Hukum dalam Konstruksi Seni and Imajinas

Hukum dalam Konstruksi Seni & Imajinasi Masyarakat
Terdapat dua kutipan yang mendorong untuk menulis tentang tema hukum yang
dikonstruksikan sebagai seni dan hasil imajinasi. Yang pertama adalah “imagination is more
important than knowledge" dari Einstein dan kedua adalah tagline sebuah stasiun televisi SyFy
yaitu “imagine greater” yang diperhatikan ketika melihat acara yang merupakan liputas CAS
2014. Imagination menurut merriam-webster dictionary memiliki arti sebagai berikut (1) the
ability to imagine things that are not real: the ability to form a picture in your mind of something
that you have not seen or experienced; (2) the ability to think of new things dan (3) something
that only exists or happens in your mind.1
Wikipedia memberikan definisi imagination adalah sebagai berikut “is the ability to form new
images and sensations that are not perceived through senses such as sight, hearing, or other
senses. Imagination helps make knowledge applicable in solving problems and is fundamental
to integrating experience and the learning process.”2 Yang menarik dari dua definisi yang
dikemukakan diatas adalah bahwa imaginasi merupakan kemampuan (abilitity), keterampilan
untuk melakukan atau mengerjakan suatu pekerjaan (the power or skill to do something).3
Selanjutnya dalam imajinasi terkandung makna transformasi bentuk yang melibatkan
pengetahuan dari yang bersifat abstrak (intagible) menjadi suatu yang diterapkan untuk
memecahkan masalah (kehidupan).
Seni (art) menurut wikipedia adalah “art may be characterized in terms of mimesis (its
representation of reality), expression, communication of emotion, or other qualities. During the
Romantic period, art came to be seen as "a special faculty of the human mind to be classified

with religion and science". Though the definition of what constitutes art is disputed and has
changed over time, general descriptions mention an idea of imaginative or technical skill
stemming from human agency and creation.”4 Dari definisi seni tersebut dapat dikemukakan
bahwa pertama, seni merupakan sebuah mimesis atau representasi dari realitas. Kedua, seni
menjadi hasil imajinasi dari pikiran yang berupa gagasan (an idea of imaginative).
Hukum dalam konstruksi seni dan imajinasi maka dapat dikemukakan 3 (tiga) thesis bahwa
pertama, hukum sebagai seni dan imajinasi merupakan representasi dari ide atau gagasan
sebuah keteraturan (order) yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Kedua, hukum dalam
representasinya tersebut menjadi sebuah kemampuan dari masyarakat dan para
pengembannya untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam masyarakat – applicable in
solving problems. Ketiga, hukum sebagai produk masyarakat berintegrasi dengan pengalaman
sosialnya, artinya hukum menjadi bagian dari proses pembelajaran suatu masyarakat untuk
menciptakan keteraturan dalam bingkai keadilan dan keseimbangan.
Hukum merupakan seni dikaitkan dengan kelola rasa (keadilan) dlm pengembanannya. Maka
hukum juga membutuhkan imajinasi, karena sebagai seni hanya bisa di desain dg imajinasi.
Imajinasi dalam hukum merupakan refleksi kekinian, namun juga memuat proyeksi atas masa
1 http://www.merriam-webster.com/dictionary/imagination diakses pada tanggal 28 Juni 2014 pukul 9:50.
2 http://en.wikipedia.org/wiki/Imagination diakses pada tanggal 28 June 2014 pukul 9:54.
3 http://www.merriam-webster.com/dictionary/ability diakses pada tanggal 28 June 2014 pukul 9:59.
4 http://en.wikipedia.org/wiki/Art#cite_note-britannica.com-7 diakses pada tanggal 28 June 2014 pukul 10:11.


