IMAJI JAN 2015 ERIC

Othello di Tanah Jawa
Konsep invagination pada adaptasi Othello Shakespeare
Eric Gunawan
ericwu2829@gmail.com

Abstrak
Isu utama adaptasi novel ke ilm adalah kesetiaan. Karena novel lebih senior dari pada ilm, kesetiaan
ilm selalu dituntut. Baik buruknya sebuah ilm adaptasi akhirnya diperhitungkan lewat kesetiaannya.
Derrida menentang hierarki senioritas atas junioritas, juga yang original dan yang duplikat lewat
konsep invagination. Pada tulisan ini akan diperlihatkan bagaimana proses tersebut lewat adaptasi
naskah Othello Shakespeare ke ilm Othello lalu ke FTV Ken Arok.
Abstract
he main issue of adaptation novel to ilm is idelity. Because of its seniority, novel should be adapted faithfully
by ilm. By its idelity too, the success of adaptation ilm is counted. Derrida refuse this kind of hierarki through
his concept of invagiation. his paper will show how the concept woks via adaptation from Shakespeare’s
script of Othello to ilm Othello then to FTV Ken Arok.
Keywords
adaptasi, kesetiaan, invagination, original, duplikat.

Isu utama adaptasi novel ke ilm adalah idelity (kesetiaan). Dalam isu itu tersirat kekuatan hierarki
senioritas atas junioritas yakni yang junior harus tunduk kepada yang senior. Pascastrukturalisme

menghancurkan hierarki tersebut. Salah satunya lewat invagination yang digagas oleh Jacques Derrida.
Lewat teori itu hierarki yang original dan yang duplikat dibongkar untuk dibangun kembali sehingga
prestise original tercipta kembali.
Tulisan ini ingin menggagas ulang makna kesetiaan dalam proses adaptasi naskah asli menjadi ilm
kemudian menjadi FTV. Naskah aslinya adalah naskah yang diperuntukkan bagi pertunjukkan teater,
lalu naskah ini diadaptasi menjadi karya ilm layar lebar, dan ilm layar lebar diadaptasi lagi menjadi
ilm televisi (FTV). Naskah original itu adalah Othello karya William Shakespeare. Film layar lebarnya
adalah Othello (1995) karya Oliver Parker, dan FTVnya adalah Ken Arok Banjir Darah di Tumapel
(2006) yang skenarionya ditulis oleh Didya Adakita1.
Pertanyaan yang hendak dijawab pada tulisan ini adalah apakah karya adaptasi masih memiliki
hubungan yang erat dengan aslinya sebagai sebuah hierarki yang asli dan yang duplikat? Apakah
karya adaptasi tidak mungkin dianggap sebagai karya mandiri yang hadir sebagai dirinya sendiri
tanpa harus memperhitungkan jejak-jejak yang hadir di dalamnya?

1
Didya Adakita adalah nama samaran penulis untuk karya-karya FTV silat klasik. Tulisan ini hadir
sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban terhadap dunia pendidikan terkait skenario FTV Ken Arok pada 2006 yang
kemudian diproduksi dan ditayangkan pada tahun yang sama.
Edisi 6 No. 1 Juli 2013


Jurnal IMAJI | 7

melihat bahwa teknik sinematograi mampu
menghadirkan variasi jarak antara penonton dan
layar, serta mampu menampilkan detil wajah
tokoh melalui close-up.

Gambar 1: adengan ciuman pertama yang hadir di dalam sinema

Bagian pertama akan mengguraikan secara
singkat persoalan kesetiaan adaptasi novel ke ilm
lewat tiga teori adaptasi yang sekaligus sebagai
pengantar konsep invagination Derrida. Bagian
kedua akan mendeskripsikan adaptasi naskah
Othello menjadi ilm Othello guna diperoleh
kejernihan seputar perbedaan media panggung
dan ilm. Bagian ketiga akan mendeskripsikan
adaptasi ilm Othello ke dalam FTV Ken Arok
guna menjelaskan konsep invagination Derrida.
Pada bagian terakhir, pencapaian ketiga bagian di

atas akan dilabuhkan sebagai sebuah kesimpulan
berupa penggagasan kembali makna kesetiaan
dalam adaptasi.

Salah satu upaya tersebut adalah lewat
pembuktian bahwa ilm mampu menuturkan
kisah. Kemampuan ini merupakan kekuatan
novel dan teater. Sejarah mencatat, ilm yang
semula hanya merekam kejadian keseharian mulai
bernaratif. Adaptasi menjadi pilihan. homas
Alfa Edison pada 1896 mengadaptasi adegan
ciuman babak akhir pementasan panggung he
Widow Jones karya John McNally menjadi shot
tunggal berdurasi dua puluh detik. Sejak saat itu
berturut-turut adaptasi dari novel ke ilm rutin
diproduksi, sebut saja Sherlock Holmes Baled
dalam 30 detik shot, (1900), Les Miserables (1909)
menjadi versi empat reel, bahkan Dante’s Inferno.

Kesetiaan dalam Adaptasi


Ciuman yang dilakukan oleh May Irwin dan John
C. Rice pada ilm tersebut menjadi heboh bukan
saja lantaran norma masyarakat kala itu belum
dapat menerimanya, namun adaptasi ciuman di
panggung broadway ke dalam bentuk medium
shot ilm menawarkan detil adegan dalam hal
gesture, aksi-reaksi, bahkan ekspresi wajah yang
selama itu tidak mungkin dilihat dari tempat
duduk penonton ke panggung. Detil adegan
ciuman ini sangat menghebohkan. Sesuatu yang
masih tabu dan ditutupi kini hadir di depan mata
dalam ukuran yang tidak biasa. Nilai positif dari
kehebohan itu adalah salah satu kelebihan ilm
dibandingkan teater yakni kemampuan kamera
mendekati subjeknya.

Ketika seorang pembaca novel menonton ilm
adaptasi dari novel yang dibacanya, kesimpulan
akhir yang terlontar ada dua yakni ilm itu setia

atau khianati novel. Film dianggap setia kepada
novel apabila karakter, setting, struktur, ide yang
terdapat pada novel secara setia diadaptasi.
Tetapi, ia dianggap mengkhianati sumber aslinya
apabila terjadi penyimpangan terhadap salah satu
atau sejumlah unsur tersebut.
Terlontarnya penilaian ini mengindikasikan
hierarki karya seni diperhitungkan berdasarkan
mana yang lebih dulu muncul. Novel dan teater
telah hadir dan menjadi karya seni mapan
ketika ilm lahir pada 1895. Senioritas ini
bersumbangsih pada pandangan sinis terhadap
kelahiran perangkat perekam cinematographe yang
dianggap jauh dari seni lantaran hanya merekam
aktiitas yang hadir di depannya. Sejarah ilm
mencatat antusiasme para pendukung ilm
masa itu berupaya mendeinisikan ilm guna
menyejajarkan posisinya dengan novel dan teater
yang sudah lebih dulu dianggap sebagai seni
agung.


