Mewujudkan Clean Governance Melalui Supr
Mewujudkan Clean Governance Melalui
Supremasi Hukum dan Demokrasi
Pengertian Good Govenance
Istilah good governance merupakan wacana baru dalam kosa kata
ilmu politik. Ia muncul pad awal 1990-an. Secara umum istilah clean and
good governance memiliki pengertian akan segala hal yang taerkait
dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan,
mengendalikan, atau mempengaruhi urusan publik untuk mewujudkan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Andi Faisal Bakti,
dalam pemaknaan istilah good governance memiliki pengertian
pengejawantaan nilai-nilai luhur dalam mengarahkan warga negara
(citizens) kepada masyarakat dan pemerintahan yang berkeadaban melalui
wujud pemerintahan yang suci dan damai. dalam konteks Indonesia
substansi wacana good governance dapat dipadankan dengan istilah
pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Lebih jauh, Bakti
menyatakan bahwa pemerintahan yang baik adalah sikap di mana
kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai level
pemerintah negara yang berkaitan dengan sumber-sumber sosial, budaya,
politik, serta ekonomi. Model pemerintahan ini adalah pemerintahan yang
efektif, efisien, jujur, transparan dan bertanggung jawab.
Dalam literatur lain wacana tentang “governance” diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan
pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan.
Good governance atau tata kepemerintahan yang baik merupakan tuntutan
yang muncul akibat praktek-praktek pengelolaan kepemerintahan yang
dinilai kurang baik. Beberapa faktor yang mendukung buruknya
pengelolaan kepemerintahan di Indonesia seperti tingginya KKN (korupsi,
kolusi dan nepotisme), pelanggaran HAM, tingkat pengangguran tang
tinggi, kemiskinan, dan hutang luar negeri yang tinggi. Hakekatnya
konsepsi Good Governance adalah interaksi atau peran aktif unsur-unsur
pemerintahan, masyarakat dan dunia usaha yang dinamis, sinergis serta
bertanggung jawab di berbagai bidang guna mewujudkan tujuan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Prinsip-prinsip Good
Governance itu sendiri telah banyak ditawarkan oleh barbagai kalangan,
baik lembaga-lembaga internasional (UNDP dan World Bank) maupun
institusi nasional (Bappenas, Lembaga Adminsitrasi Negara). UNDP
mendefinisikan good governance adalah pelaksanaan politik, ekonomi, dan
administrasi dalam rangka mengelola masalah-masalah bangsa.
Pelaksanaan kewenangan tersebut bisa dikatakan baik jika dilakukan
dengan efektif dan efesien, responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam
suasana demokratis, akuntable dan transparan.
Tuntutan pengelolaan pemerintahan yang professional dan akuntabel,
ketika wacana demokrasi berkembang menjadi kesadaran umum
masyarakat Indonesia. Prinsip-prinsip dasar good governance yaitu,
pengelolaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang dirumuskan
bersama oleh pemerintah dan komponen masyarakat madani.
Pemerintahan yang baik itu berarti baik dalam proses maupun hasilhasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis,
tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat, dan bebas
dari gerakan-gerakan anarkis yang bisa menghambat proses
pembangunan. Pemerintahan juga bisa dikatakan baik jika pembangunan
bisa dilakukan dengan biaya yang sangat minimal namun dengan hasil
yang maksimal. Faktor lain yang tak kalh penting, suatu pemerintahan
dapat dikatakan baik jika produktifitas bersinergi dengan peningkatan
indikator kemampuan ekonomi rakyat, baik dalam aspek produktifitas, daya
beli, maupun kesejahteraan spiritualitasnya.
