Dinamika Hubungan Indonesia Amerika Se

Hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat
Seperti yang dapat dilihat saat ini, hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat terlihat bersahabat
dimana Amerika Serikat memiliki peran penting di beberapa sektor di Indonesia. Namun dalam dinamika
hubungan persahabatan keduanya ini, hubungan antar kedua negara tak selalu berjalan mulus. Kadangkala
hubungan keduanya merenggang dan kembali membaik. Hubungan antara Indonesia dengan Amerika Serikat
sebenarnya sudah terjalin sebelum Indonesia merdeka, namun hubungan diplomatik antar keduanya resmi
setelah adanya penempatan Duta Besar di masing-masing negara. Amerika Serikat menempatkan Florace M
Chochran sebagai Duta Besar pertama Amerika Serikat di Jakarta pada 28 Desember 1949 sedangkan Indonesia
baru menempatkan Duta Besarnya yaitu Ali Sostro Amodjojo pada 20 Februari 1950 (www.kemlu.go.id).
Hubungan yang dinamis antara Indonesia dengan Amerika Serikat ini sebenarnya dipengaruhi oleh
pimpinan masing-masing-masing negara. Hubungan antar kedua negara ini bergantung pada ideologi dan
kepercayaan yang dianut oleh masing-masing pemimpin seperti ketika era Soekarno dimana hubungan
keduanya merenggang namun ketika era Soeharto hingga kini, hubungan keduanya cenderung baik bahkan
bersahabat. Begitu juga dengan pemimpin Amerika Serikat seperti pada era Nixon dimana hubungan Indonesia
dan Amerika berjalan sangat baik dengan meningkatnya bantuan Amerika Serikat ke Indonesia. Hal lain yang
membuat hubungan keduanya dinamis juga adanya unsur kepentingan nasional masing negara dimana
Indonesia memiliki posisi yang lemah dan bergantung pada bantuan Amerika Serikat sedangkan Amerika
Serikat juga gencar mempromosikan ideologi liberal, perang terhadap terorisme dan demokrasi di berbagai
negara. Hubungan antar keduanya dinilai cukup sejalan dengan adanya beberapa kesamaan seperti antikomunisme dan perang terhadap terorisme.
Hubungan Indonesia dan Amerika Serikat pada era Soekarno berjalan tidak begitu baik, hal ini
dikarenakan Soerkarno yang tidak suka pada blok Barat dan trauma akan adanya imperialisme yang dilakukan

oleh blok Barat. Selain itu juga terkait dengan politik bebas aktif Indonesia yang tak ingin ada negara lain
mendikte Indonesia dan menghambat Indonesia berperan aktif di internasional. Namun politik bebas aktif ini
tidak berarti Indonesia tidak berhak condong ke salah satu blok terkait adanya blok barat dan blok timur ketika
Perang Dingin. Soekarno memilih untuk menutup diri dari Amerika dan cenderung memihak ke blok Timur
seperti Uni Soviet dan Cina (Smith,2003). Namun sikap Indonesia ini tidak berarti menjadikan Indonesia
menganut komunis.
Hubungan Indonesia dan Amerika Serikat mulai membaik ketika kasus Pembebasan Irian Barat.
Belanda yang merupakan sekutu Amerika Serikat mengklaim akan Irian Barat yang akhirnya membuat
Indonesia meminta bantuan militer ke Uni Soviet. Uni Soviet pun mengirim bantuan militer ke Irian Barat
untuk mengusir Belanda yang menduduki Irian Barat. Melihat tindakan ini, Kennedy yang pada saat itu
merupakan presiden Amerika Serikat pun geram dan memaksa Belanda untuk pergi dari Irian Barat karena

Amerika Serikat tak mau melihat Belanda porak poranda akibat serangan militer Uni Soviet (Wardaya,2008).
Selain itu, Amerika juga meminta Belanda berunding dengan Indonesia terkait masalah Irian Barat secara damai
dengan memberi syarat yang menguntungkan Indonesia, hal ini dilakukan Amerika Serikat takut melihat
Indonesia yang mulai berhubungan baik dengan Uni Soviet.
Pada era Soeharto ini, Politik Luar Negeri yang dijalankan Indonesia bertujuan untuk menarik investor
asing untuk memberikan modal dalam pembangunan Indonesia. Dengan politik luar negeri ini pun membuat
Amerika yang merupakan negara kaya menjadi target utama Indonesia sehingga Indonesia pun berusaha untuk
menormalisasikan hubungan dengan Indonesia. Soeharto menganggap Amerika Serikat sebagai pihak yang