Edisi 6 No. 1 Juli 2013

Kespesiikan yang dimiliki oleh sinema, rupanya
mendapat perhatian pula dari oleh seorang
estetikawan sekaligus sineas berkebangsaan
Hungaria, Bela Balázs. Ia menyambut hadirnya
wajah manusia yang selama ini tersembunyi lewat
pernyataannya bahwa sinema mempersiapkan
jalan bagi budaya baru visible man2. Balázs
2

Pada pengantar tulisan Balázs “he
Faces of Man” pada buku yang disuntingnya, Richard Dyer

Jurnal IMAJI | 8

Pada pertunjukkan teater, kendala jarak tempat
duduk penonton dan panggung disiasati lewat
dialog, gesture, kostum, dan properti. Dialog

tokoh selain berfungsi sebagai alat komunkasi
dengan tokoh lain, juga sebagai perangkat
untuk menjelaskan setting, isi hati, bahkan
tindakan yang akan dilakukan di masa depan
oleh para tokoh. Kealamiahan gesture manusia
sering ditinggalkan demi kejelasan pesan. Pada
teater penonton dapat menerimanya. Demikian
pula, make up sebagai pengungkap karakteristik
tokoh digoreskan secara berlebihan. Kostum
dan properti melebihi ukuran normal sehingga
terlihat dan terpahami oleh penonton dari tempat
duduknya. Semua hal yang tidak biasa dijumpai
pada kehidupan keseharian diterima baik oleh
penonton teater.
Berbeda penggunaan dialog, gesture, make up,
kostum dan properti pada ilm. Kamera yang
mampu berpindah posisi sebagai pengganti sudut
pandang penonton, bahkan mampu mendekati
objeknya dan menjadikan ekspresi wajah tokoh
secara detil terlihat. Dialog berfungsi murni

komunikasi. Tuturan seputar setting atau peristiwa
yang menjadi kekuatan dialog panggung
ditinggalkan, berganti dengan visual. Gesture
keseharian hadir secara natural, bahkan pada
ilm bergenre komedi slapstick. Penggunaan make
up secara alamiah justru menambah kekuatan
karakter. Tokoh mengandalkan kemampuan
ekspresi wajahnya untuk menuturkan kedalaman
hatinya. Inilah kelebihan ilm yang dilihat oleh
Balázs khususnya dalam menghadirkan wajah
manusia.

MacCann memberi subjudul “Manusia kembali menjadi
terlihat” (Man has again become visible). Menurutnya,
Balázs adalah satu dari sedikit estetikawan yang tertarik
dengan komunikasi melalui aksi, gesture, ekspresi wajah,
durasi, dan disain. Maka, ketika teknik kamera mulai
memperlihatkan kekuatan ekspresi manusia menggantikan
kata-kata terucap, Balázs menyebut kondisi ini sebagai
manusia yang kini terlihat (visible man). Lihat Béla Balázs,

heory of Film, hal. 39 - 43.

Edisi 6 No. 1 Juli 2013

Adaptasi yang dilakukan oleh Edison
meletakkannya sebagai karya adaptasi yang
berusia setua sinema. Namun demikian, belum
ada teori adaptasi yang diterima sebagai teori
yang mampu menjelaskan mana adaptasi yang
baik dan mana yang buruk. George Bluestone3
menyatakan novel dan ilm adalah dua karya
seni berbeda, namun konsistensi penjelasannya
tentang kesetiaan dalam mengadaptasi novel
ke ilm dikaburkan persoalan kesuksesan ilm.
Ia mengamati, ilm adaptasi yang sukses sering
tidak dipermasalahkan meski tidak setia dengan
novel aslinya.
Jean Mitry, teoritikus ilm Perancis, dalam
tulisannya Remarks on the Problem of Cinematic
Adaptation menegaskan adaptasi pada ilm

sebagai sebuah rekonstruksi. Hal ini lantaran
perbedaan media bersumbangsih pada perbedaan
cara berekspresi. Menurutnya, pembacaan novel
adalah aktiitas tersendiri yang tidak mungkin
digenggam oleh ilm. Ia menkritisi adaptasi
yang dilakukan secara setia pada setiap tahap
perkembangan novel berakibat ilm jauh dari
imajinatif. Juga, adaptasi yang setia pada “roh”
kisah sama sekali mustahil karena ketika huruf
menjadi visual, dua bentuk berbeda ini akan saling
mengkhianati satu sama lain. Oleh sebab itu, ia
lebih menekankan adaptasi sebagai rekonstruksi
yang jauh dari sekadar menerjemahkan huruf ke
visual.
Dudley Andrew dalam bukunya Concepts in Film
heory mendeinisikan tiga hubungan dalam
mengadaptasi novel ke ilm, yakni borrowing
(meminjam), intersection (persimpangan), dan
idelity (kesetiaan). Ia menjelaskan bahwa
proses peminjaman dan pengimplementasian

bagian-bagian esensi dari novel terjadi lewat
perjumpaan dengan menjaga integritas novel dan
mentransformasikannya secara setia ke dalam
media baru.
Ketiga teori adaptasi di atas masih terikat
hubungan antara yang original dan yang duplikat.
Tersirat ada ikatan yang tak putus antara

3

Tulisan George Bluestone berjudul
Novels into Film yang terbit pada 1957 dianggap sebagai
salah satu dari dua tulisan terkait adaptasi. Satu tulisan lagi
adalah karya Andre Bazin berjudul “In Defense of Mixed
Media.” (1950) yang menjadi salah satu bab buku What is
Cinema? Volume 1.

