali (reversible). Dalam mengevaluasi kinerja pegawainya seorang manajer bisa saja membuat kesalahan dan beberapa keputusan pemberian reward atas performance yang sudah terlanjut tersebut tentu sulit diperbaiki. Oleh karenanya, dalam hal ini manajer harus benar-benar yakin dalam mengambil keputusan pemberian imbalan dan reward yang diberikan juga harusberbiaya efisien.

3. Masalah yang Muncul dalam Pengukuran Kinerja a. Miopia

Masalah mipoia (myopic behavior) merupakan keadaan menyimpang dari manajer yang cenderung fokus terhadap tanggung jawab pada hasil yang bersifat jangka pendek dan tidak memperhatikan keberlangsungan dan sustainability secara jangka panjang. Dalam sebuah perusahaan, behavioral displacement semacam ini adalah potensi yang paling mebahayakan. Para manajer yang hanya concern kepada accounting profit yang diukur dalam jangka pendek cenderung untuk memperhatikan peningkatan (atau mempertahankan) profit (returns) bulanan, triwulanan, atau tahunan. Apabila orientasi para manajer terhadap short-term profit terlalu berlebihan dibandingkan dengan long-term value creation, tentu saja akan membahayakan keberlangsungan perusahaan di masa yang akan datang.

Masalah myopia ini berkaitan erat dengan sistem insentif. Hal ini dapat ditelusuri dengan melihat bagaimana manajer berusaha sedemikian rupa mengejar target jangka pendek untuk kepentingan pencapaian bonus bagi mereka. Oleh karena itu, hal ini harus dapat ditangani oleh perusahaan dengan mengubah pola pikir (mindset) dan perilaku manajer dalam hal ini yang berkaitan dengan performa dan pemberian reward.

III. Analisis dan Pembahasan

Berdasarkan teori dan isu-isu kunci yang di jabarkan pada bagian sebelumnya, beberapa hal di bawah ini merupakan analisis dan pembahasan yang dapat diberikan.

1. Efektifkah Kenaikan Remunerasi yang Diberikan?

Attractiveness?

When?

Bentuknya Apa?

Sebesar Apa?

Achievable?


(9)

Diagram tersebut menunjukkan kerangka hubungan antara usaha, kinerja, dan imbalan yang diperoleh karyawan dalam sebuah organisasi. Lebih lanjut lagi, dalam gambar tersebut dijelaskan apa saja komponen-komponen yang diperlukan dalam membuat sebuah desain insentif. Masing-masing poin tersebut akan dikupas lebih lanjut dalam penjelasan di bawah ini.

Bentuk dan Nilai (Attractiveness)?

Dari segi nilai dan bentuknya, bentuk insentif yang baru saja diberikan kepada pegawai pajak termasuk jenis insentif finansial (salary increase). Pada umunya, reward yang berupa uang mendapat respon positif dari para pegawai. Dalam kasus ini, pegawai Direktorat Jenderal Pajak pun nampaknya senang dengan adanya insentif berupa kenaikan tunjangan kinerja mereka. Selain itu, kenaikan remunerasi ini juga dimaksudkan untuk menaikkan daya tawar Direktorat Jenderal Pajak terhadap karyawannya yang tidak sedikit diminati oleh sektor swasta untuk direkrut jika melihat kualitas dan kapabilitas mereka, tentu saja dalam urusan perpajakan. Selain itu, Menteri Keuangan, Prof DR Bambang Brodjonegoro, menyatakan bahwa pemberian kenaikan tunjangan kinerja ini juga dalam rangka menekan probabilitas penyalahgunaan wewenang yang selalu terjadi karena begitu besarnya godaan yang dihadapi aparat pajak dan begitu tingginya resiko terhadap penerimaan negara (aspek moral).

Kapan?