mampu memberikan bantuan ekonomi cukup besar bagi Indonesia (Smith,2003). Seperti yang dijelaskan tadi
bahwa hubungan keduanya dipengaruhi oleh siapa pemimpinnya, hubungan keduanya pun berubah-ubah ketika
Soeharto yang menjabat presiden selama 32 tahun sedangkan Amerika pun telah berganti-ganti presiden.
Pada masa presiden Lyndon (1965-1968), hubungan kedua negara mulai terjalin baik dimana Indonesia
berusaha untuk menormalisasikan hubungan dan mengubah image Indonesia yang menentang Barat. Pada era
Soeharto, Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama tengah melakukan perlawanan terhadap komunis.
Indonesia pada saat itu gentar memberantas G30S/PKI yang sedang berkembang dan membubarkan PKI (Partai
Komunis Indonesia). Tindakan ini pun membuat Amerika Serikat bersimpati ke Indonesia dan memberikan
bantuan ke Indonesia ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi (Wiharyanto,t.t). Membaiknya hubungan ini tak
berarti Indonesia menjadi sekutu Amerika Serikat karena Indonesia masih menunjukkan sikap non-aliansi
dengan Amerika Serikat (Wanandi,1991).
Pada masa presiden Nixon (1968-1972), hubungan kedua negara terjalin sangat baik dimana Amerika
memberikan bantuan ekonomi, diadakan pelatihan militer dan adanya kunjungan kenegaraan. Kedua negara ini
juga saling berperan aktif dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di kawasan regional Asia seperti konflik
Kamboja dan Vietnam. Hal ini sesuai dengan politik bebas aktif Indonesia yang berperan aktif dalam
internasional khususnya dalam kawasan Asia sendiri. Hubungan baik ini terjalin karena Kebijakan Luar Negeri
kedua negara ini sejalan sehingga Indonesia pun mendukung penuh tindakan Amerika (Wanandi,1991).
Pada masa presiden Ford (1973-1976), Amerika Serikat sedang mengalami masalah dimana Amerika
baru saja mengalami kekelahan pada perang Vietnam dan adanya krisis Watergate. Adanya masalah ini pun
membuat Ford pada saat itu fokus untuk memulihkan keadaan dan image Amerika dengan cara menjalin

hubungan baik dengan negara di kawasan Asia Pasifik. Hal ini terbukti dengan adanya kunjungan kenegaraan
Ford ke Jakarta pada tahun 1976 dimana pada saat itu juga bertepatan dengan kasus Timor Timur. Pada
pertemuan tersebut, Soeharto maupun Ford tak terlalu fokus pada pembahasan masalah Timor Timur melainkan
lebih ke basic human needs (Wanandi,1991).

Pada masa presiden Carter (1976-1980), Amerika Serikat lebih fokus terhadap masalah Hak Asasi
Manusia. Hal ini pun semakin membuat hubungan kedua negara berjalan baik dimana pendangan Amerika ini
dijadikan pencerahan Indonesia dalam kasus Hak Asasi Manusia. Selain itu, Amerika Serikat juga memilih
untuk menghadiri pertemuan ASEAN yang diadakan di Bali pada tahun 1979. Pada masa presiden Reagon
(1980-1988), tidak ada masalah yang berarti dalam hubungan keduanya secara garis besar. Tetapi malah
terdapat masalah dalam kawasan regional di Asia Pasifik seperti administrasi Reagon yang enggan
meningkakan bantuan militer serta mengurangi ikut campur Amerika Serikat dalam kerjasama regional seperti
APEC dan PECC. Tetapi tindakan Amerika Serikat dalam kawasan Asia Pasifik berbeda dengan hubungan
Amerika Serikat dengan Indonesia dimana pada tahun 1982 Soeharto mengunjungi Amerika Serikat dan
Reagon yang membalas kunjungan ke Indonesia pada tahun 1986. Meskipun bantuan Amerika Serikat
berkurang namun Amerika tetap mendukung Indonesia seperti adanya kerjasama ekonomi, budaya dan
pendidikan dimana terbentuk KIAS (Kebudayaan Indonesia - Amerika Serikat) yang membuat Indonesia
mendapat perhatian masyarakat Amerika dalam hal pembangunan, HAM, Rule of Law, politik dan keadilan
sosial namun juga membuat Indonesia lebih berhati-hati karena kekurangan Indonesia dapat terlihat jelas.
Pada masa presiden Bush (1988-1991), Amerika yang aktif dalam PECC dan APEC pun dijadikan