Jurnal IMAJI | 9

keduanya. Kondisi ini seolah mengesampingkan
perbedaan dua media, yakni novel dan ilm,
tulisan dan visual, yang lebih dulu dan yang
terkemudian, yang senior dan yang junior. Ikatan
ini menimbulkan persoalan hierarki sebagai
kondisi yang ajeg. Aturan tak terucapkan menjadi
absah bahwa yang junior harus tunduk kepada
yang senior, yang terkemudian tunduk kepada
yang terdahulu.
Mengadopsi teori invagination dekonstruksi
Derrida, persoalan kesetiaan adaptasi menemukan
titik terang.
Invaginasi adalah istilah biologi terkait
perkembangan embrio dari satu fase ke fase lain,
yakni mulai dari sel sederhana, ke fase blastula,
hingga menjadi organisme kompleks. Proses
biologi ini, dalam tulisan berjudul he Law of
Genre dipahami Derrida hadir pada teks lewat
naratif yang secara berkelanjutan melipat dirinya
sehingga bagian luarnya menjadi bagian dalam
dan kemudian bagian dalam yang sudah menjadi
bagian luar menjadi bagian dalam. Proses pada
entitas yang identik ini terus menerus berlangsung
di mana entitas luar memenuhi entitas lain yang
ada di dalamnya. Menurut Derrida, sebuah teks
mengalami proses ini. Kandungan teks yang
dimilikinya membuka diri kepada bentuk lain
karena bagian luar teks dan bagian dalamnya
memiliki identitas yang tidak ajeg.
Teori invagination Derrida ini dijadikan
pendekatan adaptasi Othello karya William
Shakespeare menjadi FTV Ken Arok. Proses
terjadi lewat penurunan tiga tingkat, yakni dari
naskah panggung ke ilm lalu menjadi FTV.
Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan adaptasi
naskah panggung Othello menjadi ilm layar lebar
Othello dengan terlebih dulu mensarikan dan
membedah beberapa bagian Othella seperti yang
dituliskan oleh Shakespeare.
Othello di Hollywood
Othello: he Moor of Venice berkisah tentang
Othello, jenderal angkatan perang Venesia yang
berdarah Moor, yang terbakar cemburu akibat
tipu-muslihat Iago sehingga pernikahannya
dengan Desdemona berakhir tragis. Iago adalah
bawahan Othello, dan sangat berharap kenaikan
pangkat. Namun, incarannya justru dianugrahkan
Othello ke Cassio. Dibakar dendam, Iago
Edisi 6 No. 1 Juli 2013

berintrik untuk menjatuhkan Othello. Dimulai
dengan gossip seputar pernikahan atasannya
dengan Desdemona putri senator Venesia,
Brabantio. Digossipkan pernikahan itu terjadi
lantaran Desdemona diguna-guna oleh Othello.
Namun, pengakuan Desdemona meluluhkan
tuduhan itu. Iago lantas memanfaatkan Roderigo
yang dipahaminya mencintai Desdemona dan
selalu terhalang restu Brabantio. Ditiup kabar
bahwa Cassio bermain api dengan Desdemona.
Pada sejumlah kesempatan Iago berhasil
memperlihatkan kedekatan-kedatan itu kepada
Roderigo. Juga, pada setiap saat yang dianggap
tepat, Iago membakar cemburu Othello. Cinta
Othello berhasil dibuat goyah lewat serangkaian
plot yang diatur oleh Iago. Dan ketika api
cemburu memuncak, Othella menjadi mata gelap
dan membunuh Desdemona.
Oliver Parker, selaku penulis skenario sekaligus
sutradara, sangat menyadari kekuatan dialog
Shakespeare, dan di saat yang sama tidak ingin
mengorbankan kekuatan visual media ilm
tunduk pada dialog. Kedua media berbeda ini
masing-masing memiliki kekuatan.
Berdasarkan teori adaptasi Andrew yang telah
dijelaskan pada bagian sebelumnya, Parker
meminjam Othello dan di saat yang sama
mempertemukan kekuatan panggung dan ilm
untuk mentransformasinya secara setia karya
aslinya. Stuktur, setting, karakter, dan dialog.
Struktur.
Naskah panggung Othello mengikuti struktur
piramida yang terdiri atas lima babak yang lajim
digunakan pada masa Renaisans, yakni: (i) babak
I terdiri atas eksposisi berupa set-up karakter, latar
belakang, konlik dan inciting incident berupa
kejadian yang memicu kisah bergulir; (ii) babak
II atau rising action di mana konlik berkembang
dan mengarah pada klimaks; (iii) babak III atau
crisis atau turning point berupa perubahan arah
atau klimak babak sebelumnya yang menentukan
perkembangan kisah; (iv) babak IV atau falling
action berupa semua peristiwa yang disebabkan
oleh perubahan arah babak sebelumnya; (v)
babak V berupa resolution yang mengakhiri kisah
dan denouncement yang menutup resolution.
Film menganut sistim tiga babak, yakni: (i) Babak
I berdurasi 10-15 menit berupa set-up karakter,
setting, konlik yang diakhiri oleh turning point 1,
Jurnal IMAJI | 10

yakni pembelokan arah situasi awal yang damai
akibat munculnya ketergangguan; (ii) Babab II
berupa aksi-aksi tokoh utama untuk terbebas dari
ketergangguan dan diakhiri oleh turning point
2 di mana tokoh utama memperoleh kekuatan
kembali untuk menyelesaikan tujuan utamanya;
(iii) Babak III berupa klimak yang ditandai
tokoh utama mencapai tujuannya untuk bebas
dari ketergangguan.
Adaptasi Parker berdasarkan tiga hubungan
borrowing, intersection, dan idelity salah
satunya dapat ditemukan pada babak I baik
naskah panggung maupun ilm. Pada babak I,
Shakespeare melakukan set-up karakter utama
dan hubungannya dengan karakter-karakter
lain. Iago (diperankan oleh Kenneth Branagh)
diperkenalkan, berikut hubungannya dengan
Roderigo dan perasaan kesalnya terhadap
Othello (diperankan oleh Lawrence Fishburne)
yang tidak jadi menaikkan pangkatnya padahal
sudah sekian lama mengabdi. Tokoh Othello
diperkenalkan pula serta hubungan cintanya
dengan Desdemona (diperankan oleh Irene
Jacob). Juga, hubungan cinta mereka ternyata
tidak mendapat restu Brabantio (diperankan
oleh Pierre Vaneck). Babak I ini ditutup dengan
ucapan Iago yang menjadi inciting incident
penggerak perkembangan kisah, “After some
time, to abuse Othello’s ear / hat he (Cassio) is too
familiar with his wife.” (Othello, Act I, Scene III,
baris 398-399)
Sementara itu pada ilm layar lebar, Babak I
dibuka dengan pernikahan diam-diam Othello
dan Desdemona di hadapan pendeta dengan
saksi Cassio. Tanpa sepengetahuan mereka,
Iago dan Roderigo mengintip. Lewat dialog
Iago dan Roderigo dipahami sakit hatinya
terhadap Othello yang mempromosikan jabatan
Cassio padahal sejak lama Iago mengincarnya.
Maka, Iago bersiasat mengabarkan penculikan
Desdemona guna membongkar pernikahan
diam-diam itu kepada Brabantio.
Kesadaran Parker atas perbedaan media panggung
dan ilm salah satunya terlihat pada pilihan
plot yang dijadikan turning point 1. Apabila
Shakespeare menempatkan soliloquy Iago Act I,
Scene iii, baris 398-399 sebagai inciting incident,
maka Parker memilih ucapan Brabantio kepada
Othello di scene 28 (skenario halaman 15, naskah
Act I, Scee iii, baris 293) sebagai turning point I,
Edisi 6 No. 1 Juli 2013

