Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Ambon Dalam Perspektif Teori Identitas Sosial T2 752013009 BAB V

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Bertolak dari pemaparan hasil penelitian dan penggkajian dengan menggunakan
prespektif “Identitas Sosial” terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang
dapat disimpulkan mengenai akar-akar konflik Ambon yang berhubungan dengan perebutan
kekuasaan di sektor-sektor publik dalam pemerintahan:
1. Konflik di Ambon dipenuhi dengan pola patron-klien yang kemudian menjadi
penyebab konflik adalah penggunaan identitas agama secara diberhadap-hadapan
dalam konteks perebutan kekuasaan. Identitas keagamaan selalu menjadi faktor yang
paling menonjol diperhatikan dalam setiap penempatan suatu posisi dalam instansi
pemerintahan. Pada setiap pengangkatan pejabat di suatu instansi misalnya,
pertanyaan yang muncul adalah berasal dari etnik apa pejabat tersebut, apa agamanya,
dan bagaimana komposisi etnik dan agama di instansi tersebut. Stigma-stigma negatif
tersebut secara implisit menunjukan begitu kuatnya tarik-menarik kepentingan dari
masing-masing agama dalam perebutan kekuasaan di sektor-sektor publik dalam
pemerintahan. Hal tersebut menjadikan salah satu identitas kelompok agama merasa
didominasi, sehingga memunculkan identitas perlawanan yang dapat menyebabkan
konflik terjadi di Ambon.
2. Konflik komunal yang terjadi Maluku pada tahun 1999-2003 sendiri pada dasarnya

merupakan penyebab dari ketidakadilan dan marginalisasi suatu kelompok terentu
selama bertahun-tahun. Adapun agama yang selama ini disematkan dalam membaca
dan menganalisa konflik Ambon sebenarnya lebih tepatnya disebut faktor pendukung
(supporting conflict) karena pada dasarnya konflik lebih mengarah pada perebutan

76

sumber daya ekonomi, politik, dan birokrasi. Sejarah konflik Maluku memang
diwarnai praktik-praktik dominasi maupun subordinasi semenjak zaman pemeritahan
kolonial belanda hingga masa republik yang berimplikasi pada semakin tumbuhnya
potensi konflik laten. Konflik komunal di Maluku sendiri sebenarnya tidaklah tepat
jika diselesaikan melalui pendekatan hukum positif. Dalam studi ini telah
menunjukkan bahwa potensi kearifan lokal sendiri dalam masyarakat sebenarnya
memiliki potensi dalam merajut kembali kohesivitas masyarakat dalam proses
rekonsialisasi. Selain itu pula, faktor perimbangan juga menjadi penting dibicarakan
mengingat perebutan jabatan birokrasi sendiri merupakan inti konflik di Maluku.
3. Dalam dinamika perubahan sosial yang sedang dijalani dan dihadapi oleh kedua
kelompok agama masyarakat di Maluku (Ambon), memperlihatkan ketidakseimbangan hidup yang menimbulkan ketegangan dalam hubungan kemanusiaan dan
keagamaaan di Maluku. Perubahan signifikansi agama-agama, mengharuskan mereka
untuk memberi respons sosial yang memamadai demi menghadapi dinamika

perubahan itu. Dalam merespons perubahan itu, agama-agama di Maluku mesti
membangun dirinya demi kemajuan daerah ini. dengaan demikian pendekatan budaya
lokal serta menggali akar-akar di dalam budaya masyarakat Maluku seperti Pela
Gandong sebagai model Project identity yang dapat memperbaiki hubungan yang
telah renggang pasca konflik komunal di daerah ini.

77

5.2 Saran
Pada akhirnya perdamaian pasca-konflik menghadapi beberapa masalah utama yang
mesti siselesaikan, ialah bagaimana melakukan mencegahan supaya konflik komunal mudah
kembali terulang dan usaha konsolidasi perdamaian dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Persoalan ini sangat urgent dan menjadi tujuan utama dalam bekerjanya proses perdamaian.
Kapasitas lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga pendidikan di Maluku terkhususnya
Ambon untuk mengatasi Persoalan ini sangat penting dalam menentukan keberhasilan dan
pembangunan perdamaian di Maluku Pasca Konflik. Untuk itu ada beberapa saran yang
penulis rekomendasikan dalam pembangunan perdamain di Maluku:
1. Dalam kerangka kerja kelembagaan dalam pembangunan perdamaian pasca-konflik
harus dirumuskan bagaimana penentuan kebutuhan dilakukan sebagai acuan untuk
penentuan kebijakan, perencanaan dan implementasi pembangunan perdamaian.

