Puji Astuti BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perawat

  1. Pengertian Perawat (nurse) berasal dari bahasa latin yaitu kata nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Menurut Kusnanto (2003), perawat adalah seseorang (seorang profesional) yang mempunyai kemampuan, tanggung jawab dan kewenangan melaksanakan pelayanan/asuhankeperawatan pada berbagai jenjang pelayanan keperawatan. Menurut Harlley, (1997) menjelaskan pengertian dasar seorang perawat yaitu seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injuri, dan proses penuaan. Perawat profesional adalah perawat yang bertanggungjawab dan berwenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya sesuai dengankewenangannya (Depkes RI, 2002).

  Menurut Hidayat tahun 2004 peran perawat terdiri dari :

  a. Sebagai pemberi asuhan keperawatan Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan.

  13 b. Sebagai advokat klien Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasiennya, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.

  c. Peran sebagai edukator Peran ini dilakukan untuk meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan dan kemampuan klien mengatasi kesehatanya, dan perawat memberi informasi dan meningkatkan perubahan perilaku klien.

  d. Peran sebagai koordinator Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien. Tujuan perawat sebagi koordinator adalah untuk memenuhi asuhan kesehatan secara efektif, efisien dan menguntungkan klien, pengaturan waktu dan seluruh aktifitas atau penanganan pada klien, dan menggunakan keterampilan perawat untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, dan mengontrol. e. Peran sebagai kolaborator Perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter fisioterapis, ahli gizi, dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.

  f. Peran sebagai konsultan Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan.

  g. Peran sebagai pembeharu Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan. Peran perawat sebagai pembeharu dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya, kemajuan teknologi, perubahan Lisensi-regulasi, meningkatnya peluang pendidikan lanjutan, dan meningkatnya berbagai tipe petugas asuhan kesehatan.

  2. Fungsi Perawat :

  

Menurut Hidayat, (2004) dalam menjalankan perannya, perawat akan

melaksanakan berbagai fungsi diantaranya :

  a. Fungsi Independen Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan kebutuhan fisiologis (pemenuhan kebutuhan oksigenasi, pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit, pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan kebutuhan aktivitas, dan lain-lain), pemenuhan kebutuhan keamanan dan kenyamanan, pemenuhan kebutuhan cinta mencintai, pemenuhan kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri.

  b. Fungsi Dependen Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan atau instruksi dari perawat lain. Sehingga sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana.

  c. Fungsi Interdependen Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan di antara tim satu dengan lainya fungsi ini dapat terjadi apa bila bentuk pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderaita yang mempunyai penyakit kompleks keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun lainya, seperti dokter dalam memberikan tanda pengobatan bekerjasama dengan perawat dalam pemantauan reaksi obat yang telah diberikan.

  3. Perhitungan tenaga perawat:

  a. Formula Gilies (1994)

  Tenaga Perawat (TP) = A x B x 365

  (363- C) x jam kerja/ hari Keterangan : A = Jam Perawatan/ 24 jam waktu perawatan yang dibutuhkan pasien B = Sensus harian BOR x jumlah tempat C = Jumlah hari libur 365 = Jumlah hari kerja selama setahun b. Formula Hasil Lokakarya Persatuan Nasional Indonesia (PPNI)

  ( TP) =

  Ax 52 (Mg) x 7 Hr (TT x BOR) + 25% 41 (Mg) x 40 Jam / MG Keterangan: TP : Total Perawat A : Jumlah Perawatan / 24 jam BOR : Bed Occupancy Rate

B. Stress

  1. Pengertian Stres adalah reaksi individu terhadap situasi, dan situasi tersebut dapat menimbulkan tekanan yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan respon spesifik tubuh atau merupakan respon dari stressor yang ada. Stress adalah reaksi atau respons tubuh terhadap stressor psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan) (Hawari, 2001). Stress juga bisa dikatakan sebagai gangguan pada tubuh dan fikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan, yang dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan tersebut (Cornelli, 2000).

  Setiap orang akan mengalami stres dari waktu ke waktu, dan normalnya setiap orang mempunyai kemampuan untuk beradaptasi baik dalam jangka waktu yang lama maupun pendek. Dalam dunia yang berubah ini, manusia harus mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, baik lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan ataupun lingkungan pekerjaan agar tidak mengalami stress situasi. Stres bisa menyebabkan gangguan fisik dan kejiwaan. Problem ini bisa berakibat berkurangnya kemampuan mental dan intelektual mereka yang terkena.

  Hubungan sosial dan pekerjaan juga bisa terganggu, kalau tidak diatasi akan menimbulkan masalah selanjutnya.