BRABANTIO
Look to her, Moor, if thou hast eyes to see:
She has deceived her father, and may thee.
OTHELLO
My life upon her faith.

Soliloquy Iago menjadi tujuan aksi Iago terhadap
Othello. Aksi ini kerap diulang dan mengalami
perkembangan setiap kali terjadi pengulangan.
Dengan demikian, soliloquy ini bernilai visual.
Sementara itu, peringatan Brabantio bahwa
Desdemona akan menipu juga Othello seperti
yang dilakukan terhadap ayahnya bernilai
kontemplatif. Apabila dialog ini ditiadakan,
galau hati Othello (pada skenario scene 79) ketika
tipu daya Iago telah merasuki pikirannya bahwa
Desdemona berselingkuh tidak akan bernilai.
Setting. Parker setia terhadap setting naskah
Othello. Setting kotanya tetap berlansung di
Venesia dan Cyprus. Setting eranya tetap di masa
Kesultanan Ottoman. Setting era diperkuat pula
lewat pilihan kata yang diucapkan para tokoh,
yakni masih mengacu pada bahasa Inggris kuno.
Kostum dan properti para tokoh tetap setia pada
era yang digambarkannya.
Karakter.
Penggambaran para tokoh pada naskah asli
Shakespeare dipegang teguh oleh Parker.
Protagonis Othello tetap dihadirkan sebagai
orang Moor berkulit hitam4. Rasa cintanya
terhadap Desdemona mengalami gradasi menjadi
benci akibat tipu daya Iago. Antagonis Iago hadir
tanpa perkembangan karakter. Sejak awal sampai
akhir karakternya datar, tokoh yang mendendam
dan penuh tipu daya. Parker hanya mempertegas
kekhususan ini lewat pengadeganan. Pada scene
7, Iago dan Roderigo mengintip pemberkatan
nikah Othello dan Desdemona yang dilanjutkan
dengan promosi jabatan Cassio. Pada scene
tersebut, hanya Roderigo yang mengintip
sementara kamera menghadirkan close up ekspresi
Iago yang sedang berintrik dengan mengutarakan
isi hatinya kepada Roderigo atas pengangkatan
Cassio itu.

4

Pertunjukkan Othello di he Shakespeare
heater pada 1997-1998 yang disutradarai oleh Jude Kelly
menghadirkan Othello berkulit putih dan Desdemona
berkulit hitam dengan setting di negara berkulit hitam.
Lihat Othello, 2005 halaman xxiv.

Jurnal IMAJI | 11

Gambar 2: Iago mengutarakan perasaannya atas promosi jabatan
Cassio yang berlangsung di balik dinding Chapel.

Gambar 3: Gesture dan ekspresi Iago terkait ucapan Brabantio
tentang Desdemona kepada Othello dikemudian hari.

Penekanan ini sekaligus menggarisbawahi motif
Iago, yakni dendam atas Othello.

Selain mempertegas kehadiran tersebut,
Parker menggarisbawahi kalimat Brabantio
mempengaruhi strategi yang akan dilakukan Iago
lewat gesture dan ekspresi Iago sesaat Othello
dan Desdemona meninggalkan Ruang Dewan
Venesia. Kalimat itu mematangkan niat Iago
menjadikan kisah cinta pimpinannya berada di
jalur perselingkuhan.
Gesture reaksi Iago atas ucapan Brabantio dan
jawaban Othello dijelaskan lebih lanjut oleh
Parker pada scene 71 (skenario halaman 49;
naskah Act III, Scene iii, baris 206-207) lewat
percakapan Iago dengan Othello selepas mereka
berlatih senjata. Dalam percakapan itu Iago mulai
menanamkan isu perselingkuhan Desdemona
dan Cassio setelah pada scene sebelumnya
Othello menyaksikan Cassio bercakap-cakap
akrab dengan istrinya. Saat Othello mulai masuk
perangkap Iago, prajurit itu mengingatkan soal
ucapan Brabantio,

Sedangkan Desdemona hadir sebagai perempuan
kulit putih putri Senator Venesia dan menjadi
korban Iago sekaligus Othello. Dalam
naskahnya, Shakespeare tidak memberi ruang
kepada Desdemona untuk mengetahui intrik
Iago, namun hanya menyaksikan perubahan
sikap Othello terhadapnya. Juga ketika ayahnya
memperingatkan
Othello
kemungkinan
Desdemona akan berkhianat seperti terhadapnya
(Act I, Scene iii, baris 293-294; scene 11 halaman
15), Desdemona yang turut mendengar tidak
terpengaruh. Pernikahannya dengan Othello
didasari cinta dan bukan tipu daya. Justru Othello
yang termakan ucapan Brabantio saat tipu Iago
ranum.
Baik Shakespeare maupun Parker menghadirkan
Iago saat ucapan itu terlontar. Shakespeare
menggunakan panggilan Othello setelah
menjawab Brabantio.
OTHELLO. Honest Iago,
My Desdemona must I leave to thee:
I prithee let thy wife attend on her:
And bring them after in the best advantage.
Come, Desdemona: I have but an hour

Parker menggunakan keseluruhan kalimat itu
untuk mempertegas kehadiran Iago.
OTHELLO
Honest Iago,
My Desdemona must I leave to thee:
I prithee let thy wife attend on her:
And bring them after in the best advantage.
Come, Desdemona: I have but an hour

Edisi 6 No. 1 Juli 2013

IAGO
She did deceive her fatjer, marrying you.
And when she seemed to shake and fear your looks
She loved them most
OTHELLO
And so she did.