Pembangunan perdamaian di Ambon pasca-konflik membutuhkan assesmen terhadap
kebutuhan-kebutuhan yang

diperlukan secara spesifik terkait dengan pemecahan

masalah-masalah utama dihadapi di Ambon pasca-konflik. Masalah utama
pembangunan perdamaian di Ambon pasca-konflik pada dasarnya bersumber dari tiga
hal, yaitu akar-akar struktural dan kultural konflik di masa lalu (kesenjangan,
ketidakadilan, krisis kelembagaan yang diperhadapkan dengan kebijakan-kebijakan
yang tidak adil) yang masih belum sepenuhnya teratasi, dampak konflik kekerasan di
masa lalu terhadap kemerosotan kualitas hidup warga (kemiskinan, pengangguran,
kesejahteraan sosial-ekonomi), dan belum efektifnya implementasi perjanjian damai
atau pembangunan perdamaian.
2. Respon kebijakan dari pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan di Maluku
khususnya Ambon disini penting diperkuat untuk mencapai perdamaian dan
pembangunan berkelanjutan. Berbagai bentuk respon dan intervensi kebijakan dan

78

pilihan-pilihan langkah-langkah agenda aksi, apakah pencegahan konflik, pencapaian

damai, resolusi konflik, atau pembangunan damai, dengan itu bisa dirumuskan sesuai
masalah dan kebutuhan dihadapi masing-masing tahapan konflik dan kapasitas lokal.
Menjawab kebutuhan ini, penting dirumuskan kerangka pendekatan bersifat refleksif
dan transformatif, untuk pencegahan konflik dan pemajuan perdamaian dalam
perspektif jangka panjang, bukan hanya mencegah berkembangnya potensi konflik,
mencegah agar konflik-kekerasan di Maluku pada masa lalu tidak kembali muncul,
dan potensi konflik baru tidak berkembang, tetapi juga untuk memajukan
pembangunan perdamaian.
3. Perlunya pendidikan perdamaian suatu aktivitas yang bersifat dinamis sehingga harus
dilakukan paca konflik di Kota Ambon. Ia tidak saja menciptakan atau menjaga
perdamaian, tetapi membangun dan membina kondisi damai itu sendiri yang mana
tidak terbatas dari segi waktu. Hal ini mengisyaratkan bahwa misi pendidikan
perdamaian merupakan aktivitas-aktivitas yang mungkin saja berawal dari fase
setelah konflik kekerasan berakhir, tetapi juga dimungkinkan untuk dimulai baik itu
pada fase pra-konflik maupun di tengah-tengah konflik itu sendiri. Dalam konsep
pendidikan perdamaiaian terkandung proses yang kompleks karena ia mengikut
sertakan berbagai tahapan dalam membangun perdamaian pada masayarakat secara
menyeluruh di Kota Ambon. Dari sini dapat dibayangkan bahwa aktivitas atau misi
perdamaian harus dan perlu mempertimbangkan dimensi psikologis, politis, kultural,
maupun ekonomis masyarakat dimana pendidikan perdamaian itu dilkukan.

Pendidikan perdamaian di daerah pasca-konflik selain harus sensitif terhadap konflik,
untuk mencegah segala kemungkinan munculnya kembali konflik ke permukaan, juga
harus dilihat sangat urgent

dalam mengusahakan perdamaian di Kota Ambon,

sehingga kebijakan dan agenda aksi digulirkan akan memberikan kontribusi yang luas

79

bagi terciptanya perdamaian di Ambon. Perluasan aktivitas untuk menciptakan
perdamaian semakin membuka ruang bagi partisipasi Maluku (Ambon) untuk
berkontribusi dalam membangun perdamaian dunia. Kota Ambon punya alasan kuat
untuk memberikan kontribusi besar bagi perdamaian dunia karena berkaca dari
konflik yang bekepanjangan. Tantangan yang dihadapi adalah menyiapkan program
dan personal yang terlibat dalam berbagai aktivitas perdamaian. Untuk itu kota
Ambon sudah seharusnya menjadi laboratorium perdamaian bukan lagi laboratorum
konflik.
4. Pada akhirnya studi mengenai perdamaian di Ambon merupakan bahasan
menarik yang perlu diteliti oleh penelitian-penelitian selanjutnya, terutama pasca

konflik berkepenjangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik sendiri tidak dapat
dimusnahkan hanya dapat direduksi perkembangannya. Maka yang menjadi persoalan
selanjutnya yang perlu dijawab dalam penelitian selanjutnya ialah: “Bagaimana
merjaut kehidupan yang terkoyak di Ambon dalam rekonstruksi pendidikan
perdamaian pasca konflik”. Tulisan-tulisan tentang perdamaian di Ambon masi sangat
minim di teliti untuk itu penulis merasa pendidikan perdamaian sangat urgent untuk
diteliti lebih lanjut oleh penelitian-penelitian selanjutnya.

80