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, insentif yang baik semestinya diberikan tidak lama setelah kinerja telah dicapai oleh seorang karyawan. Akan tetapi, jika melihat pola pemberian tunjangan kinerja ini di Direktorat Jenderal Pajak (pemberian tukin termasuk dalam komponen take home pay

yang dibayarkan bulanan), sepertinya pemberian reward seolah-oleh diberikan di sebelum kinerja tersebut dicapai. Akan tetapi, skema pembayaran tunjangan kinerja dengan ini tidak dapat dinilai dengan pendekatan tersebut. Momentum kenaikan tunjangan kinerja ini harus dilihat dari salah satu hal yang melatarbelakangi pimpinan mengambil keputusan ini. Sudah selama tujuh tahun pegawai Direktorat Jenderal Pajak tidak merasakan kenaikan remunerasi. Dengan hasil kinerja selama ini, pimpinan merasa hal tersebut perlu diapresiasi dan salah satu cara mengapresiasi kinerja pegawai pajak tersebut salah satunya adalah dengan pemberian kenaikan remunerasi. Dengan demikian, kenaikan tukin yang pegawai Direktorat Jenderal Pajak terima dapat dikatakan mempunyai dua makna tersirat, yakni apresiasi atas kinerja mereka selama 7 tahun ke belakang sekaligus tuntutan untuk kinerja yang lebih baik melalui target penerimaan yang baru. Menariknya, di dalam Perpres 37 Tahun 2015 mengenai kenaikan tunjangan kinerja tidak semata-mata diberikan secara bulat 100%. Perpres tersebut memberikan klausul sebagai berikut:

a. tunjangan kinerja dibayarkan 100% (seratus persen) pada tahun berikutnya selama satu tahun dalam hal realisasi penerimaan pajak sebesar 95% (sembilan puluh lima persen) atau lebih dari target penerimaan pajak;

b. tunjangan kinerja dibayarkan 90% (sembilan puluh persen) pada tahun berikutnya selama satu tahun dalam hal realisasi penerimaan pajak sebesar 90% (sembilan puluh persen) sampai dengan kurang dari 95% (sembilan puluh lima persen) dari target penerimaan pajak; c. tunjangan kinerja dibayarkan 80% (delapan puluh persen) pada tahun berikutnya selama satu

tahun dalam hal realisasi penerimaan pajak sebesar 80% (delapan puluh persen) sampai dengan kurang dari 90% (sembilan puluh persen) dari target penerimaan pajak;

d. tunjangan kinerja dibayarkan 70% (tujuh puluh persen) pada tahun berikutnya selama satu tahun dalam hal realisasi penerimaan pajak sebesar 70% (tujuh puluh persen) sampai dengan kurang dari 80% (delapan puluh persen) dari target penerimaan pajak; atau


(10)

e. tunjangan kinerja dibayarkan 50% (lima puluh persen) pada tahun berikutnya selama satu tahun dalam hal realisasi penerimaan pajak kurang dari 70% (tujuh puluh persen) dari target penerimaan pajak.

Jika berkaca kepada realisasi target penerimaan pajak yang dicapai pada tahun 2014, rasanya pemberian kenaikan tunjangan sebesar 100% untuk tahun ini kurang tepat dengan apa yang diatur dalam Perpres tersebut. Hal ini tentu saja dapat memberikan preseden yang buruk bagi pegawai pajak yang seolah-olah menerima gaji buta di luar kinerja yang mereka hasilkan.

Seberapa Besar?

Kenaikan tunjangan kinerja pegawai Direktorat Jenderal Pajak dapat dikatakan cukup drastis. Jika dibandingkan dengan tunjangan kinerja tahun sebelumnya, maka rata-rata pegawai pajak dari eselon terendah hingga eselon tertinggi mengalami kenaikan sebesar 250%. Sayangnya, tidak ada penjelasan baik di secara argumentatif dalam peraturannya maupun secara matematis mengenai asal-usul angka ini diperoleh.

Sebagai institusi pemerintahan, setiap uang yang digelontorkan tentu harus ada dasar yang jelas yang mendukungnya. Masyarakat umum dalam hal ini mempunyai hak untuk mengetahui bagaimana dana mereka bisa dihabiskan untuk keperluan gaji para pegawai pajak ini. Tidak hanya itu, tentu saja institusi lain yang merasa terlupakan akan mempertanyakan hal ini dan memandang secara negatif terhadap nilai remunerasi yang diterima pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Sekali lagi, ini akan menimbulkan iklim yang tidak sehat bagi institusi Direktorat Jenderal Pajak secara umum.