Maka, Desdemona menjadi bidak yang diset up Iago dalam upayanya menjatuhkan
Othello sebagai balas dendam pengangkatan
Cassio. Othello sendiri di-set up oleh Iago guna
meranumkan ucapan Brabantio. Shakespeare
menegaskan hal ini lewat pernyataan Iago yang
menjadi inciting incident, sedangkan Parker
menjadikannya sebagai turning point 1. Pilihan
Parker, sekali lagi, menggemakan kesetiaan
atas naskah asli namun dengan memahami
keunggulan masing-masing media.
Jurnal IMAJI | 12

Dialog.
Pada pertunjukan teater penggunaan dialog
sangat dominan karena fungsinya bukan sekadar
alat komunikasi antar tokoh tetapi juga beban
beragam informasi untuk penonton, seperti
setting, suasana hati tokoh, dan sebagainya.
Parker menyadari fungsi dialog pada ilm sangat
berbeda. Dialog ilm menempati posisi sekunder
di bawah keutamaan visual. Walau demikian, ilm
Othello tidak menuliskan kembali dialog para
tokohnya, melainkan tetap menggunakan dialog
itu tetapi sudah disunting untuk keperluan ilm.
Shakespeare tidak menuliskan detil pernikahan
Othello dan Desdemona yang dilakukan secara
diam-diam di hadapan pendeta dan disaksikan
oleh Cassio. Act I, Scene I dibuka dengan Iago dan
Roderigo di sebuah jalan di Venesia. Iago sedang
berkesal hati dan membenci atasannya, Othello,
yang telah menaikkan pangkat Cassio. Padahal,
menurut penilaian Ioga kenaikan pangkat itu dia
yang berhak karena pengabdiannya selama ini
sedangkan Cassio adalah prajurit baru yang masih
belum berpengalaman di medan perang. Sebagai
pembalasan atas sakit hati itu, ia membujuk
Roderigo ke rumah Brabantio untuk melaporkan
Desdemona telah minggat dari rumahnya dan
menikah dengan Othello secara diam-diam.
Berita itu disampaikan oleh Roderigo demikian,
RODERIGO. Sir, I will answer any thing.
But, I beseech you,
If ’t be your pleasure and most wise consent,
As partly I ind it is, that your fair daughter,
At this odd-even and dull watch o’ the night,
Transported, with no worse nor better guard
But with a knave of common hire, a gondolier,
To the gross clasps of a lascivious Moor—
If this be known to you and your allowance,
We then have done you bold and saucy wrongs;
But if you know not this, my manners tell me.
We have your wrong rebuke. Do not believe
hat, from the sense of all civility,
I thus would play and trile with your reverence:
Your daughter, if you have not given her leave,
I say again, hath made a gross revolt;
Tying her duty, beauty, wit and fortunes
In an extravagant and wheeling stranger
Of here and every where. Straight satisfy yourself:
If she be in her chamber or your house,
Let loose on me the justice of the state
For thus deluding you.
(Act I, scene I, baris 119-139)

Jika Shakespear memulai pertunjukannya dengan
kekesalan hati Iago atas Othello, maka Parker
menggunakan dialog Roderigo pada naskah
seperti dikutip di atas sebagai pembuka ilmnya.
Mula-mula ia memperlihatkan suasana kota
Venesia dengan gondola yang melintasi sungai dan
penumpangnya berkostum dan bertopeng khas
Venesia berpapasan dengan gondola Desdemona
yang minggat dan menikah dengan Othello. Iago
dan Roderigo menguntit Desdemona secara
diam-diam dan menanti kedatangan Desdemona
di salah satu sudut kota Venesia. Mereka sudah
mengetahui tentang rencana dan di mana
pernikahan itu akan berlangsung.

Gambar 4: Opening shot ilm Othello.

Gambar 5: Desdemona yang minggat dengan gondola tiba
di tempat tujuan.

Gambar 6: Iago dan Roderigo menguntit Desdemona.
Edisi 6 No. 1 Juli 2013

Jurnal IMAJI | 13

Dialog Roderigo pada ilm menjadi efektif
dengan hanya mengutip baris 119 dan 137-139
pada naskah yakni saran kepada Brabantio, dan
meninggalkan semua dialog deskripsi tentang
minggatnya dan pernikahan Desdemona.
RODERIGO
Sir, I will answer any thing; But, I beseech you,
Straight satisfy yourself:
If she be in her chamber or your house,
Let loose on me the justice of the state
For thus deluding you.

Seleksi dialog juga dilakukan untuk kenaikan
pangkat Cassio oleh Othello. Pada naskah,
kejadian ini dituturkan oleh Iago kepada Roderigo
pada pembukaan scene. Tuturan itu sekaligus
merupakan set up alasan Iago melancarkan tipu
daya atas Othello dan Cassio,
And, in conclusion,
Nonsuits my mediators; for, “Certes,” says he,
“I have already chose my oicer.”
And what was he?
Forsooth, a great arithmetician,
One Michael Cassio, a Florentine,
A fellow almost damn’d in a fair wife;
hat never set a squadron in the ield,
Nor the division of a battle knows
More than a spinster; unless the bookish theoric,
Wherein the toged consuls can propose

Pada ilm, pengangkatan ini dilakukan langsung
setelah pemberkatan pernikahan Othello dan
Desdemona. Tanpa dialog, hanya simbolisasi
lewat pemberian belati oleh Othello kepada
Cassio. Adegan itu diintip oleh Roderigo,
sementara Iago iri hati lewat pernyataannya,
“More than a spinster, must his lieutenant be, And
I—God bless the mark!—his Moorship’s ancient”.
(skenario scene 7 halaman 3)
Penegasan pernikahan yang dilakukan secara
diam-diam, pada naskah terjadi di jalan Venesia
(Act 1, scene ii) antara Iago dan Othello,
dan kemudian menyusul Cassio yang datang
membawa berita Duke of Venice sedang
menanti kehadiran Othello segera. Pada ilm,
Cassio sedang menunggu di depan Chapel.
Iago yang pada scene sebelumnya meninggalkan
rumah Brabantio, kini sudah bergabung dengan
Cassio. Saat Othello keluar dari Chapel Iago
menyambutnya dan mengatakan, “I pray you, sir,
Edisi 6 No. 1 Juli 2013

Othello di Televisi Indonesia

Gambar 7: Othello menganugrahkan belati kepada Cassio
sebagai tanda kenaikan pangkat.

