IMAJI JAN 2015 AKBAR
Dokumenter atau Feature
pada Program Televisi
Akbar Budiman
[email protected]
Abstrak
Sejak televisi mengisi ruang tontonan di rumah, dokumenter mulai mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Media tontonan dokumenter menjadi tidak hanya menjadi tayangan alternatif, tetapi
sudah begitu menjadi identitas televisi semacam Kompas tv atau National geographic. Persoalan
muncul saat dokumenter yang berkembang ini, di dalam kontennya bersinggungan dengan pola-pola
dramatik pada iksi, serta kemasannya yang dianggap sebagai atau semacam sebuah karya baru yang
disebut dengan “Feature”. Penamaan yang sampai saat ini menjadi persoalan di masyarakat, terutama
para akademisi dan praktisi dunia pertelevisian di Indonesia. Bagaimana feature sepertinya menjelma
sebagai sebuah mahluk yang identitasnya seperti abu-abu. Apakah feature merupakan sebuah karya
baru pada media audio-visual, atau hanya merupakan sebuah arbitrer, kesepakatan umum tentang
kata di kalangan profesional dan praktisi televisi, terutama di Indonesia, yang pada kenyataannya para
insan televisi ini, secara sejarah beranjak dari media cetak, yang mengenal tulisan feature sebelumnya.
Latar Belakang
Sejak berdirinya televisi swasta di Indonesia,
geliat masyarakat akan kebutuhan komunikasi,
informasi dan hiburan yang ada pada media ini
terus bergerak meningkat. Stasiun televisi publik
nasional, stasiun televisi swasta nasional, lokal
dan tv internet dan sebagainya –pribadi ataupun
kelompok- membutuhkan program-program
yang harus tayang dan menjadi isi dari televisi
tersebut, untuk memenuhi jam tayangnya.
Sehingga program-program televisi menjadi hal
yang sangat penting.
Program televisi yang disiarkan oleh televisi ini
merupakan kemasan hasil dari produksi acara
tertentu, dengan orientasi produksi tentunya
dapatlah ditinjau atas bentuk produksinya.
Pendekatan isi di dalam produksi acara atau
program televisi dapatlah terbagi atas adanya
konstruksi cerita, mengingat kemunculan sebuah
program pastilah memiliki cerita tertentu.
Hanya saja kecenderungan orang –di Indonesiamengasumsikan cerita hanya ada pada ilm, atau
pola ilm yang terdapat dalam tayangan televisi
–seperti sinetron atau sitkom dan semacamnya,
di mana cerita memiliki peristiwa, tokoh, seting
Edisi 6 No. 1 Juli 2013
dan sebab-akibat, baik yang cukup ketat ataupun
sederhana seperti sinetron-.
Padahal cerita adalah kisah yang membungkus
setiap program yang tayang di televisi, meskipun
program tersebut bukanlah cerita seperti di dalam
ilm, macam dokumenter, berita atau olahraga
sekalipun. Namun itulah cerita yang dikisahkan
yang menjadi isi program tertentu. Hanya saja
tidak dibungkus dengan elemen sebab-akibat.
Maka dari penjelasan di atas, dapatlah terbagi
bentuk program televisi ini pada naratif dan
non-naratif. Di mana naratif dapat digambarkan
sebagai program televisi seperti halnya ilm,
sedangkan non-naratif sebagai program yang
ditempatkan pada program di luar naratif tersebut.
Namun program-program naratif menjadi
hal yang akrab pada para penonton, karena
telah berlangsung telah lama. Bahkan ceritacerita rakyat dan juga kisah di buku-buku suci
merupakan bentuk naratif. Malah di awal-awal,
televisi menjadi bagian tontonan masyarakat,
naratif –ilm Hollywood- menjadi isi program
yang ditayangkan oleh stasiun televisi di Amerika.
Sehingga penggambaran naratif dalam program
televisi pun menjadi kebutuhan penonton dan
Jurnal IMAJI | 33
bersifat permanen. Katakanlah program sinetron
dalam hal ini. Sedangkan program-program nonnaratif, digemari penonton hanya berkala di saatsaat tertentu ataupun program-program tertentu,
sehingga bersifat luktuatif, tidak konsisten.
yang tidak ada hubungannya dengan media
Film Dokumenter, malah sangat erat kaitannya
dengan jurnalistik media cetak. Hal yang perlu
kiranya untuk ditinjau kembali.
Lebih dari sekedar Gambar Bergerak
Salah satu program televisi, yakni dokumenter,
menjadi hal yang sangat menarik keberadaannya.
Mengingat dokumenter sekarang ini bukan lagi
hanya sebagai salah program yang ditayangkan,
melainkan sudah menjadi identitas dari
stasiun televisi tertentu, yang membedakan
dengan stasiun televisi yang lainnya. Sebut saja
stasiun televisi National Geographic. Tayangan
dokumenter hampir menjadi isi keseluruhan
dari program acara yang ditayangkan di National
geographic.
Masalah
Begitu banyak bentuk dan jenis program televisi
yang tayang, pada akhirnya memberikan peluang
untuk menempatkan program tertentu pada nama
tertentu, berdasarkan kriteria tertentu. Wajar
apabila terjadi banyak penamaan pada bentuk
dan jenis program. Namun menjadi sebuah
polemik apabila di dalam penamaan tersebut
tidak disertai dengan alasan-alasan berdasarkan
data dan sumber yang ada, terutama pada sudut
pandang sejarah.
Dokumenter menjadi bentuk hal yang menarik
dalam program televisi, terutama pada jenis
dokumenternya. Program feature di televisi
sepertinya menjadi hal yang sangat sepele
dalam hal ini. Tetapi pada kenyataannya tidak.
Banyak yang berpendapat bahwa program
feature merupakan salah satu program televisi
yang keberadaannya merupakan hal yang berdiri
sendiri begitu saja, terutama hal ini dari kalangan
yang dasar pemikirannya ilmu komunikasi.
Semarak berdirinya fakultas ataupun jurusan
komunikasi di kampus-kampus, menambah
kekeliruan program feature yang dianggap ada
ini, menjadi hal yang perlu diluruskan. Karena
sangatlah sempit bila ditanyakan kembali apa itu
program feature pada mereka yang menyebutkan
program feature merupakan program televisi
yang berdiri sendiri.
Adanya tayangan Dokumenter Televisi dianggap
kalangan televisi di Indonesia, merupakan hal
Edisi 6 No. 1 Juli 2013
Dengan menelusuri sejarah bagaimana gambar
dapat bergerak (motion picture), maka sebelum
televisi menjadi media komunikasi, informasi dan
hiburan, ilm telah memulainya terlebih dahulu.
Sehingga program-program yang terdapat
pada media televisi, secara berkala, merupakan
adaptasi dan pengembangan dari jenis dan
bentuk ilm. Oleh karenanya membahas suatu
gejala program yang ada di tv, alangkah baiknya
memulai dari sudut pandang sejarah. Mengingat
begitu menggeliatnya pendidikan dan pengajaran
di bidang produksi ilm dan televisi, sehingga
persoalan program televisi feature, yang menjadi
topik pembahasan kali ini mungkin dapat
menjadi lebih terang.
Film-ilm pertama sangat sederhana sekali baik
dalam bentuk maupun gaya. Film biasanya
konsisten hanya menggunakan satu shot dan
juga diambil dari jarak yang tidak dekat dengan
peristiwanya (long shot). Cinematographe, kamera
milik Lumière bersaudara ini lebih mudah
dibawa dan ditempatkan ke mana saja, di jalanjalan, taman, pantai dan tempat-tempat umum
lainnya untuk mengambil gambar kegiatan
sehari-hari atau kejadian-kejadian aktual. Hal ini
terlihat dari karya-karya mereka seperti, Workers
Leaving the factory (1895), yang merupakan karya
pertama mereka di mana mereka mengambil
gambar di jalan, di depan pabrik mereka sendiri.
Juga dalam Arrival of a Train at a Station (1895)
juga mengambil gambar di stasiun kereta api
dekat tempat tinggal mereka. Sedangkan dalam
Baby’s Lunch (1895), Louis mengambil gambar
saudaranya, Auguste bersama istri dan anaknya di
rumah mereka sendiri.
Kemudian selanjutnya seorang operator
kamera Lumière, Eugene Premio, di tahun
1896 menghasilkan visual dari perekaman yang
inovatif, dimana kamera diletakkan pada pada
sebuah kapal yang bergerak. Sehingga gambar
terlihat bergerak, seperti halnya gambar yang
dihasilkan atas perekaman gerak kamera pan
(panoramic).
Jurnal IMAJI | 34
Operator Lumière, Eugene Promio banyak mempengaruhi
pembuat ilm di awal-awal sinema dengan menempatkan
kamera di kapal bergerak untuk membuat merekam
gambar sebagai kebutuhan ilm-ilmnya, termasuk Egypte:
Panorama des Vusi du Nil (“Mesir: Panorama dari Bank
Sungai Nil,” 1896).
