KOMISI YUDISIAL kode etik. docx

NAMA : ZETRI SYAFRI HELMI
BP

: 111 011 3111

Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang
Komisi Yudisial yang berfungsi mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon hakim
agung. Sebagai pengawas eksternal yang menjalankan fungsi checks and balances, Komisi
Yudisial mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang mandiri demi tegaknya hukum dan
keadilan. Dengan demikian, para pencari keadilan tidak merasa kecewa terhadap praktik
penyelenggaraan peradilan
Komisi Yudisial merupakan respon dari tuntutan reformasi yang bergulir tahun 1998. Saat
itu, salah satu dari enam agenda reformasi yang diusung adalah penegakan supremasi hukum,
penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN).

Tuntutan

tersebut


merupakan

wujud

kekecewaan

rakyat

terhadap

praktik

penyelenggaraan negara sebelumnya yang dihiasi berbagai penyimpangan, termasuk dalam
proses penyelenggaraan peradilan.
Barulah ide pembentukan Komisi Yudisial mulai terealisasi pada tahun 1999, setelah
Presiden B.J. Habibie membentuk panel diskusi mengkaji pembaharuan UUD 1945. Istilah
Komisi Yudisial sendiri dikemukakan oleh Hakim Agung Iskandar Kamil. Ia ingin agar
kehormatan, keluhuranmartabat, serta perilaku hakim terjaga. Kemudiannama Komisi Yudisial
secara eksplisit mulai disebut saat ditetapkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000tentang
Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004.Maka, secara resmi nama

Komisi Yudisial tercantum dalam Pasal 24B UUD 1945 yang merupakan hasil amandemen
ketiga.
Berdasarkan Pasal 24B Ayat 1 UUD 1945, Komisi Yudisial merupakan lembaga negara
bersifatmandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung danmempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat, serta
perilaku hakim. Kemudian pada 13 Agustus2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004

tentang Komisi Yudisial disahkan. Implementasi dari undang-undang tersebut, pemerintah
membentuk panitia seleksi untuk mengisi organ Komisi Yudisial dengan memilih tujuh orang
yang ditetapkan sebagai Anggota Komisi Yudisial.
Tujuan Dibentuknya Komisi Yudisial secara garis besarnya adalah :
1. Mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang mandiri untuk menegakkan hukum
dan keadilan.
2. Meningkatkan integritas, kapasitas, dan profesionalitas hakim sesuai dengan kode etik
dan pedoman perilaku hakim dalam menjalankan kewenangan dan tugasnya.
Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari lemahnya pengawasan secara intensif terhadap
kekuasaan kehakiman, karena pengawasan hanya dilakukan secara internal sajaa. Tidak adanya
lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) –dalam hal
ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman (judicial power).Kekuasaan kehakiman
dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya

apabila masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum. Tidak adanya
konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan
pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus. Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap
terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah
lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.

Tujuan pembentukan Komisi Yudisial adalah untuk melakukan monitoring yang intensif
terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum
yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal
dikhawatirkanmenimbulkan semangat korps (l’esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat
diragukan. Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen
Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan
teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga
peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya
hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman.
Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi
Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya. Meningkatkan efisiensi dan
efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal
yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim
serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih

berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk
memutus suatu perkara. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena
senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan
inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan
memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian,
putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat
diminimalisasi kalau bukan dieliminasi. Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap
rekruitmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat
mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan
kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim yang ada.
Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada publik melalui DPR, dengan cara menerbitkan
laporan tahunan dan membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
Dalam konteks kekinian, kita perlu memperjelas arti (kata) perilaku (behaviour) sebagaimana
tersirat dalam UU KY mengingat hal itu bisa memiliki pengertian antara lain sikap atau
tanggapan. Bila dihubungkan dengan pelanggaran perilaku hakim, hal ini memberi asumsi

tentang sikap yang terjadi tapi tidak bisa diartikan prosedur pelanggaran dalam menjalankan atau
menerapkan hukum.
Karena itu, pengawasan hakim secara ideal adalah hak perlu diawasi saat di ruang sidang
dan di luar pengadilan, atau bisa diistilahkan pengawasan luar dalam. Penyelesaian perkara yang

menyangkut perilaku dan pelanggaran kode etik, tidak boleh memasuki ranah kemandirian
hakim dalam memutus perkara, terutama keyakinannya mengenai penggunaan alat bukti. Kita
bisa mencermati Pasal 20 jo 22 UU Komisi Yudisial yang menegaskan bahwa KY hanya bisa
mengusulkan (melalui MA/ MK) dan tidak berwenang menjatuhkan sanksi.
Semua itu dimaksudkan untuk mempertahankan kemerdekaan peradilan, dalam arti
membebaskan dari campur tangan, tekanan, dan intervensi, baik secara fisik, psikis, maupun
politis. Hal itu juga merupakan jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka,
bebas dari pengaruh kekuasaan tertentu, terutama penyelenggaraan peradilan yang memiliki citacita menegakkan hukum dan keadilan.