Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

(1)

BAB II

PENGATURAN BANTUAN HUKUM DI INDONESIA

A. Sejarah dan Perkembangan Bantuan Hukum di Indonesia

1. Bantuan Hukum di Zaman Penjajahan Belanda

Bantuan hukum sebagai hukum (Legal Institution) yang kita kenal

sekarang ini adalah barang baru di Indonesia. Bantuan hukum tidak dikenal dalam sistem hukum tradisional. Bantuan hukum baru di kenal di Indonesia sejak masuk atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia. Bermula pada tahun 1848 ketika negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan firman Raja tanggal 16 mei 1848 No.1, Perundang-undangan baru di Negeri Belanda tersebut juga diberlakukan buat Indonesia, antara lain peraturan tentang Susunan Kehakiman dan

Kebijaksanaan Pengadilan (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en bet

beleid der Justitie) yang lazim disingkat R.O.39Mengingat baru dalam peraturan itulah diatur untuk pertama kalinya Lembaga Advokat, maka dapatlah diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti formal baru mulai di Indonesia pada tahun-tahun sekitar itu. Hal itupun baru terbatas bagi orang-orang Eropa saja

didalam peradilan Raad van Jusitie.

Pada tahun 1900-an, selama kurun kebijaksanaan etis, pembaruan hukum siap dilaksanakan. Namun, ditilik dari tempat berpijak masyarakat Indonesia, sebagian besar perubahan ini hanyalah penghalusan pola yang sudah terbentuk

39

Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum Di Indonesia, (Jakarta : LP3ES, 1981) Hal.23


(2)

sebelumnya. Semua itu penting bagi masyarakat Belanda yang kadang-kadang

memperlakukan bangsa Indonesia secara lain (misalnya : vervreemdingsverbod

tahun 1870, yang melarang pemindahan hak milik atas lahan orang Indonesia kepada orang asing) tetapi tidak pernah selain sebagai pemantas saja dengan maksud seolah menentang adanya perbedaan-perbedaan unsur kemajemukan ekonomi sosial, dan politik kolonial. Biasanya, mereka justru memperkokoh

perbedaan-perbedaan tersebut dengan cara yang lebih canggih dan halus. 40

Logika kemajemukan dan pemerintahan tidak langsung Hindia Belanda menuntut diperlengkapinya dengan baik masyarakat Belanda dan Indonesia dengan lembaga-lembaga yang harus memainkan peranan yang sudah ditentukan sebelumnya dengan pihak Indonesia tetap harus dipersiapkan menempati derajat yang lebih rendah daripada pihak Belanda. Hal ini berarti ada dua birokrasi, yang satu merupakan bawahan yang lain. Termasuk juga ada dua sistem peradilan yang hubungannya serupa.

Lebih tegas lagi dalam hukum positif Indonesia masalah bantuan hukum

ini diatur dalam pasal 250 ayat (5) dan (6) Het Herziene Indonesische Reglemen

(HIR/Hukum Acara Pidana Lama) dengan cakupan yang terbatas, artinya pasal ini dalam prakteknya hanya lebih mengutamakan bangsa Belanda daripada bangsa

Indonesia yang waktu itu lebih populer disebut inlanders, disamping itu, daya

laku pasal ini hanya terbatas apabila para advokat tersedia dan bersedia membela

40


(3)

mereka yang dituduh dan diancam hukuman mati dan/atau hukuman seumur

hidup.41

Gambaran keadaan diatas terjadi karena di jaman kolonial belanda seperti yang telah kita ketahui dikenal adanya 2 (dua) sistem peradilan yang terpisah satu

dengan yang lainnya. Pertama, satu hirarki peradillan untuk orang-orang Eropa

dan yang dipersamakan (Residentie Gerecht, Raad van Justitie dan Hoge

rechshof)42. Kedua, hirarki peradilan untuk orang-orang Indonesia dan yang

dipersamakan (Districtgerect Regentschaps gerecht, dan Landraad).43

Oposisi terhadap sistem peradilan yang majemuk tidak pernah lenyap. Tetapi oposisi itu tidak juga mencapai jumlah yang cukup berarti. Karena kelambanan saja tidak dapat mempertahankan tata susunan yang rumit itu, gagasan dan kepentingan yang menghendaki kemajemukan mulai dilengkapi

dengan perlindungan yang cukup. Hanya Landgerecht-lah yang dibentuk pada

tahun 1914, yang mempunyai wewenang umum atas semua golongan penduduk, tetapi pengadilan jenis ini hanya memeriksa pelanggaran dan perbuatan pidana ringan. Tidak lebih dari sekedar konsensi simbolis terhadap ambisi kesamaan

liberal, landgerecht tidak banyak berarti. Sebenarnya upaya mempersatukan

pengadilan merupakan ledakan yang dahsyat bukan terhadap berbagai kepentingan ekonomi, yang sejauh itu dapat melindungi diri sendiri dalam organisasi peradilan macam apa pun. Kebanyakan hakim dan semua notaris serta para Advokat adalah orang Belanda sampai pertengahan 1920-an, tetapi besar

41

H.Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op.Cit., Hal.12

42

Residentie Gerecht untuk tingkat pertama, Raad van Justitie untuk tingkat banding dan Hoge rechshof atau biasa disebut Mahkamah Agung untuk tingkat Peninjauan Kembali

43


(4)

taruhannya dalam hal status, ras, sosial, dan politik yang terjalin di segenap

bangunan kolonial.44

Kalau negara asal Eropa mempunyai dua kitab undang-undang hukum

acara, satu untuk perkara perdata (Burgelijk Rechtsvordering) dan satu lagi untuk

perkara pidana (strafvordering). Dan tahun 1950-an kedua kitab undang-undang

ini memuat ketentuan-ketentuan, termasuk jaminan hak-hak pribadi, yang termaktub dalam kitab undang-undang di Belanda. Untuk orang Indonesia cukup disediakan satu kitab undang-undang baik untuk perkara perdata maupun perkara

pidana, yang menetapkan acara-acara pengadilan pangreb praja maupun landraad

dan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah. Kitab undang-undang ini adalah Herziene Inlandsch Reglement, selanjutnya disebut H.I.R. Kurang kompleks dan kurang terinci daripada kitab undang-undang untuk orang Eropa, untuk melayani kebutuhan dan ukuran orang Indonesia yang “lebih sederhana”, H.I.R juga memuat ketentuan perlindungan terhadap kekuasaan pemerintah yang jauh lebih sedikit. Sebagai contoh, lebih mudah menangkap, menahan, dan memidana orang Indonesia berdasarkan H.I.R dari pada terhadap seorang kaula negara Belanda

berdasarkan Strafvordering.