Untuk tercapainya kondisi diatas, proses pembentuakan pemerintahan
yang berlangsung secara demokratis mutlak dilakukan. Sebagai sebuah
paradigma pengelolaan lembaga negara, clean and good governance
dapat terwujud secara maksimal jika ditopang oleh dua unsur yang saling
barkait yaitu, negara dan masyarakat madani yang didalamnya terdapat
sektor swasta. Negara dengan birokrasi pemerintahannya dituntut untuk
mengubah pola pelayanan publik dari perspektif birokrasi elitis menjadi
birokrasi populis, yang berorientasi melayani dan berpihak kepada
kepentingan masyarakat. pada saat yang sama, sebagai komponen di luar
birokrasi negara, sektor swasta harus pula terlibat dan dilibatlkan oleh
negara untuk berperan serta dalam proses pengelolaan sumber daya dan
perumusan kebijakan publik.
Implementsai prinsip good governance akan berjalan maksimal jika
ditopang oleh komitmen untuk melasanakan prinsip-prinsipnya baik oleh
negara maupun komponen masyarakat madani, yang didalamnya terdapat
sektor swasta. Jika dua komponen penting ini memahami dan menyadari
arti penting prinsip good governance dalam upaya pengembangan
demokrasi dan kemaslahatan bersama.
Prinsip-prinsip Pokok Good dan Clean Governance
Dalam aplikasinya good governance tidak hanya bersifat mengarahkan,
mengendalikan, mewujudkan, akan tetapi good governance ini mempunyai
prinsip dalam bergeraknya dalam menegkkan pemerintahan yang baik.
Demi terwujudnya pemerintahan yang professional dan akuntabel yang
bersandar pada prinsip-prinsip good governance, Lembaga Administrasi
Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental (asas) dalam
good governance yang harus diperhatikan, yaitu :
1.
2.
3.
Partisipasi (participation)
Penegakan hokum (rule of law)
Transparansi (transparency)
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Responsif (responsiveness)
Orientasi kesepakatan (consensus orientation)
Keadilan (equity)
Efektivitas (effectiveness) dan efisiensi (efficiency)
Akuntabilitas (accountability)
Visi strategis (strategic vision)
Partisipasi (participation)
Asas partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam
pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga
perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Bentuk
partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi
yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara
konstruktif.
Penegakan hukum (rule of law)
Asas penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang
professional harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa.
Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hokum dan penegakannya secara
konsekuen, pertisipaasi dapat berubah menjadi tindakan publik yang
anarkis. Publikmembutuhkan ketegasan dan kepastian hokum. Tanpa
kepastian dan aturan hokum, prose politik tidak akan berjalan dan tetata
dengan baik.
Realisasi wujud good and clean governance, harus diimbangi dengan
komitmen pemerintahan untuk menegakkan hokum yang mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Supremasi hukum, yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan
negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas.
2. Kepastian Hukum (legal certainty), bahwa setiap kehidupan berbangsa
dan bernegara diatur oleh hokum yang jelas dan pasti.
3. Hukum yang responsive, yakni aturan-aturan hukum yang disusun
berdasarkan aspirasi masyarakat luas.
4. Penegakan hokum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni
penegakan hokum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu.
5. Independensi peradilan, yakni paradilan yang independen bebas dri
pengaruh penguasa atau kekuatan lainnya.
Transparansi (transparency)
Asas transparansi adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good
and governance. Dan menghasilkan pemerintahan yang bersih. Dengan
adanya transparansi ini akan sedikit pula yang melakukan korupsi.
Transparasi ini tidak hanya dalam soal birokrasi akan tetapi kebijakan dan
pemerintahan.
Dalam pengelolaan negara terdapat delapan (8) unsur yang harus
dilakukan secara transparan, yaitu :
1.
Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan.
2.
Kekayaan penjabat public.
3.
Pemberian penghargaan.
4.
Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.
5.
Kesehatan.
6.
Moralitas para penjabat dan aparatur pelayanan public.
7.
Keamanan dan ketertiban.
8.
Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.