depan. Hukum sebagai refleksi kekinian memiliki keterbatasan dalam mencakup semua hal,
sehingga hukum hanya termanifestasi dalam bentuknya yang general. Namun muatan proyeksi,
memungkinkan hukum melihat ke depan dengan melakukan antisipasi baik dalam bentuknya
yang preemtif maupun preventif. Hukum berada dalam pusaran seni dan imajinasi.
Transformasi ide atau gagasan yang hidup dalam suatu masyarakat ke bentuk hukum menjadi
aktualisasi dari karya imajinasi, dan proses dan hasilnya merupakan sebuah seni.
Seni yang merepresentasi lingkungan (baca: sosial – kemasyarakatan) akan menggambarkan
(describe) dalam wahana bentuk. Dan dengan hukum, gambaran masyarakat bisa dilacak
sebagai keteraturan yang dicita-citakan. Keteraturan yang dicita-citakan ini merupakan sebuah
preskripsi dari kondisi kekinian, sekaligus proyeksi dari harapan yang dikejar-wujudkan di masa
depan. Preskripsi kekinian memuat dua hal yaitu pertama, penormaan dari preskripsi yang
diimajinasikan oleh masyarakat. Pasca penormaan akan dilakukan positivisasi dari norma yang
masih berbentuk preskripsi-imajinatif ke dalam bentuknya yang ‘konkrit’ di bingkai dengan
kaidah hukum yang membentuk unsur-unsur suatu pasal.
Penormaan dari preskripsi yang diimajinasikan adalah seni, yang didalamnya terjadi mimesis. 5
Hukum menjadi hasil representasi dari alam (nature), termasuk masyarakat. Keteraturan yang
menjadi hakekat alam, menginspirasi untuk juga menciptakan keteraturan dalam kehidupan
bermasyarakat. Keteraturan adalah imajinasi yang terindera kemudian mendorong penciptaan
mekanisme yang memungkinkan keteraturan hadir dalam kehidupan nyata. Dalam keteraturan

juga memuat ide tentang keadilan dan ketertiban yang menjadi abstraksi dari imajinasi manusia
dalam pengaturan kehidupan bersama. Penuangan ide yang masih terimajinasi menjadi seni
yang dituangkan dalam kata-kata (teks). Pemilihan kata untuk merepresentasi imajinasi ide
merupakan bagian imitakesi agar kata yang dipilih mewakili ide dalam komprehensifitas
maknanya.
Kata atau teks menjadi media merepresentasi ide keteraturan (termasuk keadilan dan
ketertiban). Penuangan ide ke dalam teks atau yang disebut dengan drafting merupakan seni
yang mengkreasi ide keteraturan yang imajinatif dengan kata-kata yang mampu
merepresentasikan keseluruhan ide baik substansi maupun makna yang terkandung dalam
substansi tersebut. Teks (hukum) bermuatan preskripsi dengan norma-norma yang
menginspirasi kaidah hukum yang tertuang dalam pasal-pasalnya Kerangka pasal terdiri dari
norma dan kaidah, yang mengandung nilai preskripsi dari perasan ide keteraturan yang
imajinatif.
Kedua, dalam hal demikian, membaca hukum juga harus dilakukan dengan imajinasi. Imajinasi
yang bertolak dari ide keteraturan yang preskriptif. Pembacaan teks harus dikembalikan pada
ide yang preskriptif tanpa melihat jenis metode penafsiran yang digunakan. Pembacaan yang
tidak menggunakan perspektif imajinasi ide yang preskriptif akan melepaskan diri dari maksud
baik substansi maupun maknanya. Perspektif imajinasi ide yang preskriptif adalah seni dalam
membaca teks. Yaitu menarik kembali makna substansi yang terkandung dalam teks yang
5 Aristotle also defined mimesis as the perfection and imitation of nature. http://en.wikipedia.org/wiki/Mimesis

diakses pada tanggal 28 June 2014 pukul 10:44. Michael Davis mengatakan, “Mimêsis involves a framing of reality
that announces that what is contained within the frame is not simply real.” (ibid.)

merupakan hasil dari imajinasi ide yang preskriptif. Penarikan makna tersebut dilakukan
sebagai upaya untuk penerapan hukum pada kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.
Keteraturan adalah imajinasi. Ketidakteraturan menjadi realitas yang anomali dari keteraturan.
Realitas yang demikian harus diselesaikan agar tidak melahirkan musibah atau bencana (sosial
– kemasyarakatan). Musibah sosial dalam bentuk konflik dari pihak yang menciptakan
ketidakteraturan dengan pihak yang mengharapkan kesinambungan keteraturan yang terjaga
dalam kehidupan bersama. Ketegangan antara kedua pihak tersebut adalah realitas, bukan lagi
imajinasi. Ketidakteraturan merupakan bentuk anti-preskriptif, dapat dimaknai sebagai
perlawanan atas keteraturan atau penolakan terhadap kemapanan yang memberontak karena
terdapat ketidakmampuan untuk meraih yang diharapkan ketika berada dalam bingkai
keteraturan.
Pembacaan teks dengan imajinasi dalam bingkai seni menjadi upaya menghadirkan kekinian
dari teks lampau, sekaligus memproyeksikan dengan mengacu kekinian menabur benih
keadilan untuk masa depan. Kedua hal tersebut menjadi bagian dari berhukum dalam
pengembanannya untuk menjaga keteraturan. Pengembanan hukum oleh berbagai
pengembannya adalah penafsiran atau pembacaan kembali teks hukum ketika bertemu dengan
pelanggaran hukum baik dalam bentuk perilaku yang menyimpang yang diklasifikasikan