Dari paparan historik diatas kita dapat mengetahui bahwa bagi orang-orang Indonesia tidak ada kebutuhan akan bantuan hukum, dan karena itu tidak

aneh apabila waktu itu profesi lawyer juga tidak berkembang dengan

menggembirakan. Namun demikian, pada perkembangan berikutnya paralel dengan gemuruhnya arus pergerakan nasional kita, mulai bermunculan ahli-ahli

44


(5)

hukum bangsa Indonesia yang berprofesi advokat turut meramaikan gerakan nasional Indonesia melalui pemberian bantuan hukum. Dengan motif turut membantu gerakan nasional, maka mereka turut membantu rakyat Indonesia yang tidak mampu memakai jasa advokat-advokat Belanda ketika sedang menghadapi masalah hukum di muka pengadilan. Pada dasarnya gerakan bantuan hukum pada waktu itu dapat kita baca sebagai salah satu rangkaian dari pergerakan nasional untuk melepaskan bangsa Indonesia dari cengkraman penjajah Belanda, karenanya secara tidak langsung usaha pemberian bantuan hukum ini dapat dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pergerakan nasional di negara kita. Menurut Bambang Sunggono dalam bukunya bahwa tampaknya titik awal daripada program bantuan hukum khususnya bagi rakyat kecil yang tidak

mampu dan buta hukum berangkat dari sini.45

2. Bantuan Hukum di Zaman Penjajahan Jepang

Dalam masa pendudukan Jepang, terhadap golongan Eropa dan Tionghoa

diberlakukan Burgerlijk Wetboek (B.W) dan Wetboek van Koophandel (W.v.K),

sedang untuk golongan Indonesia asli berlaku hukum adat. Selanjutnya, bagi golongan-golongan lainnya berlaku hukum yang diperlakukan bagi mereka menurut peraturan dahulu.

Wetboek van Strafrecht (W.v.S) pada umumnya tetap berlaku selain peraturan-peraturan pidana lainnya yang dibuat oleh Pemerintahan pendudukan

jepang. Adapun peraturan-peraturan tersebut selain Osamu Gunrei46 No.1 Tahun

45

H.Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op.Cit., Hal.14

46


(6)

1942 dan Undang-undang nomor Istimewa tahun 1942 juga termasuk di dalamnya Osamu Seirei47 No.25 tahun 1944 tentang Gunsei Keizirei (Undang-undang Kriminil Pemerintah Balatentara). Isinya memuat tentang aturan umum dan khusus dan belaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam

maupun di luar daerah hukum Gunsei Keizirei. Walaupun Kitab Undang-undang

Hukum Pidana Jepang ini berlaku, aturan umum W.v.S tetap berlaku juga dan

daerah hukumnya meliputi wilayah Jawa dan Madura.48

Berdasarkan pasal 47 Gunzei Keizirei ini, kekuatan hukum

undang-undang ini berlaku surut. Yang diatur dalam aturan umumnya adalah jenis-jenis

pidana yang berbentuk kesengajaan, percobaan, konkursus, penyertaan, rechterlijk

pardon (kemungkinan pembebasan seseorang dari hukuman jika ia sendiri yang memberitahukan kejahatan yang telah dilakukannya kepada yang berwajib). Dalam undang-undang ini diatur juga kemungkinan kumulasi penjatuhan pidana pokok dalam pasal 25 dan pengaturan tentang dapat dihukumnya suatu badan hukum dalam pasal 26.

Lebih jauh dalam masa penjajahan Jepang dikeluarkanlah

Undang-undang No.40 pada tanggal 5 Oktober 1942, tentang Gunseirei atau

undang-undang dan peraturan untuk menjalankan pemerintahan Balatentara di Jawa (Osamu Seirei) yang diumumkan oleh Gunsireikan (Panglima Besar Tentara

47

Peraturan menjalankan pemerintahan Balatentara di Jawa

48


(7)

Jepang). Sehubugan dengan adanya undang-undang tersebut maka dikeluarkan

pula peraturan baru dalam rangka menjalankan pemerintahan, yaitu : 49

a. Osamu Seirei

Dibuat oleh Gunsireikan (Panglima Besar Tentara Jepang), yang mengatur

tentang segala hal yang perlu dilakukan untuk menjalankan pemerintahan Balatentara di Jawa.

b. Osamu Kanrei

Dibuat oleh Gunseikan (Pembesar Pemerintah Balatentara), yang merupakan

peraturan untuk menjalankan Osamu Seirei dan juga untuk mengatur segala

hal yang perlu untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum.

Kedudukan Osamu Seirei lebih tinggi daripada Osamu Kanrei. Oleh

karena itu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Osamu Kanrei tidak boleh

bertentangan dengan Osamu Seirei.

Disamping peraturan-peraturan pusat tersebut, di dalam Undang-undang

No.40 terdapat juga peraturan-peraturan daerah yaitu Syuurei, Koorei,

Kootizimuyokurei, dan Tokubeturei.

Perkembangan bantuan hukum di masa pendudukan jepang, tidak memperlihatkan gambaran kemajuan. Sekalipun peraturan tentang bantuan hukum peninggalan zaman penjajahan belanda seperti R.O masih tetapi diberlakukan terus. Tetapi kondisi dan situasi pada saat itu kelihatannya tidak memungkinkan

untuk pengembangan program bantuan hukum.50

49

Ibid., hal.6

50


(8)

3. Bantuan Hukum Setelah Kemerdekaan sampai Sekarang

Sejak Indonesia Merdeka, pemerintah RI telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan profesi advokat khususnya dalam hal ini tentang bantuan hukum di muka persidangan. Peraturan

perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut : 51

a. Undang-undang No.1 Tahun 1946

Pada tahun 1946, pemerintah RI mengeluarkan Undang-undang No.1 Tahun 1946 tentang Undang-undang Peraturan Hukum Pidana. Dalam undang-undang tersebut diatur di dalamnya tentang

kedudukan advokat dan procureur dan orang-orang yang

memberikan bantuan hukum.

Selanjutnya, hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942 dan

merupakan peninggalan pemerintah Hindia Belanda masih

dinyatakan berlaku, maka seterusnya berlaku pula “Penetapan Raja”

tanggal 4 Mei 1926 No.251 Jucnto 486 tentang Peraturan Cara

Melakukan/ Menjalankan Hukuman dengan Syarat. Dalam Bab I bagian II Pasal 3 ayat (3) ditetapkan bahwa ‘Orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya boleh menyelidiki segala surat sebelum permulaan pemeriksaan itu’

Aturan ini berlaku pula sekadar tentang Mahkamah Agung dan

Pengadilan-pengadilan Tinggi bagi Advokat dan Procureur yang

berpraktik di dalam daerah Indonesia, jika diterangkannya bahwa orang yang dihukum itu telah memberikan kuasa kepadanya untuk menyelidiki surat itu, dan sekadar tentang Majelis dan Badan Pengadilan lain-lain bagi orang yang istimewa dikuasakan untuk hal itu oleh orang yang dihukum.