Responsif (responsiveness)
Asas responsif adalah pelaksanaan prinsip-prinsip good and clean
governance bahwa pemerintahan harus tanggap terhadap persoalanpersoalan masyarakat. pemerintahan harus memahami kebutuhan
masyarakatnya, jangan sampai menunggu mereka menyampaikan
keinginan-keinginannya. Melainkan mereka menganalisa apa yang menjadi
kebutuhan masyarakatnya, sehingga menghasilkan keputusan-keputusan
bijak dan strategis.
Sesuai dengan asas responsive, setiap unsur pemerintahan harus memiliki
dua etika, yakni etika individual dan etika individual dan etika sosial.
Kualifikasi etika individual menuntut pelaksana birokrasi pemerintah agar
memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional. Sedangkan etika
sosial menuntut mereka agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai
kebutuhan publik.
Konsensus (kesepakatan)
Asas ini menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui
proses musyawarah melalui konsensus. Model pengambilan keputuan
tersebut, selain memuaskan semua pihak, juga akan menjadi keputusan
yang mengikat dan milik bersama.
Kesetaraan (Equaity)
Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua
penyelengara pemerintahan di Indonesia baik pusat dan daerah, karena
kenyataan sosiologis Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis,
agama maupun budaya.
Efektivitas (effectiveness) dan efisiensi (efficiency)
Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat
menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai
kelompok dan lapisan social. Sedangkan kriteria efesiensi umumnya
diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan semua masyarakat.
Efektivitas (effectiveness) dan efisiensi (efficiency)
Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat
menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai
kelompok dan lapisan social. Sedangkan kriteria efesiensi umumnya
diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan semua masyarakat.
Agar pemerintahan itu efektif dan efesien, maka para pejabat perancang
dan pelaksana tugas-tugas pemerintahanharus mampu menyusun
perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata
masyarakat, dan disusun secara rasional dan terukur.
Akuntabilitas (accountability)
Asas akuntabilitas adalah pertanggungjawaban penjabat publik terhadap
masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan
mereka. Pengembangan asas akuntabilitas dalam rangka good
governance tiada lain agar para pejabat atau unsur yang diberi
kewenangan mengelola urusan publik senantiasa terkontrol dan tidak
memiliki peluang melakukan penyimpangan untuk kepentingan pribadi,
keluarga atau kalangan terdekat.
Visi strategis
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi
masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam kerangka
perwujudan good governance, karena perubahan dunia dengan kemajuan
teknologinya yang begitu cepat. Dengan kata lain, kebijakan apapun yang
akan diambil saat ini, harus diperhitungkan akibatnya pada sepuluh atau
dua puluh tahun kedepan. Seseorang yang menempati jabatan publik atau
lembaga profesional harus memiliki kemampuan menganalisa persoalan
dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.
Supremasi Hukum Sebagai Solusi Clean Governance
Supremasi hukum menjadi tonggak awal ketika kita akan berbicara good
and clean governance. Hukum harus tegak sesuai dengan fungsi dan
tujuannya, baik itu bagi kalangan bawah maupun atas. Fakta yang ada
hukum tumpul ke atas dan tajam kebawah. Kondisi semacam ini yang
berkelanjutan menghalangi good governance. Jadi antara supremasi
hukum, hakim, dan pemerintah ini mentaati hukum yang ada, maka clean
governance akan dengan sendirinya muncul.
Salah satu ciri supremasi hukum adalah tidak boleh ada intervensi dalam
bentuk apapun sekali proses hukum dimulai pada tingkat terendah
sekalipun dan hal ini semata-mata demi memastikan suatu proses hukum
berjalan independen, dan mandiri, termasuk tentu saja para pembentuk
dan penegak hukumnya harus mandiri dan tidak bisa diintervensi.
Intervensi di sini bukan melulu dilakukan melalui uang atau kekuasaan, tapi
juga dilakukan melalui tekanan-tekanan mental maupun ancaman fisik
serta kadang muncul dari dalam diri sendiri melalui keinginan untuk
memanfaatkan jabatan guna menguntungkan diri sendiri atau golongan
sendiri, salah satunya pencitraan.
