IMAJI JAN 2015 ARIANSAH

Cahiers du Cinema, Mise en Scene
& Eksistensi Sinema
Mohamad Ariansah
ale_ansyah@yahoo.com

Abstrak
Mise en scene merupakan sebuah agenda dan metode kritik ilm dari Cahiers du Cinema. Konsep
tersebut lahir berdasarkan aksentuasi yang khas di tangan para kritikus Perancis, sebagai wakil penting
dalam memberikan argumentasi atas kemandirian sinema sebagai seni. Namun sesahih apapun konsep
tersebut dalam mempropagandakan sebuah program, ia muncul dari disiplin kesenian lain dengan
manifestasinya yang khas.
Tulisan ini berusaha untuk melihat kemungkinan lain dari proses adaptasi mise en scene dalam teater ke
ilm. Yang seandainya kita kurang hati-hati, maka agenda utama tersebut malah semakin mematikan
potensi dari sinema.
Kata Kunci
Cahiers du Cinema, Sineilia, Auteur, Mise en Scene
Abstract
Mise en scene is an agenda and methods of ilm criticism from Cahiers du Cinema. he concept was born by
typical accents in the hands of the French critics, as an important representative argued over the independence
of cinema as an art. But whatever lawless in propagating the concept of a program, it arises from other arts
disciplines with typical manifestations.

his paper seeks to look at other possibilities from the adaptation of the mise en scene in the theater to the ilm.
hat if we are not careful, the main agenda is even more lethal potential to the cinema.
Keyword
Cahiers du Cinéma, Cinéphile, Auteur, Mise en Scène

Pendahuluan
Pada bulan April 1951, Cahiers du Cinema
diterbitkan untuk pertama kali di Paris oleh
para pelopor awal seperti; Andre Bazin, Jacques
Doniol-Valcroze and Joseph-Marie Lo Duca.
Ketiga orang tersebut bermaksud untuk
meneruskan perjuangan dari Jean-George Auriol
sebagai pendiri majalah ilm La Revue du Cinema
(1928-1931 dan 1946-1949), yang tewas secara
Edisi 6 No. 1 Juli 2013

mendadak pada bulan April 1950. Di mana
dalam rangka melanjutkan tradisi dari La Revue
du Cinema sebagai tempat Andre Bazin dan
Jacques Doniol-Valcroze menuliskan kritik serta

apresiasi bagi para pencinta ilm itulah, kemudian
muncul majalah yang kelak akan tumbuh sebagai
sebuah titik sentral dari kebangkitan gerakan
sineilia atau para pencinta ilm periode pascaperang dunia II.

Jurnal IMAJI | 20

Seperti majalah ilm pada umumnya yang
dipenuhi berbagai macam tulisan serta kritik
seputar dunia perilman, Cahiers du Cinema
tetap mengikuti pola dari La Revue du Cinema
yang membahas tentang estetika sinema dan
beberapa orang sineas yang mereka anggap
penting seperti maestro dari Eropa dan pembuat
ilm di Hollywood. Dalam hal ini, tokoh-tokoh
seperti Jean Renoir, Roberto Rossellini, Alfred
Hitchcock, Howard Hawks dan Nicholas Ray
muncul sebagai igur-igur pahlawan dari para
kritikus majalah ilm yang mulai muncul pada
awal 1950-an tersebut.

Pada periode awal dari pendirian majalah, tokohtokoh seperti Andre Bazin dan rekan-rekannya
di Cahiers du Cinema memiliki tujuan yang sama
dengan para sineilia dekade 1920-an dalam
mengairmasi sinema sebagai seni yang otonom.
Oleh karena itu, maka harus dimunculkan
metode dalam menganalisa yang khas dan
otentik dari sinema. Yang oleh para kritikus
dari majalah tersebut kemudian dijawab dengan
mengedepankan konsep auteur dan mise en scene.
Dalam tradisi kritik dari Cahiers du Cinema,
konsep auteur merupakan sebuah diskursus
utama, kompleks dan paling melelahkan
sepanjang era klasik di bawah kepemimpinan
trinitas Bazin, Doniol-Valcroze dan Lo Duca.
Dimulai oleh cikal-bakal teori auteur sebagai
agenda airmasi atas otonomi sinema terhadap
seni lainnya (Le Camera-Stylo dari Alexander
Astruc), lalu dikembangkan dengan auteur
sebagai sikap politik (A Certain Tendency of French
Cinema-nya Francois Trufaut), hingga usaha