Selanjutnya, dalam pasal 4 ayat (4) ditetapkan bahwa orang yang dihukum dan orang yang diwajibkan memberi bantuan didengar jika mereka hadir. Sekadar tentang Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi maka orang yang dihukum itu boleh minta dibantu oleh

seorang advokat dan atau procureur yang berpraktik di dalam daerah

Indonesia dan sekadar tentang Majelis dan Badan Pengadilan lain-lain oleh seorang yang teristimewa dikuasakan untuk itu sebagai Penasihat.

Kemudian, pasal 5 ayat (3) ditetapkan bahwa isi keputusan itu diberitahukan kepada orang yang dihukum dengan segera atas perintah pegawai negeri tersebut dalam pasal 1, sambil diberi sehelai salinan keputusan itu kepada orang yang diwajibkan memberi

51


(9)

bantuan dan juga kepada orang yang pada keputusan itu dibebaskan dari padanya.

Lebih lanjut pasal 6 ayat (2) ditegaskan bahwa dalam masa tiga minggu sesudah keputusan itu diberitahukan, orang yang dihukum dengan keputusan tidak hadir itu, dapat mempergunakan atau menyuruh orang yang dikuasakannya dengan surat mempergunakan upaya yang diizinkan untuk melawan keputusan itu dimuka hakim yang bersangkutan.

Bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan dan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah memberi bantuan itu ditetapkan dengan

undang-undang (Staatsblad 1926 Nomor 487).

Undang-undang No.20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura mulai berlaku sejak 24 Juni 1947. Dalam pasal 7 ayat 1 undang-undang tersebut hanya menyebutkan bahwa Peminta atau Wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu Pembela atau Penasehat Hukum.

b. Undang-undang No.1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung

Undang-undang No.1 Tahun 1950 yang mulai berlaku pada tanggal 9 Mei 1950 itu mengatur tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. Pasal 42 memberikan istilah “pemberi bantuan hukum” dengan kata-kata “Pembela”.

Menurut Undang-undang ini, Mahkamah Agung memiliki kekuasaan untuk melakukan pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan (pasal 12) dan tingkah laku perbuatan pengadilan-pengadilan dan para Hakim di pengadilan itu diawasi dengan cermat oleh Mahkamah Agung terhadap para pemberi bantuan hukum atau para advokat/pengacara dan notaris. Tentang pengawasan tersebut diatur dalam pasal 133 yang berbunyi : “pengawasan tertinggi atas para Notaris dan para pengacara dilakukan oleh Mahkamah Agung”.

c. Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1951

Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1951 mengatur tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara pengadilan sipil. Hal yang terpenting dari undang-undang ini adalah ketentuan yang tersebut di dalam pasal 6 ayat (1) yang menetapkan :” Bahwa saat peraturan ini mulai berlaku oleh segala Pengadilan Negeri oleh segala Kejaksaan padanya, dan oleh segala Pengadilan Tinggi dalam daerah RI “Reglemen Indonesia yang diperbarui” (Staatblad 1941 No. 44) seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil dengan perubahan dan tambahan”.

Undang-undang Darurat ini menentukan kembali berlakunya “Herziene Inlandsch Reglement” (Stb. 1941 No.44) dalam Negara RI yang pada waktu itu dipakai sebagai pedoman dalam Hukum Acara Pidana Sipil.


(10)

Dalam hubungannya dengan tugas dan kewajiban advokat, procureur dan para pemberi bantuan hukum di muka persidangan diatur dalam beberapa pasal H.I.R sperti :

 Pasal 83 h ayat (6) , yang menegaskan bahwa: “ Jika seseorang

dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat

dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat hendaklah

menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu Pengadilan oleh

seorang Penasehat Hukum atau seorang ahli hukum”

 Pasal 250 ayat (5), yang menegaskan bahwa : “Bila sitertuduh diperintakan dibawa kemuka pengadilan karena suatu kejahatan, yang boleh menyebabkan hukuman mati, dan sitertuduh itu, baik dalam pemeriksaan oleh opsir justisi yang ditetapkan dalam pasal 83 h ayat (6) , menyatakan kehendaknya supaya ia pada waktu persidangan dibantu oleh seorang sarjana hukum atau seorang ahli hukum, maka untuk memberi bantuan itu ketua

menunjukkan dalam surat penetapan seorang anggota

pengadilan negeri yang ahli hukum yang dibawah perintahnya, atau seorang sarjana hukum atau ahli hukum lain yang menyatakan bersedia melakukan pekerjaan itu”

 Pasal 245 ayat (1) H.I.R, menegaskan bahwa : “Dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh

pembela untuk mempertahankan dirinya.”

 Pasal 123 H.I.R terdapat adanya penegasan bahwa apabila

dikehendaki oleh para pihak yang berperkara maka para pihak tersebut boleh dibantu atau diwakili oleh kuasa, yang dikuasakan untuk melakukan itu dengan surat kuasa istimewa kecuali orang yang memberi kuasa itu hadir sendiri.

Dalam periode berikutnya, sekitar tahun 1950-1959an terjadi perubahan sistem peradilan Indonesia dengan dihapuskannya secara pelan-pelan pluralisme di bidang peradilan, hingga hanya ada satu sistem peradilan yang berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia, yaitu Pengadilan Negeri pada tingkat pertama; Pengadilan Tinggi pada tingkat banding; dan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, demikian pula telah diberlakukan satu hukum acara yaitu H.I.R. Namun Demikian, pemberlakuan yang demikian tetap berimplikasi pada tetap berlakunya


(11)

sistem peradilan dan peraturan hukum acara warisan kolonial yang ternyata masih

tetap sedikit menjamin ketentuan-ketentuan tentang bantuan hukum.52

Dalam periode 1950-1959 ini, atau yang secara populer dikenal sebagai “periode Soekarno” atau “periode Orde Lama” bantuan hukum dan demikian juga profesi advokat di Indonesia mengalami kemerosotan yang luar biasa tapi tidak dikatakan hancur sama sekali. Pada masa itu peradilan tidak lagi bebas tetapi sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif. Hakim-hakim berorientasi kepada pemerintah karena tekanan yang dalam praktek dimanifestasikan dalam bentuk setiap putusan dimusyawarahkan dulu dengan kejaksaan. Akibatnya tidak ada lagi kebebasan dan impartiality sehingga dengan sendirinya wibawa Pengadilan jatuh dan harapan serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang. Pada saat itu orang berperkara tidak melihat gunanya bantuan hukum, juga tidak melihat gunanya profesi advokat yang memang sudah tidak berperan lagi. Orang lebih suka meminta pertolongan kepada Jaksa, Hakim itu

sendiri atau jika ada jalan kepada orang kuat lainnya.53

Disini dapat dilihat bahwa dalam periode 1950-1959 perkembangan bantuan hukum di negara kita masih belum begitu terlihat. Secara prinsip ia adalah merupakan kelanjutan dari pada masa-masa penjajahan Belanda dahulu. Dilihat dari segi dasar hukum memang benar keadaannya malah lebih jelek dari pada perkembangan bantuan hukum di jaman penjajahan, tetapi dilihat dari pada kacamata politik Nasional menunjukkan adanya beberapa peningkatan. Dukungan