sebagai kejahatan atau sengketa hak antar pemilik hak yang masing-masing mengklaim
sebagai pihak yang berhak.
Pengemban hukum yang membaca teks sedang menghadirkan kontekstualisasi teks lampau
sebagai hasil ide preskriptif yang imajinatif ke dalam fungsinya yang operasional. Kerja hukum
yang membaca hukum merupakan seni menarik kembali ide preskriptif untuk ‘dipertarungkan’
dengan realitas anomali. Pertarungan ini berada pada dua ranah, yaitu dalam diri
pengembannya yang sedang membaca teks dan ketika hasil pembacaan tersebut diterapkan
pada realitas anomali. Inilah yang disebut dengan penegakan hukum, pengemban hukum yang
membaca teks menghadapi pergumulan dalam hal membaca teks sesuai dengan arti
gramatikalnya, ataukah memahami makna teks secara lebih komprehensif dengan
mempertimbangkan ide preskriptif imajinatif yang terkandung dalam teks.
Membaca teks (hukum) dalam pengembanan hukum merupakan bagian dari kerja-kerja yuridis
yaitu meliputi penalaran dan penafsiran hukum. Keduanya dilakukan secara simultan dalam
pembacaan teks. Penalaran hukum (legal reasoning) adalah “is particular method of arguing
used when applying legal rules to particular interactions among legal person. The process of
legal reasoning in law-application begins by accepting the relevance of the law and proceed to
work within the existing legal system.”6 Penalaran hukum menurut Sidharta mencakup tiga
aspek hukum yaitu ontologis, epistemologis dan aksiologis.7 Sedangkan penafsiran hukum yang
merupakan metode penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah penjelasa yang
harus menuju kepada penerapan (atau tidak menerapkan) suatu peraturan hukum umum


6 M.J Peterson, Legal Reasoning, http://courses.umass.edu/polsc356/legal-reasoning.pdf diakses pada tanggal 29
June 2014 pukul 2:39.
7 Sidharta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013.

terhadap peristiwa konkrit yang dapat diterima oleh masyarakat. 8 Metode penafsiran antara lain
interpretasi gramatikal, sistematis, historis, teleologis, kompararif dan antisipatif.9
Membaca teks hukum berarti menalar dan menafsir teks tersebut untuk diterapkan dengan
peristiwa anomali yang terjadi dalam masyarakat. Pengemban hukum yang membaca teks
hukum tidak hanya memahami (verstehen), melainkan juga menafsirkan teks hukum. Menurut
van Peursen, memahami memiliki dua arti yaitu pertama, digunakan untuk memahami perasaan
dan keadaan batin sesama manusia. Kedua, menangkap arti teks. Arti yang kedua inilah yang
mengarahkan bahwa memahami berarti menafsirkan.10 Pemahaman (dan penafsiran) teks
hukum juga membutuhkan imajinasi dari pengembannya. Imajinasi menjadi daya untuk
pertama, menggali makna teks yang mungkin termuat didalamnya. Kedua, mencari aneka
hubungan yang bisa terkait dengan kata dan suasana kebatinan dari penggunaan teks tersebut.
Mengambil pengertian imajinasi diatas mengenai the ability to form a picture in your mind of
something that you have not seen or experienced dan the ability to think of new things, maka
pembacaan teks memampukan menghadirkan sesuatu pemahaman atas tafsir yang belum
pernah ada atau memberi pemaknaan baru yang berbeda dari yang pernah dilakukan. Teks

hukum mengalami rekonstruksi, bahkan dimungkinkan dilakukan dekonstruksi untuk mencapai
pemaknaan baru. Imajinasi akan terwujud dengan berkoeksistensi dengan pengetahuan. Aneka
pengetahuan akan membantu mengembangkan imajinasi ketika sedang membaca teks hukum.