  2. Kriteria Tingkat stress Hubungan stadium perkembangan sakit dengan stress, Potter & Perry (2005) telah membagi hubungan tingkat stress dengan kejadian sakit yaitu, meliputi: a. Stres ringan, biasanya tidak merusak aspek fisiologis, sebaliknya stress sedang dan berat mempunyai resiko terjadinya penyakit, stress ringan umumnya dirasakan oleh setiap orang misalnya lupa ketiduran, kemacetan, dikritik. Situasi seperti ini biasanya berakhir dalam beberapa menit atau beberapa jam. Situasi seperti ini nampaknya tidak akan menimbulkan penyakit kecuali jika dihadapi terus menerus.

  b. Stres sedang, terjadi lebih lama beberapa jam sampai beberapa hari contohnya kesepakatan yang belum selesai, beban kerja yang berlebih, mengharapkan pekerjaan baru, anggota keluarga pergi dalam waktu yang lama. Situasi seperti ini dapat bermakna bagi individu yang mempunyai faktor predisposisi suatu penyakit koroner.

  c. Stres berat, adalah stress kronis yang terjadi beberapa minggu sampai beberapa tahun, misalnya hubungan suami istri yang tidak harmonis, kesulitan financial dan penyakit fisik yang lama. Tingkatan stress menurut Dr. Robert J. Van Amberg (1979) dalam Agoes (2003) antara lain:

  a. Stress tahap 1, merupakan tahapan stress yang paling ringan dan menggembirakan / membangun, biasanya ditandai oleh semangat kerja yang berlebih, senang dengan pekerjaannya, dan secara tidak sadar menyebabkan cadangan energi menipis.

  b. Stress tahap 2, dampak stress yang semula menyenangkan sebagaimana diuraikan pada tahap 1 mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan lelah yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari karena tidak cukup waktu untuk beristirahat.

  c. Stress tahap 3, bila seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya, maka keluhan lelah semakin nyata, mulai muncul perasaan tidak tenang, meningkatnya ketegangan emosional, insomnia, dan koordinasi tubuh terganggu. Pada tahapan ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk memperoleh terapi, atau mengurangi beban stressnya dan tubuh memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai energi yang mengalami deficit, mulai timbul kelelahan / keluhan fisik semu yang apabila diperiksakan ke dokter seringkali oleh dokter dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya.

  d. Stress tahap 4, tahapan ini terjadi bila seseorang merasakan keluhan semu pada tahap 3 namun tetap memaksakan dirinya untuk bekerja tanpa istirahat yang cukup, mulai merasakan kebosanan / kejenuhan terhadap pekerjaan yang semula menyenangkan, respon melambat, konsentrasi menurun, dan timbul rasa takut dan cemas.

  e. Stress tahap 5, ditandai dengan ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana, ketakutan dan kecemasan semakin meningkat, timbul perasaan bingung dan panik.

  f. Stress tahap 6, merupakan tahapan klimaks, seseorang sering mengalami serangan panik dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang pada tahapan ini berulang-kali dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ke ICCU, meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh.

  Tingkat stres merupakan hasil penilaian terhadap berat ringannya stress yang dialami seseorang (Hardjana, 1994). Tingkatan stres ini diukur dengan menggunakan Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) oleh Lovibond

  & Lovibond (1995). Psychometric Properties of The Depression Anxiety

  

Stress Scale 42 (DASS) terdiri dari 42 item. DASS adalah seperangkat skala

  subyektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres. DASS 42 dibentuk tidak hanya untuk mengukur secara konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku di manapun dari status emosional, secara signifikan biasanya digambarkan sebagai stres. Tingkatan stres pada instrumen ini berupa normal, ringan, sedang, berat, sangat berat. Psychometric Properties of The

  Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS)

  terdiri dari 42 item, yang dimodifikasi dengan penambahan item menjadi 49 item, penambahannya dari item 43-49 yang mencakup 3 subvariabel, yaitu fisik, emosi/psikologis, dan perilaku. Jumlah skor dari pernyataan item tersebut, memiliki makna 0- 29 (normal); 30-59 (ringan); 60-89 (sedang); 90-119 (berat); >120 (Sangat berat).

  Lingkungan kerja, sebagaimana lingkungan-lingkungan lainnya, juga menuntut adanya penyesuaian diri dari individu yang menempatinya.

  Dengan demikian, dalam lingkungan kerja ini individu memiliki kemungkinan untuk mengalami suatu keadaan stres. Stres kerja dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan tegang yang dialami di dalam suatu organisasi. Stres ini dapat merupakan akibat dari lingkungan fisik, sistem dan teknik dalam organisasi, interaksi sosial interpersonal, isi atau struktur pekerjaan, tingkah laku individu sebagai anggota, dan aspek-aspek organisasi lainnya. Stres kerja dapat didefinisikan sebagai kombinasi antara sumber- sumber stress pada pekerjaan, karakteristik individual, dan stressor di luar organisasi (Greenberg, 2002).

  3. Faktor- faktor penyebab stress Menurut Greenberg (2002) ada 3 faktor yang menyebabkan stress kerja, antara lain: a. Faktor stress kerja yang bersumber pada pekerjaan antara lain; sumber intrinsik pada pekerjaan, yaitu meliputi kondisi kerja yang sangat sedikit menggunakan aktifitas fisik, beban kerja yang berlebihan, waktu kerja yang menekan, resiko atau bahaya secara fisik; Peran di dalam organisasi, yaitu antara lain peran yang ambigu, konflik peran, tanggungjawab kepada orang lain, konflik batasan- batasan reorganisasi (conflicts reorganization boundaries) baik secara internal maupun eksternal; Perkembangan karir, dapat terdiri dari promosi ke jenjang yang lebih tinggi atau penurunan tingkat, tingkat keamanan kerja yang kurang, ambisi perkembangan karir yang mengalami hambatan; hubungan relasi di tempat kerja, meliputi antara lain kurangnya hubungan relasi dengan pimpinan, rekan sekerja, atau dengan bawahan, serta kesulitan dalam mendelegasikan tanggung jawab; struktur organisasi dan iklim kerja, yaitu antara lain karena terlalu sedikit atau bahkan tidak ada partisipasi dalam pembuatan keputusan atau kebijakan, hambatan dalam perilaku( misalnya karena anggaran), politik di tempat kerja, kurang efektifnya konsultasi yang terjadi. b. Faktor stress kerja yang bersumber pada karakteristik individu antara lain; tingkat kecemasan, Tingkat neurotisme individu, toleransi terhadap hal yang ambigu / ketidakjelasan, dan Pola tingkah laku tipe A yaitu tingkah laku seseorang yang rentan terhadap stress karena sering merasa mudah tersinggung, terdesak oleh tenggang waktu, menganggap serius semua hal dan mudah marah terhadap peristiwa sepele.