Namun di tahun 1897, pendapatan atas hasil
ilm yang terus menurun, membuat Lumière
menjual kamera cinemathographe-nya lebih
terbuka. Sedangkan di Inggris di tahun yang
sama populer menggabungkan beberapa gambar
dalam satu rol ilm (tehnik super impouse). Lalu
Robert William Paul pun membuat ilm dengan
tehnik seperti halnya perekaman gambar dalam
warta berita, yakni ilm yang terdiri atas beberapa
shot-shot pendek. Operator kamera hanya akan
memulai dan menghentikan perekaman gambar
pada kamera hanya untuk merekam terhadap
tindakan-tindakan yang diinginkannya, sehingga
ilm berupa potongan atau cuplikan (highlight).
Sedangkan trik yang dilakukan oleh George
Méliès, seorang pesulap Prancis –mendapatkan
proyektor dari RW Paul-, pada ilmnya he
Vanishing Lady, 1897, yaitu menghentikan
perekaman yang dilakukan kamera terhadap
seorang perempuan, dan kemudian mengubah
perempuan tersebut menjadi sebuah kerangka,
lalu kamera merekam kerangka tersebut. Trik
tersebut kemudian menjadi lebih popular saat
digunakan Méliès pada ilm fantasinya yang
berjudul Trip to he Moon.
Peristiwa-peristiwa di atas yang telah diuraikan
tersebut, membuat ilm terbagi menjadi dua
bentuk, yaitu Realitas (Dokumentasi dan
Dokumenter) yang terlihat pada ilm karya
Lumière, dan ilm-ilm Ekspresionis (Fantasi dan
imajinatif ) melalui ilm karya Méliès.
Sampai disini, keberadaan ilm telah melebihi
dari apa yang dikehendaki orang sebagai
Edisi 6 No. 1 Juli 2013
gambar bergerak -motion picture-. Film telah
menghadirkan dua sudut pandang yang berbeda
dalam merekam suatu peristiwa tertentu,
bagaimana peristiwa tersebut hadir di dalam
kamera. Meskipun sangat terlihat bahwa
dominasi teater masih kentara pada cerita ilm,
seperti yang disinggung sebagai tableaux yang
sangat mendekatkan representasi ilm pada
teater. Hal yang wajar mengingat teater pada
saat itu dipandang sebagai seni kelas tinggi
oleh masyarakat Barat, terutama di kalangan
menengah ke atas, sedangkan ilm pada periode
awal ini, mencoba untuk lebih memfungsikan
peristiwanya dari ilm –“realitas” Lumière menuju
pada ilm fantasinya Méliès.
Namun yang perlu dicatat pula, bahwa
memfungsikan ilm untuk lebih sekedar sebuah
perekaman peristiwa, juga dikembangkan secara
teknis cara merekam peristiwanya. Popularnya
tehnik superimpose di Inggris, yang dilakukan
oleh George Albert Smith, dari Inggris, yang
terlihat dalam ilmnya he Corsican Brothers di
tahun 1898. Kemudian Ferdinand Zecca, yang
melakukan perekaman seorang wanita dengan
menciptakan trik seperti mengintip dari lubang
sebuah teleskop (1901).
Salah satu trik yang dilakukan Zecca, di periode awal
sinema dan ilm agak bersifat cabul, “Scenes from Balcony”
memperlihatkan seorang pria yang melihat melalui
teleskop, diikuti oleh shot seorang wanita membuka baju,
yang memberikan kesan pria tersebut sedang melihat
wanita.
Film sepertinya ingin tetap memperlihatkan
keberadaannya sebagai suatu eksplorasi yang
memiliki nilai seni yang khas, bukan sekedar
komunikasi yang hanya menyampaikan suatu
pesan tertentu. Masalahnya adalah tampilan
gambar yang diperlihatkan hasil dari teknis
tersebut, dianggap bukan sebagai sebuah
ungkapan yang khas dari ilm, hasil eksplorasi
potensi keseluruhan yang memang sebenarnya
Jurnal IMAJI | 35
terdapat di ilm, sehingga teknis tersebut terjadi
karena didasari atas keinginan bahwa teknis
tersebut dilakukan untuk pencapaian cerita
sebagai sebuah kisah. Dengan kata lain eksplorasi
teknis bertujuan untuk mempertunjukkan
atraksiitas saja. Cerminan para pembuat ilm
yang sebenarnya tetap berusaha agar ilm
dapat diterima oleh masyarakat Barat di semua
kalangan.
Sayangnya pertunjukkan ilm yang masih sebagai
tontonan rakyat di pasar malam, menjadikan
trik-trik tersebut, dan juga koherensi cerita
dengan teknis pengambilan shot tersebut yang
dianggap belum menemukan pandangan yang
baik, menjadikan hal tersebut sebagai suatu alasan
bahwa ilm belum menemukan cara bertutur
dan berekspresi yang khas dari mediumnya dan
dianggap masih sangat tergantung oleh teater.
Dari gambaran singkat tentang kemunculan
bahasa ilm pada periode awal tersebut terdapat
dua hal penting, yang pertama bahasa ilm telah
muncul pada tahap-tahap awal dari sejarah
perkembangan ilm di dunia, meskipun telah
dilakukan tetap dianggap tidak lebih hanya
untuk kepentingan sensasi semata. Kedua,
bahasa ilm sangat dipengaruhi oleh mediummedium ekspresi lainnya, khususnya teater dalam
menuturkan kisah-kisahnya. Namun demikian,
di periode awal ini, sebenarnya ilm telah
memperkaya dirinya menuju kesebuah ungkapan
bahasa ilm yang khas, ilm lebih dari sekedar
gambar bergerak.
Pada persoalan kisah cerita, periode awal
ilm, melalui Lumière, hanya menghadirkan
peristiwa keseharian yang sederhana, yang
kemudian melalui Méliès, cerita menjadi sangat
tereksploitasi dengan kreatif.
Bernama Dokumenter
Hadirnya ilm-ilm milik Méliès, membuka pintu
masuknya keinginan-keinginan dan tujuantujuan dalam ilm, yang ternyata membuat ilm
mengembangkan potensinya. Perkembangan
selanjutnya, cerita menjadi bagian penting dari
ilm. Pembuatan cerita pun dilakukan. Selain
itu juga memilmkan karya-karya sastra yang
sudah dikenal mesyarakat umum. Hadirnya
Hollywood sebagai industri ilm, menjadikan
segala sesuatunya berorientasi pada nilai faktur,
Edisi 6 No. 1 Juli 2013
termasuk cerita. Pola cerita pun pada akhirnya
terbentuk. Teknis pengambilan gambar pun
disiasati bukan hanya sekedar sensasi, melainkan
suatu maksud eksplorasi dari tatanan bahasa.
Film pun menjadi sebuah bahasa yang khas
adan unik. Sinema Klasik Hollywood, menjadi
struktur tontonan yang familiar di masyarakat
Amerika dan Eropa, dan seterusnya berlanjut ke
seluruh dunia. Sinema Klasik Hollywood telah
membangun dan menenamkan naratifnya pada
penonton di dalam ilm-ilmnya.
Sedangkan ilm-ilm yang berorientasi pada
Lumière, memunculkan nama Dziga Vertov
sebagai seorang yang membawa bentuk karya
lebih mengedepankan “realita”, mengusung apa
yang telah dilakukan Lumière Bersaudara (Auguste
dan Louis). Karya Vertov, dinilai banyak kalangan
sebagai sebuah ilm reportase, yakni salah satu
bentuk ilm yang dianggap kalangan sebagai jenis
ilm warta berita, meskipun sebelumnya telah
dijelaskan bahwa RW Paul telah memulainya di
tahun 1897.
Kemudian di tahun 1922, Robert Flaherty dengan
karyanya yang berjudul Nanook of he North, yang
masa putarnya sangat panjang/lama –pada saat
itu- sehingga disebut sebagai ilm dokumenter
feature pertama yang dibuat sineas (penggunaan
feature disini berhubungan dengan durasi tayang
ilm, bukan bentuk ataupun jenis ilm).
Lalu di tahun 1926, John Grierson, seorang
akademisi muda yang sedang meneruskan
minatnya pada ilmu komunikasi, bukan praktisi
pembuat ilm, menulis tinjauannya di New York
Sun, tentang pendapatnya terhadap ilm etnograi
Flaherty yang berjudul Moana, yang dalam
tulisannya tersebut menggunakan dokumenter
sebagai istilah.
Selanjutnya meskipun ilm-ilm dokumenter
tetap diproduksi, akan tetapi ruang dokumenter
untuk tayang di bioskop-bioskop, kiranya
menjadi persoalan sendiri. Munculnya media tv
dan evolusi terhadap kamera yang lebih portable,
menyebabkan dokumenter seperti menemukan
kehidupan keduanya. Dokumenterpun diproduksi
dengan berbagai macam jenis, dengan sasaran
tayangannya ada pada media tv. Kompas TV di
tanah air dan National Geographic di Amerika
dan dunia, merupakan stasiun televisi yang pada
akhirnya mengusung dokumenter sebagai basis
tayangan televisi.
Jurnal IMAJI | 36
Penayangan Awal Program TV Di Dunia
(Amerika)
Melihat peluang, dengan segera studio-studio
besar pun mengikuti jejak mereka.
Pengaruh ilm tidak akan pernah terlepas dari
penayangan program-program televisi di awalawal berdirinya televisi. Pemahaman penonton
akan naratif yang telah berlangsung beberapa
tahun sebelumnya di ilm, menjadikan televisi
mendapatkan dampak yang sangat signiikan.