landasan kerjasama ekonomi politik antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Hubungan kedua negara ini lebih
bahas mengenai masalah HAM dan demokrasi. Tetapi pada masa Bush ini terdapat masalah terkait peristiwa
9/11 yang membuat Amerika menyatakan perang melawan terorisme yang secara langsung juga merugikan
Indosia yang mayoritas beragama Islam. Namun pada akhirnya kedua negara saling bekerjasama dalam
memberantas terorisme dimana Indonsia juga terancam teroris dengan adanya Bom Bali pada tahun 2002.
Setelah masa pimpinan Soeharto berakhir, presiden Amerika Serikat setelah Soeharto semakin "lunak"
kepada Amerika Serikat. Bahkan hubungan kedua negara ini terjalin baik seperti sahabat dan dijadikan Amerika
Serikat untuk mengajak Indonesia pro liberalis dengan alasan perdamaian. Hubungan bilateral antar keduanya
pun semakin meningkat dan beberapa tindakan Indonesia yang memperlihatkan Indonesia mendukung Amerika
Serikat. Tindakan yang dilakukan Indonesia seperti ikut kedalam Counter Terrorism Comitee (CTC) dan
dibentuk densus 88 sebagai upaya memberantas terorisme di Indonesia.
Posisi Amerika Serikat bagi Indonesia dinilai strategis dimana Amerika Serikat merupakan sumber
utama modal Indonesia dalam upaya pembangunan Indonesia. Amerika juga dapat menjamin stabilitas
keamanan Indonesia terutama terkait terorisme (Emmerson,2002). Dengan jaminan keamanan ini pun secara
otomatis juga mengurangi anggaran negara yang dapat digunakan untuk upaya pembangunan Indonesia. Selain
itu investasi dan peran Amerika Serikat juga penting bagi Indonesia. Sebenarnya hubungan Indonesia dan
Amerika Serikat ini asimetris dimana Amerika Serikat merupakan negara adikuasa dan memiliki pengaruh besar

sedangkan Indonesia harus menjaga hubungannya dengan Amerika Serikat agar kebijakan yang diambil
Amerika Serikat mempertimbangkan kepentingan nasional Indonesia atau setidaknya tak merugikan Indonesia.

Amerika Serikat sebagai negara adidaya memiliki pondasi yang kuat dalam berbagai sektor. Berikut ini
adalah beberapa posisi strategis Amerika bagi Indonesia. Pertama, perimbangan di bidang strategis militer di
atas diperluan untuk merumuskan persepsi politik (Wanandi,n.d). Persepsi politik yang dimaksud mengerucut
pada dua hal, yaitu persepsi ancaman dan kemungkinan terciptanya stabilitas dan perdamaian kawasan. Jika
ancaman dan potensi gejolak bisa diatasi maka Indonesia bisa memfokuskan diri dalam pembangunan dan
pengembangan sumber daya. Kedua, hingga kini Amerika Serikat telah mampu menjamin stabilitas dan
keamanan di kawasan Asia Pasifik dengan strategi forward deployment di kawasan ini (Wanandi,n.d).
Pengawasan Amerika Serikat terutama ditujukan sebagai upaya preventif terhadap gejolak terhadap kestabilan
kawasan. Pengawasan ini diwujudkan dalam bentuk militer. Amerika Serikat juga merupakan pemberi bantuan
terbesar dalam hal kekuatan keamanan nasional Indonesia terkait terorisme (Emmerson, 2002: 123). Ketiga,
hubungan itu berarti pula bahwa pandangan Indonesia (bersama anggota-anggota ASEAN lainnya) mengenai
perkembangan kawasan perlu ditanggapi secara sungguh-sungguh oleh Amerika Serikat (Wanandi,n.d). Posisi
yang kuat dalam organisasi internasional, mengingat Amerika Serikat adalah pelopor sistem perdagangan
internasional

modern

dan

pendiri


berbagai

institusi

perdagangan

dan

keuangan

internasional

(http://www.kemenkeu.go.id, diakses pada 16 Desember 2013). Melalui perannya dalam berbagai organisasi
internasional, Amerika Serikat bisa mempertimbangkan kepentingan Indonesia dalam setiap pengambilan
keputusan. Keempat, di bidang politik ekonomi, hubungan dengan Amerika Serikat penting untuk mengimbangi
kekuatan ekonomi Jepang (Wanandi,n.d). Terlalu banyak barang buatan Jepang yang masuk ke pasar Indonesia,
sehingga diharpakan Amerika Serikat mampu menjadi penyeimbang, terutama dalam bidang industri. Kelima,
di bidang swasta investasi Amerika Serikat di dalam bidang energi dan mineral masih tetap panjang
(Wanandi,n.d). Hal yang sama berlaku pula untuk investasi di bidang industri berteknologi tinggi dan bidang