memformulasikan esensi dari auteur (La Politique
des auteurs-nya Andre Bazin).
Sementara yang tidak kalah menantangnya
dengan teori auteur adalah konsep lainnya yang
sangat misterius dalam pengaplikasiannya di
sinema, yakni mise en scene. Di mana dalam
formulasi dari Andre Bazin, konsep mise en scene
merupakan sesuatu hal yang sangat berhubungan
erat dengan auteur.
Masalahnya kemudian mise en scene merupakan
sebuah konsep adaptasi dan terkait dengan
kerja dari sutradara dalam teater, yang bila
dimanifestasikan dalam ilm akan menghasilkan
problem perihal wujud, wilayah kerja dan
batasannya sebagai akibat dari kekhasan medium.
Apakah sebenarnya mise en scene itu dalam
Edisi 6 No. 1 Juli 2013

pandangan para kritikus Cahiers du Cinema ?
Mengapa karakteristik konsep yang berasal dari

teater tersebut akan menghilangkan potensi yang
unik dari sinema ?
Mise en Scene Dalam Perspektif Cahiers du
Cinema
Mise en scene merupakan salah satu konsep kunci
dalam tradisi kritik ilm dari Cahiers du Cinema
pada periode 1950-an, saat diskusi mengenai
klasiikasi sutradara mulai memanas dengan
kemunculan konsep auteur yang menjadi polemik
utamanya.
Kendati perdebatan mengenai esensi dari auteur
dan para sutradara yang menjadi model utamanya,
sampai menimbulkan berbagai silang-pendapat
di kalangan para kritikus Cahiers du Cinema
sendiri. Namun terdapat kesepakatan bahwa mise
en scene merupakan sebuah elemen penting yang
menjadikan seorang sutradara mendapat predikat
tertentu, dan dapat dikatakan menjadi ciri khas
utama dari penulisan kritik majalah tersebut.
Entah seorang sutradara hanya diberikan

sebuah cap sebagai metteur en scene (sutradara
pada umumnya) atau auteur (sutradara sebagai
seniman) yang setara dengan pelukis, musisi, dan
novelis. Selain kemungkinan seseorang sutradara
dapat dikatakan baik, hebat dan unik, melalui
penilaian terhadap aspek mise en scene tersebut.
Pandangan terhadap mise en scene dari Fereydoun
Hoveyda dalam sebuah artikelnya pada tahun
1960, semakin memperkuat kecenderungan
metode kritik dari Cahiers du Cinema yang
berkembang sejak satu dekade sebelumnya.
Dalam tulisan yang berjudul “Sunspots”, Hoveyda
menekankan keunikan dari mise en scene dalam
ilm. Di mana orisinalitas dari seorang auteur
tidak terdapat dalam pemilihan atas ide dan tema,
tapi lebih kepada mise en scene atau aspek teknik
yang seorang sutradara terapkan dalam ilmnya1.
Sikap dari Hoveyda yang merupakan salah satu
wakil dari generasi kedua Cahiers du Cinema,
menjadi sesuatu yang sangat jelas tersebar dalam

1
Keathley, Christian. Cinephilia and History,
or The Wind in the Trees. Indiana University Press,
Bloomington: 2006.

Jurnal IMAJI | 21

banyak kritik di majalah tersebut. Tidak jarang
para penulis yang menyumbangkan tulisannya di
sana, kerap menghabiskan paragraf demi paragraf
dengan deskripsi secara mendetail aspek teknis
dan aksi dari karakter-karakternya pada sebuah
adegan. Sesuatu hal yang telah terlihat sejak awal
pendirian majalah pada tahun 1951. Mulai dari
tulisan Jacques Rivette tentang kejeniusan dari
Howard Hawks, pandangan Jean Luc Godard
terhadap ilm-ilm Nicholas Ray, pembelaan
Andre Bazin terhadap keunikan sinema NeoRealisme Italia, dan para kritikus lainnya yang
membela secara subjektif ilm-ilm dari sutradara
pujaan mereka lainnya.