  c. Faktor stress kerja yang bersumber di luar organisasi, yaitu; masalah- masalah dalam keluarga, peristiwa krisis dalam kehidupan, kesulitan secara financial.

  Menurut Hudak (1997) ada 3 faktor yang mengakibatkan perawat mengalami stress kerja di unit perawatan kritis, antara lain; hubungan yang kurang baik dengan penyelia, dokter, rekan perawat, pasien dan keluarga pasien; perawat menciptakan harapan yang tinggi atas diri mereka sendiri sebagai cara untuk mempertahankan keseimbangan emosional; kejenuhan, sebab kejenuhan ini antara lain karena pekerjaan rutin yang diulang- ulang ( pergantian shift/ pergiliran shift), setiap langkah harus ditulis, perpindahan perawat dari tempat lain, situasi akut yang sering terjadi, bahaya fisik, antara lain karena ancaman tertusuk jarum suntik dan terpapar sinar radiasi, mengangkat beban yang terlalu berat, pasien yang tidak sadar, teman sejawat yang bingung, bunyi maupun suara yang terus menerus dari alat monitor maupun dari pasien yang menjerit, menangis, atau merintih, dan terlalu sering melihat dan mencium bau tubuh pasien yang mengeluarkan darah, muntahan, urin, juga feses yang mengotori tubuh dan ranjang pasien.

  Dilain pihak terdapat faktor luar dari tempat pekerjaan yang dapat mempengaruhi munculnya stress kerja, yaitu; kekuatiran finansial, masalah yang berkaitan dengan anak, masalah kesehatan fisik, masalah keluarga; misalnya perkawinan, perceraian, bertambahnya anggota keluarga, perubahan yang terjadi di tempat tinggal, dan masalah lain seperti kematian anggota keluarga, sanak saudara.

  Seyle dalam Munandar (2001) mengategorikan jenis stress menjadi dua, yaitu: a. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stress yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif ( bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat

  performance yang tinggi.

b. Distress , Yaitu hasil dari respon terhadap stress yang bersifat tidak

  sehat, negative, destruktif( bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran ( absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.

  4. Gejala dan cara mengatasi stress Cooper & Straw (1995) mengemukakan gejala stress dapat berupa tanda- tanda berikut ini: a. Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot- otot tegang, pencernaan terganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah.

  b. Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa- apa, gelisah, gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jernih, sulit membuat keputusan, hilangnya kreatifitas, hilangya gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain.

  c. Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati- hati menjadi cermat yang berlebihan, cemas menjadi lekas panic, kurang percaya diri menjadi rawan, penjengkel menjadi meledak- ledak.

  Sedangkan gejala stress di tempat kerja, yaitu meliputi; kepuasan kerja rendah, kinerja yang menurun, semangat dan energy menjadi hilang, komunikasi tidak lancar, pengambilan keputusan jelek, kreatifitas dan inovasi kurang, dan bergulat pada tugas- tugas yang tidak produktif.

  Cara mengatasi stress di tempat kerja dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan individu dan secara organisasi, bagi individu sangat penting dilakukan penangananan karena dampak stress dapat mempengaruhi kehidupan, kesehatan, produktivitas dan penghasilan secara ekonomis. Bagi organisasi, bukan karena suatu wadah kemanusiaan tetapi merupakan semua aspek dari organisasi dan efektifitas organisasi secara keseluruhan.

  1) Penanggulangan stress secara individu

  a. Meningkatkan keimanan Individu hendaknya selalu mensyukuri akan apa yang telah dicapai saat ini apa yang dimiliki saat ini, rasa syukur menyebabkan seseorang mempunyai sifat yang sabar, tidak berprasangka buruk terhadap Tuhan. Selalu berfikir positif jika dihadapkan kepada suatu cobaan, berfikirlah bahwa cobaan yang lebih berat dari yang kita rasakan juga pernah dicobakan kepada orang- orang selain diri kita sendiri, jadi individu tidak sedang sendirian mengalami cobaan.Dengan demikian dapat berharap stress/ ketegangan psikologis dalam hidup dapat dikurangi.

  b. Meditasi dan pernafasan Meditasi dan pengaturan pernafasan dapat membantu mengurangi ketegangan psikologis, karena melakukan meditasi dapat menghilangkan fikiran yang membebani. Sedangkan pengaturan pernafasan dapat membantu memaksimalkan sirkulasi oksigen keseluruh jaringan tubuh sehingga diperoleh kesegaran jasmani yang maksimal. c. Menyalurkan energi melalui kegiatan olahraga, olahraga disamping dapat melupakan ketegangan psikologis karena didalam berolahraga terdapat unsur rekreasi.