Pada akhirnya aliansi ilm dan tv pun terjadi.
Padahal sebelumnya, di mana tahun-tahun
setelah perang dunia II, studio ilm Amerika
dan industri Televisi saling bertentangan yang
disebabkan beberapa hal, diantaranya:
Tak lama setelah itu produksi ilm baru pun
dilakukan, bahkan diproduksi dengan lebih cepat
yang memang disajikan khusus untuk tayangan
tv. Keberhasilan rating pada program Saturday
Night at he Movie (1961) menyebabkan semua
jaringan siaran mengikuti pola menampilkan
“bioskop malam”. Pada akhir dekade ini,
belakangan banyak muncul pula pertunjukkan
bioskop yang mengacu pada ilm-ilm yang
berjalan di tv hampir setiap malam minggunya.
- TV telah mencuri pelanggan bioskop yang
telah menganut pelangggan bioskop yang telah
menganut sistem studio dan telah mendominasi
pasar naratif Amerika.
- Di tahun 50-an telah menjadi dekade terakhir
bagi pemirsa USA yang mengandalkan bioskop
sebagai hiburan.
- Di tahun 60-an, tv telah menggantikan peran
bioskop di Amerika sebagai bentuk hiburan,
dan industri ilm pada saat itu telah mengalami
hal yang sangat pahit.
- Situasi ini sebenarnya sama halnya dengan
yang dirasakan oleh para eksekutif ilm tv
yang membenci adanya kepentingan tertentu
yang sangat berkuasa di tv yang dirasakan
mengganggu.
- Begitu pula sebaliknya, rekan-rekan mereka
yang ada di industri tv, ragu-ragu untuk
berurusan dengan studio ilm.
- Produser tv ingin menciptakan materi mereka
sendiri dan tidak harus bergantung pada
keinginan dari industri ilm bagi produk
mereka.
Sehingga pada saat itu terlihat bahwa tv lapar
akan naratif untuk produksinya; sedangkan studio
ilm masih dikontrol oleh ribuan ilm. Kesadaran
akan kebutuhan satu sama lainnya, menyebabkan
situasi terbalik dari pertentangan menjadi aliansi.
Setelah awal-awal mereka berjalan, ilm-ilm
semacam warehoused, jarang terdengar lagi, dan
dengan demikian tidak menjadikannya aset
inansial. RKO, Monograme dan Republic –yakni
tiga studio yang lebih kecil- adalah yang pertama
kali untuk memulai penyewaan ilm-ilm mereka,
yakni ilm-ilm yang diproduksi beberapa waktu
yang lalu/ilm lama/usang untuk tayang di tv.
Edisi 6 No. 1 Juli 2013
Sejak saat itu pula hubungan antara ilm dan
televisi telah menjadi hal yang sangat kompleks.
Dengan demikian, tv yang pada awalnya
diremehkan, pada kenyataannya, telah membuat
sebagian besar studio ilm turut memiliki dan
mengoperasikan produksi tv, dan mengaburkan
perbedaan ekonomi diantara kedua media
tersebut.
Standarisasi dengan sendirinya tercipta dari
naratif yang digunakan pada ilm sebagai standar
program tv, meskipun standar naratif tv tidaklah
seketat dengan apa yang ada pada ilm. Ini
dapat dilihat pada program-program semacam
Saturday Night, ilm teatrikal di WGN, WWOR
dan WTBS, tv model Ted Turner.
Tidaklah berbeda jauh dengan Amerika, di
Indonesia hal yang sama pun terjadi. Dimana
konsumen tv, telah akrab sebelumnya dengan
naratif ilm bioskop. TVRI sebagai media tv
pertama, juga mengandalkan tayangan yang
bersifat naratif –bukan istilah drama atau non
drama, tapi akan lebih tepat bila program di
televisi itu terbagi atas naratif dan non naratif,
karena kata drama dan non drama tersebut
berasal dari kata dran yang berasal dari Yunani
yang memiliki arti tindakan (action), sehingga
kalau kata drama dan non drama yang dipakai,
maka akan memiliki pengertian bahwa program
di televisi terbagi atas program yang memiliki
tindakan (action) dan program yang tidak
memiliki tindakan (non-action), sehingga sangat
mustahil bila hal ini diberlakukan pada programprogram di televisi, padahal sekalipun itu program
memasak di televisi, sangat jelas ada tindakannyasebagai standarisasi program di televisi.
Jurnal IMAJI | 37
Di Indonesia Para Jurnalis Media Cetak ke
Industri TV
Di Indonesia sendiri, munculnya RCTI telah
memberikan gambaran bahwa liberalisasi
pertelevisian pada akhirnya telah dibuka oleh
pemerintah, khususnya orde baru yang berkuasa
pada saat itu. TVRI yang menjadi satu-satunya
media layar kaca, tidak memberikan peluang
terhadap obyektiitas informasi karena sikap
preventif pemerintah. TVRI menjadi media
propaganda
terhadap
kebijakan-kebijakan
pemerintah. Khususnya dalam hal ini pada
tayangan jurnalistik televisi, siaran berita –newsatau siaran-siaran lainnya yang merupakan
memang dikhususkan untuk menginformasikan
dari program yang dianggap sebagai keberhasilan
pemerintah.
Berdirinya RCTI sebagai televisi swasta,
otomatis membutuhkan tenaga kerja untuk
dapat menjalankan program-program televisi,
yang pada saat itu sumber daya manusia
sangatlah terbatas. Di mana keterbatasan di
sini maksudnya adalah profesi yang bergelut
di bidang pertelevisian ataupun audio-visual
hanya didapat dari pelatihan-pelatihan TVRI
ataupun karyawan TVRI itu sendiri serta dari
kalangan perilman, baik pada karyawan PPFN
ataupun pekerja lepas yang telah berpengalaman
dalam produksi ilm. Selebihnya adalah mereka
yang berpengalaman pada bidang media masa
lainnya, seperti surat kabar dan radio. Kemudian
beberapa kalangan akademisi yang berada pada
jalur komunikasi ataupun produksi ilm di luar
negeri –itupun dengan catatan masih minim
sekali lulusannya-. Meskipun beberapa kalangan
dari bidang diluar pertelevisian ataupun audiovisual dan komunikasi, juga direkrut dengan
pertimbangan nantinya diadakan pelatihanpelatihan khusus terhadap kalangan tersebut.
Dengan hal tersebut, dengan keterbatasan
sumber daya manusia, serta hanya beranjak
pada pengalaman kerja dibidangnya masingmasing, sangat memungkinkan sekali adanya
sikap arogansi pengetahuan masing-masing
dalam mencermati ataupun menciptakan karya
program tertentu baik terhadap teknis ataupun
konten dari program, terutama pada program
dokumenter di televisi. Unsur dokumenter
di televisi pada umumnya mengadopsi dari
dokumenter yang telah ada –ilm dokumenterEdisi 6 No. 1 Juli 2013
baik secara teknis ataupun cara bertuturnya. Ada
beberapa gaya dan jenis dokumenter dengan
beberapa pendekatan pada ilm dokumenter, yang
kemudian dikembangkan didunia pertelevisian.
Sehingga pencapaiannya pada saat ini dapat
dilihat dengan apa yang dikenal dengan programprogram reality show. Tetapi belakangan dengan
sangat nyaring bahwa ada sebuah program
televisi yang mengidentiikasikan dirinya dengan
istilah FEATURE. Dimana program sejenis
identik dengan dokumenter baik secara teknisnya
maupun secara kontennya.
Sebenarnya persoalan seperti ini muncul karena
dokumenter tidak ditempatkan secara bijaksana.
Perekrutan sumber daya manusia yang dilakukan
oleh stasiun-stasiun televisi, terutama dengan
direkrutnya para jurnalis media cetak ke televisi,
telah menyebabkan pergesekan ini sampai
sekarang. Selain penyebab juga diamininya hal
tersebut oleh para praktisi dan juga kalangan
akademisi terhadap adanya karya feature di
televisi ini. Entah kenapa hal ini seperti dibiarkan
dan tetap dijaga kelestariannya. Padahal sudah
sangat jelas bahwa karya feature itu sendiri sekali
lagi ditegaskan merupakan karya dokumenter
semata. Meskipun itu dalam media yang dianggap
berbeda antara televisi dan ilm.
Mungkin ada baiknya kalau persoalan feature ini
muncul karena beberapa faktor, seperti:
- Teknis perekrutan sumber daya manusia di
televisi yang merekrut beberapa jurnalis media
cetak ke industri televisi telah membawa
pengetahuan jurnalistik media cetak ke televisi.
- Minimnya informasi pengetahuan pada awalawal stasiun televisi swasta berdiri, terutama
menyangkut pengetahuan dokumenter.
- Masih membedakannya media tayang antara
televisi dengan ilm pada karya dokumenter.
Malahan dalam hal ini ada yang menyebutnya
dokumenter yang sangat ilm terhadap beberapa
karya dokumenter secara keseluruhannya
apabila menampilkan shot yang memiliki
konsep pencahayaan (lighting) low key dan
banyak menampil shot extreme close up.
Sekarang ini banyak ditayangkan Kompas tv.