Meski model kritik di atas sering dipandang
sangat deskriptif, serta terkesan impresionistik
semata bila dibandingkan dengan analisa ilm
yang sangat ketat. Tapi ciri khas tersebut semakin
mengukuhkan Cahiers du Cinema sebagai
majalah yang dibuat oleh para sineilia untuk
sineilia. Layaknya seorang pencinta ilm sejati,
para kritikus yang sering menonton ilm karena
sangat menikmati pengalaman tersebut hanyalah
mengisahkan kembali hal-hal menarik di layar
dan membuat mereka terpesona. Para sineilia
tersebut mirip dengan seorang fetish yang
mendapatkan kesenangan dengan imaji dalam
ilm yang diputarkan tersebut, serta berusaha
untuk membagikan pengalaman mereka melalui
kritik ilm.
Meski tampak jelas posisinya dalam setiap kritik,
namun dalam tradisi Cahiers du Cinema terdapat
kesulitan untuk menjelaskan istilah mise en scene
secara deinitif. Sebab kritikus yang satu terkesan

mendeskripsikannya berbeda dengan yang lain.
Meski pandangan dari Francois Trufaut terhadap
posisi Jacques Becker dapat dilihat sebagai sesuatu
yang mewakili deinisi mise en scene dari para
kritikus lainnya. Bagi Trufaut, karakterisasi dari
Becker tidak terdapat pada pilihannya atas subjek
atau tema. Tapi pada caranya dalam memilih
memperlakukan subjek2. Di mana intinya bukan
apa yang akan diceritakan, tapi bagaimana cara
menceritakannya dalam ilm.

2
Hillier, Jim. Cahiers du Cinema The 1950s: NeoRealism, Hollywood, New Wave. Edited by Jim Hillier.
Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts:
1985.

Edisi 6 No. 1 Juli 2013

Mise en Scene & Hidup-Matinya Sinema
Pada saat Bazin wafat di akhir 1950-an, kemudian

reputasi majalah yang diasuhnya segera mendunia.
Salah satu faktor utamanya adalah migrasi dari
beberapa kritikus ( Jean-Luc Godard, Francois
Trufaut, Claude Chabrol, Jacques Rivette, Eric
Rohmer) menjadi pembuat ilm dalam gerakan
Nouvelle Vague Perancis sekitar tahun 1959/60.
Fenomena dari gerakan tersebut membuat ideide dari Cahiers du Cinema, seperti auteur dan
mise en scene menjadi sangat berpengaruh dan
menghasilkan pengikut di mana-mana.
Saat konsep mise en scene mulai digunakan
oleh Cahiers du Cinema sebagai metode dalam
kritik ilm sejak tahun 1950-an, usaha untuk
mempertegas sinema sebagai seni yang otonom
merupakan salah satu tujuan utama pendirian
majalah tersebut. Di mana konsep tentang auteur
menjadi sangat menonjol sebagai bagian dari
propaganda majalah tersebut. Karena auteur atau
seniman merupakan sebuah syarat mutlak untuk
menjadikan sinema sebagai seni yang dihasilkan
oleh para pembuat ilm tersebut.

Meski ilm merupakan sebuah seni kolaborasi
yang terdiri dari produser, sutradara, penulis
skenario, sinematografer, production designer,
sound designer, editor dan para pekerja seni
lainnya. Namun dalam konteks Cahiers du
Cinema, pencipta utama atau auteur dari ilm
adalah sutradara. Sehingga menjadi sangat logis
apabila esensi dari sutradara dan kerjanya dalam
sebuah ilm, mendapatkan perhatian khusus dari
para kritikus Cahiers du Cinema dan majalah ilm
lainnya di seluruh dunia yang terpengaruh oleh
pandangan tersebut.
Karena sutradara menjadi igur sentral, maka
ruang lingkup kerjanya haruslah mendapatkan
sebuah perhatian khusus dibandingkan para
pekerja ilm dari departemen lain. Untuk itulah
konsep mise en scene menjadi perangkat penting
dalam kritik ilm Cahiers du Cinema.
Mise en scene adalah sebuah istilah dalam dunia
teater, yang secara hariah berarti menempatkan
sesuatu di panggung atau pengadeganan.
Dalam hal ini, mise en scene merupakan sebuah
proses di mana sebuah naskah tertulis menjadi
sebuah pertunjukan panggung. Yang bagi
Antonin Artaud istilah ini merupakan sebuah
Jurnal IMAJI | 22