  d. Melakukan relaksasi Seorang yang sedang mengalami stress dapat mengalami ketegangan fisik maupun psikologis, yang langsung ataupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan psikologis. Oleh karena itu relaksasi yang dilakukan dapat mengendorkan ketegangan syaraf dan otot selama stress berlangsung.

  e. Dukungan dari teman dan dukungan sosial keluarga Dukungan dari teman dan keluarga sangat diperlukan oleh seorang yang mengalami stress dan kecemasan, karena dengan mendapatkan dukungan dari orang lain seseorang yang mengalami stress dan kecemasan tidak sendirian merasakan masalah yang dihadapinya.

  f. Hindari kebiasaan/ kegiatan rutin yang membosankan Buatlah jadwal kegiatan baru, yang lebih bervariasi untuk menyelesaikan tugas- tugas harian. Untuk menghindari kejenuhan atau kebosanan di tempat kerja, awali pekerjaan dengan rasa gembira dan semangat, anggap pekerjaan itu adalah suatu permainan yang menyenangkan.

  2). Penanggulangan secara organisatoris Manajer suatu organisasi harus tanggap terhadap masalah yang terjadi dilingkungan kerja yang menjadi tanggungjawabnya.

  Sebagai iklim kerja yang tidak kondusif, pekerjaan yang diwarnai dengan persaingan tidak sehat, dan tidak sportif merupakan sumber stressor yang umumnya terjadi ditempat kerja.

  a. Perbaikan iklim kerja Iklim kerja adalah persepsi pekerja terhadap lingkungan kerjanya yang menggambarkan persepsi karyawan terhadap lingkungan kerja mereka. Persepsi akan mempengaruhi motivasi dan inovasi serta kepuasan kerja mereka, sehingga memungkinkan semua karyawan dalam suatu tempat kerja dapat memandang tempat kerja itu sebagai tempat yang hebat untuk bekerja, kondisi kerja yang menguntungkan, tugas pekerjaan yang menarik, upah yang baik, manajemen yang bijaksana dan bertanggungjawab.Perbaikan iklim kerja adalah upaya untuk memberikan kepastian dalam menjalankan organisasi, meningkatkan kinerja, meningkatkan motivasi, meningkatkan disiplin kerja, menurunkan angka ketidakhadiran (burn out).

C. Kejenuhan Kerja

  1. Pengertian Kejenuhan adalah rasa yang sering timbul selain rasa malas.

  Permasalahan akan timbul apabila stres terjadi dalam jangka waktu yang lama dengan intensitas yang tinggi akan mengakibatkan individu mengalami kejenuhankerja atau biasa disebut dengan burnout. Kelelahan menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara pada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh (Tarwaka, 2004).

  Kejenuhan kerja (job bournout) adalah sejenis stress yang banyak dialami oleh orang-orang yang bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan pelayanan terhadap manusia lainnya seperti perawat kesehatan, transportasi, kepolisian, dan sebagainya (Schuler, 1999). Kejenuhan kerja atau job burnout merupakan suatu keadaan penderitaan psikologis yang mungkin dialami oleh seorang pekerja yang berpengalaman setelah bekerja untuk suatu periode waktu tertentu. Sindrom ini terdiri dari 3 gejala yaitu depersonalisasi, keletihan emosional dan penurunan prestasi pribadi (Maslach, 1993).

  Depersonalisasi adalah suatu perasaan aneh tentang dirinya atau perasaan bahwa pribadinya sudah tidak seperti biasa lagi, tidak sesuai dengan kenyataan. Kelelahan emosional, merupakan reaksi terhadap kondisi yang dialami pemberi pelayanan ( karyawan, guru, dokter dll ) karena adanya tuntutan emosional yang dipandang berlebihan dari penerima pelayanan. Sehingga akibat dari hal tersebut, terjadi kehilangan minat dan semangat serta rasa lelah dari pemberi pelayanan. Penurunan prestasi pribadi, munculnya respon negative terhadap diri sendiri dan prestasi kerja, seperti merasa tidak bahagia, tidak puas, rasa bersalah, merasa gagal, menilai diri sendiri tidak mampu dan sebagainya.

  2. Penyebab kejenuhan kerja Sindrom kejenuhan tersebut dapat terjadi karena beberapa penyebab antara lain beban kerja, dukungan sosial dan konflik peran.

  Sindrom kejenuhan ini akan menjadi suatu stressor pada perawat yang bekerja shift malam di ruang perawatan intensif ( ICU dan HCU) sehingga dapat memberikan dampak terhadap ambang stres mereka. Kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja (Nurmianto, 2003). Selain itu penyebab kejenuhan kerja yaitu keadaan monoton, beban dan lamanya pekerjaan baik fisik maupun mental, keadaan lingkungan seperti cuaca kerja, penerangan dan kebisingan, keadaan kejiwaan seperti tanggung jawab, kekhawatiran atau konflik, serta penyakit, perasaan sakit, dan keadaan gizi.