2. Adakah Pengaruh Negatif dari Kenaikan Remunerasi Ini? a. Masalah Miopia

Secara prinsip, adanya kenaikan tunjangan kinerja ini ditujukan untuk mendorong tercapainya target penerimaan pajak selama satu tahun anggaran. Tentu saja hal ini sejalan dengan tugas dan fungsi utama serta tujuan dari institusi Direktorat Jenderal Pajak.

Akan tetapi, masalah terkait myopia dapat muncul apabila pegawai pajak terlalu fokus terhadap pencapaian target. Masalah yang dapat timbul adalah terabaikannya aspek yang dapat memberikan efek dalam jangka panjang, yakni pemberian pelayanan yang prima kepada wajib pajak (WP). Jika kita dalami lebih lanjut, tercapainya target penerimaan pajak tidak lepas dari keikhlasan para (WP) untuk dengan suka rela (maupun terpaksa) memberikan sebagian penghasilannya kepada negara.

Dengan demikian adalah hal yang penting bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk senantiasa memberikan pelayanan yang baik agar kepuasan dari para WP semakin meningkat dan dengan senang dan penuh kesadaran membayarkan pajak mereka. Hal ini semestinya perlu dicermati karena akan sulit jika yang terjadi adalah WP enggan membayar akibat merasa tidak dilayani dengan baik padahal sudah memiliki niat untuk memenuhi kewajibannya.

Oleh karena itu, sebisa mungkin pimpinan masing-masing unit harus tetap mengingatkan pegawainya agar tidak mengabaikan unsur kepuasan stakeholder dalam melaksanakan tugasnya sehingga tidak hanya berfokus terhadap pencapaian kinerja jangka pendek yang berkaitan dengan pemberian reward.

b. Free Rider Problem

Setiap unit di dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pajak memiliki fungsi tersendiri walaupun secara organisasi keseluruhan tujuannya tetap sama. Berbagai macam peran baik dari segi jabatan, maupun fungsionalnya yang dapat menentukan naik turunnya, tinggi rendahnya penerimaan pajak yang dicapai, seperti auditor pajak,account representative,penyuluh pajak, dan sebagainya. Di sisi lain ada juga jenis jabatan kerja yang secara langsung tak memiliki banyak


(11)

pengaruh dengan pencapaian target pajak, seperti urusan tugas administratif, bagian umum, bagian kepegawaian dan hal-hal yang lebih bersifat clericaldan administratif. Dengan kata lain, masing-masing peran tersebut memiliki tanggung jawab, fungsi, serta kontribusi yang berbeda-beda.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana menjelaskan hubungan reward yang secara rata diberikan atas kinerja yang berbeda tersebut? Hal ini tentu saja memberikan kesan adanya pegawai yang secara individu performanya bisa jadi tidak sesuai target namun mencicipi bonus akibat hasil pencapaian secara kelompok.

c. Fenomena Pahlawan APBN

Sebagai institusi yang mengurus penerimaan negara, Direktorat Jenderal Pajak tentu saja merupakan organisasi yang penting di dalam tata pemerintahan negara Indonesia. Akan tetapi, sebenarnya urusan penerimaan negara ini tidak hanya diemban oleh Direktorat Jenderal Pajak saja. Dalam lingkungan Kementerian Keuangan saja ada institusi lain yang selevel dengan Direktorat Jenderal Pajak yang salah satu tugas utamanya adalah memungut pajak.

Adanya kenaikan tunjangan kinerja ini dapat memberikan sentiment negatif terhadap institusi lain yang merasa turut andil dalam hal penerimaan negara namun merasa tidak diapresiasi atas hasil pekerjaannya selama ini.

Secara institusional, mungkin dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat memberikan respon apapun selain menunjukkan performa mereka sebagai bukti bahwa mereka layak memperoleh reward sebesar itu.