Fenomena tersebut hendaknya perlu disingkirkan dengan menegakkan
hukum setegak tegaknya, subyek hukum harus benar-benar tepat. Namun
semua itu tidaklah mudah perlu adanya kerjasama semua eleman
masyarakat tentunya demi terciptanya good and clean governance.
Kualitas Demokrasi untuk Clean Governance
Menurut Govanni Sartori adalah pemerintahan yang manusiawi,
pemerintahan yang altruistik, oleh suatu penguasa yang memperoleh
kekuasaan tidak secara demokratis . Dalam bahasa populernya:
pemerintahan yang demokratis oleh suatu kekuasaan yang non
demokratis. Hal ini dapat kita kontekskan dengan negara kita Indonesia,
secara umum kita ketahui bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi
akan tetapi langkah keputusan penetapan kebijakan tidak secara
demokrasi, nah hal ini yang menjadi penghambat clean and good
governance.
Akan tetapi apakah sebaliknya, yaitu pemerintahan yang non demokratis
oleh suatu kekuasaan yang demokratis. Yaitu pemerintahan yang tidak
mengunakan sistem demokrasi akan tetapi kebijakannya mengunakan
demokrasi. Kita lihat keukasaan-kekuasaan yabg baru tumbang di Eropa
Timur telah memerintah negara mereka masing-masing secara non
demokratis selama rata-rata 40 tahun lebih. Padahal mereka secara formal
adalah pemerintahan demokratis. Dan pemerintahan semacam itu masih
ada sampai sekarang ini di Amerika Latin, Eropa, Afrika, Asia.
Yang terjadi adalah dua manifestasi yang berbeda dari idea demokrasi.
Dalam kasus pemerintahan demophile dalam pelaku bersifat demokratis
(melindungi rakyat), tetapi secara prosedural tidak demokratis (tidak
diangkat atau dipilih rakyat). Sedangkan dalam kasus demokrasi rakyat di
Eropa Timur, yang kita jumpai adalah suatu sistem politik yang secara
behavioral bersifat non demokratis (totaliter), tetapi secara prosedural
menganggap dirinya mewakili rakyat dan diangkat oleh rakyat, jadi
demokratis.
Disamping perbedaan dalam maslah aspek ini, kita jumpai pula perbedaan
perwujudan idea demokrasi yang disebabkan oleh perbedaan dalam tahap
perkembangannya. Masalah tahap perkembangan demokrasi ini akan
muncul secara jelas kalau kita membandingkan gaya kehidupan yang
terdapat diseluruh negara yang mengaku menganut sistem demokrasi.
Dalam bukunya Mochtar Buchori dikatakan bahwa kualitas sistem
demokrasi sekarang ini mulai dibicarakan masyarakat menurut pendapat
saya pada dasarnya adalah masalah tahap perkembangan demokrasi ini.
Meningkatkan kualitas demokrasi kita saya kira adalah soal meningkatkan
cara kita mengamalkan konsep demokrasi ini, artinya dari tahap
pengalaman yang kita capai sekarang ini ketahap pengamalan yang lebih
tinggi. Baik dalam aspek prosedural, maupun dalam aspek prilaku perlu
kita cari pola-pola yang lebih sempurna dari pada pola-pola yang kita
laksanakan sekarang ini. Dan sesuai dengan idea demokratia yang berarti
kekuasaan rakyat, kriterium kesempurnaan ini ialah makin dekatnya jarak
batiniah antara rakyat dengan pemegang kekuasaan, makin besarnya
humanitas dalam kehidupan politik, kehidupan sosial dan kehidupan
ekonomi kita.
Menurut para ahli, faktor yang sangat menentukan dalam peningkatan
kalitas demokrasi ini ialah tekad (will) di kalangan pimpinan masyarakat
untuk benar-benar membuat masyarakat menjadi lebih demokratis. Selain
itu juga pemimpin harus meningkatkan efisiensi kerja dan pengetahuan.