52

Ibid., Hal.14

53


(12)

yang cukup dominan terhadap perkembangan bantuan hukum di masa ini adalah

kondisi dan situasi politik pemerintah saat ini.54

Angin segar dalam sejarah bantuan hukum dimulai pada periode Orde Baru. Periode ini dimulai dengan gagalnya kudeta PKI yang disusul dengan jatuhnya rezim Soekarno. Pada mulanya atau pada tahun-tahun pertama tampak ada drive yang kuat sekali untuk membangun kembali kehidupan hukum dan ekonomi yang sudah hancur berantakan. Disamping program rehabilitasi ekonomi, terasa sekali adanya usaha-usaha untuk menumbuhkan kebebasan

berbicara, kebebasan pers, juga kebebasan mimbar pada universitas. Independency

pengadilan mulai dijalankan dan respek kepada hukum tumbuh kembali.55

Puncak dari usaha ini adalah dicabutnya Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang lama dan menggantikannya dengan Undang-undang

Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru.56 Dengan undang-undang ini dijamin

kembali kebebasan peradilan dan segala campur tangan kedalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang.

Bukan itu saja, dalam undang-undang yang baru itu, untuk pertama kalinya secara eksplisit juga diberikan jaminan atas adanya hak atas Bantuan Hukum. Dalam satu bab khusus tentang Bantuan Hukum, terdapat ketentuan-ketentuan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh Bantuan Hukum. Juga ada ketentuan bahwa seorang tersangka dalam perkara

54

Ibid

55

Adnan Buyung Nasution, Op.Cit., Hal. 30

56


(13)

pidana berhak menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukum sejak saat

dilakukan penangkapan atau penahanan.57

Dalam rangka pengembangan bantuan hukum ini, maka pada tanggal 10-12 Desember 1971 telah dilangsungkan konferensi Lembaga Bantuan Hukum dan Biro Konsultasi Hukum se Indonesia. Konferensi yang pertama kalinya itu diikuti oleh 17 lembaga-lembaga bantuan hukum dan biro konsultasi hukum dari Universitas antara lain telah mengambil keputusan menyetujui dibentuknya Lembaga Bantuan Hukum Tingkat Nasional merupakan kerjasama antara Lembaga Bantuan Hukum dan Biro-biro Konsultasi Hukum. Disamping itu meminta perhatian dan bantuan Pemerintah Daerah, pers dan mass media agar

membantu tersebar luasnya ide bantuan hukum ini.58

Belum sempat melaksanakan tugasnya, maka keluarlah Instruksi KOMKAMTIB No.TR-173/KOPKAM/IV/1972 yang ditujukan kepada semua LAKSUS KOPKAMTIBDA, Kepala Staf Angkatan, Kepala Kepolisian dan Gubernur Kepala Daerah di seluruh Indonesia agar mencegah pembentukan Lembaga Bantuan Hukum daerah kecuali untuk daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Larangannya atas alasan demi keamanan dan ketertiban.59

Dengan adanya instruksi ini semua rencana pengembangan bantuan hukum dan pembentukan Lembaga Bantuan Hukum Nasional menjadi gagal dan perkembangan bantuan hukum mundur beberapa langkah kebelakang. Dampaknya terhadap proses penegakan hukum sangat besar sekali, sehingga tidak

57

Ibid.,

58

Abdurrahman, Op.Cit., Hal.50

59


(14)

mengherankan bilamana Adnan Buyung Nasution Menggambarkan keadaan bantuan hukum pada saat tersebut sebagai berikut :

“Pada saat sekarang ini atau pada tahun-tahun terakhir ini, angin baru yang segar itu telah pudar, bersamaan dengan hilangnya iklim politik yang demokratis. Kontrol politik dari pihak eksekutif terasa semakin kuat di segala bidang kehidupan, termasuk bidang peradilan. Hal ini jelas membawa pengaruh yang tidak kecil bagi merosotnya bantuan hukum

dan profesi hukum di Indonesia.”60

Akhirnya, dapat dicatat bahwa semenjak tahun 1978 terjadi perkembangan yang cukup menarik bagi bantuan hukum di Indonesia dengan munculnya berbagai Lembaga Bantuan Hukum dengan menggunakan berbagai nama. Ada Lembaga Bantuan Hukum yang sifatnya independent, ada Lembaga Bantuan Hukum yang dibentuk oleh suatu organisasi politik atau suatu organisasi massa, ada pula yang dikaitkan dengan Lembaga pendidikan dan lain sebagainya. Dengan demikian, mereka yang membutuhkan batuan hukum dapat lebih leluasa dalam upayanya mencari keadilan dengan memanfaatkan organisasi-organisasi bantuan hukum diatas.

Masa terakhir ini, pemerintah memberikan perhatian penuh kepada masyarakat pencari keadilan. Hal tersebut dapat dilihat bahwa pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Undang-undang ini memberikan jaminan untuk diberikannya bantuan hukum secara cuma-cuma bagi masyarakat kurang mampu.

B. Dasar Pemberian Bantuan Hukum

60


(15)

Pengaturan mengenai pemberian bantuan hukum bagi tersangka yang tidak mampu dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dibawah ini :

1. UUD 1945

a. Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”

Persamaan dihadapan hukum tersebut dapat terwujud didalam suatu pembelaan perkara hukum, dimana baik orang mampu maupun fakir miskin memiliki hak konstitusional untuk diwakili dan dibela oleh Advokat baik didalam dan diluar pengadilan. Oleh sebab itu bagi setiap orang yang memerlukan bantuan hukum selain merupakan hak asasi juga merupakan hak konstitusional yang dijamin perolehannya oleh negara. Dalam peradilan pidana ini merupakan asas semua orang diperlakukan

sama didepan hukum (equality before the law). Setiap orang mempunyai

kedudukan yang sama dimuka hukum.

b. Pasal 34 ayat (1) yang berbunyi :”Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.

Hal ini merupakan realisasi dari jaminan konstitusi terhadap masyarakat yang tidak mampu yang tersangkut perkara pidana. Hal ini menegaskan pula bahwa negara mempunyai tanggung jawab dalam penyediaan bantuan hukum terhadap masyarakat yang tidak mampu sehingga mendapatkan hak-haknya dalam peradilan pidana.