- Sikap arogansi dan seniorisasi para pelaku
industri kreatif televisi dalam menempatkan
dokumenter itu sendiri.
- Tidak adanya penelitian, baik sebuah catatan
Jurnal IMAJI | 38
kecil di media ataupun penjelasan dalam
bentuk lainnya yang memberikan solusi pada
persoalan semacam ini oleh kalangan tertentu,
baik akademisi ataupun praktisi.
Metode Informasi pada Film sebagai dasar
Bercerita Feature
Banyak beranggapan bahwa plot yang dihadirkan
pada karya feature sangatlah berbeda dengan
yang terdapat pada dokumenter secara umumnya.
Padahal plot yang ada pada dokumenter
sebenarnya telah selesai dibahas pada ilm.
Jadi bukanlah sebuah persoalan yang menjadi
perbedaan. Mengingat ilm memiliki beberapa
jenis, seperti ilm iksi, dokumenter animasi dan
eksperimental.
informasi yang luas. Dokumenter Biograi
yang memiliki informasi tokoh yang disusun
berdasarkan periode dari perkembangan
kehidupan dirinya –anak-anak, remaja dan
dewasa-, adalah contoh keluasan dalam
memberikan informasi.
Sedangkan untuk menyimpulkan bahwa isi
cerita ilm memiliki rentang informasi yang
dalam adalah, apabila peristiwa-peristiwa
yang dihadirkan didalam ilm bertujuan untuk
mengupas tuntas suatu masalah tertentu. Lebih
mudahnya dapat kita lihat pada ilm-ilm
dokumenter investigasi.
Dokumenter TV lebih tepat untuk menyebut
istilah Feature
Plot menghadirkan atau menyiratkan informasi
cerita. Plot juga dapat mengatur isyarat dengan
cara menahan informasi demi rasa ingin tahu atau
kejutan. Atau plot dapat memberikan informasi
sedemikian rupa untuk menciptakan harapan
atau ketegangan agar dapat lebih meningkat.
Semua proses ini merupakan narasi, bagaimana
cara plot menyebarkan informasi cerita untuk
mencapai efek tertentu. Narasi adalah proses
dari peristiwa-per-peristiwa untuk membimbing
penonton dalam membangun cerita dari plot.
Banyak faktor yang masuk ke dalam narasi,
tetapi yang paling penting adalah untuk tujuan
para kreator ilm dalam melibatkan keluasan dan
kedalaman informasi plot cerita yang dihadirkan.
Pada buku Teknik Produksi Program TV yang
ditulis oleh Fred Wibowo, dijelaskan deinisi dari
feature, yaitu suatu program yang membahas suatu
pokok bahasan satu tema, diungkapkan lewat
berbagai pandangan yang saling melengkapi,
mengurai, menyoroti secara kritis dan disajikan
dengan berbagai format (bab 9 : 188).
Informasi yang ada didalam cerita ilm baik itu
ilm iksi ataupun ilm dokumenter, memiliki
nilai yang luas dan dalam. Plot, yang berisi
peristiwa-peristiwa tertentu, dengan terstruktur
memberikan rentang informasi tersebut yang
berada pada batas keluasan dan kedalaman.
Bagaimana informasi dapat memberikan
pengertian rentangan yang luas pada
informasinya bila saja peristiwa-peristiwa yang
dimunculkan merunut pada hukum periode atau
masa. Sebagai hal yang paling mudah dipahami
dalam memberikan informasi yang luas, apabila
peristiwa-peristiwa yang dihadirkan didalam
cerita ilm, diurutkan berdasarkan nilai kronologis
yang ada pada suatu peristiwa.
Kemudian beberapa kalangan jurnalistik tv
yang menyebutkan program tv feature, sebagai
sebuah bentuk karya yang berbeda dengan karya
dokumenter, dengan alibi yang tidak memiliki
dasar yang pasti, mengungkapkan bahwa karya
feature ini adalah sebuah karya yang lebih
menitik-beratkan pada kedalaman informasi,
jelas-jelas hanya mencari-cari alasan yang
tak pasti dan terkesan membela dirinya. Film
dokumenter seperti yang telah dijelaskan telah
mencakup kedua hal tersebut didalam melayani
informasinya.
Lebih tepatnya untuk sebuah contoh, ilmilm dokumenter yang peristiwanya disusun
berdasarkan alpabetikal, memiliki rentang
Edisi 6 No. 1 Juli 2013
Kemudian dijelaskan kembali pada paragraph
berikutnya pengertian dari format tersebut
adalah wawancara, show, vox-pop, puisi, musik,
nyanyian, sandiwara pendek atau fragmen (9:188).
Selanjutnya juga dijelaskan didalam buku tersebut
bahwa feature merupakan gabungan antara unsur
dokumenter, opini dan ekspresi (9:189).
Dengan penjabaran diatas, jelas sudah bahwa
karya program tv yang dimaksudkan dengan
feature, hanyalah istilah yang digunakan dengan
mengadopsi secara serampangan. Begitu
beragamnya bentuk program televisi yang
mengusung isi dan tema sebuah realitas tertentu,
Jurnal IMAJI | 39
hanyalah varian dari format awalnya, yakni
dokumenter. Kata feature hanyalah diperuntukkan
bagi durasi jam tayang atau masa putar sebuah
ilm, yang lebih tepatnya ilm panjang, karena
berdasarkan durasinya ilm terbagi atas ilm
pendek –short ilm-, ilm menengah –middle ilmdan ilm panjang –feature ilm-.
Maka dengan pendekatan yang telah dijabarkan
sebelumnya, karya feature pada televisi dapat
dikatakan TIDAK ADA, atau istilah ini tidak
dikenal pada karya-karya yang dimaksudkan
oleh kalangan yang mengusung istilah ini,
karena nama dari program ini sudah begitu
identik dan sudah menemukan jati dirnya
sebagai DOKUMENTER, kalaupun untuk
membedakan karya dokumenter, hanyalah
sebatas pada ruang media penayangannya saja,
yaitu ilm dan tv, maka akan jauh lebih baik dan
lebih bijak dengan memberikan istilah karya
feature ini sebagai karya DOKUMENTER TV.
Sedangkan untuk penegasan sekali lagi,
kata feature secara umumnya dikenal hanya
sebagai persamaan dari durasi atau masa putar
tayangan sebuah ilm, baik itu ilm iksi dan ilm
dokumenter.
media cetak tetapi tidak diimbangi dengan
pengetahuan media ilm dan tv.
- Unsur teknis dan penuturan naratif pada ilm
(bioskop dan dokumenter) merupakan fakta
bahwa karya feature bukanlah karya audiovisual, melainkan karya tulisan media cetak.
- Rentang informasi naratif yang diberikan
baik pada ilm ataupun dokumenter, bukanlah
sebuah standar deinisi dari isitilah yang
dimaksud dengan karya feature.
- Feature hanyalah istilah yang digunakan sebagai
durasi pada ilm (bioskop dan dokumenter)
yang penayangannya lebih dari 1 jam/60 menit.
Dengan demikian dari uraian yang telah
dijelaskan diatas sebelumnya, dapatlah menjadi
tolok ukur kita dalam menggunakan istilah
feature pada karya dokumenter televisi. Untuk itu
sebaiknya hanya ada satu pertanyaan yang harus
dijawab dari pembahasan ini, yaitu:
Akankah para jurnalistik media cetak juga mau
mengakui dan setuju untuk memberikan istilah
pada karya tulis feature di suratkabar dengan
istilah dokumenter?
Maka fakta yang dapat disimpulkan adalah
sebagai berikut, bahwa:
- Sejak
kemunculannya,
ilm
telah
mempertunjukkannya kedalam dokumenter,
meskipun masih teramat sederhana.
- Film memiliki bahasanya yang unik dan khas,
tidak hanya pada unsur teknis, tetapi juga pada
kisahnya. Dengan kata lain, ilm apapun akan
memberikan kisah, meskipun itu sebuah ilm
abstrak.
- Kehadiran TV telah memberikan ruang baru
terhadap dokumenter. Eksplorasi dokumenter
pun semakin kaya.
- Di Indonesia, berdirinya stasiun TV Swasta
menyebabkan masuknya para jurnalis media
cetak dan membawa apa yang menjadi cirri
media cetak kedalam media elektronik, tv. Hal
inilah yang menyebabkan timbulnya istilah
feature di media tv.
- Deinisi feature yang tidak jelas dan
serampangan bahkan tidak memiliki sumber
yang pasti, menyebabkan kebingungan, bahkan
diantara para jurnalis tv itu sendiri.
- Kekuatan senioritas dikalangan jurnalis
Edisi 6 No. 1 Juli 2013
Daftar Pustaka
Biran, Misbach Yusa, Tehnik Menulis Skenario,
Pustaka Jaya
Buttler, Jeremy, Television Methods and
Aplication,
Bordwell, David and Kristin hompson, Film
History an Introduction, New York-Americas,
McGraw-Hill Higher Education, 2003
Bordwell, David and Kristin hompson. Film
Art an Introduction, eight edition, Mc Graw-Hill
Higher Education – New York, 2008.