Supremasi Hukum dan Demokrasi
Pengertian Good Govenance
Istilah good governance merupakan wacana baru dalam kosa kata
ilmu politik. Ia muncul pad awal 1990-an. Secara umum istilah clean and
good governance memiliki pengertian akan segala hal yang taerkait
dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan,
mengendalikan, atau mempengaruhi urusan publik untuk mewujudkan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Andi Faisal Bakti,
dalam pemaknaan istilah good governance memiliki pengertian
pengejawantaan nilai-nilai luhur dalam mengarahkan warga negara
(citizens) kepada masyarakat dan pemerintahan yang berkeadaban melalui
wujud pemerintahan yang suci dan damai. dalam konteks Indonesia
substansi wacana good governance dapat dipadankan dengan istilah
pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Lebih jauh, Bakti
menyatakan bahwa pemerintahan yang baik adalah sikap di mana
kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai level
pemerintah negara yang berkaitan dengan sumber-sumber sosial, budaya,
politik, serta ekonomi. Model pemerintahan ini adalah pemerintahan yang
efektif, efisien, jujur, transparan dan bertanggung jawab.
Dalam literatur lain wacana tentang “governance” diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan
pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan.
Good governance atau tata kepemerintahan yang baik merupakan tuntutan
yang muncul akibat praktek-praktek pengelolaan kepemerintahan yang
dinilai kurang baik. Beberapa faktor yang mendukung buruknya
pengelolaan kepemerintahan di Indonesia seperti tingginya KKN (korupsi,
kolusi dan nepotisme), pelanggaran HAM, tingkat pengangguran tang
tinggi, kemiskinan, dan hutang luar negeri yang tinggi. Hakekatnya
konsepsi Good Governance adalah interaksi atau peran aktif unsur-unsur
pemerintahan, masyarakat dan dunia usaha yang dinamis, sinergis serta
bertanggung jawab di berbagai bidang guna mewujudkan tujuan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Prinsip-prinsip Good
Governance itu sendiri telah banyak ditawarkan oleh barbagai kalangan,
baik lembaga-lembaga internasional (UNDP dan World Bank) maupun
institusi nasional (Bappenas, Lembaga Adminsitrasi Negara). UNDP
mendefinisikan good governance adalah pelaksanaan politik, ekonomi, dan
administrasi dalam rangka mengelola masalah-masalah bangsa.
Pelaksanaan kewenangan tersebut bisa dikatakan baik jika dilakukan
dengan efektif dan efesien, responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam
suasana demokratis, akuntable dan transparan.
Tuntutan pengelolaan pemerintahan yang professional dan akuntabel,
ketika wacana demokrasi berkembang menjadi kesadaran umum
masyarakat Indonesia. Prinsip-prinsip dasar good governance yaitu,
pengelolaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang dirumuskan
bersama oleh pemerintah dan komponen masyarakat madani.
Pemerintahan yang baik itu berarti baik dalam proses maupun hasilhasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis,
tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat, dan bebas
dari gerakan-gerakan anarkis yang bisa menghambat proses
pembangunan. Pemerintahan juga bisa dikatakan baik jika pembangunan
bisa dilakukan dengan biaya yang sangat minimal namun dengan hasil
yang maksimal. Faktor lain yang tak kalh penting, suatu pemerintahan
dapat dikatakan baik jika produktifitas bersinergi dengan peningkatan
indikator kemampuan ekonomi rakyat, baik dalam aspek produktifitas, daya
beli, maupun kesejahteraan spiritualitasnya.