Are you fast married?” (skenario scene 11 halaman
7; naskah Act I, scene ii, baris 10-11). Jawaban
Othello hanya dengan kode telunjuk di depan
mulutnya. Dilanjutkan dengan berita dari Cassio.

Gambar 8: Othello memberi kode ke Iago, disaksikan oleh
Cassio yang menanti dengan berita lain.

Bagian ini menggarisbawahi adaptasi novel atau
naskah drama menjadi ilm bukan sebagai aktiitas
ekslusif tanpa dapat digenggam kemudian oleh
ilm seperti tersirat pada teori adaptasi Mitry.
Adaptasi yang dilakukan oleh Parker justru
terjadi sebagai aktiitas yang menyatu. Film
Othello meminjam sebagian besar elemen-elemen
yang ada pada naskah. Pinjaman ini lantas digali
berdasarkan kekuatan masing-masing media
dengan tetap setia pada esensi naskah aslinya.
Pada bagian selanjutnya akan dibahas pendekatan
adaptasi yang berbeda,yang dilakukan berdasarkan
turunan kedua naskah asli. Adaptasi ini tidak lagi
mempersoalkan yang original dan yang duplikat,
melainkan meminjam sebagian besarnya potensi
yang dikandungnya, membawanya ke permukaan
sebagai identitas berbeda dari original. Pada
bagian selanjutnya akan dibahas Othello menjadi
Ken Arok dengan mengadopsi teori mutual
invagination Derrida.

Jurnal IMAJI | 14

Ken Arok adalah tokoh sejarah Indonesia
yang dipahami sebagai pendiri kerajaan
Singosari. Asal usulnya, sepak terjangnya saat
menggulingkan Tumapel dibawah kekuasaan
Tunggul Ametung, keris Mpu Gandring yang
menyertai penggulingan itu, serta Kebo Ijo yang
dijadikan kambing hitam dalam percaturan
politik Tumapel telah menjadi legenda tersendiri
dan hadir dalam beragam versi.
Salah satu versi tersebut dituturkan kembali oleh
Pramoedya Ananta Toer lewat roman Arok Dedes.
Pada kata pengantarnya dijelaskan penolakan
Pram atas semua dongeng dan mistisisme seputar
legenda Ken Arok (2006: viii). Sumber utama
tulisan Pram adalah dari “Ludbaka” karya Mpu
Tanakung dan Tugu Kemenangan Arok di sekitar
candi Singasari atau candi Tumapel (2006: xiii).
Di tangan Pram, kisah Ken Arok menjadi kudeta
pertama yang terjadi di Indonesia.
FTV Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel banyak
diilhami dari roman Arok Dedes. Terutama tentang
asal-usul Arok sebagai pemuda pergerakan
penentang Tumapel, masuk Arok sebagai prajurit
pekuwuan di sana. Mpu Gandring juga dihadirkan
bukan sekadar pembuat keris sakti melainkan
sebagai pemilik pabrik persenjataan (skenario
scene 11 halaman 12). Pada scene tersebut
diperlihatkan arti penting biji besi sebagai bahan
baku pembuatan senjata melalui Ken Arok
menemui Mpu Gandring dan memberinya biji
besi.
FTV Ken Arok dimulai dari penculikan Dedes,
putri Mpu Parwa, oleh Tunggul Ametung
penguasa Tumapel. Gadis itu dipaksa menikah,
dipertukarkan dengan keselamatan kaum
brahmana. Tidak ada pilihan lain bagi Dedes
selain menurut. Juga ketika Mpu Parwa
menjemputnya pulang, Dedes lebih memilih
tinggal dan mengakui pernikahan itu karena
keputusannya sendiri tanpa paksaan. Sebagai
siasat untuk membebaskan Dedes, sekaligus
menggulingkan Tunggul Ametung, Lohgawe
memperkenalkan Arok untuk bekerja sebagai
patih mewakili kaum brahmana. Keberadaan
Arok sangat menguntungkan Tumapel. Banyak
pemberontakan berhasil dipadamkan. Hal ini
membuat Arok sangat dipercaya oleh Tunggul
Ametung. Tanpa diketahui penguasa Tumapel
Edisi 6 No. 1 Juli 2013

itu, Arok bersiasat dengan Kebo Ijo yang
mencintai Dedes sejak lama. Gossip disebar
bahwa Gandang juga mencintai Dedes. Arok
sengaja membakar cemburu Kebo Ijo. Gossip
juga perlahan-lahan dihembuskan ke telinga
Tunggul Ametung hingga penguasa itu terbakar
cemburu. Siasat Arok berhasil, Tunggul Ametung
mencurigai selingkuh Dedes dan Gandang.
Pada saat nyawa Dedes di ujung tanduk, Arok
membunuh Tunggul Ametung lewat tangan
Kebo Ijo.
Adaptasi Othello menjadi Ken Arok dilakukan
dengan tetap bersetia pada dialog tetapi setting,
karakter, dan kostum berbeda.
Setting.
Kerajaan Venesia pada Othello menjadi wilayah
kerajaan Kediri, sedangkan Cyprus tempat aksi
bergulir menjadi Pekuwuan Tumapel. Maka,
setting era juga mengalami perubahan dari masa
ekspansi Kesultanan Ottoman 1500an menjadi
sekitar 1182-1224 menjelang runtuhnya kerajaan
Kediri. Dengan demikian kostum juga mengikuti
setting era.
Karakter.
Peran Arok ketika berintrik dengan Tunggul
Ametung mirip dengan Iago. Arok masuk
menjadi prajurit Tumapel, mengabdi kepada
Tunggul Ametung, dan di saat yang sama
bersiasat mengulingkannya dengan men-setup perselingkungan Dedes dan Patih Danang.
Dengan demikian, Othello menjadi Tunggul
Ametung, dan Desdemona adalah Dedes. Kebo
Ijo yang menjadi salah satu ikon kisah Ken Arok
diadaptasi dari Roderigo. Cassio diadaptasi ke
tokoh iksi Patih Danang. Sementara itu, Mpu
Gandring yang menjadi ikon kisah Ken Arok
tidak terdapat padanannya pada Othello.
Dialog.
Dialog Ken Arok setia pada ilm Othello besutan
Oliver Parker. Adaptasi media ilm layar lebar
menjadi tayangan televisi dititikberatkan pada
pemecahan scene. Scene panjang pada ilm Othello
dipecah menjadi beberapa scene tanpa mengubah
dialog.
Scene 71 di gudang penyimpanan senjata, selesai
berlatih Othello dan Iago terlibat percakapan
seputar kepantasan Cassio bercakap-cakap
dengan Desdemona pada hari sebelumnya. Pada
Jurnal IMAJI | 15

ilm, panjang scene ini adalah 4 halaman, berisikan
percakapan intens hanya antara Othello dan
Iago. Pada FTV, scene tersebut dipecah menjadi
scene 36, 37, dan39, dengan tambahan intrik scene
38 yakni Ken Arok sengaja membunuh rekan
seperjuangannya demi meyakinkan kesetiaannya
pada Tunggul Ametung. Lokasi dan adegan scene
juga berubah, dari gudang persenjataan dengan
aktiitas membersihkan senjata selepas latihan
pada Othello menjadi persiapan berburu di depan
pekuwuan, berlanjut adegan berburu di hutan, dan
berakhir sepulang berburu di pekuwuan kembali.