IV. Simpulan dan Saran

Pemberian insentif merupakan salah satu alat bagi manajemen untuk mengendalikan perilaku para karyawannya. Pencapaian goal congruence antara organisasi dan pegawai menjadi tujuan utama dari adanya sistem insentif ini. Diektorat Jenderal Pajak menerapkan skema yang sama dengan harapan tercapainya tujuan utama dari organisasinya, yaitu perolehan realisasi yang sesuai, bahkan bisa melebihi target penerimaan negara yang ditetapkan.

Akan tetapi, sistem ini dapat dikatakan masih perlu banyak diperbaiki baik dari desainnya maupun dalam hal dampak negatif yang timbul dari sistem yang telah dibuat. Masalah-masalah seperti myopia, free rider, serta kecemburuan sectoral harus segera diatasi oleh pimpinan, baik di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, maupun institusi pemerintahan di Indonesia secara umum.

Dengan demikian diharapkan sistem insentif yang sudah didesain dengan baik dapat dijadikan

benchmarkingterhadap institusi lainnya dalam mendesain paket kompensasi yang optimal bagi pegawai di lingkungannya berkaitan dengan performa yang dihasilkan.


(12)

Daftar Pustaka

Jokowi Naikkan Tunjangan Ditjen Pajak sebagai "Vitamin" untuk Genjot Penerimaan. Kompas,Maret 2015.

http://nasional.kompas.com/read/2015/03/21/23223451/Jokowi.Naikkan.Tunjangan.Ditjen.Pajak.seb agai.Vitamin.untuk.Genjot.Penerimaan

Merchant, Kenneth A and Van der Stede, Wim (2010).Sistem Pengendalian Manajemen.Salemba Empat, Jakarta, Indonesia

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak

Tunjangan Kinerja Pegawai Pajak Menjadi "Reward" untuk Beban Besar. Kompas,April 2015.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/04/09/184229526/Tunjangan.Kinerja.Pegawai.Pajak.M enjadi.Reward.untuk.Beban.Besar


(1)

menginterpretasikan hal tersebut dengan tidak hanya menggenjot penjualan, tetapi juga memberikan perlayanan terbaik dengan pelanggannya.

Begitu pula halnya dengan yang terjadi di Direktorat Jenderal Pajak. Peningkatan remunerasi ini berkaitan erat dengan target pencapaian pajak. Artinya, para pegawai pajak harus merespon hal tersebut dengan meningkatkan kinerja mereka untuk tercapainya target penerimaan negara yang ditetapkan pemerintah melalui APBN.

b. Motivasi

Konsep pay for performance sangat relevan dengan sistem insentif. Terkadang beberapa karyawan perlu sebuah semacam jaminan secara kontraktual akan sebuah imbalan atas kerja kerasnya. Dengan demikian, dengan adanya insentif ini pegawai akan terdorong untuk mengeluarkan yang terbaik bagi organiasasi (effort-inducing-purpose).

Dalam kasus kenaikan remunerasi pajak, hal ini tentu saja sesuai dengan konsep di atas. Bahkan secara lisan, juru bicara Presiden RI menyatakan kenaikan remunerasi ini sebagai suntikan vitamin bagi para pegawai pajak untuk mendorong dan memotivasi mereka dalam menjalankan tugasnya mencari sumber penerimaan negara.

c. Menarik dan Mempertahankan Personel

Beberapa imbalan dijanjikan organisasi karena organiasasi ingin meningkatkan proses rekrutmen karyawan dan mempertahankan baik dengan cara menawarkan paket kompensasi yang sebanding atau uang terbaik seperti yang ditawarkan oleh para pesaing atau dengan menghubungkan pembayaran pada keberlanjutan karyawan.

Pegawai pajak merupakan salah satu tulang punggung negara dalam mengumpulkan penerimaan negara yang dikelola dan digunakan pemerintah untuk pembangunan nasional. Dengan demikian sangat penting bagi Direktorat Jenderal pajak untuk mempertahankan karyawan-karyawan terbaik mereka. Tidak merasakan kenaikan selama 7 tahun bisa menjadi sinyal negatif bagi para pegawai pajak jika pada akhirnya mereka tetap diberikan target yang semakin tinggi. Adanya kenaaikan remunerasi ini setidaknya menjadi angin segar bagi karyawan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI.