Untuk tercapainya kondisi diatas, proses pembentuakan pemerintahan
yang berlangsung secara demokratis mutlak dilakukan. Sebagai sebuah
paradigma pengelolaan lembaga negara, clean and good governance
dapat terwujud secara maksimal jika ditopang oleh dua unsur yang saling
barkait yaitu, negara dan masyarakat madani yang didalamnya terdapat
sektor swasta. Negara dengan birokrasi pemerintahannya dituntut untuk
mengubah pola pelayanan publik dari perspektif birokrasi elitis menjadi
birokrasi populis, yang berorientasi melayani dan berpihak kepada
kepentingan masyarakat. pada saat yang sama, sebagai komponen di luar
birokrasi negara, sektor swasta harus pula terlibat dan dilibatlkan oleh
negara untuk berperan serta dalam proses pengelolaan sumber daya dan
perumusan kebijakan publik.
Implementsai prinsip good governance akan berjalan maksimal jika
ditopang oleh komitmen untuk melasanakan prinsip-prinsipnya baik oleh
negara maupun komponen masyarakat madani, yang didalamnya terdapat
sektor swasta. Jika dua komponen penting ini memahami dan menyadari
arti penting prinsip good governance dalam upaya pengembangan
demokrasi dan kemaslahatan bersama.
Prinsip-prinsip Pokok Good dan Clean Governance
Dalam aplikasinya good governance tidak hanya bersifat mengarahkan,
mengendalikan, mewujudkan, akan tetapi good governance ini mempunyai
prinsip dalam bergeraknya dalam menegkkan pemerintahan yang baik.
Demi terwujudnya pemerintahan yang professional dan akuntabel yang
bersandar pada prinsip-prinsip good governance, Lembaga Administrasi
Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental (asas) dalam
good governance yang harus diperhatikan, yaitu :
1.
2.
3.
Partisipasi (participation)
Penegakan hokum (rule of law)
Transparansi (transparency)
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Responsif (responsiveness)
Orientasi kesepakatan (consensus orientation)
Keadilan (equity)
Efektivitas (effectiveness) dan efisiensi (efficiency)
Akuntabilitas (accountability)
Visi strategis (strategic vision)
Partisipasi (participation)
Asas partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam
pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga
perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Bentuk
partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi
yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara
konstruktif.
Penegakan hukum (rule of law)
Asas penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang
professional harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa.
Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hokum dan penegakannya secara
konsekuen, pertisipaasi dapat berubah menjadi tindakan publik yang
anarkis. Publikmembutuhkan ketegasan dan kepastian hokum. Tanpa
kepastian dan aturan hokum, prose politik tidak akan berjalan dan tetata
dengan baik.
Realisasi wujud good and clean governance, harus diimbangi dengan
komitmen pemerintahan untuk menegakkan hokum yang mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Supremasi hukum, yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan
negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas.
2. Kepastian Hukum (legal certainty), bahwa setiap kehidupan berbangsa
dan bernegara diatur oleh hokum yang jelas dan pasti.
3. Hukum yang responsive, yakni aturan-aturan hukum yang disusun
berdasarkan aspirasi masyarakat luas.
4. Penegakan hokum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni
penegakan hokum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu.
5. Independensi peradilan, yakni paradilan yang independen bebas dri
pengaruh penguasa atau kekuatan lainnya.
Transparansi (transparency)
Asas transparansi adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good
and governance. Dan menghasilkan pemerintahan yang bersih. Dengan
adanya transparansi ini akan sedikit pula yang melakukan korupsi.
Transparasi ini tidak hanya dalam soal birokrasi akan tetapi kebijakan dan
pemerintahan.
Dalam pengelolaan negara terdapat delapan (8) unsur yang harus
dilakukan secara transparan, yaitu :
1.
Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan.
2.
Kekayaan penjabat public.
3.
Pemberian penghargaan.
4.
Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.
5.
Kesehatan.
6.
Moralitas para penjabat dan aparatur pelayanan public.
7.
Keamanan dan ketertiban.
8.
Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.