(16)

2. Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman

a. Pasal 37 yang berbunyi : “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.

b. Pasal 38 yang berbunyi : “Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan Advokat”.

Ini memberikan arti bahwa undang-undang mengamanatkan pemberian bantuan hukum bagi setiap orang yang berperkara. Hal ini juga memberi indikasi perlindungan terhadap hak-hak tersangka yang tersangkut perkara. Dalam peradilan pidana ini sering disebut dengan asas memperoleh bantuan hukum.

3. Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana

a. Pasal 54 yang berbunyi : “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasehat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

b. Pasal 56 (1) yang berbunyi : “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai


(17)

Penasehat Hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasehat Hukum bagi mereka.

c. Pasal 56 (2) yang berbunyi : “Setiap Penasehat Hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberikan bantuan secara cuma-cuma.

Hal ini merupakan jaminan terhadap tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum guna memastikan pelaksanaan proses peradilan yang adil (due process of law).

4. Undang-undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat

a. Pasal 22 ayat (1) yang berbunyi : “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. b. Pasal 22 ayat (2) yang berbunyi : “Ketentuan mengenai persyaratan dan

tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

5. Undang-undang No.16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

a. Pasal 1 angka (1) yang berbunyi : “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum.

b. Pasal 2 yang berbunyi : “Bantuan hukum dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, persamaan kedudukan didalam hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas.


(18)

c. Pasal 3 yang berbunyi : “Penyelenggaraan bantuan hukum bertujuan untuk menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses keadilan; mewujudkan hak konstitusional segala warga negera sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan didalam

hukum; menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum

dilaksanakan secara merata diseluruh wilayah negara Republik Indonesia;

dan mewujudkan peradilan yang efektif, efisien dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Jikalau kita mengkaji aturan-aturan yang menjadi dasar pemberian bantuan hukum terhadap tersangka maka ada beberapa point yang dapat kita simpulkan antara lain :

1. Mengandung aspek nilai Hak Asasi Manusia (HAM), dimana bagi setiap

tersangka atau terdakwa berhak didampingi oleh Advokat dalam semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Hak ini tentu sejalan dan/atau menegaskan hadirnya Penasehat Hukum untuk mendampingi tersangka atau terdakwa merupakan sesuatu yang inherent pada diri manusia dan konsekuensi logisnya adalah bagi penegak hukum yang mengabaikan hak ini adalah bertentangan dengan nilai-nilai HAM.

2. Pemenuhan hak ini oleh penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan

menjadi kewajiban dari pejabat yang bersangkutan apabila mengacu pada pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

3. Pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagai


(19)

Miranda Rule atau Miranda Principle61. Standar Miranda Rule inilah yang ditegakkan dalam putusan Mahkamah Agung No. 1565K/Pid/1991, tanggal 16 September 1993 yang menyatakan “Apabila syarat-syarat permintaan dan/atau hak tersangka/terdakwa tidak terpenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk Penasehat Hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima”.

4. Undang-undang No.16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dikeluarkan

berdasarkan peraturan-peraturan yang sebelumnya mengatur tentang bantuan hukum dengan mempertimbangkan bahwa :

a. Negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia;

b. Negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi

orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan;

c. Bahwa pengaturan mengenai bantuan hukum yang diselenggarakan oleh

negara harus berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang berkeadilan.

C. Pemberian Bantuan Hukum Cuma-cuma Kepada Masyarakat Kurang Mampu

61

Miranda Rules atau Miranda Principle merupakan hak-hak konstitusional dari tersangka/terdakwa yang meliputi hak untuk tidak menjawab atas pertanyaan pejabat bersangkutan dalam proses peradilan pidana dan hak untuk didampingi atau dihadirkan penasehat hukum sejak dari proses penyidikan sampai dan.atau dalam semua tingkat proses peradilan.


(20)

Untuk sekian lamanya pembangunan di negara kita diarahkan kepada segi pertumbuhan yaitu memperbesar pendapatan Nasional, dengan harapan bilamana pendapatan telah membesar maka kemakmuran akan segera tercapai

melalui apa yang dinamakan efek menetes kebawah (trickle down effect),

sehingga golongan masyarakat miskin yang hidup dipedesaan akan dapat diperbaiki tarap hidupnya. Strategi pembangunan yang demikian ternyata kurang cocok buat negara kita karena sekalipun pendapatan Nasional sudah meningkat sedemikian rupa namun kemakmuran yang diidamkan oleh golongan miskin tidak

juga kunjung tiba. Ternyata dalam masyarakat telah terjadi semacam “gap” karena

adanya segolongan kecil masyarakat yang dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara berkelebihan sedangkan kelompok mayoritas dari masyarakat hanya sedikit sekali yang mengecap hasilnya. Disparitas pendapatan menimbulkan akibat semakin bertambah kayanya golongan-golongan tertentu dan semakin miskinnya golongan yang lain, sehingga sering dikatakan orang telah terjadi suatu proses pemiskinan secara massal dalam masyarakat kita.

Kemiskinan yang diderita seseorang mempunyai dampak yang sangat besar sekali terhadap penegakan hukum terutama sekali dalam hubungannya dengan usaha mempertahankan apa yang menjadi haknya. Dalam kenyataannya, bahwa kemiskinan itu telah membawa bencana bagi kemanusiaan, tidak saja secara ekonomis tetapi juga secara hukum dan politik. Seorang yang kaya biasanya akrab dengan kekuasaan, dan pada saat yang bersamaan menterjemahkan kekuasaan dengan keadilan. Sejak dahulu kala kekuasaan selalu dekat dengan kekayaan, dan ini mengakibatkan banyak ketidak-adilan. Padahal hukum itu harus


(21)

selalu dekat kepada kemiskinan. Seorang yang miskin dalam harta seharusnya

kaya dalam keadilan.62

Sistem hukum Indonesia dan Undang-undang Dasar 1945 menjamin

adanya persamaan di hadapan hukum (equality before the law), demikian pula hak

untuk didampingi advokat dijamin sistem hukum Indonesia. Bantuan hukum yang

ditujukan kepada orang miskin memiliki hubungan erat dengan equality before the

law dan access to legal counsel yang menjamin keadilan bagi semua orang

(justice for all). Oleh karena itu, bantuan hukum (legal aid) selain merupakan hak

asasi manusia juga merupakan gerakan konstitusional.63

Undang-undang Dasar 1945 menjamin persamaan di hadapan hukum, dimana dalam pasal 27 ayat (1) disebutkan bahwa “ setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Adapun hak didampingi advokat atau penasehat hukum diatur dalam pasal 54 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa “guna kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.