Selain itu, penawaran paket kompensasi yang baik diharapkan juga dapat menarik minat masyarakat umum dan para pencari kerja untuk mengabdi sebagai PNS di Direktorat Jenderal Pajak, tentu saja melalui seleksi yang ada (salah satunya mungkin dengan menjadi mahasiswa PKN STAN).

2. Desain Sistem Insentif yang Efektif

Merchant (2010) dalam bukunya membagi setidaknya ada 3 unsur dalam mendesain insentif yaitu:

1. Formula perhitungan insentif 2. Bentuk insentif fungsi kinerja 3. Ukuran pembayaran insentif

Selain itu, di pembahasan lain dijabarkan juga apa saja kriteria yang mengindikasikan bahwa sebuah sistem insentif itu efektif. Pertama, sebuah insentif harus memiliki nilai. Imbalan yang tidak bernilai di mata karyawan tidak akan memberikan efek motivasi bagi mereka. Tentu saja tidak selamanya yang bernilai itu dikaitkan dengan uang. Reward yang berbentuk finansial dan non-finansial masing-masing memiliki nilai tersendiri di mata karyawan. Manajemen harus tepat dalam menentukan sebuah insentif agar pegawainya dapat melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang bernilai.

Kedua, sebuah sistem insentif yang baik seharusnyamemiliki pengaruh positifyang cukup besar bagi karyawan. Reward yang sejatinya bernilai jika disediakan dalam jumlah yang kurang tentu


(2)

yang ditawarkan organisasi jika manajer salah dalam memformulasikan ukuran reward yang diberikan kepada karyawan.

Ketiga, sebuah insentif sebaiknya dapat dimengerti oleh para pegawai. Karyawan sekiranya dapat memahami dengan baik untuk alasan apa sebuah imbalan diberikan dan apa nilai yang terkandung dari imbalan tersebut.

Keempat, insentif yang baik seharusnya diberikan secara tepat waktu. Penundaan pemberian imbalan setelah kinerja yang ditargetkan telah selesai dilaksanakan pegawai akan melemahkan efek motivasi bagi karyawan. Kelima, sebuah reward yang diberikan kepada karyawan sebaiknya memberikan pengaruh yangtahan lama.Sebuah reward dapat dikatakan memiliki nilai yang lebih besar aoabila perasaan senang yang dihasilkan dengan pemberian imbalan tersebut bertahan lebih lama dalam ingatan karyawan.

Terakhir, sebuah imbalan seharusnya dapat tarik kembali (reversible). Dalam mengevaluasi kinerja pegawainya seorang manajer bisa saja membuat kesalahan dan beberapa keputusan pemberian reward atas performance yang sudah terlanjut tersebut tentu sulit diperbaiki. Oleh karenanya, dalam hal ini manajer harus benar-benar yakin dalam mengambil keputusan pemberian imbalan dan reward yang diberikan juga harusberbiaya efisien.

3. Masalah yang Muncul dalam Pengukuran Kinerja a. Miopia

Masalah mipoia (myopic behavior) merupakan keadaan menyimpang dari manajer yang cenderung fokus terhadap tanggung jawab pada hasil yang bersifat jangka pendek dan tidak memperhatikan keberlangsungan dan sustainability secara jangka panjang. Dalam sebuah perusahaan, behavioral displacement semacam ini adalah potensi yang paling mebahayakan. Para manajer yang hanya concern kepada accounting profit yang diukur dalam jangka pendek cenderung untuk memperhatikan peningkatan (atau mempertahankan) profit (returns) bulanan, triwulanan, atau tahunan. Apabila orientasi para manajer terhadap short-term profit terlalu berlebihan dibandingkan dengan long-term value creation, tentu saja akan membahayakan keberlangsungan perusahaan di masa yang akan datang.

Masalah myopia ini berkaitan erat dengan sistem insentif. Hal ini dapat ditelusuri dengan melihat bagaimana manajer berusaha sedemikian rupa mengejar target jangka pendek untuk kepentingan pencapaian bonus bagi mereka. Oleh karena itu, hal ini harus dapat ditangani oleh perusahaan dengan mengubah pola pikir (mindset) dan perilaku manajer dalam hal ini yang berkaitan dengan performa dan pemberian reward.