Responsif (responsiveness)
Asas responsif adalah pelaksanaan prinsip-prinsip good and clean
governance bahwa pemerintahan harus tanggap terhadap persoalanpersoalan masyarakat. pemerintahan harus memahami kebutuhan
masyarakatnya, jangan sampai menunggu mereka menyampaikan
keinginan-keinginannya. Melainkan mereka menganalisa apa yang menjadi
kebutuhan masyarakatnya, sehingga menghasilkan keputusan-keputusan
bijak dan strategis.
Sesuai dengan asas responsive, setiap unsur pemerintahan harus memiliki
dua etika, yakni etika individual dan etika individual dan etika sosial.
Kualifikasi etika individual menuntut pelaksana birokrasi pemerintah agar
memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional. Sedangkan etika
sosial menuntut mereka agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai
kebutuhan publik.
Konsensus (kesepakatan)
Asas ini menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui
proses musyawarah melalui konsensus. Model pengambilan keputuan
tersebut, selain memuaskan semua pihak, juga akan menjadi keputusan
yang mengikat dan milik bersama.
Kesetaraan (Equaity)
Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua
penyelengara pemerintahan di Indonesia baik pusat dan daerah, karena
kenyataan sosiologis Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis,
agama maupun budaya.
Efektivitas (effectiveness) dan efisiensi (efficiency)
Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat
menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai
kelompok dan lapisan social. Sedangkan kriteria efesiensi umumnya
diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan semua masyarakat.
Efektivitas (effectiveness) dan efisiensi (efficiency)
Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat
menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai
kelompok dan lapisan social. Sedangkan kriteria efesiensi umumnya
diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan semua masyarakat.
Agar pemerintahan itu efektif dan efesien, maka para pejabat perancang
dan pelaksana tugas-tugas pemerintahanharus mampu menyusun
perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata
masyarakat, dan disusun secara rasional dan terukur.
Akuntabilitas (accountability)
Asas akuntabilitas adalah pertanggungjawaban penjabat publik terhadap
masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan
mereka. Pengembangan asas akuntabilitas dalam rangka good
governance tiada lain agar para pejabat atau unsur yang diberi
kewenangan mengelola urusan publik senantiasa terkontrol dan tidak
memiliki peluang melakukan penyimpangan untuk kepentingan pribadi,
keluarga atau kalangan terdekat.
Visi strategis
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi
masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam kerangka
perwujudan good governance, karena perubahan dunia dengan kemajuan
teknologinya yang begitu cepat. Dengan kata lain, kebijakan apapun yang
akan diambil saat ini, harus diperhitungkan akibatnya pada sepuluh atau
dua puluh tahun kedepan. Seseorang yang menempati jabatan publik atau
lembaga profesional harus memiliki kemampuan menganalisa persoalan
dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.
Supremasi Hukum Sebagai Solusi Clean Governance
Supremasi hukum menjadi tonggak awal ketika kita akan berbicara good
and clean governance. Hukum harus tegak sesuai dengan fungsi dan
tujuannya, baik itu bagi kalangan bawah maupun atas. Fakta yang ada
hukum tumpul ke atas dan tajam kebawah. Kondisi semacam ini yang
berkelanjutan menghalangi good governance. Jadi antara supremasi
hukum, hakim, dan pemerintah ini mentaati hukum yang ada, maka clean
governance akan dengan sendirinya muncul.
Salah satu ciri supremasi hukum adalah tidak boleh ada intervensi dalam
bentuk apapun sekali proses hukum dimulai pada tingkat terendah
sekalipun dan hal ini semata-mata demi memastikan suatu proses hukum
berjalan independen, dan mandiri, termasuk tentu saja para pembentuk
dan penegak hukumnya harus mandiri dan tidak bisa diintervensi.
Intervensi di sini bukan melulu dilakukan melalui uang atau kekuasaan, tapi
juga dilakukan melalui tekanan-tekanan mental maupun ancaman fisik
serta kadang muncul dari dalam diri sendiri melalui keinginan untuk
memanfaatkan jabatan guna menguntungkan diri sendiri atau golongan
sendiri, salah satunya pencitraan.