Wibowo, Fred, Teknik Produksi Program
Televisi
http://pov.imv.au.dk/Issue_22/section_1/
artc1A.html
Jurnal IMAJI | 40
pada Program Televisi
Akbar Budiman
[email protected]
Abstrak
Sejak televisi mengisi ruang tontonan di rumah, dokumenter mulai mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Media tontonan dokumenter menjadi tidak hanya menjadi tayangan alternatif, tetapi
sudah begitu menjadi identitas televisi semacam Kompas tv atau National geographic. Persoalan
muncul saat dokumenter yang berkembang ini, di dalam kontennya bersinggungan dengan pola-pola
dramatik pada iksi, serta kemasannya yang dianggap sebagai atau semacam sebuah karya baru yang
disebut dengan “Feature”. Penamaan yang sampai saat ini menjadi persoalan di masyarakat, terutama
para akademisi dan praktisi dunia pertelevisian di Indonesia. Bagaimana feature sepertinya menjelma
sebagai sebuah mahluk yang identitasnya seperti abu-abu. Apakah feature merupakan sebuah karya
baru pada media audio-visual, atau hanya merupakan sebuah arbitrer, kesepakatan umum tentang
kata di kalangan profesional dan praktisi televisi, terutama di Indonesia, yang pada kenyataannya para
insan televisi ini, secara sejarah beranjak dari media cetak, yang mengenal tulisan feature sebelumnya.
Latar Belakang
Sejak berdirinya televisi swasta di Indonesia,
geliat masyarakat akan kebutuhan komunikasi,
informasi dan hiburan yang ada pada media ini
terus bergerak meningkat. Stasiun televisi publik
nasional, stasiun televisi swasta nasional, lokal
dan tv internet dan sebagainya –pribadi ataupun
kelompok- membutuhkan program-program
yang harus tayang dan menjadi isi dari televisi
tersebut, untuk memenuhi jam tayangnya.
Sehingga program-program televisi menjadi hal
yang sangat penting.
Program televisi yang disiarkan oleh televisi ini
merupakan kemasan hasil dari produksi acara
tertentu, dengan orientasi produksi tentunya
dapatlah ditinjau atas bentuk produksinya.
Pendekatan isi di dalam produksi acara atau
program televisi dapatlah terbagi atas adanya
konstruksi cerita, mengingat kemunculan sebuah
program pastilah memiliki cerita tertentu.
Hanya saja kecenderungan orang –di Indonesiamengasumsikan cerita hanya ada pada ilm, atau
pola ilm yang terdapat dalam tayangan televisi
–seperti sinetron atau sitkom dan semacamnya,
di mana cerita memiliki peristiwa, tokoh, seting
Edisi 6 No. 1 Juli 2013
dan sebab-akibat, baik yang cukup ketat ataupun
sederhana seperti sinetron-.
Padahal cerita adalah kisah yang membungkus
setiap program yang tayang di televisi, meskipun
program tersebut bukanlah cerita seperti di dalam
ilm, macam dokumenter, berita atau olahraga
sekalipun. Namun itulah cerita yang dikisahkan
yang menjadi isi program tertentu. Hanya saja
tidak dibungkus dengan elemen sebab-akibat.
Maka dari penjelasan di atas, dapatlah terbagi
bentuk program televisi ini pada naratif dan
non-naratif. Di mana naratif dapat digambarkan
sebagai program televisi seperti halnya ilm,
sedangkan non-naratif sebagai program yang
ditempatkan pada program di luar naratif tersebut.
Namun program-program naratif menjadi
hal yang akrab pada para penonton, karena
telah berlangsung telah lama. Bahkan ceritacerita rakyat dan juga kisah di buku-buku suci
merupakan bentuk naratif. Malah di awal-awal,
televisi menjadi bagian tontonan masyarakat,
naratif –ilm Hollywood- menjadi isi program
yang ditayangkan oleh stasiun televisi di Amerika.
Sehingga penggambaran naratif dalam program
televisi pun menjadi kebutuhan penonton dan
Jurnal IMAJI | 33
bersifat permanen. Katakanlah program sinetron
dalam hal ini. Sedangkan program-program nonnaratif, digemari penonton hanya berkala di saatsaat tertentu ataupun program-program tertentu,
sehingga bersifat luktuatif, tidak konsisten.
yang tidak ada hubungannya dengan media
Film Dokumenter, malah sangat erat kaitannya
dengan jurnalistik media cetak. Hal yang perlu
kiranya untuk ditinjau kembali.
Lebih dari sekedar Gambar Bergerak
Salah satu program televisi, yakni dokumenter,
menjadi hal yang sangat menarik keberadaannya.
Mengingat dokumenter sekarang ini bukan lagi
hanya sebagai salah program yang ditayangkan,
melainkan sudah menjadi identitas dari
stasiun televisi tertentu, yang membedakan
dengan stasiun televisi yang lainnya. Sebut saja
stasiun televisi National Geographic. Tayangan
dokumenter hampir menjadi isi keseluruhan
dari program acara yang ditayangkan di National
geographic.
Masalah
Begitu banyak bentuk dan jenis program televisi
yang tayang, pada akhirnya memberikan peluang
untuk menempatkan program tertentu pada nama
tertentu, berdasarkan kriteria tertentu. Wajar
apabila terjadi banyak penamaan pada bentuk
dan jenis program. Namun menjadi sebuah
polemik apabila di dalam penamaan tersebut
tidak disertai dengan alasan-alasan berdasarkan
data dan sumber yang ada, terutama pada sudut
pandang sejarah.
Dokumenter menjadi bentuk hal yang menarik
dalam program televisi, terutama pada jenis
dokumenternya. Program feature di televisi
sepertinya menjadi hal yang sangat sepele
dalam hal ini. Tetapi pada kenyataannya tidak.
Banyak yang berpendapat bahwa program
feature merupakan salah satu program televisi
yang keberadaannya merupakan hal yang berdiri
sendiri begitu saja, terutama hal ini dari kalangan
yang dasar pemikirannya ilmu komunikasi.
Semarak berdirinya fakultas ataupun jurusan
komunikasi di kampus-kampus, menambah
kekeliruan program feature yang dianggap ada
ini, menjadi hal yang perlu diluruskan. Karena
sangatlah sempit bila ditanyakan kembali apa itu
program feature pada mereka yang menyebutkan
program feature merupakan program televisi
yang berdiri sendiri.
Adanya tayangan Dokumenter Televisi dianggap
kalangan televisi di Indonesia, merupakan hal
Edisi 6 No. 1 Juli 2013
Dengan menelusuri sejarah bagaimana gambar
dapat bergerak (motion picture), maka sebelum
televisi menjadi media komunikasi, informasi dan
hiburan, ilm telah memulainya terlebih dahulu.
Sehingga program-program yang terdapat
pada media televisi, secara berkala, merupakan
adaptasi dan pengembangan dari jenis dan
bentuk ilm. Oleh karenanya membahas suatu
gejala program yang ada di tv, alangkah baiknya
memulai dari sudut pandang sejarah. Mengingat
begitu menggeliatnya pendidikan dan pengajaran
di bidang produksi ilm dan televisi, sehingga
persoalan program televisi feature, yang menjadi
topik pembahasan kali ini mungkin dapat
menjadi lebih terang.
Film-ilm pertama sangat sederhana sekali baik
dalam bentuk maupun gaya. Film biasanya
konsisten hanya menggunakan satu shot dan
juga diambil dari jarak yang tidak dekat dengan
peristiwanya (long shot). Cinematographe, kamera
milik Lumière bersaudara ini lebih mudah
dibawa dan ditempatkan ke mana saja, di jalanjalan, taman, pantai dan tempat-tempat umum
lainnya untuk mengambil gambar kegiatan
sehari-hari atau kejadian-kejadian aktual. Hal ini
terlihat dari karya-karya mereka seperti, Workers
Leaving the factory (1895), yang merupakan karya
pertama mereka di mana mereka mengambil
gambar di jalan, di depan pabrik mereka sendiri.
Juga dalam Arrival of a Train at a Station (1895)
juga mengambil gambar di stasiun kereta api
dekat tempat tinggal mereka. Sedangkan dalam
Baby’s Lunch (1895), Louis mengambil gambar
saudaranya, Auguste bersama istri dan anaknya di
rumah mereka sendiri.
Kemudian selanjutnya seorang operator
kamera Lumière, Eugene Premio, di tahun
1896 menghasilkan visual dari perekaman yang
inovatif, dimana kamera diletakkan pada pada
sebuah kapal yang bergerak. Sehingga gambar
terlihat bergerak, seperti halnya gambar yang
dihasilkan atas perekaman gerak kamera pan
(panoramic).
Jurnal IMAJI | 34
Operator Lumière, Eugene Promio banyak mempengaruhi
pembuat ilm di awal-awal sinema dengan menempatkan
kamera di kapal bergerak untuk membuat merekam
gambar sebagai kebutuhan ilm-ilmnya, termasuk Egypte:
Panorama des Vusi du Nil (“Mesir: Panorama dari Bank
Sungai Nil,” 1896).