  Kejenuhan kerja mungkin merupakan akibat stress kerja yang paling umum. Menurut Greenberg, (2002) burnout atau kejenuhan yang merupakan suatu sindrom kelelahan emosional, fisik dan mental berhubungan dengan rendahnya perasaan harga diri disebabkan

  Penelitian yang telah penderitaan stress yang intens dan berkepanjangan. banyak dilakukan menyatakan bahwa penyebab timbulnya burnout

  

behubungan dengan sebab-sebab yang luas. Burnout berasal dari stres kerja

yang berkepanjangan, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi burnout

dapat dikenali melalui penyebab stres kerja. Gejala khusus pada kejenuhan

  kerja antara lain kebosanan, depresi, pesimisme, kurang konsentrasi, kualitas kerja buruk, ketidakpuasan, keabsenan, dan kesakitan/ penyakit.

  Walaupun beban kerja yang berlebihan dikatakan sebagai penyebab paling umum dari kejenuhan kerja, kebosanan kerja tampaknya cukup berpotensi untuk menyebabkan keletihan kerja. Pada kedua kasus tersebut, pekerja merasa bahwa dirinya hanya memiliki sedikit kontrol terhadap faktor- faktor ditempat kerja atau bahkan tidak memiliki kontrol sama sekali. Keputusasaan terhadap situasi ini dapat menyebabkan gejala penyakit dan kesakitan.

  Menurut Lee & Ashforth (1996), ada beberapa faktor eksternal yang menyebabkan burnout, yaitu: b. Tekanan pekerjaan, seperti ambiguitas yaitu keadaan dimana karyawan tidak tahu apa yang harus dilakukan, menjadi bingung, dan menjadi tidak yakin karena kurangnya pemahaman atas hak-hak dan kewajiban yang dimiliki karyawan yang melakukan pekerjaan. Konflik peran, yaitu suatu perangkat harapan atau lebih berlawanan dengan lainnya sehingga dapat menjadi penekanan yang penting bagi sebagian orang.

  Stres kerja, apabila tekanan yang dialami karyawan bersifat menetap dalam jangka waktu yang lama, maka kan menyebabkan burnout karena kondisi tubuhnya tidak mampu membangun kembali kemampuannya untuk menghadapi pemicu stres. Beban kerja, apabila seorang karyawan menanggung banyak pekerjaan dalam waktu relatif singkat, maka dapat membuat karyawan tertekan dan akan menyebabkan burnout.

  c. Dukungan, seperti dukungan sosial, yaitu tersedianya sumber yang dapat dipanggil ketika dibutuhkan untuk memberi dukungan, sehingga orang tersebut cenderung lebih percaya diri dan sehat karena yakin ada orang lain yang membantunya saat kesulitan. Dukungan keluarga, keluarga mempunyai andil besar untuk meringankan beban yang dialami meskipun hanya dalam bentuk dukungan emosional, yaitu perilaku memberi perhatian dan mendengarkan dengan simpatik. Dukungan teman sekerja, teman sekerja yang suportif memungkinkan karyawan menanggulangi tekanan pekerjaan. Kekompakan suatu kelompok, beberapa ahli mengatakan bahwa hubungan yang baik antara beberapa anggota kelompok kerja merupakan faktor penting dalam kesejahteraan dan kesehatan organisasi.

  Menurut Hudak, (1997) penyebab kejenuhan kerja antara lain karena beban kerja berlebih, kesulitan menjalin hubungan dengan staff lain, kesulitan dalam merawat pasien kritis, berurusan dengan pengobatan pasien, dan merawat pasien yang gagal membaik.

  a. Beban kerja yang berlebih Beban kerja perawat yang berlebih akan memberikan dampak terhadap kualitas layanan, terutama dalam meningkatkan kinerja perawat pelaksana. Selain terganggunya kinerja perawat, juga dapat menimbulkan stres pada pekerjaan, kebosanan atau kejenuhan, kelelahan mental, dan menurunnya efektifitas kerja. Adapun dampak psikologis yang dirasakan akibat beban kerja yang tinggi adalah stres, ketegangan dan kebosanan atau kejenuhan dan ada pula perasaan jengkel, wring march atau meningkatnya emosi (Qadarsyah, 2006).

  b. Kesulitan menjalin hubungan dengan staf lain, misalnya mengalami konflik dengan teman sejawat, mengetahui orang lain tidak menghargai kerja keras yang dilakukan, dan gagal bekerja sama dengan tim kesehatan yang lain.

  c. Kesulitan merawat pasien kritis, misalnya menjalankan peralatan yang belum dikenal, mengelola prosedur atau tindakan baru dan bekerja dengan dokter yang menuntut jawaban dan tindakan yang cepat.

  d. Berurusan dengan pengobatan atau perawatan pasien, misalnya bekerja dengan dokter yang tidak memahami kebutuhan sosial dan emosional pasien, terlibat dalam ketidaksepakatan pada program tindakan, merasa tidak pasti sejauh mana harus memberi informasi pada pasien atau keluargadan merawat pasien yang sulit untuk bekerja sama dengan tindakan yang akan dilakukan.

  e. Merawat pasien yang gagal membaik, misalnya pasien lansia, pasien nyeri kronis atau mereka yang meninggal selama perawatan.