Fenomena tersebut hendaknya perlu disingkirkan dengan menegakkan
hukum setegak tegaknya, subyek hukum harus benar-benar tepat. Namun
semua itu tidaklah mudah perlu adanya kerjasama semua eleman
masyarakat tentunya demi terciptanya good and clean governance.
Kualitas Demokrasi untuk Clean Governance
Menurut Govanni Sartori adalah pemerintahan yang manusiawi,
pemerintahan yang altruistik, oleh suatu penguasa yang memperoleh
kekuasaan tidak secara demokratis . Dalam bahasa populernya:
pemerintahan yang demokratis oleh suatu kekuasaan yang non
demokratis. Hal ini dapat kita kontekskan dengan negara kita Indonesia,
secara umum kita ketahui bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi
akan tetapi langkah keputusan penetapan kebijakan tidak secara
demokrasi, nah hal ini yang menjadi penghambat clean and good
governance.
Akan tetapi apakah sebaliknya, yaitu pemerintahan yang non demokratis
oleh suatu kekuasaan yang demokratis. Yaitu pemerintahan yang tidak
mengunakan sistem demokrasi akan tetapi kebijakannya mengunakan
demokrasi. Kita lihat keukasaan-kekuasaan yabg baru tumbang di Eropa
Timur telah memerintah negara mereka masing-masing secara non
demokratis selama rata-rata 40 tahun lebih. Padahal mereka secara formal
adalah pemerintahan demokratis. Dan pemerintahan semacam itu masih
ada sampai sekarang ini di Amerika Latin, Eropa, Afrika, Asia.
Yang terjadi adalah dua manifestasi yang berbeda dari idea demokrasi.
Dalam kasus pemerintahan demophile dalam pelaku bersifat demokratis
(melindungi rakyat), tetapi secara prosedural tidak demokratis (tidak
diangkat atau dipilih rakyat). Sedangkan dalam kasus demokrasi rakyat di
Eropa Timur, yang kita jumpai adalah suatu sistem politik yang secara
behavioral bersifat non demokratis (totaliter), tetapi secara prosedural
menganggap dirinya mewakili rakyat dan diangkat oleh rakyat, jadi
demokratis.
Disamping perbedaan dalam maslah aspek ini, kita jumpai pula perbedaan
perwujudan idea demokrasi yang disebabkan oleh perbedaan dalam tahap
perkembangannya. Masalah tahap perkembangan demokrasi ini akan
muncul secara jelas kalau kita membandingkan gaya kehidupan yang
terdapat diseluruh negara yang mengaku menganut sistem demokrasi.
Dalam bukunya Mochtar Buchori dikatakan bahwa kualitas sistem
demokrasi sekarang ini mulai dibicarakan masyarakat menurut pendapat
saya pada dasarnya adalah masalah tahap perkembangan demokrasi ini.
Meningkatkan kualitas demokrasi kita saya kira adalah soal meningkatkan
cara kita mengamalkan konsep demokrasi ini, artinya dari tahap
pengalaman yang kita capai sekarang ini ketahap pengamalan yang lebih
tinggi. Baik dalam aspek prosedural, maupun dalam aspek prilaku perlu
kita cari pola-pola yang lebih sempurna dari pada pola-pola yang kita
laksanakan sekarang ini. Dan sesuai dengan idea demokratia yang berarti
kekuasaan rakyat, kriterium kesempurnaan ini ialah makin dekatnya jarak
batiniah antara rakyat dengan pemegang kekuasaan, makin besarnya
humanitas dalam kehidupan politik, kehidupan sosial dan kehidupan
ekonomi kita.
Menurut para ahli, faktor yang sangat menentukan dalam peningkatan
kalitas demokrasi ini ialah tekad (will) di kalangan pimpinan masyarakat
untuk benar-benar membuat masyarakat menjadi lebih demokratis. Selain
itu juga pemimpin harus meningkatkan efisiensi kerja dan pengetahuan.