Namun di tahun 1897, pendapatan atas hasil
ilm yang terus menurun, membuat Lumière
menjual kamera cinemathographe-nya lebih
terbuka. Sedangkan di Inggris di tahun yang
sama populer menggabungkan beberapa gambar
dalam satu rol ilm (tehnik super impouse). Lalu
Robert William Paul pun membuat ilm dengan
tehnik seperti halnya perekaman gambar dalam
warta berita, yakni ilm yang terdiri atas beberapa
shot-shot pendek. Operator kamera hanya akan
memulai dan menghentikan perekaman gambar
pada kamera hanya untuk merekam terhadap
tindakan-tindakan yang diinginkannya, sehingga
ilm berupa potongan atau cuplikan (highlight).
Sedangkan trik yang dilakukan oleh George
Méliès, seorang pesulap Prancis –mendapatkan
proyektor dari RW Paul-, pada ilmnya he
Vanishing Lady, 1897, yaitu menghentikan
perekaman yang dilakukan kamera terhadap
seorang perempuan, dan kemudian mengubah
perempuan tersebut menjadi sebuah kerangka,
lalu kamera merekam kerangka tersebut. Trik
tersebut kemudian menjadi lebih popular saat
digunakan Méliès pada ilm fantasinya yang
berjudul Trip to he Moon.
Peristiwa-peristiwa di atas yang telah diuraikan
tersebut, membuat ilm terbagi menjadi dua
bentuk, yaitu Realitas (Dokumentasi dan
Dokumenter) yang terlihat pada ilm karya
Lumière, dan ilm-ilm Ekspresionis (Fantasi dan
imajinatif ) melalui ilm karya Méliès.
Sampai disini, keberadaan ilm telah melebihi
dari apa yang dikehendaki orang sebagai
Edisi 6 No. 1 Juli 2013
gambar bergerak -motion picture-. Film telah
menghadirkan dua sudut pandang yang berbeda
dalam merekam suatu peristiwa tertentu,
bagaimana peristiwa tersebut hadir di dalam
kamera. Meskipun sangat terlihat bahwa
dominasi teater masih kentara pada cerita ilm,
seperti yang disinggung sebagai tableaux yang
sangat mendekatkan representasi ilm pada
teater. Hal yang wajar mengingat teater pada
saat itu dipandang sebagai seni kelas tinggi
oleh masyarakat Barat, terutama di kalangan
menengah ke atas, sedangkan ilm pada periode
awal ini, mencoba untuk lebih memfungsikan
peristiwanya dari ilm –“realitas” Lumière menuju
pada ilm fantasinya Méliès.
Namun yang perlu dicatat pula, bahwa
memfungsikan ilm untuk lebih sekedar sebuah
perekaman peristiwa, juga dikembangkan secara
teknis cara merekam peristiwanya. Popularnya
tehnik superimpose di Inggris, yang dilakukan
oleh George Albert Smith, dari Inggris, yang
terlihat dalam ilmnya he Corsican Brothers di
tahun 1898. Kemudian Ferdinand Zecca, yang
melakukan perekaman seorang wanita dengan
menciptakan trik seperti mengintip dari lubang
sebuah teleskop (1901).
Salah satu trik yang dilakukan Zecca, di periode awal
sinema dan ilm agak bersifat cabul, “Scenes from Balcony”
memperlihatkan seorang pria yang melihat melalui
teleskop, diikuti oleh shot seorang wanita membuka baju,
yang memberikan kesan pria tersebut sedang melihat
wanita.
Film sepertinya ingin tetap memperlihatkan
keberadaannya sebagai suatu eksplorasi yang
memiliki nilai seni yang khas, bukan sekedar
komunikasi yang hanya menyampaikan suatu
pesan tertentu. Masalahnya adalah tampilan
gambar yang diperlihatkan hasil dari teknis
tersebut, dianggap bukan sebagai sebuah
ungkapan yang khas dari ilm, hasil eksplorasi
potensi keseluruhan yang memang sebenarnya
Jurnal IMAJI | 35
terdapat di ilm, sehingga teknis tersebut terjadi
karena didasari atas keinginan bahwa teknis
tersebut dilakukan untuk pencapaian cerita
sebagai sebuah kisah. Dengan kata lain eksplorasi
teknis bertujuan untuk mempertunjukkan
atraksiitas saja. Cerminan para pembuat ilm
yang sebenarnya tetap berusaha agar ilm
dapat diterima oleh masyarakat Barat di semua
kalangan.
Sayangnya pertunjukkan ilm yang masih sebagai
tontonan rakyat di pasar malam, menjadikan
trik-trik tersebut, dan juga koherensi cerita
dengan teknis pengambilan shot tersebut yang
dianggap belum menemukan pandangan yang
baik, menjadikan hal tersebut sebagai suatu alasan
bahwa ilm belum menemukan cara bertutur
dan berekspresi yang khas dari mediumnya dan
dianggap masih sangat tergantung oleh teater.
Dari gambaran singkat tentang kemunculan
bahasa ilm pada periode awal tersebut terdapat
dua hal penting, yang pertama bahasa ilm telah
muncul pada tahap-tahap awal dari sejarah
perkembangan ilm di dunia, meskipun telah
dilakukan tetap dianggap tidak lebih hanya
untuk kepentingan sensasi semata. Kedua,
bahasa ilm sangat dipengaruhi oleh mediummedium ekspresi lainnya, khususnya teater dalam
menuturkan kisah-kisahnya. Namun demikian,
di periode awal ini, sebenarnya ilm telah
memperkaya dirinya menuju kesebuah ungkapan
bahasa ilm yang khas, ilm lebih dari sekedar
gambar bergerak.
Pada persoalan kisah cerita, periode awal
ilm, melalui Lumière, hanya menghadirkan
peristiwa keseharian yang sederhana, yang
kemudian melalui Méliès, cerita menjadi sangat
tereksploitasi dengan kreatif.
Bernama Dokumenter
Hadirnya ilm-ilm milik Méliès, membuka pintu
masuknya keinginan-keinginan dan tujuantujuan dalam ilm, yang ternyata membuat ilm
mengembangkan potensinya. Perkembangan
selanjutnya, cerita menjadi bagian penting dari
ilm. Pembuatan cerita pun dilakukan. Selain
itu juga memilmkan karya-karya sastra yang
sudah dikenal mesyarakat umum. Hadirnya
Hollywood sebagai industri ilm, menjadikan
segala sesuatunya berorientasi pada nilai faktur,
Edisi 6 No. 1 Juli 2013
termasuk cerita. Pola cerita pun pada akhirnya
terbentuk. Teknis pengambilan gambar pun
disiasati bukan hanya sekedar sensasi, melainkan
suatu maksud eksplorasi dari tatanan bahasa.
Film pun menjadi sebuah bahasa yang khas
adan unik. Sinema Klasik Hollywood, menjadi
struktur tontonan yang familiar di masyarakat
Amerika dan Eropa, dan seterusnya berlanjut ke
seluruh dunia. Sinema Klasik Hollywood telah
membangun dan menenamkan naratifnya pada
penonton di dalam ilm-ilmnya.
Sedangkan ilm-ilm yang berorientasi pada
Lumière, memunculkan nama Dziga Vertov
sebagai seorang yang membawa bentuk karya
lebih mengedepankan “realita”, mengusung apa
yang telah dilakukan Lumière Bersaudara (Auguste
dan Louis). Karya Vertov, dinilai banyak kalangan
sebagai sebuah ilm reportase, yakni salah satu
bentuk ilm yang dianggap kalangan sebagai jenis
ilm warta berita, meskipun sebelumnya telah
dijelaskan bahwa RW Paul telah memulainya di
tahun 1897.
Kemudian di tahun 1922, Robert Flaherty dengan
karyanya yang berjudul Nanook of he North, yang
masa putarnya sangat panjang/lama –pada saat
itu- sehingga disebut sebagai ilm dokumenter
feature pertama yang dibuat sineas (penggunaan
feature disini berhubungan dengan durasi tayang
ilm, bukan bentuk ataupun jenis ilm).
Lalu di tahun 1926, John Grierson, seorang
akademisi muda yang sedang meneruskan
minatnya pada ilmu komunikasi, bukan praktisi
pembuat ilm, menulis tinjauannya di New York
Sun, tentang pendapatnya terhadap ilm etnograi
Flaherty yang berjudul Moana, yang dalam
tulisannya tersebut menggunakan dokumenter
sebagai istilah.
Selanjutnya meskipun ilm-ilm dokumenter
tetap diproduksi, akan tetapi ruang dokumenter
untuk tayang di bioskop-bioskop, kiranya
menjadi persoalan sendiri. Munculnya media tv
dan evolusi terhadap kamera yang lebih portable,
menyebabkan dokumenter seperti menemukan
kehidupan keduanya. Dokumenterpun diproduksi
dengan berbagai macam jenis, dengan sasaran
tayangannya ada pada media tv. Kompas TV di
tanah air dan National Geographic di Amerika
dan dunia, merupakan stasiun televisi yang pada
akhirnya mengusung dokumenter sebagai basis
tayangan televisi.
Jurnal IMAJI | 36
Penayangan Awal Program TV Di Dunia
(Amerika)
Melihat peluang, dengan segera studio-studio
besar pun mengikuti jejak mereka.
Pengaruh ilm tidak akan pernah terlepas dari
penayangan program-program televisi di awalawal berdirinya televisi. Pemahaman penonton
akan naratif yang telah berlangsung beberapa
tahun sebelumnya di ilm, menjadikan televisi
mendapatkan dampak yang sangat signiikan.