Pembacaan hukum mengacu pada definisi yang sudah dikemukakan sama dengan definisi
penegakan hukum. Padahal penegakan hukum menurut Jimly Assidiqie adalah proses
dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata
sebagai pedoman perilaku dalam laku lintas atau hubungan-hubungan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Dalam definisi tersebut, penegakan hukum aktualisasi
kaedah hukum dan sekaligus menjadi transformasi bentuk hukum dari yang berwujud teks
yang memuat ide preskripsi imajinatif menjadi teks yang memiliki kemampuan memaksa
manusia untuk mematuhi bunyi teks
Teks hukum yang semula normatif menjadi teks yang berwibawa, memiliki daya paksa yg
aktual. Proses transformasi inilah melibatkan berbagai aspek yang mempengaruhi hukum,
seperti hukumnya sendiri, pemahaman pengemban hukum terhadap cita hukum atau
situasi masyarakat yang menjadi ladang hukum, tempat bahan hukum digali dan
persemaian benih hukum. Berbagai aspek yang berpengaruh yang difokuskan adalah
representasi ide preskripsi imajinatif dan pembacaan teks dalam fungsinya untuk
menegakkan hukum. Representasi dan pembacaan teks (hukum) menjadi kerja-kerja
yuridis dalam menjaga keteraturan masyarakat.

Kerja-kerja yuridis dalam hal demikian meliputi pertama, legal drafting dan kedua,
penegakan hukum (law enforcement). Legal drafting adalah proses penyusunan dokumendokumen hukum baik yang berbentuk otoritative document maupun non autoritative
document. Definisi legal drafting merujuk pada pembentukan hukum yang tdk terbatas pada
proses perancangan peraturan perundang-undangan, namun juga meliputi pembentukan
8 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, CV. Liberty, Yogyakarta, 2009, hal. 56.
9 Ibid. hal. 57.
10 Sidharta, loc.cit. hal 37.

hukum oleh hakim. Termasuk pembentukan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum
privat dalam bentuk perjanjian.
Hukum baik dalam wujudnya yang tertulis maupun lisan, keduanya hidup dan hadir dalam
kehidupan masyarakat. Pemaknaan hukum pada kehadirannya yang tidak dapat dihindari
menjadi bagian dari imajinasi masyarakat tentang keteraturan yang merupakan ide
preskriptif. Imajinasi ini terus berlangsung bahkan ketika hukum sudah terbentuk dan
diterapkan untuk menjadi ide preskripif tersebut. Untuk mengembangkan hukum maka
jangan menjauhkan hukum dari imajinasi. Tetap menjaga asa hukum dalam setiap
pemaknaannya, dan menggali manifestasi gagasan tentang keteraturan yang bisa hadir
dalam aneka facet seperti keadilan, harmoni, keseimbangan, ketertiban, namun ontologis
dari hukum adalah menjaga keteraturan.
Dengan menjaga asa hukum bersama imajinasi maka hukum menemukan relevansinya

ketika berhadapan dengan perkembangan masyarakat. Dimana perkembangan masyarakat
juga merupakan hasil dari imajinasi para anggotanya. Untuk itu,membangun hukum dengan
imajinasi yang preskriptif akan bertemu dengan hasil imajinasi yang membentuk
masyarakat tempat dimana hukum diberlakukan.
akup semua hal, shg hukum hny termanifestasi dalam btknya yg general. Namun muatan
proyeksi, memungkinkan hukum melihat ke depan dg melakukan antisipasi baik dlm btknya yg
preemtif maupun preventif. Dalam hal demikian, membaca hukum juga hrs dilakukan dg
imajinasi. Menghadirkan kekinian dr teks lampau, sekaligus memproyeksikan dg mengacu
kekinian menabur benih keadilan utk masa yg akan datang.Imajinasi akan terwujud dg
berkoeksistensi dg pengetahuan. Krn dlm berkesenianpun juga menghadirkan teori2 seniakup
semua hal, shg hukum hny termanifestasi dalam btknya yg general. Namun muatan proyeksi,
memungkinkan hukum melihat ke depan dg melakukan antisipasi baik dlm btknya yg preemtif
maupun preventif. Dalam hal demikian, membaca hukum juga hrs dilakukan dg imajinasi.
Menghadirkan kekinian dr teks lampau, sekaligus memproyeksikan dg mengacu kekinian
menabur benih keadilan utk masa yg akan datang.Imajinasi akan terwujud dg berkoeksistensi
dg pengetahuan