Sementara itu, fakir miskin merupakan tanggung jawab negara yang

diatur dalam pasal 34 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “Fakir miskin

dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Oleh karena itu, gerakan

62

Abdurrahman, Op.Cit., hal.273

63


(22)

bantuan hukum sesungguhnya merupakan gerakan konstitusional. Bantuan hukum bukanlah belas kasihan dan diberi oleh negara, melainkan merupakan hak asasi manusia setiap individu serta merupakan tanggung jawab negara melindungi fakir miskin. Hak asasi manusia inheren dalam diri setiap manusia. Masyarakat harus diyakinkan bahwa bantuan hukum adalah hak asasi manusia dan bukan belas kasihan. Bantuan hukum adalah tanggung jawab negara, pemerintah, masyarakat, profesi hukum dan semua pihak dalam masyarakat (seperti pengusaha, industriawan, bankir dan lain-lain). Apalagi, dalam masyarakat Indonesia dikenal

Zakat (Obligation) yang merupakan kewajiban bagi orang yang lebih mampu

untuk membantu fakir miskin. Karenanya, konsep bantuan hukum tidak sulit

untuk diterima masyarakat.64

Pembelaan terhadap orang miskin mutlak diperlukan dalam sistem

hukum pidana yang belum mencapai titik keterpaduan (Integrated Criminal

Justice System). Seringkali tersangka yang miskin karena tidak tahu hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa disiksa, diperlakukan tidak adil atau dihambat

haknya untuk didampingi advokat. Polisi belum bekerja menerapkan Due Process

Model yang memperhatikan hak-hak tersangka sejak ditangkap. Ia dianggap tidak bersalah sampai nanti dibuktikan oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai

ketetapan hukum oleh pengadilan yang bebas dan imparsial (Independent and

Imparsial Judiciary), jujur dan terbuka. Polisi masih cenderung menggunakan Crima Control Model, belum tercapainya sistem peradilan yang independen dan imparsial telah menyebabkan sistem peradilan pidana di Indonesia tidak berfungsi

64


(23)

maksimal. Putusan-putusan pengadilan banyak yang kontroversial dan kurang

pertimbangan hukumnya (onvoldoende gemotiveerd). Pengadilan cenderung lebih

memihak kepada pemerintah dari pada masyarakat.65

Hak individu untuk didampingi advokat (access to legal counsel)

merupakan sesuatu yang imperatif dalam rangka mencapai proses hukum yang adil. Dengan kehadiran advokat dapat dicegah perlakuan tidak adil oleh polisi, jaksa atau hakim dalam proses interogasi, investigasi, pemeriksaan, penahanan, peradilan dan hukuman. Sering tersangka atau terdakwa diperlakukan tidak adil dan malahan ada yang disiksa dan direndahkan martabatnya sebagai manusia.

Kurangnya penghargaan terhadap hak hidup (right to life), hak milik (right to

property), dan kemerdekaan (right to liberty) juga merupakan penyebab tingginya angka penyiksaan, perlakuan, dan hukum yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Untuk mencegah dan mengurangi kejadian-kejadian seperti itu, pemerintah Republik Indonesia, setelah mendapat desakan dari berbagai pihak seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, telah meratifikasi instrumen internasional seperti Convention Against Tortune and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment pada tanggal 28 September 1998 yang berupa resolusi PBB

No.39/40 tanggal 10 Desember 1984. Dalam menerapkan due process of law para

penegak hukum dan keadilan (jaksa, polisi dan hakim) harus menganggap seorang

tersangka atau terdakwa tidak bersalah (Presumption of innocence) sejak pertama

65


(24)

kali ditangkap dan kehadiran seorang advokat sejak ditangkap sampai interogasi

dan peradilan mutlak harus dijamin.66

Sekalipun persoalan bantuan hukum adalah merupakan pekerjaan amaliah tetapi persoalan tentang dana mempunyai pengaruh yang cukup penting dalam menentukan pengembangannya, artinya untuk berhasilnya pengembangan suatu program bantuan hukum diperlukan sejumlah dana tertentu yang merupakan pendukung utamanya, tanpa dana sulit diharapkan berhasilnya program ini. Memang sering terjadi kesalah-pahaman mengenai persoalan ini seakan-akan bahwa segala sesuatunya dapat diserahkan begitu saja kepada lembaga/biro bantuan hukum yang ada dengan pemikiran bahwa lembaga/biro itu akan membantu karena orang yang bersangkutan termasuk golongan yang tidak mampu.

Terdapat kasus yang menarik soal dana tersebut sebagai berikut : 67

“Sebuah kasus tentang si A yang diajukan kemuka sidang pengadilan

Rantau dengan tuduhan melakukan pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu yaitu melanggar pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Mengingat pasal 250 ayat (5) H.I.R maka pengadilan negeri Rantau menawarkan kepada A untuk memperoleh bantuan hukum dan pengadilan negeri Rantau akan mengusahakan agar A dapat didampingi oleh Pembela dengan cuma-cuma.

Selanjutnya pengadilan negeri menghubungi Lembaga Konsultasi dan

Bantuan Hukum68 dari suatu fakultas hukum negeri di ibukota provinsi,

yang kemudian mendapat jawaban bahwa LKBH bersedia memberi bantuan hukum akan tetapi meminta agar pengadilan negeri Rantau menanggung biaya penasehat hukumnya sementara mereka belum memiliki dana untuk itu.

66

Ibid., Hal.104

67

Wahyu Afandi, Dana dan Hubungannya dengan Bantuan Hukum, Harian Sinar Harapan, 23 Juli 1979 dalam buku Abdurrahman, Op.Cit., Hal.293-296

68


(25)

Terhadap permintaan LKBH ini, pengadilan negeri Rantau tegas menolaknya karena tidak ada aturan yang mengatur demikian. Dan kalau seandainya tersedia dana untuk bantuan hukum tentu pengadilan negeri Rantau tidak akan meminta bantuan hukum secara cuma-cuma, apalagi kalau sitersangka mampu untuk membiayai pembela.

Usaha untuk mencarikan bantuan hukum secara cuma-cuma melalui perorangan juga tidak berhasil sehingga pengadilan negeri dengan terpaksa memutuskan untuk memulai pemeriksaan atas diri sitersangka dengan tanpa didampingi pembela.

Dan kasus A telah membuktikan bahwa untuk mendapatkan bantuan hukum itu masih belum terlepas dari faktor dana. Dan karenanya masih tetapi berupakan barang mewah, yang belum terjangkau oleh simiskin.