III. Analisis dan Pembahasan

Berdasarkan teori dan isu-isu kunci yang di jabarkan pada bagian sebelumnya, beberapa hal di bawah ini merupakan analisis dan pembahasan yang dapat diberikan.

1. Efektifkah Kenaikan Remunerasi yang Diberikan?

Attractiveness?

When?

Bentuknya Apa?

Sebesar Apa?

Achievable?


(3)

Diagram tersebut menunjukkan kerangka hubungan antara usaha, kinerja, dan imbalan yang diperoleh karyawan dalam sebuah organisasi. Lebih lanjut lagi, dalam gambar tersebut dijelaskan apa saja komponen-komponen yang diperlukan dalam membuat sebuah desain insentif. Masing-masing poin tersebut akan dikupas lebih lanjut dalam penjelasan di bawah ini.

Bentuk dan Nilai (Attractiveness)?

Dari segi nilai dan bentuknya, bentuk insentif yang baru saja diberikan kepada pegawai pajak termasuk jenis insentif finansial (salary increase). Pada umunya, reward yang berupa uang mendapat respon positif dari para pegawai. Dalam kasus ini, pegawai Direktorat Jenderal Pajak pun nampaknya senang dengan adanya insentif berupa kenaikan tunjangan kinerja mereka. Selain itu, kenaikan remunerasi ini juga dimaksudkan untuk menaikkan daya tawar Direktorat Jenderal Pajak terhadap karyawannya yang tidak sedikit diminati oleh sektor swasta untuk direkrut jika melihat kualitas dan kapabilitas mereka, tentu saja dalam urusan perpajakan. Selain itu, Menteri Keuangan, Prof DR Bambang Brodjonegoro, menyatakan bahwa pemberian kenaikan tunjangan kinerja ini juga dalam rangka menekan probabilitas penyalahgunaan wewenang yang selalu terjadi karena begitu besarnya godaan yang dihadapi aparat pajak dan begitu tingginya resiko terhadap penerimaan negara (aspek moral).

Kapan?

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, insentif yang baik semestinya diberikan tidak lama setelah kinerja telah dicapai oleh seorang karyawan. Akan tetapi, jika melihat pola pemberian tunjangan kinerja ini di Direktorat Jenderal Pajak (pemberian tukin termasuk dalam komponen take home pay yang dibayarkan bulanan), sepertinya pemberian reward seolah-oleh diberikan di sebelum kinerja tersebut dicapai. Akan tetapi, skema pembayaran tunjangan kinerja dengan ini tidak dapat dinilai dengan pendekatan tersebut. Momentum kenaikan tunjangan kinerja ini harus dilihat dari salah satu hal yang melatarbelakangi pimpinan mengambil keputusan ini. Sudah selama tujuh tahun pegawai Direktorat Jenderal Pajak tidak merasakan kenaikan remunerasi. Dengan hasil kinerja selama ini, pimpinan merasa hal tersebut perlu diapresiasi dan salah satu cara mengapresiasi kinerja pegawai pajak tersebut salah satunya adalah dengan pemberian kenaikan remunerasi. Dengan demikian, kenaikan tukin yang pegawai Direktorat Jenderal Pajak terima dapat dikatakan mempunyai dua makna tersirat, yakni apresiasi atas kinerja mereka selama 7 tahun ke belakang sekaligus tuntutan untuk kinerja yang lebih baik melalui target penerimaan yang baru. Menariknya, di dalam Perpres 37 Tahun 2015 mengenai kenaikan tunjangan kinerja tidak semata-mata diberikan secara bulat 100%. Perpres tersebut memberikan klausul sebagai berikut:

a. tunjangan kinerja dibayarkan 100% (seratus persen) pada tahun berikutnya selama satu tahun dalam hal realisasi penerimaan pajak sebesar 95% (sembilan puluh lima persen) atau lebih dari target penerimaan pajak;

b. tunjangan kinerja dibayarkan 90% (sembilan puluh persen) pada tahun berikutnya selama satu tahun dalam hal realisasi penerimaan pajak sebesar 90% (sembilan puluh persen) sampai dengan kurang dari 95% (sembilan puluh lima persen) dari target penerimaan pajak; c. tunjangan kinerja dibayarkan 80% (delapan puluh persen) pada tahun berikutnya selama satu