  Kejenuhan ini juga karena adanya tugas atau tuntutan dalam Pelayanan di ICU dan HCU, yaitu antara lain Resusitasi jantung paru, Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakeal dan penggunaan ventilator sederhana, terapi oksigen, pemantauan EKG, pulse oksimetri yang terus menerus, pemberian nutrisi enteral dan parenteral, pemeriksaan laboratorium khusus dengan cepat dan menyeluruh, pelaksanaan terapi secara titrasi, kemampuan melaksanakan teknik khusus sesuai dengan kondisi pasien, memberikan tunjangan fungsi vital dengan alat-alat portabel selama transportasi pasien gawat, dan kemampuan melakukan fisioterapi dada ( Depkes RI, 2003).

  Menurut Cherniss, (1980) dalam George (2005) terdapat empat alasan kejenuhan kerja penting diberi perhatian jika melibatkan pelayanan manusia. Pertama, kejenuhan mempengaruhi moralitas kerja dan kesejahteraan psikologikal pekerja. Kedua, kejenuhan mempengaruhi kualitas pelayanan dan treatment yang diberikan kepada klien. Ketiga, kejenuhan sangat mempengaruhi keberfungsian administrasi yang mengakibatkan kegagalan program-program pelayanan yang dijalankan.

  Keempat

  , kejenuhan kerja yang dialami pekerja pelayanan manusia jarang diberi perhatian sebab mereka inilah yang selalu diharapkan dapat memberikan pertolongan bagi meningkatkan kesejahteraan psikologikal klien.

  3. Ciri ciri dan cara mengatasi kejenuhan kerja Menurut Pines & Aronson (1989) ciri-ciri umum burnout, yaitu

  Sakit fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam, sakit punggung, tegang pada otot leher dan bahu, sering flu, susah tidur, rasa letih yang kronis.

  Kelehan emosi dicirikan seperti rasa bosan, mudah tersinggung, sinisme, suka marah, gelisah, putus asa, sedih, tertekan, tidak berdaya. Kelelahan mental dicirikan seperti acuh tak acuh pada lingkungan, sikap negatif terhadap orang lain, konsep diri yang rendah, putus asa dengan jalan hidup, merasa tidak berharga.

  Tidak dapat dipungkiri, tiap orang pada suatu titik tertentu pasti akan mengalami yang disebut dengan kejenuhan, meskipun derajat dan frekuensi kemunculannya masih sangat bervariatif tergantung persepsi seseorang terhadap lingkungan, kondisi, karakter dan toleransi dari masing-masing orang terhadap kondisi diluar dirinya. Ada beberapa cara mengatasi kejenuhan kerja yaitu, mengatur rencana kerja dengan baik, mengatur solusi untuk setiap masalah kerja yang dihadapi perawat ICU dan HCU, bangun suasana kerja yang menyenangkan, melakukan pekerjaaan kecil untuk merefresh pikiran, di saat libur sempatkan olahraga. Karakteristik yang akan tampak pada diri individu yang mengalami kejenuhan kerja yaitu kelelahan yang kronis ( chronically

  exhausted), kesinisan dan terlepas dari pekerjaan (cynical and dethaced from work ), dan perasaan meningkatnya ketidakefektifan dalam bekerja

  (increasingly ineffective in the job) (Hudak & Gallo, 1997).

  D.Shift Kerja

  1. Pengertian Menurut Suma’mur (1996) dalam Sofie (2009), shift kerja merupakan pola waktu kerja yang diberikan pada tenaga kerja untuk mengerjakan sesuatu oleh perusahaan dan biasanya dibagi atas kerja pagi, sore dan malam. Pekerjaan shift mempunyai jadwal di luar jam kerja normal (jam 08.00

  • – 17.00) atau berbeda dengan hari kerja biasa, dimana pada hari kerja biasa pekerjaan dilakukan secara teratur pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya sedangkan shift kerja dapat dilakukan lebih dari satu kali untuk memenuhi jadwal 24 jam/ hari. Para perawat tersebut bekerja dalam shift pagi, siang dan malam. Seperti yang terjadi pada sistem shift di rumah sakit, terdiri dari tiga shift yaitu shift pagi pukul 07.00-14.00, shift siang pukul 14.00-21.00, dan shift malam pukul 21.00-

  07.00 WIB. Dilihat dari pembagian shift tersebut maka shift malam mempunyai jam kerja paling lama dari shift pagi dan shift siang.

  Dengan sistem yang diberlakukan, tidak semua orang dapat menyesuaikan diri dengan sistem kerja shift. Kerja shift membutuhkan banyak sekali penyesuaian waktu, seperti waktu tidur, waktu makan dan waktu berkumpul bersama keluarga. Secara umum, semua fungsi tubuh berada dalam keadaan siap digunakan pada siang hari. Dalam Pasal 1 Point J Surat Keputusan Direksi No. KN 005/2004 Tentang Waktu Kerja dan Lembur Karyawan menyebutkan bahwa “Jam kerja adalah waktu yang ditetapkan sebagai jam kerja karyawan oleh perusahaan. Jam kerja dalam perusahaan terbagi atas jam kerja normal dan sistem shift (Munandar, 2001 dalam Efendi, 2009).

  2. Pola shift kerja Berdasarkan tuntutan operasional yang menuntut untuk bekerja selama 24 jam sehari, rumah sakit menerapkan sistem pekerja gilir (shift kerja). Dengan sistem tersebut, banyak pekerja gilir yang mengalami kelelahan dan kejenuhan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain lingkungan kerja, riwayat penyakit, beban kerja, sifat pekerjaan, shift kerja, faktor individu, dan faktor psikologis (Grundy et. al., 2009).