Terhadap Ungkapan tersebut diatas dapat dikemukakan beberapa

tanggapan sebagai berikut : 69

1. Karena untuk melaksanakan program bantuan hukum memerlukan

pembiayaan yang riil terutama sekali untuk keperluan perongkosan maka faktor pembiayaan ini merupakan salah satu faktor yang cukup dominan disamping berbagai faktor lainnya dalam menunjang keberhasilan pemberian bantuan hukum. Idealisme untuk itu sebenarnya sudah lama tumbuh dan cukup tinggi kadarnya, namun apakah artinya sebuah idealisme bagi seseorang yang juga tidak mampu untuk bergerak bagaikan orang yang dibantu sekalipun tahu akan haknya untuk mendapatkan bantuan hukum tetapi tetap tidak berdaya untuk mendapatkannya, maka bagi seorang pemberi bantuan hukum sekalipun ia sadar akan kewajibannya untuk memberikan bantuan hukum tetapi kalau kemampuannya juga tidak ada tidak akan mungkin untuk melaksanakan kewajibannya sekalipun hanya berupa kewajiban moral.

2. Pencarian dana khusus melalui klien yang kaya bagi LKBH/Lembaga

Bantuan Hukum adalah suatu hal yang tidak mungkin, karena lembaga-lembaga semacam ini adalah lembaga yang bergerak dibidang penyedia jasa bagi orang yang tidak mampu dan tanpa pembayaran, sehingga tidak mungkin untuk mendapatkan dana yang memadai melalui cara yang demikian.

3. Persoalan dana yang menjadi problem dalam pemberian bantuan

hukum ini bukanlah menyangkut soal upah daripada pemberi bantuan hukum, akan tetapi adalah biaya riil yang diperlukan untuk keperluan tersebut, umpamanya kalau berangkat keluar daerah tentu

69


(26)

memerlukan ongkos transport, biaya akomodasi ditempat ia memberikan bantuan hukum, dan biaya konsumsi selama melakukan pembelaan perkara. Kepada siapa biaya tersebut harus dibebankan, apakah kepada Pembela yang bersangkutan, kiranya suatu hal yang sulit karena ia juga mempunyai kebutuhan hidup untuk diri dan keluarganya sedangkan pencaharian tetapnya mungkin hanya berupa gaji yang kadang-kadang tidak mencukupi.

4. Pembiayaan untuk banutan hukum bukan hanya melalui “inpres

bantuan hukum” tetapi yang lebih penting lagi ialah harus dimasukkannya didalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

5. Usaha untuk menunjang pemberian bantuan hukum kepada yang

tidak mampu memang seharusnya ditunjang dari segala pihak, tetapi kita juga harus berpikir secara riil dan konkrit dalam bentuk penyediaan dana. Untuk mana selayaknya dari pihak pengadilan sendiri ada menyediakan dana dalam hal ia memerlukan pembela-pembela khusus bagi mereka yang tidak mampu.


(1)

selalu dekat kepada kemiskinan. Seorang yang miskin dalam harta seharusnya kaya dalam keadilan.62

Sistem hukum Indonesia dan Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya persamaan di hadapan hukum (equality before the law), demikian pula hak untuk didampingi advokat dijamin sistem hukum Indonesia. Bantuan hukum yang ditujukan kepada orang miskin memiliki hubungan erat dengan equality before the law dan access to legal counsel yang menjamin keadilan bagi semua orang (justice for all). Oleh karena itu, bantuan hukum (legal aid) selain merupakan hak asasi manusia juga merupakan gerakan konstitusional.63

Undang-undang Dasar 1945 menjamin persamaan di hadapan hukum,

dimana dalam pasal 27 ayat (1) disebutkan bahwa “ setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Adapun hak didampingi advokat atau penasehat hukum diatur dalam pasal 54 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa

guna kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.

Sementara itu, fakir miskin merupakan tanggung jawab negara yang diatur dalam pasal 34 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Oleh karena itu, gerakan

62

Abdurrahman, Op.Cit., hal.273

63


(2)

bantuan hukum sesungguhnya merupakan gerakan konstitusional. Bantuan hukum bukanlah belas kasihan dan diberi oleh negara, melainkan merupakan hak asasi manusia setiap individu serta merupakan tanggung jawab negara melindungi fakir miskin. Hak asasi manusia inheren dalam diri setiap manusia. Masyarakat harus diyakinkan bahwa bantuan hukum adalah hak asasi manusia dan bukan belas kasihan. Bantuan hukum adalah tanggung jawab negara, pemerintah, masyarakat, profesi hukum dan semua pihak dalam masyarakat (seperti pengusaha, industriawan, bankir dan lain-lain). Apalagi, dalam masyarakat Indonesia dikenal Zakat (Obligation) yang merupakan kewajiban bagi orang yang lebih mampu untuk membantu fakir miskin. Karenanya, konsep bantuan hukum tidak sulit untuk diterima masyarakat.64

Pembelaan terhadap orang miskin mutlak diperlukan dalam sistem hukum pidana yang belum mencapai titik keterpaduan (Integrated Criminal Justice System). Seringkali tersangka yang miskin karena tidak tahu hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa disiksa, diperlakukan tidak adil atau dihambat haknya untuk didampingi advokat. Polisi belum bekerja menerapkan Due Process Model yang memperhatikan hak-hak tersangka sejak ditangkap. Ia dianggap tidak bersalah sampai nanti dibuktikan oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai ketetapan hukum oleh pengadilan yang bebas dan imparsial (Independent and Imparsial Judiciary), jujur dan terbuka. Polisi masih cenderung menggunakan Crima Control Model, belum tercapainya sistem peradilan yang independen dan imparsial telah menyebabkan sistem peradilan pidana di Indonesia tidak berfungsi

64


(3)

maksimal. Putusan-putusan pengadilan banyak yang kontroversial dan kurang pertimbangan hukumnya (onvoldoende gemotiveerd). Pengadilan cenderung lebih memihak kepada pemerintah dari pada masyarakat.65

Hak individu untuk didampingi advokat (access to legal counsel) merupakan sesuatu yang imperatif dalam rangka mencapai proses hukum yang adil. Dengan kehadiran advokat dapat dicegah perlakuan tidak adil oleh polisi, jaksa atau hakim dalam proses interogasi, investigasi, pemeriksaan, penahanan, peradilan dan hukuman. Sering tersangka atau terdakwa diperlakukan tidak adil dan malahan ada yang disiksa dan direndahkan martabatnya sebagai manusia. Kurangnya penghargaan terhadap hak hidup (right to life), hak milik (right to property), dan kemerdekaan (right to liberty) juga merupakan penyebab tingginya angka penyiksaan, perlakuan, dan hukum yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Untuk mencegah dan mengurangi kejadian-kejadian seperti itu, pemerintah Republik Indonesia, setelah mendapat desakan dari berbagai pihak seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, telah meratifikasi instrumen internasional seperti Convention Against Tortune and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment pada tanggal 28 September 1998 yang berupa resolusi PBB No.39/40 tanggal 10 Desember 1984. Dalam menerapkan due process of law para penegak hukum dan keadilan (jaksa, polisi dan hakim) harus menganggap seorang tersangka atau terdakwa tidak bersalah (Presumption of innocence) sejak pertama