tahun dalam hal realisasi penerimaan pajak sebesar 80% (delapan puluh persen) sampai dengan kurang dari 90% (sembilan puluh persen) dari target penerimaan pajak;

d. tunjangan kinerja dibayarkan 70% (tujuh puluh persen) pada tahun berikutnya selama satu tahun dalam hal realisasi penerimaan pajak sebesar 70% (tujuh puluh persen) sampai dengan kurang dari 80% (delapan puluh persen) dari target penerimaan pajak; atau


(4)

e. tunjangan kinerja dibayarkan 50% (lima puluh persen) pada tahun berikutnya selama satu tahun dalam hal realisasi penerimaan pajak kurang dari 70% (tujuh puluh persen) dari target penerimaan pajak.

Jika berkaca kepada realisasi target penerimaan pajak yang dicapai pada tahun 2014, rasanya pemberian kenaikan tunjangan sebesar 100% untuk tahun ini kurang tepat dengan apa yang diatur dalam Perpres tersebut. Hal ini tentu saja dapat memberikan preseden yang buruk bagi pegawai pajak yang seolah-olah menerima gaji buta di luar kinerja yang mereka hasilkan.

Seberapa Besar?

Kenaikan tunjangan kinerja pegawai Direktorat Jenderal Pajak dapat dikatakan cukup drastis. Jika dibandingkan dengan tunjangan kinerja tahun sebelumnya, maka rata-rata pegawai pajak dari eselon terendah hingga eselon tertinggi mengalami kenaikan sebesar 250%. Sayangnya, tidak ada penjelasan baik di secara argumentatif dalam peraturannya maupun secara matematis mengenai asal-usul angka ini diperoleh.

Sebagai institusi pemerintahan, setiap uang yang digelontorkan tentu harus ada dasar yang jelas yang mendukungnya. Masyarakat umum dalam hal ini mempunyai hak untuk mengetahui bagaimana dana mereka bisa dihabiskan untuk keperluan gaji para pegawai pajak ini. Tidak hanya itu, tentu saja institusi lain yang merasa terlupakan akan mempertanyakan hal ini dan memandang secara negatif terhadap nilai remunerasi yang diterima pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Sekali lagi, ini akan menimbulkan iklim yang tidak sehat bagi institusi Direktorat Jenderal Pajak secara umum.

2. Adakah Pengaruh Negatif dari Kenaikan Remunerasi Ini? a. Masalah Miopia

Secara prinsip, adanya kenaikan tunjangan kinerja ini ditujukan untuk mendorong tercapainya target penerimaan pajak selama satu tahun anggaran. Tentu saja hal ini sejalan dengan tugas dan fungsi utama serta tujuan dari institusi Direktorat Jenderal Pajak.

Akan tetapi, masalah terkait myopia dapat muncul apabila pegawai pajak terlalu fokus terhadap pencapaian target. Masalah yang dapat timbul adalah terabaikannya aspek yang dapat memberikan efek dalam jangka panjang, yakni pemberian pelayanan yang prima kepada wajib pajak (WP). Jika kita dalami lebih lanjut, tercapainya target penerimaan pajak tidak lepas dari keikhlasan para (WP) untuk dengan suka rela (maupun terpaksa) memberikan sebagian penghasilannya kepada negara.

Dengan demikian adalah hal yang penting bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk senantiasa memberikan pelayanan yang baik agar kepuasan dari para WP semakin meningkat dan dengan senang dan penuh kesadaran membayarkan pajak mereka. Hal ini semestinya perlu dicermati karena akan sulit jika yang terjadi adalah WP enggan membayar akibat merasa tidak dilayani dengan baik padahal sudah memiliki niat untuk memenuhi kewajibannya.