Pada akhirnya aliansi ilm dan tv pun terjadi.
Padahal sebelumnya, di mana tahun-tahun
setelah perang dunia II, studio ilm Amerika
dan industri Televisi saling bertentangan yang
disebabkan beberapa hal, diantaranya:
Tak lama setelah itu produksi ilm baru pun
dilakukan, bahkan diproduksi dengan lebih cepat
yang memang disajikan khusus untuk tayangan
tv. Keberhasilan rating pada program Saturday
Night at he Movie (1961) menyebabkan semua
jaringan siaran mengikuti pola menampilkan
“bioskop malam”. Pada akhir dekade ini,
belakangan banyak muncul pula pertunjukkan
bioskop yang mengacu pada ilm-ilm yang
berjalan di tv hampir setiap malam minggunya.
- TV telah mencuri pelanggan bioskop yang
telah menganut pelangggan bioskop yang telah
menganut sistem studio dan telah mendominasi
pasar naratif Amerika.
- Di tahun 50-an telah menjadi dekade terakhir
bagi pemirsa USA yang mengandalkan bioskop
sebagai hiburan.
- Di tahun 60-an, tv telah menggantikan peran
bioskop di Amerika sebagai bentuk hiburan,
dan industri ilm pada saat itu telah mengalami
hal yang sangat pahit.
- Situasi ini sebenarnya sama halnya dengan
yang dirasakan oleh para eksekutif ilm tv
yang membenci adanya kepentingan tertentu
yang sangat berkuasa di tv yang dirasakan
mengganggu.
- Begitu pula sebaliknya, rekan-rekan mereka
yang ada di industri tv, ragu-ragu untuk
berurusan dengan studio ilm.
- Produser tv ingin menciptakan materi mereka
sendiri dan tidak harus bergantung pada
keinginan dari industri ilm bagi produk
mereka.
Sehingga pada saat itu terlihat bahwa tv lapar
akan naratif untuk produksinya; sedangkan studio
ilm masih dikontrol oleh ribuan ilm. Kesadaran
akan kebutuhan satu sama lainnya, menyebabkan
situasi terbalik dari pertentangan menjadi aliansi.
Setelah awal-awal mereka berjalan, ilm-ilm
semacam warehoused, jarang terdengar lagi, dan
dengan demikian tidak menjadikannya aset
inansial. RKO, Monograme dan Republic –yakni
tiga studio yang lebih kecil- adalah yang pertama
kali untuk memulai penyewaan ilm-ilm mereka,
yakni ilm-ilm yang diproduksi beberapa waktu
yang lalu/ilm lama/usang untuk tayang di tv.
Edisi 6 No. 1 Juli 2013
Sejak saat itu pula hubungan antara ilm dan
televisi telah menjadi hal yang sangat kompleks.
Dengan demikian, tv yang pada awalnya
diremehkan, pada kenyataannya, telah membuat
sebagian besar studio ilm turut memiliki dan
mengoperasikan produksi tv, dan mengaburkan
perbedaan ekonomi diantara kedua media
tersebut.
Standarisasi dengan sendirinya tercipta dari
naratif yang digunakan pada ilm sebagai standar
program tv, meskipun standar naratif tv tidaklah
seketat dengan apa yang ada pada ilm. Ini
dapat dilihat pada program-program semacam
Saturday Night, ilm teatrikal di WGN, WWOR
dan WTBS, tv model Ted Turner.
Tidaklah berbeda jauh dengan Amerika, di
Indonesia hal yang sama pun terjadi. Dimana
konsumen tv, telah akrab sebelumnya dengan
naratif ilm bioskop. TVRI sebagai media tv
pertama, juga mengandalkan tayangan yang
bersifat naratif –bukan istilah drama atau non
drama, tapi akan lebih tepat bila program di
televisi itu terbagi atas naratif dan non naratif,
karena kata drama dan non drama tersebut
berasal dari kata dran yang berasal dari Yunani
yang memiliki arti tindakan (action), sehingga
kalau kata drama dan non drama yang dipakai,
maka akan memiliki pengertian bahwa program
di televisi terbagi atas program yang memiliki
tindakan (action) dan program yang tidak
memiliki tindakan (non-action), sehingga sangat
mustahil bila hal ini diberlakukan pada programprogram di televisi, padahal sekalipun itu program
memasak di televisi, sangat jelas ada tindakannyasebagai standarisasi program di televisi.
Jurnal IMAJI | 37
Di Indonesia Para Jurnalis Media Cetak ke
Industri TV
Di Indonesia sendiri, munculnya RCTI telah
memberikan gambaran bahwa liberalisasi
pertelevisian pada akhirnya telah dibuka oleh
pemerintah, khususnya orde baru yang berkuasa
pada saat itu. TVRI yang menjadi satu-satunya
media layar kaca, tidak memberikan peluang
terhadap obyektiitas informasi karena sikap
preventif pemerintah. TVRI menjadi media
propaganda
terhadap
kebijakan-kebijakan
pemerintah. Khususnya dalam hal ini pada
tayangan jurnalistik televisi, siaran berita –newsatau siaran-siaran lainnya yang merupakan
memang dikhususkan untuk menginformasikan
dari program yang dianggap sebagai keberhasilan
pemerintah.
Berdirinya RCTI sebagai televisi swasta,
otomatis membutuhkan tenaga kerja untuk
dapat menjalankan program-program televisi,
yang pada saat itu sumber daya manusia
sangatlah terbatas. Di mana keterbatasan di
sini maksudnya adalah profesi yang bergelut
di bidang pertelevisian ataupun audio-visual
hanya didapat dari pelatihan-pelatihan TVRI
ataupun karyawan TVRI itu sendiri serta dari
kalangan perilman, baik pada karyawan PPFN
ataupun pekerja lepas yang telah berpengalaman
dalam produksi ilm. Selebihnya adalah mereka
yang berpengalaman pada bidang media masa
lainnya, seperti surat kabar dan radio. Kemudian
beberapa kalangan akademisi yang berada pada
jalur komunikasi ataupun produksi ilm di luar
negeri –itupun dengan catatan masih minim
sekali lulusannya-. Meskipun beberapa kalangan
dari bidang diluar pertelevisian ataupun audiovisual dan komunikasi, juga direkrut dengan
pertimbangan nantinya diadakan pelatihanpelatihan khusus terhadap kalangan tersebut.
Dengan hal tersebut, dengan keterbatasan
sumber daya manusia, serta hanya beranjak
pada pengalaman kerja dibidangnya masingmasing, sangat memungkinkan sekali adanya
sikap arogansi pengetahuan masing-masing
dalam mencermati ataupun menciptakan karya
program tertentu baik terhadap teknis ataupun
konten dari program, terutama pada program
dokumenter di televisi. Unsur dokumenter
di televisi pada umumnya mengadopsi dari
dokumenter yang telah ada –ilm dokumenterEdisi 6 No. 1 Juli 2013
baik secara teknis ataupun cara bertuturnya. Ada
beberapa gaya dan jenis dokumenter dengan
beberapa pendekatan pada ilm dokumenter, yang
kemudian dikembangkan didunia pertelevisian.
Sehingga pencapaiannya pada saat ini dapat
dilihat dengan apa yang dikenal dengan programprogram reality show. Tetapi belakangan dengan
sangat nyaring bahwa ada sebuah program
televisi yang mengidentiikasikan dirinya dengan
istilah FEATURE. Dimana program sejenis
identik dengan dokumenter baik secara teknisnya
maupun secara kontennya.
Sebenarnya persoalan seperti ini muncul karena
dokumenter tidak ditempatkan secara bijaksana.
Perekrutan sumber daya manusia yang dilakukan
oleh stasiun-stasiun televisi, terutama dengan
direkrutnya para jurnalis media cetak ke televisi,
telah menyebabkan pergesekan ini sampai
sekarang. Selain penyebab juga diamininya hal
tersebut oleh para praktisi dan juga kalangan
akademisi terhadap adanya karya feature di
televisi ini. Entah kenapa hal ini seperti dibiarkan
dan tetap dijaga kelestariannya. Padahal sudah
sangat jelas bahwa karya feature itu sendiri sekali
lagi ditegaskan merupakan karya dokumenter
semata. Meskipun itu dalam media yang dianggap
berbeda antara televisi dan ilm.
Mungkin ada baiknya kalau persoalan feature ini
muncul karena beberapa faktor, seperti:
- Teknis perekrutan sumber daya manusia di
televisi yang merekrut beberapa jurnalis media
cetak ke industri televisi telah membawa
pengetahuan jurnalistik media cetak ke televisi.
- Minimnya informasi pengetahuan pada awalawal stasiun televisi swasta berdiri, terutama
menyangkut pengetahuan dokumenter.
- Masih membedakannya media tayang antara
televisi dengan ilm pada karya dokumenter.
Malahan dalam hal ini ada yang menyebutnya
dokumenter yang sangat ilm terhadap beberapa
karya dokumenter secara keseluruhannya
apabila menampilkan shot yang memiliki
konsep pencahayaan (lighting) low key dan
banyak menampil shot extreme close up.
Sekarang ini banyak ditayangkan Kompas tv.