  Dalam aspek-aspek penentu kepuasan kerja karyawan, jam kerja merupakan bagian dari kondisi kerja yang menjadi salah satu indikator dalam mempengaruhi kepuasan kerja karyawan (Munandar, 2001). Monk dan Folkard (dalam Kyla, 2008) mengkategorikan tiga jenis sistem shift kerja, yaitu shift permanen, sistem rotasi cepat, dan sistem rotasi shift lambat. Dalam hal sistem shift rotasi, pengertian shift kerja adalah kerja yang dibagi secara bergilir dalam waktu 24 jam. Pekerja yang terlibat dalam sistem shift rotasi akan berubah-ubah waktu kerjanya, pagi, sore dan malam hari, sesuai dengan sistem kerja shift rotasi yang ditentukan.

  Di Indonesia, sistem shift yang banyak digunakan adalah sistem shift dengan pengaturan jam kerja secara bergilir mengikuti pola 5-5-5 yaitu lima hari shift pagi (08.00-16.00), lima hari shift sore (16.00-24.00) dan lima hari shift malam (24.00-08.00) diikuti dengan dua hari libur pada setiap akhir shift.

  Sistem kerja shift rotasi ada yang bersifat lambat, ada yang bersifat cepat. Dalam sistem kerja shift rotasi yang bersifat lambat, pertukaran shift berlangsung setiap bulan atau setiap minggu, misalnya seminggu kerja malam, seminggu kerja sore dan seminggu kerja pagi. Sedangkan dalam sistem kerja shift rotasi yang cepat, pertukaran shift terjadi setiap satu, dua, atau tiga hari. pada sistem shift rotasi terdapat aspek positif dan aspek negatif. Aspek positifnya adalah memberikan lingkungan kerja yang sepi khusunya shift malam dan memberikan waktu libur yang banyak. Sedangkan aspek negatifnya adalah penurunan kinerja, keselamatan kerja dan masalah kesehatan. Kinerja menurun selama kerja shift malam yang diakibatkan oleh efek fisiologis dan efek psikososial. Menurunnya kinerja dapat mengakibatkan kemampuan mental menurun yang berpengaruh terhadap perilaku kewaspadaan pekerjaan seperti kualitas kendali dan pemantauan (Scott & LaDou, dalam Adnan, 2002).

  Tidak semua orang dapat menyesuaikan diri dengan sistem kerja shift. Kerja shift membutuhkan banyak sekali penyesuaian waktu, seperti waktu tidur, waktu makan dan waktu berkumpul bersama keluarga. Secara umum, semua fungsi tubuh berada dalam keadaan siap digunakan pada siang hari. Sedangkan pada malam hari adalah waktu untuk istirahat dan pemulihan sumber daya (energi). Seorang karyawan yang merasakan ketidakpuasan terhadap pekerjaanya sebagian besar ketika dihadapkan pada jadwal shift malam. Rasa kantuk yang sering dialami dirinya dan rekan kelompoknya dapat membuat tingkat konsentrasi menurun dan kurang fokus dalam melakukan pekerjaannya. Menurunnya konsentrasi dan kurang fokusnya pada diri individu seringkali membuat individu tidak teliti dalam melakukan pekerjaanya yang mengakibatkan tingkat kesalahan atau kelalaian semakin besar. Sehingga hasil dari pekerjaan yang mereka lakukan tidak memberikan kepuasan pada diri mereka terhadap pekerjaannya (Adnan, 2002).

  3. Aspek aspek shift kerja Menurut Tayyari dan Smith, (1997) aspek

  • – aspek yang dipengaruhi adanya shift kerja, yaitu:

  a. Aspek Fisiologis Masalah utama dari sisi faal tubuh terhadap penggunaan shift kerja adalah circardian rhythm individu yang sulit dirubah. Circadian rhythm, yaitu proses-proses yang saling berhubungan yang dialami tubuh untuk menyesuaikan dengan perubahan waktu selama 24 jam (Tayyari & Smith, 1997). Temperatur tubuh mempunyai pola normal seperti pola sinusoidal, maksimum sekitar pukul 4 sore dan minimun pada sekitar pukul 4 pagi. Pola yang sama juga diikuti oleh mekanisme internal tubuh yang lain, seperti jantung, pernapasan, hormon, pencernaan, dsb.

  Seseorang yang berganti shift membutuhkan waktu penyesuaian agar pola sinusoidal berubah mengikuti irama kerja yang bersangkutan. Hal ini bisa jadi membutuhkan waktu tidak cukup seminggu. Namun pola tersebut tidak berubah total, sehingga tetap tidak mungkin melakukan adaptasi 100%.

  Circadian rhythms menjadi dasar fisiologis dan psikologis pada

  siklus tidur dan bangun harian. Fungsi dan tahapan fisiologis dan psikologis memiliki suatu circadian rhythms yang tertentu selama 24 jam sehari, sehingga circadian rhythms seseorang akan terganggu jika terjadi perubahan jadwal kegiatan seperti perubahan shift kerja. Dengan terganggunya circadian rhythms pada tubuh pekerja akan terjadi dampak fisiologis pada pekerja seperti gangguan gastrointestinal, gangguan pola tidur dan gangguan kesehatan lain. Circadian rhythms berhubungan dengan suhu tubuh, tingkat metabolisme, detak jantung, tekanan darah, dan komposisi kimia tertentu pada tubuh. Circadian rhythms dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti terang, gelap, dan suhu lingkungan.