pelayanan. Pasar Amerika Serikat juga sangat potensial untuk barang non migas yaitu bidang manufacturing.
Keenam, pendidikan adalah aspek yang paling menonjol dalam hubungan budaya dengan Amerika Serikat
dengan akibat-akibatnya yang pada umumnya baik (Wanandi,n.d). Tersedia banyak beasiswa untuk belajar di
Amerika Serikat maupun Indonesia. Beasiswa ini tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga berupa pengenalan
budaya, media, kehidupan dan berbagai sektor lain di kedua negara yang pada akhirnya dapat membangun
jembatan pemahaman.
Posisi strategis ini kemudian diimplementasikan secara nyata dalam berbagai bentuk variasi kerja sama.
Pada bulan November 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Barrack Obama
menandatangani Comprehensive Partnership Agreement (CPA). Perjanjian ini meliputi kerja sama dalam bidang
perdagangan dan investasi, pendidikan, energi, perubahan iklim dan lingkungan, keamanan, demokrasi dan
masyarakat sipil (Vaughn,2011:4-5). Sejak 2009, ekspor barang AS ke Indonesia telah meningkat dari $5,1

miliar ke $7,4 miliar pada tahun 2011, dan impor barang telah meningkat dari $12,9 miliar ke $19,1 miliar
(http://indonesian.jakarta.usembassy.gov, diakses pada 16 Desember 2013). Dalam bidang pendidikan, program
Kennedy-Lugar Youth Exchange and Study ditujukan bagi siwa siswi Indonesia untuk tinggal di Amerika
Serikat selama satu tahun dan membangun jembatan pemahaman antar dua negara untuk menyebarkan
perdamaian. Sektor pembangunan juga disentuh, salah satunya melalui Program Millennium Challenge
Corporation (MCC) compact senilai $600 juta yang ditandatangani pada November 2011 menyediakan
investasi dalam bidang energi terbarukan, gizi ibu dan anak, serta dukungan bagi upaya Indonesia dalam
memodernisasi


sistem pengadaan publiknya (http://indonesian.jakarta.usembassy.gov, diakses pada 16

Desember 2013).
Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa hubungan Indonesia-Amerika Serikat bersifat
fluktuatif, tergantung dari situasi saat itu dan karakteristik pemimpin. Era Orde Lama, hubungan kedua negara
kurang baik karena Soekarno tidak berpihak pada Amerika. Era Orde Baru, hubungan kedua negara membaik
karena Indonesia membutuhkan bantuan ekonomi dari Amerika Serikat. Pada era reformasi saat ini kekuatan
dunia saat ini bersifat multi polar yang kemudian berimbas pada keharusan bagi setiap negara untuk saling
menjalin kerja sama. Motivasi terbesar dalam hubungan antar negara adalah pencapaian kepentingan.
Kepentingan ini didasarkan pada kapabilitas dan potensi yang dimiliki oleh suatu negara. Selain itu kepentingan
juga berlatar belakang kelemahan negara itu sendiri sehingga mendorong negara tersebut untuk bekerja sama
dengan negara lain. Dalam hubungan Indonesia-Amerika, landasan tersebut juga berlaku. Masing-masing pihak
memiliki posisi strategis dalam kacamata pihak lain.

Referensi:
Emmerson, Donald K., 2002. “Whose Eleventh? Indonesia and the United States Since 11 September”,
dalam Brown Journal of World Affairs, 9 (1): 115-126.
Smith, Anthony L, 2003. “Ä Glass Half Full: Indonesia-US Relations in the Age of Terror”,
dalam Contemporary Southeast Asia, 25 (3): 449-472.

Wanandi,1991. “Hubungan Amerika Serikat-Indonesa Selama Orde Baru:Suatu Tinjauan Singkat dan Pribadi”.
Wardaya,Baskara

T.2008."Indonesia

melawan

Amerika:Konflik

dan

Perang

Dingin,1953-

1963".Yogyakarta:Galangpress Group
Wiharyanto, , A Kardiyat. t.t. Pasang Surut Hubungan RI-AS” [online] Tersedia di http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=265834(diakses pada 09 Desember 2013)

Kerjasama Bilateral:Amerika Serikat www. kemlu.go.id/pages/IFPDisplay.aspx?
Name=BilateralCooperation&IDP=37&P=Bilateral&l=id dalam


yang diakses pada 09 Desember 2013