argumentasi atas supermasi sutradara (teater)
sebagai orang yang bertanggung jawab untuk
memvisualisasikan pertunjukan3. Karena mise
en scene merupakan pekerjaan dari sutradara
(metteur en scene) dalam teater. Dengan cara
mengolah semua elemen yang akan ditampilkan
di panggung, mulai dari ekspresi dan gerak-gerik
aktor serta hubungannya dengan aktor lain,
kostum, properti, setting, hingga penggunaan
pencahayaan untuk tujuan dramaturgi.
Berdasarkan perspektif sutradara sebagai auteur
itulah, maka salah satu pertaruhan dari estetika
sinema dalam perspektif Cahiers du Cinema
adalah mise en scene. Di mana istilah teater
tersebut diadopsi ke dalam ilm dengan tujuan
mempertegas supermasi dari sutradara dalam
ilm. Meski terdapat karakteristik dari elemen
mise en scene yang diolah oleh sutradara ilm bila
dibandingkan dengan teater. Di mana dalam
konteks cara menceritakan sebuah subjek atau
tema tertentu dalam ilm, Cahiers du Cinema
mempertimbangkan karakteristik unsur imaji,
suara serta relasi yang dimunculkan oleh
keduanya. Dengan kata lain, terlihat sebuah
usaha untuk tidak menelan mentah-mentah
aplikasi istilah dari teater tersebut ke dalam ilm.
Strategi dari para kritikus Cahiers du Cinema yang
sangat berhati-hati dalam mempertimbangkan
keunikan dari sinema, membuat implementasi
konsep mise en scene dalam ilm semakin
memperlihatkan potensi luar biasa dari
sinema dibandingkan dengan teater dalam
menyampaikan sebuah kisah kepada penonton.
Sehingga tampak jelas usaha dalam menjadikan
ilm sebagai seni yang mapan, untuk dapat
berdampingan sama tinggi dengan sastra, musik,
seni rupa, tari, arsitektur dan teater. Artinya
walaupun menerapkan istilah bidang seni lainnya,
namun intinya tetap terfokus pada permasalahan
yang spesiik dari ilm.
Hal ini terlihat saat kriteria yang harus dimiliki
oleh seorang sutradara untuk menjadi auteur
adalah konsistensi dalam hal tematik dan mise
en scene sebagai sudut pandang terhadap dunia
di setiap ilm-ilmnya. Namun dalam konteks
penulisan kritik ilm dari Cahiers du Cinema,
konsep mise en scene meliputi semua penerapan
3

Ibid. Jim Hillier.

Edisi 6 No. 1 Juli 2013

aspek teknis dan tidak hanya sebatas pada
berbagai elemen visual yang terlihat di layar
untuk menceritakan sebuah kisah, gagasan dan
visi personal seorang sutradara. Artinya tidak
hanya setting, gerak dan ekspresi igur, kostum,
make-up, properti, pencahayaan serta semua
elemen lain yang terdapat di dalam sebuah
frame. Tapi sampai pada semua kemungkinan
dari sinematograi terkait sudut pengambilan
gambar, jarak, ketinggian, gerak kamera. Hingga
berbagai kemungkinan dari editing, suara dan
ruang imajiner di luar frame (of-screen space)
yang terkadang sangat menentukan dalam
menceritakan sebuah kisah dan menghasilkan
sesuatu kualitas mistik. Sebab kesan kita terhadap
imaji yang terlihat di layar menjadi sesuatu yang
berbeda dan terkadang tidak bisa dijelaskan
secara verbal. Selain tentu saja relasi dialektis
antara kemungkinan tidak terhingga dari imaji,
dengan unsur-unsur suara (speech, musik, efek)
yang juga tidak terhingga.
Sebaliknya akan menjadi sangat berbeda, jika mise
en scene dalam ilm mencaplok secara mentahmentah aplikasi dan prakteknya sama persis
dengan yang berlaku di teater. Sebab peminjaman
konsep tersebut dalam kritik Cahiers du Cinema
merupakan strategi untuk memperjuangkan
status dari sinema dan mempertegas posisi kunci
sutradara berdasarkan konsep auteur. Meski
dengan catatan khusus tetap mempertimbangkan
potensi tidak terbatas dari imaji, suara dan relasi
antar keduanya dalam ilm. Yang dalam hal ini,
elemen mise en scene yang diolah oleh sutradara
ilm menjadi jauh lebih banyak dan kompleks
dari prakteknya di teater. Hal ini menjadi sangat
jelas saat para kritikus tersebut membahas
seorang sineas dan karyanya, atau ketika Trufaut
menggambarkan nilai seorang sutradara dalam
kasus Jacques Becker. Di mana kualitas sutradara
terletak pada caranya dalam menyampaikan
sebuah subjek/tema/cerita dalam ilm. Yang
dalam bahasa Christian Metz kemungkinan
tersebut disampaikan melalui 5 jalur, yakni; imaji,
teks tertulis, speech (dialog, monolog, dan lainlain), musik, sound efects.
Tapi seandainya peminjaman istilah mise en
scene ke dalam sinema hanya mengikuti sama
persis dengan prakteknya pada teater, maka
kita hanya akan terkonsentrasi pada elemenelemen visual yang terlihat saja. Bukankah
konvensi teater menegasikan kepada penonton
Jurnal IMAJI | 23