Gambar 9: Scene 71 Othello dan Iago membersihkan
senjata selesai berlatih.

Gambar 10: Scene 36 Ken Arok dan Tunggul Ametung
bersiap hendak berburu.

Gambar 11: Scene 37 Ken Arok dan Tunggul Ametung
berburu di hutan.

drawn. And when a limit is established, norms and
interdictions are not far behind: “Do,” “Do not” says
“genre,” the word “genre,” the igure, the voice, or the law
of genre. (1980: 56)

Gambar 12: Scene 38 Ken Arok bertempur dengan Damar
Jati di hutan saat berburu.

Gambar 14: Scene 28 Roderigo menemui Iago setelah
Council Chamber sepi.

Gambar 13: Scene 39 Ken Arok dan Tunggul Ametung
selesai berburu.

Gambar 15: Scene 16 Kebo Ijo menemui Ken Arok di lokasi
latihan prajurit Tumapel.

Pemadatan plot juga dilakukan. Plot Brabantio
mendatangi Council Chamber untuk meminta
pertanggungjawaban Othello yang dituduh telah
menculik Desdemona, dan plot berakhir dengan
pilihan Desdemona untuk mengikuti Othello
berperang melawan Kesultanan Ottoman. Pada
ilm, scene tersebut dimulai pada scene 13 sampai
scene 28 (kurang lebih 8 halaman) pada ucapan
Brabantio, “Look to her, Moor, if thou hast eyes to
see: / She has deceived her father, and may thee”.

Pada bagian selanjutnya akan diuraikan proses
Othello menjadi Ken Arok menggemakan
konsep invagination Derrida.

Maka pada FTV Ken Arok, scene tersebut
dipadatkan menjadi scene 13 yakni kedatangan
Mpu Parwa meminta pertanggungjawaban
Tunggul Ametung yang menculik Ken Dedes,
berlanjut dengan penjelasan Ken Dedes untuk
menikah dengan Tunggul Ametung, dan berakhir
dengan kalimat Mpu Parwa, “Dia yang telah
menipu ayah kandungnya, mungkin nanti dia
akan menipu kau juga.” (kurang lebih 2 halaman).
Scene 28 ilm Othello masih berlanjut, sampai
kurang lebih 3 halaman, Roderigo menemui
Iago secara sembunyi setelah semua orang
meninggalkan Council Chamber. Pada FTV
menjadi scene 16 yang lepas berdiri sendiri secara
waktu dan lokasi yakni Kebo Ijo menemui Ken
Arok.

Dalam tulisannya he Law of Genre, Jacques
Derrida memutus dan meniadakan kelekatan
antara yang asli dan yang duplikat. Seperti
dijelaskan di bagian awal, gagasan Derrida ini
dengan mengumpamakan perkembangan teks
mirip dengan perkembangan embrio, mulai
dari sel sederhana, hingga menjadi organism
kompleks yang disebutnya invagination. Seperti
halnya embrio, maka teks mengalami proses
pelipatan, yakni bagian luarnya melipat menjadi
bagian dalam, lalu melipat lagi menjadi bagian
luar, lalu bagian luar ini melipat lagi menjadi
bagian dalam, demikian seterusnya.
Derrida mula-mula menjelaskan konsep genre.
Menurutnya genre adalah wadah tertutup,
ia membatasi dan menyeleksi segala sesuatu
yang mengaku bagian darinya. Ketika sesuatu
mengaku sebagai bagian dari genre tertentu, pada
saat itu juga genre memperlihatkan kriterianya,
norma-normanya, dan batasan-batasan apa yang
membuat sesuatu layak diakui sebagai bagian
dari genre itu.
As soon as the word “genre” is sounded, as soon as it is
heard, as soon as one attempts to conceive it, a limit is

Edisi 6 No. 1 Juli 2013

Jurnal IMAJI | 16

Edisi 6 No. 1 Juli 2013

Adanya proses seleksi melalui kriteria yang
dimiliki oleh genre menyiratkan hadirnya
oposisi ganda: sesuai atau tidak sesuai. Proses
ini diperlukan oleh genre karena ia harus
mempertahankan kemurniaan dan otoritasnya.
Oleh sebab itu, segala sesuatu yang disandingkan
sebagai bagian dari genre harus memiliki aturan
yang sama. Gagal memiliki berarti penolakan.
Lebih lanjut Derrida menegaskan bahwa, “Genre
tidak boleh bercampur” (halaman 55). Namun
demikian, ekslusiitas genre tidak perlu dijauhi.
Justru perlu dirasuk dan ikut berpartisipasi di
dalamnya sehingga dimungkinkan untuk menguji
setiap hukum yang dimilikinya, “What if there
were, lodged within the heart of the law itself, a law
of impurity or a principle of contamination?” (1980:
57) Upaya ini akan berbuah pada penggandaan
yakni hadirnya entitas baru. Hadirnya entitas
baru ini bukanlah dalam rangka oposisi ganda,
karena jika demikian kekuasaan genre akan makin
berlipat ganda.
Entitas baru ini adalah mengikuti prinsip
kontaminasi dan ekonomi parasit, sehingga yang
dihasilkan adalah “hukum di dalam hukum” yang
sudah dikandung oleh genre yang dirasuki itu.
Namun, menjadi parasit harus dipahami sebagai
partisipasi di dalam genre tanpa menjadi bagian
dari genre itu. Hukum utama yang dimilikinya
tetap diserap, tetapi ditolak pada saat bersamaan
sebagai bentuk ketidaksetiaan atas genre itu.
Penolakan ini tidak harus dipahami sebagai upaya
pemisahan diri, “a sort of participation without
belonging – a taking part in without being part of,
without having membership in a set.”
Maka, tidak ada satu teks pun yang bagian luarnya
dan bagian dalamnya dalam kondisi stabil. Selalu
ada ruang yang terbuka, yang siap menerima
apapun yang masuk dan mengintervensinya,
seperti bukaan rahim. Dan ketika isi yang berada
di dalam kandungannya dibuahi, ia mengalami
perkembangan mirip fase embrio menjadi entitas
baru. Dia tetap berada di dalam teks itu, dan terus
berkembang tetapi tidak berpartisipasi sebagai
bagian darinya.