65


(4)

kali ditangkap dan kehadiran seorang advokat sejak ditangkap sampai interogasi dan peradilan mutlak harus dijamin.66

Sekalipun persoalan bantuan hukum adalah merupakan pekerjaan amaliah tetapi persoalan tentang dana mempunyai pengaruh yang cukup penting dalam menentukan pengembangannya, artinya untuk berhasilnya pengembangan suatu program bantuan hukum diperlukan sejumlah dana tertentu yang merupakan pendukung utamanya, tanpa dana sulit diharapkan berhasilnya program ini. Memang sering terjadi kesalah-pahaman mengenai persoalan ini seakan-akan bahwa segala sesuatunya dapat diserahkan begitu saja kepada lembaga/biro bantuan hukum yang ada dengan pemikiran bahwa lembaga/biro itu akan membantu karena orang yang bersangkutan termasuk golongan yang tidak mampu.

Terdapat kasus yang menarik soal dana tersebut sebagai berikut : 67

“Sebuah kasus tentang si A yang diajukan kemuka sidang pengadilan Rantau dengan tuduhan melakukan pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu yaitu melanggar pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Mengingat pasal 250 ayat (5) H.I.R maka pengadilan negeri Rantau menawarkan kepada A untuk memperoleh bantuan hukum dan pengadilan negeri Rantau akan mengusahakan agar A dapat didampingi oleh Pembela dengan cuma-cuma.

Selanjutnya pengadilan negeri menghubungi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum68 dari suatu fakultas hukum negeri di ibukota provinsi, yang kemudian mendapat jawaban bahwa LKBH bersedia memberi bantuan hukum akan tetapi meminta agar pengadilan negeri Rantau menanggung biaya penasehat hukumnya sementara mereka belum memiliki dana untuk itu.

66

Ibid., Hal.104

67

Wahyu Afandi, Dana dan Hubungannya dengan Bantuan Hukum, Harian Sinar Harapan, 23 Juli 1979 dalam buku Abdurrahman, Op.Cit., Hal.293-296

68


(5)

Terhadap permintaan LKBH ini, pengadilan negeri Rantau tegas menolaknya karena tidak ada aturan yang mengatur demikian. Dan kalau seandainya tersedia dana untuk bantuan hukum tentu pengadilan negeri Rantau tidak akan meminta bantuan hukum secara cuma-cuma, apalagi kalau sitersangka mampu untuk membiayai pembela.

Usaha untuk mencarikan bantuan hukum secara cuma-cuma melalui perorangan juga tidak berhasil sehingga pengadilan negeri dengan terpaksa memutuskan untuk memulai pemeriksaan atas diri sitersangka dengan tanpa didampingi pembela.

Dan kasus A telah membuktikan bahwa untuk mendapatkan bantuan hukum itu masih belum terlepas dari faktor dana. Dan karenanya masih tetapi berupakan barang mewah, yang belum terjangkau oleh simiskin.

Terhadap Ungkapan tersebut diatas dapat dikemukakan beberapa tanggapan sebagai berikut : 69

1. Karena untuk melaksanakan program bantuan hukum memerlukan pembiayaan yang riil terutama sekali untuk keperluan perongkosan maka faktor pembiayaan ini merupakan salah satu faktor yang cukup dominan disamping berbagai faktor lainnya dalam menunjang keberhasilan pemberian bantuan hukum. Idealisme untuk itu sebenarnya sudah lama tumbuh dan cukup tinggi kadarnya, namun apakah artinya sebuah idealisme bagi seseorang yang juga tidak mampu untuk bergerak bagaikan orang yang dibantu sekalipun tahu akan haknya untuk mendapatkan bantuan hukum tetapi tetap tidak berdaya untuk mendapatkannya, maka bagi seorang pemberi bantuan hukum sekalipun ia sadar akan kewajibannya untuk memberikan bantuan hukum tetapi kalau kemampuannya juga tidak ada tidak akan mungkin untuk melaksanakan kewajibannya sekalipun hanya berupa kewajiban moral.

2. Pencarian dana khusus melalui klien yang kaya bagi LKBH/Lembaga Bantuan Hukum adalah suatu hal yang tidak mungkin, karena lembaga-lembaga semacam ini adalah lembaga yang bergerak dibidang penyedia jasa bagi orang yang tidak mampu dan tanpa pembayaran, sehingga tidak mungkin untuk mendapatkan dana yang memadai melalui cara yang demikian.

3. Persoalan dana yang menjadi problem dalam pemberian bantuan hukum ini bukanlah menyangkut soal upah daripada pemberi bantuan hukum, akan tetapi adalah biaya riil yang diperlukan untuk keperluan tersebut, umpamanya kalau berangkat keluar daerah tentu

69


(6)

memerlukan ongkos transport, biaya akomodasi ditempat ia memberikan bantuan hukum, dan biaya konsumsi selama melakukan pembelaan perkara. Kepada siapa biaya tersebut harus dibebankan, apakah kepada Pembela yang bersangkutan, kiranya suatu hal yang sulit karena ia juga mempunyai kebutuhan hidup untuk diri dan keluarganya sedangkan pencaharian tetapnya mungkin hanya berupa gaji yang kadang-kadang tidak mencukupi.

4. Pembiayaan untuk banutan hukum bukan hanya melalui “inpres

bantuan hukum” tetapi yang lebih penting lagi ialah harus

dimasukkannya didalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 5. Usaha untuk menunjang pemberian bantuan hukum kepada yang

tidak mampu memang seharusnya ditunjang dari segala pihak, tetapi kita juga harus berpikir secara riil dan konkrit dalam bentuk penyediaan dana. Untuk mana selayaknya dari pihak pengadilan sendiri ada menyediakan dana dalam hal ia memerlukan pembela-pembela khusus bagi mereka yang tidak mampu.


Dokumen yang terkait

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

2 53 120

PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA YANG DIBERIKAN OLEH ADVOKAT KEPADA MASYARAKAT YANG KURANG MAMPU.

1 13 17

PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA TERHADAP PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA TERHADAP MASYARAKAT MISKIN PADA PERADILAN PIDANA.

0 2 11

PENDAHULUAN PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA TERHADAP MASYARAKAT MISKIN PADA PERADILAN PIDANA.

0 3 15

PENUTUP PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA TERHADAP MASYARAKAT MISKIN PADA PERADILAN PIDANA.

0 3 5

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 9

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 1

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 28

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan) Chapter III V

0 0 54

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 2