  Pekerja shift memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan pekerja tanpa shift. Studi di Denmark melaporkan adanya peningkatan risiko kanker payudara pada perempuan usia 30-54 tahun yang bekerja di malam hari seperti pramugari, perawat, penyiar dan operator telepon. Theorell dan Åkerstedt menunjukkan bahwa serum konsentrasi kalium, asam urat, gula darah, kolesterol dan kadar lemak total meningkat selama bekerja malam hari. Koller dkk di Austria menemukan prevalensi penyakit metabolik 3,5% pada pekerja shift, dan 1,5% pada pekerja non shift. Prevalensi diabetes (kencing manis) ditemukan meningkat dengan meningkatkan paparan shift kerja. (http://www.dokterku-online.com/index.php/article/50- dampak-bagi-pekerja-shift-gilir).

  b. Aspek Psikologis Stress akibat shift kerja akan menyebabkan kelelahan (fatique) yang dapat menyebabkan gangguan psikis pada pekerja, seperti ketidakpuasan dan iritasi. Tingkat kecelakaan dapat meningkat dengan meningkatnya stres, fatique, dan ketidakpuasan akibat shift kerja ini.

  Dari beberapa penelitian, menemukan bahwa faktor manusia menempati posisi yang sangat penting terhadap terjadinya kecelakaan kerja yaitu antara 80-85%. Salah satu penyebabnya adalah kelelahan dan kejenuhan akibat gangguan tidur yang dipengaruhi oleh kekurangan waktu tidur dan ganguan irama sirkadian akibat shift kerja (Wicken, et al, 2004 da

  c. Aspek Kinerja Dari beberapa penelitian baik di Amerika maupun Eropa, shift kerja memiliki pengaruh pada kinerja pekerja (Tayyari &Smith, 1997).

  Kinerja pekerja, termasuk tingkat kesalahan, ketelitian dan tingkat kecelakaan, lebih baik pada waktu siang hari dari pada malam hari, sehingga dalam menentukan shift kerja harus diperhatikan kombinasi dari tipe pekerjaan, sistem shift dan tipe pekerja.

  Penelitian lain menyatakan bahwa tambahan durasi shift (extended-

  duration shift

  ), yang didefinisikan bekerja lebih dari 24 jam terus menerus, akan meningkatkan tingkat kesalahan. Lima kali tambahan durasi shift per bulan akan meningkatkan kelelahan sampai 300% dan berakibat fatal. d. Domestik dan sosial Shift kerja akan berpengaruh negative terhadap hubungan keluarga seperti tingkat berkumpulnya anggota keluarga dan sering berakibat pada konflik keluarga. Secara sosial, shift kerja juga akan mempengaruhi sosialisasi pekerja karena interaksinya terhadap lingkungan menjadi terganggu. Karena Aktivitas keluarga dan sosial biasanya dilakukan pada sore hari atau pada akhir pecan, karyawan yang bekerja shift malam biasanya akan kehilangan waktu-waktu ini.

E. Kerangka Teori Penelitian

  Lingkungan Kerja

  Faktor yang bersumber

  Riwayat penyakit

  pada pekerjaan

  FF

  a. Sumber intrinsik pada Faktor individu pekerjaan b. Peran di dalam organisasi

  c. Perkembangan karir Faktor psikologis

  d. Hubungan relasi di tempat kerja Beban kerja

  e. Struktur organisasi dan iklim kerja Sifat Pekerjaan

  Shift kerja

  Faktor yang bersumber Kejenuhan kerja : pada karakteristik individu

  a. Tingkat kecemasan a. Depersonalisasi

  b. Tingkat neurotisme

  

Tingkat stress

  individu

  

Perawat

  b. Keletihan emosional

  c. Toleransi terhadap hal yang ambigu/ ketidakjelasan c. Penurunan prestasi pribadi

  d. Pola tingkah laku tipe A ( Maslach, 1993)

  Faktor yang bersumber di Faktor eksternal: luar organisasi

  a. Tekanan

  a. Masalah- masalah dalam keluarga pekerjaan b. Peristiwa krisis dalam

  b. Dukungan kehidupan c. Kesulitan secara financial

  ( Lee& Ashforth, (Greenberg, 2002)

  1996)

Gambar 2.1 kerangka teori penelitian

  Sumber: Modifikasi teori Greenberg (2002), (Grundy et. al., 2009), Maslach (1993), Lee & Ashforth (1996).

F. Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen Variabel Dependen Tingkat kejenuhan kerja shift malam:

  a. Depersonalisasi

  b. Keletihan emosional

  c. Penurunan prestasi pribadi

  Tingkat Stress

Gambar 2.2. Konsep penelitian

G. Hipotesis Penelitian

  Hipotesis adalah jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2002). Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

  Ada hubungan tingkat kejenuhan kerja shift malam dengan tingkat stress perawat di ruang perawatan intensif RSUD Banyumas Kabupaten Banyumas.