Jurnal IMAJI | 17

Proses adaptasi Othello menjadi FTV Ken Arok
menggemakan invaginasi Derrida. Hukum,
norma, kriteria yang mengalir di dalam Othello
dirasuki, dipahami untuk kemudian menjadi
‘hukum di dalam hukum’, mengalir dan menjadi
parasit di dalam Othello, tetapi tidak berpartisipasi.
Ia hanya mengawasi sebagai hukum baru, entitas
baru.
Pada bagian sebelumnya sudah diperlihatkan
bagaimana plot Othello tidak mengalami
perubahan. Dimulai dari Desdemona melarikan
diri untuk menikah secara diam-diam dengan
Othello. Sedangkan Ken Arok dimulai dengan
Tunggung Ametung menculik Desdemona.
Lantas set up alasan Desdemona mau menikah
dengan Othello, demikian pula set up alasan
Ken Dedes mau menikahi Tunggul Ametung.
Sampai dengan kedatangan Brabantio ingin
menjemput kembali Desdemona yang menolak
ajakan ayahnya, demikian pula Ken Dedes yang
menolak diajak pulang oleh ayahnya. Plot yang
menjadi tulang punggung Othello diamati dan
dikuasai menjadi kekuatan bagi Ken Arok.
Hal yang sama juga dilakukan pada dialog. Pada
bagian sebelumnya sudah dijelaskan dialog yang
menjadi tulang punggung Othello digunakan
secara maksimal dalam Ken Arok. Maka, ketika
Ken Arok berkembang sebagai parasit di dalam
Othello, ia melipat bagian luar Othello dan muncul
ke permukaan sebagai Ken Arok. Tetapi, apabila
Ken Arok dilipat menjadi bagian dalam, maka
yang muncul dipermukaan adalah Othello.

sebagai Othello karya Shakespeare apabila seluruh
elemen yang dimiliki oleh naskah asli diadaptasi
secara setia ke dalam ilm. Pertimbangan
perbedaan media ilm dan panggung teater
tidak menyebabkan ilm Othello keluar dari
“hukum genre” yang dimiliki naskah Othello.
Dalam hal ini, kesetian mengadaptasi menjadi
penilaian. Maka hierarki antara yang asli dan
yang duplikat menjadi diperhitungkan secara
ketat. Keberhasilannya bergantung pada kadar
kesetiaannya.
Adaptasi yang dilalui dari ilm Othello menjadi
FTV Ken Arok mengalami proses berbeda yang
menggemakan konsep invagination Derrida. Ken
Arok tidak memiliki hierarki dengan ilm Othello
karena entitasnya adalah baru. Tetapi, hukum
yang mengalir di dalam Ken Arok adalah hukum,
norma, serta kriteria “genre Othello”.
Dengan demikian, proses ini tidak berakhir pada
Ken Arok. Teks Ken Arok tetaplah sebagai teks
terbuka, yang jika diintervensi dan dirasuki dan
dikuasai hukumnya dengan turut berpartisipasi
tanpa menjadi bagiannya, maka akan muncul teks
baru lagi yang tidak memiliki berhierarki sebagai
yang original dan yang duplikat, melainkan
sebuah entitas baru.

Daftar Pustaka
Adakita, Didya. Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel. Jakarta: Diwangkara Citra Suara Film, 2006.
Tidak diterbitkan.
Andrew, Dudley. Concepts in Film heory. Oxford, London: Oxford University Press, 1984.
Balazs, Bela. heory of the Film. Terj. Edith Bone. London: Dennis Dobson LTD, 1952.
Bazin, André. “In Defense of Mixed Media.” What is Cinema? Vol. 1. Editor dan penerjemah oleh
Hugh Gray. Berkeley: University of California Press, 1967.
Derrida, Jacques. “he Law of Genre.” Terjemahan Avital Ronell. Dalam Critical Inquiry, Vol. 7. No. 1.
On Narrative. Chicago: he University of Chicago Press, 1980. Halaman 55-81.
Mitry, Jean. “Remarks on the Problem of Cinematic Adaptation.” he Bulletin of the Midwest Modern
Language Association, Vol 4. No. 1. 1971. Halaman: 1-9.
Parker, Oliver. Othello. Los Angeles: Castle Rock Entertainment, 1995. Tidak diterbitkan.
Shakespeare, William. Othello: he Moor of Venice. With related reading. Minnesota: EMC/Paradigm
Publishing, 2005.
Toer, Pramoedya Ananta. Arok Dedes. Jakarta: Lentera Dipantara: 2006.
Wortham, Simon Mongan. he Derrida Dictionary. London: Continuum International, 2010.
Film:
Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel. Skenario: Didya Adakita. Produksi Diwangkara Cirta Suara Film,
2006. Tayang di Indosiar.
Othello. Sutradara: Oliver Parker. Produksi Castle Rock Entertainment, 1995.

Kesimpulan
Pada bagian ini akan dijawab pertanyaan utama
seputar persoalan adaptasi, yakni: apakah karya
adaptasi masih memiliki hubungan yang erat
dengan aslinya sebagai sebuah hierarki yang
asli dan yang duplikat? Apakah karya adaptasi
tidak mungkin dianggap sebagai karya mandiri
yang hadir sebagai dirinya sendiri tanpa harus
diperhitungkan jejak-jejak yang hadir di
dalamnya?
Menjawab
pertanyaan
tersebut, konsep
invagination
Derrida
membantu
menjernihkannya. Pada kasus naskah Othello
Shakespeare menjadi ilm Othello proses yang
terjadi adalah adaptasi yang memiliki oposisi
ganda. Artinya, ilm Othello baru dapat disebut
Edisi 6 No. 1 Juli 2013

Jurnal IMAJI | 18

Edisi 6 No. 1 Juli 2013

Jurnal IMAJI | 19