Oleh karena itu, sebisa mungkin pimpinan masing-masing unit harus tetap mengingatkan pegawainya agar tidak mengabaikan unsur kepuasan stakeholder dalam melaksanakan tugasnya sehingga tidak hanya berfokus terhadap pencapaian kinerja jangka pendek yang berkaitan dengan pemberian reward.

b. Free Rider Problem

Setiap unit di dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pajak memiliki fungsi tersendiri walaupun secara organisasi keseluruhan tujuannya tetap sama. Berbagai macam peran baik dari segi jabatan, maupun fungsionalnya yang dapat menentukan naik turunnya, tinggi rendahnya penerimaan pajak yang dicapai, seperti auditor pajak,account representative,penyuluh pajak, dan sebagainya. Di sisi lain ada juga jenis jabatan kerja yang secara langsung tak memiliki banyak


(5)

pengaruh dengan pencapaian target pajak, seperti urusan tugas administratif, bagian umum, bagian kepegawaian dan hal-hal yang lebih bersifat clericaldan administratif. Dengan kata lain, masing-masing peran tersebut memiliki tanggung jawab, fungsi, serta kontribusi yang berbeda-beda.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana menjelaskan hubungan reward yang secara rata diberikan atas kinerja yang berbeda tersebut? Hal ini tentu saja memberikan kesan adanya pegawai yang secara individu performanya bisa jadi tidak sesuai target namun mencicipi bonus akibat hasil pencapaian secara kelompok.

c. Fenomena Pahlawan APBN

Sebagai institusi yang mengurus penerimaan negara, Direktorat Jenderal Pajak tentu saja merupakan organisasi yang penting di dalam tata pemerintahan negara Indonesia. Akan tetapi, sebenarnya urusan penerimaan negara ini tidak hanya diemban oleh Direktorat Jenderal Pajak saja. Dalam lingkungan Kementerian Keuangan saja ada institusi lain yang selevel dengan Direktorat Jenderal Pajak yang salah satu tugas utamanya adalah memungut pajak.

Adanya kenaikan tunjangan kinerja ini dapat memberikan sentiment negatif terhadap institusi lain yang merasa turut andil dalam hal penerimaan negara namun merasa tidak diapresiasi atas hasil pekerjaannya selama ini.

Secara institusional, mungkin dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat memberikan respon apapun selain menunjukkan performa mereka sebagai bukti bahwa mereka layak memperoleh reward sebesar itu.

IV. Simpulan dan Saran

Pemberian insentif merupakan salah satu alat bagi manajemen untuk mengendalikan perilaku para karyawannya. Pencapaian goal congruence antara organisasi dan pegawai menjadi tujuan utama dari adanya sistem insentif ini. Diektorat Jenderal Pajak menerapkan skema yang sama dengan harapan tercapainya tujuan utama dari organisasinya, yaitu perolehan realisasi yang sesuai, bahkan bisa melebihi target penerimaan negara yang ditetapkan.

Akan tetapi, sistem ini dapat dikatakan masih perlu banyak diperbaiki baik dari desainnya maupun dalam hal dampak negatif yang timbul dari sistem yang telah dibuat. Masalah-masalah seperti myopia, free rider, serta kecemburuan sectoral harus segera diatasi oleh pimpinan, baik di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, maupun institusi pemerintahan di Indonesia secara umum.

Dengan demikian diharapkan sistem insentif yang sudah didesain dengan baik dapat dijadikan benchmarkingterhadap institusi lainnya dalam mendesain paket kompensasi yang optimal bagi pegawai di lingkungannya berkaitan dengan performa yang dihasilkan.


(6)

Daftar Pustaka

Jokowi Naikkan Tunjangan Ditjen Pajak sebagai "Vitamin" untuk Genjot Penerimaan. Kompas,Maret 2015. http://nasional.kompas.com/read/2015/03/21/23223451/Jokowi.Naikkan.Tunjangan.Ditjen.Pajak.seb agai.Vitamin.untuk.Genjot.Penerimaan

Merchant, Kenneth A and Van der Stede, Wim (2010).Sistem Pengendalian Manajemen.Salemba Empat, Jakarta, Indonesia

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak

Tunjangan Kinerja Pegawai Pajak Menjadi "Reward" untuk Beban Besar. Kompas,April 2015.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/04/09/184229526/Tunjangan.Kinerja.Pegawai.Pajak.M enjadi.Reward.untuk.Beban.Besar