untuk mengantisipasi yang terjadi pada karakter,
ketika ia menghilang di balik panggung. Padahal
dalam konteks sinema, saat karakter keluar dari
layar maka ia telah memasuki wilayah of-screen.
Yang terkadang masih memiliki hubungan
dengan dunia iksi dalam sebuah ilm, bahkan
menentukan cara penonton menyikapi yang
terlihat di layar. Artinya jika konsep mise en scene
yang sama kita terapkan pada ilm, maka sama
saja dengan melakukan pembunuhan secara
perlahan-lahan terhadap potensi unik dari
medium ekspresi seperti sinema. Dan tentu saja
sikap ini yang akan dengan sangat keras coba
dilawan oleh para cinephille atau kritikus yang
tergabung dalam Cahiers du Cinema.

sangat kuat dalam menggali kemungkinan tanpa
batas dari sinema. Serta sebuah pintu masuk
untuk mengembangkan potensi-potensi dari ide
dan konsep lainnya yang khas dalam menegakkan
kemandirian sinema sebagai seni yang mapan.

Penutup
Cahiers du Cinema adalah sebuah fenomena khas
dari budaya ilm di Perancis pasca-perang dunia
II. Agenda utamanya adalah memperjuangkan
eksistensi dari sinema sebagai seni ke-7, terhadap
bidang-bidang seni lainnya yang telah mapan
sebelum medium audio-visual itu muncul.
Melalui polemik yang sudah berkembang sejak
dekade awal 1900-an, muncul beberapa orang
(Vaclav Tille dan Ricciotto Canudo) yang mulai
memberi perhatian dan memandang secara
serius media ekspresi baru tersebut. Serta secara
perlahan berusaha memperjuangkan otonomi
dari sinema terhadap seni lainnya. Meski pada
awalnya (bahkan masih sampai saat ini) sinema
masih bersandar pada seni lainnya, namun usahausaha untuk lepas sepenuhnya dari kondisi
tersebut tidak pernah habis-habisnya dieksplorasi
oleh para Impresionisme-Perancis, Formalisme,
Andre Bazin hingga Gilles Deleuze.

Andre Bazin (1918-1958)

Daftar Pustaka
Dalam konteks mise en scene terlihat kecenderungan
umum dari gelombang besar para pembela
otonomi sinema sebagai seni tersebut. Di mana
Cahiers du Cinema sebagai eksponen utamanya
masih memikul tugas suci yang sama dengan para
pelopor awal kritik dan teori ilm di awal abad
ke-20 di atas. Dan dengan sangat cekatan para
kritikus tersebut mempertimbangkan tekstur
yang khas dari sinema. Sebab walau terkadang
sinema masih bersandar dari teater dalam kasus
ini, tapi pencapaian akhirnya adalah berusaha
untuk melampauinya.
Karena mise en scene dengan manifestasinya yang
khas pada ilm, dapat menjadi sebuah justiikasi
Edisi 6 No. 1 Juli 2013

Hillier, Jim. Cahiers du Cinema he 1950s: Neo-Realism,
Hollywood, New Wave. Edited by Jim Hillier. Harvard
University Press, Cambridge, Massachusetts: 1985.
Hillier, Jim. Cahiers du Cinema he 1960s: New Wave, New
Cinema, Reevaluating Hollywood. Edited by Jim Hillier.
Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts:
1986.
Keathley, Christian. Cinephilia and History, or he Wind in
the Trees. Indiana University Press, Bloomington: 2006.

Cover majalah edisi pertama dari Cahiers du Cinema (April 1951)

Stam, Robert. Film heory; An Introduction. Blackwell
Publishers, Malden, Massachusetts: 2000.

Jurnal IMAJI | 24

Edisi 6 No. 1 Juli 2013

Jurnal IMAJI | 25