- Sikap arogansi dan seniorisasi para pelaku
industri kreatif televisi dalam menempatkan
dokumenter itu sendiri.
- Tidak adanya penelitian, baik sebuah catatan
Jurnal IMAJI | 38
kecil di media ataupun penjelasan dalam
bentuk lainnya yang memberikan solusi pada
persoalan semacam ini oleh kalangan tertentu,
baik akademisi ataupun praktisi.
Metode Informasi pada Film sebagai dasar
Bercerita Feature
Banyak beranggapan bahwa plot yang dihadirkan
pada karya feature sangatlah berbeda dengan
yang terdapat pada dokumenter secara umumnya.
Padahal plot yang ada pada dokumenter
sebenarnya telah selesai dibahas pada ilm.
Jadi bukanlah sebuah persoalan yang menjadi
perbedaan. Mengingat ilm memiliki beberapa
jenis, seperti ilm iksi, dokumenter animasi dan
eksperimental.
informasi yang luas. Dokumenter Biograi
yang memiliki informasi tokoh yang disusun
berdasarkan periode dari perkembangan
kehidupan dirinya –anak-anak, remaja dan
dewasa-, adalah contoh keluasan dalam
memberikan informasi.
Sedangkan untuk menyimpulkan bahwa isi
cerita ilm memiliki rentang informasi yang
dalam adalah, apabila peristiwa-peristiwa
yang dihadirkan didalam ilm bertujuan untuk
mengupas tuntas suatu masalah tertentu. Lebih
mudahnya dapat kita lihat pada ilm-ilm
dokumenter investigasi.
Dokumenter TV lebih tepat untuk menyebut
istilah Feature
Plot menghadirkan atau menyiratkan informasi
cerita. Plot juga dapat mengatur isyarat dengan
cara menahan informasi demi rasa ingin tahu atau
kejutan. Atau plot dapat memberikan informasi
sedemikian rupa untuk menciptakan harapan
atau ketegangan agar dapat lebih meningkat.
Semua proses ini merupakan narasi, bagaimana
cara plot menyebarkan informasi cerita untuk
mencapai efek tertentu. Narasi adalah proses
dari peristiwa-per-peristiwa untuk membimbing
penonton dalam membangun cerita dari plot.
Banyak faktor yang masuk ke dalam narasi,
tetapi yang paling penting adalah untuk tujuan
para kreator ilm dalam melibatkan keluasan dan
kedalaman informasi plot cerita yang dihadirkan.
Pada buku Teknik Produksi Program TV yang
ditulis oleh Fred Wibowo, dijelaskan deinisi dari
feature, yaitu suatu program yang membahas suatu
pokok bahasan satu tema, diungkapkan lewat
berbagai pandangan yang saling melengkapi,
mengurai, menyoroti secara kritis dan disajikan
dengan berbagai format (bab 9 : 188).
Informasi yang ada didalam cerita ilm baik itu
ilm iksi ataupun ilm dokumenter, memiliki
nilai yang luas dan dalam. Plot, yang berisi
peristiwa-peristiwa tertentu, dengan terstruktur
memberikan rentang informasi tersebut yang
berada pada batas keluasan dan kedalaman.
Bagaimana informasi dapat memberikan
pengertian rentangan yang luas pada
informasinya bila saja peristiwa-peristiwa yang
dimunculkan merunut pada hukum periode atau
masa. Sebagai hal yang paling mudah dipahami
dalam memberikan informasi yang luas, apabila
peristiwa-peristiwa yang dihadirkan didalam
cerita ilm, diurutkan berdasarkan nilai kronologis
yang ada pada suatu peristiwa.
Kemudian beberapa kalangan jurnalistik tv
yang menyebutkan program tv feature, sebagai
sebuah bentuk karya yang berbeda dengan karya
dokumenter, dengan alibi yang tidak memiliki
dasar yang pasti, mengungkapkan bahwa karya
feature ini adalah sebuah karya yang lebih
menitik-beratkan pada kedalaman informasi,
jelas-jelas hanya mencari-cari alasan yang
tak pasti dan terkesan membela dirinya. Film
dokumenter seperti yang telah dijelaskan telah
mencakup kedua hal tersebut didalam melayani
informasinya.
Lebih tepatnya untuk sebuah contoh, ilmilm dokumenter yang peristiwanya disusun
berdasarkan alpabetikal, memiliki rentang
Edisi 6 No. 1 Juli 2013
Kemudian dijelaskan kembali pada paragraph
berikutnya pengertian dari format tersebut
adalah wawancara, show, vox-pop, puisi, musik,
nyanyian, sandiwara pendek atau fragmen (9:188).
Selanjutnya juga dijelaskan didalam buku tersebut
bahwa feature merupakan gabungan antara unsur
dokumenter, opini dan ekspresi (9:189).
Dengan penjabaran diatas, jelas sudah bahwa
karya program tv yang dimaksudkan dengan
feature, hanyalah istilah yang digunakan dengan
mengadopsi secara serampangan. Begitu
beragamnya bentuk program televisi yang
mengusung isi dan tema sebuah realitas tertentu,
Jurnal IMAJI | 39
hanyalah varian dari format awalnya, yakni
dokumenter. Kata feature hanyalah diperuntukkan
bagi durasi jam tayang atau masa putar sebuah
ilm, yang lebih tepatnya ilm panjang, karena
berdasarkan durasinya ilm terbagi atas ilm
pendek –short ilm-, ilm menengah –middle ilmdan ilm panjang –feature ilm-.
Maka dengan pendekatan yang telah dijabarkan
sebelumnya, karya feature pada televisi dapat
dikatakan TIDAK ADA, atau istilah ini tidak
dikenal pada karya-karya yang dimaksudkan
oleh kalangan yang mengusung istilah ini,
karena nama dari program ini sudah begitu
identik dan sudah menemukan jati dirnya
sebagai DOKUMENTER, kalaupun untuk
membedakan karya dokumenter, hanyalah
sebatas pada ruang media penayangannya saja,
yaitu ilm dan tv, maka akan jauh lebih baik dan
lebih bijak dengan memberikan istilah karya
feature ini sebagai karya DOKUMENTER TV.
Sedangkan untuk penegasan sekali lagi,
kata feature secara umumnya dikenal hanya
sebagai persamaan dari durasi atau masa putar
tayangan sebuah ilm, baik itu ilm iksi dan ilm
dokumenter.
media cetak tetapi tidak diimbangi dengan
pengetahuan media ilm dan tv.
- Unsur teknis dan penuturan naratif pada ilm
(bioskop dan dokumenter) merupakan fakta
bahwa karya feature bukanlah karya audiovisual, melainkan karya tulisan media cetak.
- Rentang informasi naratif yang diberikan
baik pada ilm ataupun dokumenter, bukanlah
sebuah standar deinisi dari isitilah yang
dimaksud dengan karya feature.
- Feature hanyalah istilah yang digunakan sebagai
durasi pada ilm (bioskop dan dokumenter)
yang penayangannya lebih dari 1 jam/60 menit.
Dengan demikian dari uraian yang telah
dijelaskan diatas sebelumnya, dapatlah menjadi
tolok ukur kita dalam menggunakan istilah
feature pada karya dokumenter televisi. Untuk itu
sebaiknya hanya ada satu pertanyaan yang harus
dijawab dari pembahasan ini, yaitu:
Akankah para jurnalistik media cetak juga mau
mengakui dan setuju untuk memberikan istilah
pada karya tulis feature di suratkabar dengan
istilah dokumenter?
Maka fakta yang dapat disimpulkan adalah
sebagai berikut, bahwa:
- Sejak
kemunculannya,
ilm
telah
mempertunjukkannya kedalam dokumenter,
meskipun masih teramat sederhana.
- Film memiliki bahasanya yang unik dan khas,
tidak hanya pada unsur teknis, tetapi juga pada
kisahnya. Dengan kata lain, ilm apapun akan
memberikan kisah, meskipun itu sebuah ilm
abstrak.
- Kehadiran TV telah memberikan ruang baru
terhadap dokumenter. Eksplorasi dokumenter
pun semakin kaya.
- Di Indonesia, berdirinya stasiun TV Swasta
menyebabkan masuknya para jurnalis media
cetak dan membawa apa yang menjadi cirri
media cetak kedalam media elektronik, tv. Hal
inilah yang menyebabkan timbulnya istilah
feature di media tv.
- Deinisi feature yang tidak jelas dan
serampangan bahkan tidak memiliki sumber
yang pasti, menyebabkan kebingungan, bahkan
diantara para jurnalis tv itu sendiri.
- Kekuatan senioritas dikalangan jurnalis
Edisi 6 No. 1 Juli 2013
Daftar Pustaka
Biran, Misbach Yusa, Tehnik Menulis Skenario,
Pustaka Jaya
Buttler, Jeremy, Television Methods and
Aplication,
Bordwell, David and Kristin hompson, Film
History an Introduction, New York-Americas,
McGraw-Hill Higher Education, 2003
Bordwell, David and Kristin hompson. Film
Art an Introduction, eight edition, Mc Graw-Hill
Higher Education – New York, 2008.
Wibowo, Fred, Teknik Produksi Program
Televisi
http://pov.imv.au.dk/Issue_22/section_1/
artc1A.html
Jurnal IMAJI | 40