Komisi Khusus Antikorupsi di DPR

Komisi Khusus Antikorupsi di DPR
*Agung Hendarto

Hasil survei terbaru yang dilakukan oleh Transparency International (TI) mendudukkan
Indonesia menjadi negara terkorup nomor 6 di dunia dari 159 negara dengan nilai 2,2. Di
sisi lain, citra buruk DPR juga semakin mendapatkan legitimasi dari hasil survei ini,
dimana partai politik dan parlemen menjadi dua instansi yang dianggap paling korup.
Instansi paling korup selanjutnya adalah kepolisian, bea cukai, pajak dan kejaksaan.
Adalah wajar apabila selanjutnya publik mempertanyakan peran DPR dalam agenda
pemberantasan korupsi nasional.
Sesungguhnya keberadaan DPR sangat strategis dalam upaya mempercepat
pemberantasan korupsi secara nasional. DPR dapat menggunakan berbagai instrumen
dan kewenangan yang dimilikinya untuk terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi.
Menurut pasal 33 ayat 2c, UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, DPR mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan
terhadap: 1) pelaksanaan undang-undang, 2) pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, 3) kebijakan Pemerintah sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945
dan Ketetapan MPR. Namun, saat ini DPR belum memanfaatkan tugas dan wewenang
pengawasan tersebut dengan optimal.
Salah satu bentuk tidak optimalnya pemanfaatan kewenangan DPR saat ini antara lain,

masih berlanjutnya pembentukan komisi yang berdasarkan departemental, artinya komisi
DPR dibentuk sesuai dengan pembagian departemen di eksekutif. Pola demikian
merupakan warisan pola Orde Baru, di mana lembaga legislatif saat itu merupakan
kepanjangan tangan dari lembaga eksekutif. Pola tersebut akan memudahkan pihak
eksekutif dalam mendapatkan legitimasi pihak legislatif dalam menjalankan kebijakan.
Pola tersebut tidak memungkinkan terjadinya pengawasan yang seharusnya dijalankan
legislatif terhadap eksekutif. Oleh karena itu, dilihat dari kacamata saat ini, lembaga
legislatif saat itu lebih dikenal sebagai rubber stamp terhadap kebijakan-kebijakan
eksekutif.
Mengingat kebutuhan saat ini, pembentukan komisi seharusnya lebih berdasarkan
kebutuhan sektoral, bukan berdasarkan departemen yang ada di eksekutif. Saat ini begitu
banyak isu sektoral yang memerlukan perhatian khusus dari DPR, antara lain isu
terorisme, isu narkoba, isu konflik horisontal, isu kemiskinan dan pengangguran, dan isu
korupsi. Namun, belum ada komisi khusus yang menangani isu-isu tersebut. Sebagai
contoh, belum ada komisi khusus yang menangani pemberantasan korupsi. Mengingat
tindak pidana korupsi merupakan masalah luar biasa bagi bangsa Indonesia, seharusnya
DPR mulai mengoptimalkan kewenangan pengawasannya seperti tersebut di atas.
Seharusnya DPR dapat membuat suatu Komisi Khusus Antikorupsi yang bertugas antara
lain mengawasi pelaksanaan UU Pemberantasan Korupsi dan pelaksanaan tugas lembaga
penegakkan hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Dalam hal kewenangan mengawasi pelaksanaan UU Pemberantasan Korupsi, Komisi
Khusus yang bersifat sektoral ini dapat mengevaluasi efektivitas undang-undang mengenai
pemberantasan tindak pidana korupsi secara periodik. Evaluasi dilakukan untuk

mengidentifikasi kemungkinan diperlukannya revisi atau penyempurnaan terhadap
undang-undang tersebut. Selain itu, Komisi Khusus dapat diberi tugas untuk menilai
apakah tujuan pada waktu membuat undang-undang tersebut sudah dapat dicapai atau
perlu dibuat undang-undang pendukung lainnya.
Sedangkan kewenangan mengawasi pelaksanaan tugas lembaga-lembaga penegakkan
hukum, DPR dapat mengevaluasi dan menilai kinerja lembaga penegakkan hukum.
Evaluasi dan penilaian diperlukan untuk melihat apakah lembaga-lembaga tersebut sudah
bekerja sesuai dengan tugas dan wewenangnya serta sesuai dengan peraturan perundangundangan yang ada. Selain itu, apakah lembaga-lembaga tersebut dalam menggunakan
APBN sudah optimal sesuai dengan target-target capaiannya, bukan menghabiskan dana
APBN yang tidak jelas hasilnya. Hal penting lain yang dapat dikerjakan oleh DPR adalah
menjadi katalisator dalam mendorong koordinasi lembaga-lembaga penegakkan hukum
untuk efektivitas pemberantasan korupsi.
Secara internal, untuk memagari kemungkinan munculnya praktik korupsi di lingkungan
anggota DPR, perlu disusun kode etik yang mengatur ruang gerak para wakil rakyat.
Kode Etik dan Aturan perilaku tersebut perlu untuk memberi batasan yang jelas bagi para
anggota DPR agar tidak terjerumus ke dalam perilaku yang dapat dikategorikan melanggar

kewajibannya sebagai wakil rakyat. Untuk menjaga independensi anggota DPR dan untuk
menjaga agar tidak ada intervensi pihak lain terhadap para anggota DPR, maka sebaiknya
kode etik dan aturan perilaku tersebut dibentuk, diawasi implementasinya, ditegakkan, dan
direvisi secara terus-menerus oleh para anggota DPR sendiri. Saat ini di DPR sudah ada
Badan Kehormatan, namun tugas dan kewenangannya masih sangat terbatas. Supaya
efektif, Badan Kehormatan perlu dilengkapi tugas dan kewenangannya untuk membentuk
kode etik dan aturan perilaku, mengawasi implementasinya, menegakkan, dan merevisinya
secara terus-menerus.
Sebagai perbandingan, untuk mengendalikan perilaku anggota Kongres Amerika Serikat,
di lingkungan House of Representatives terdapat Committee on Standards of Official
Conduct yang secara permanen membentuk kode etik, mengawasi implementasinya, dan
menegakkannya. Sebagai bentuk kongkritnya, telah dikeluarkan Ethics Manual for
Members, Officers, and Employees of the US House of Representatives.
Akhirnya, berbagai gagasan yang sudah dikemukakan di atas menjadi sangat tidak relevan
manakala tidak disokong oleh komitmen kuat DPR dalam pemberantasan korupsi.
Komitmen itu agaknya memang patut dipertanyakan kepada para anggota DPR, mengingat
RUU Perlindungan Saksi, RUU Kebebasan Memperoleh Informasi, RUU Pembuktian
Terbalik dan RUU lain yang dapat mempercepat pemberantasan korupsi sudah lama
ngendon di DPR, tetapi RUU-RUU tersebut belum mendapatkan perhatian dan menjadi
prioritas pembahasan.