Liberasi Teologi di Iran Pasca Revolusi
LIBERASI TEOLOGI DI IRAN PASCA-REVOLUSI: Telisik Pemikiran Abdul Karim Soroush
Fahmy Farid Purnama
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta e-mail: [email protected]
Abstract: This paper will discuss the identity struggle and discourse of thought in the Islamic world, especially in the Islamic civilization and culture of Iran. That is, by trying to explain various religio-philosophical discourse presented by Soroush to restore Iranian civilization from an identity crisis, psychological deterioration, to the ontological dislocation that have obscured the authenticity of existential society. This paper will also explain why Soroush calls for new directions in theology and Islamic political discourse, particularly in Iran, which is supported by various philosophical discourse. By involving the philosophy of science (epistemology) in understanding human religiosity, Soroush philosophical thought also necessitates a new perspective of looking at reality, both the reality of individual, social, or global.
Abstrak: Tulisan ini akan mengurai pergulatan identitas dan wacana pemikiran di dunia Islam, khususnya di kancah peradaban dan kebudayaan Iran. Yaitu de- ngan berusaha menjelaskan pelbagai wacana filsafat-keagamaan yang di- ketengahkan Soroush untuk memulihkan peradaban Iran dari krisis identitas, keterpurukan psikologis, hingga dislokasi ontologis yang telah mengaburkan otentisitas eksistensial masyarakatnya. Tulisan ini juga akan menjelaskan mengapa Soroush menghendaki adanya arah baru dalam diskursus teologi dan politik Islam, khususnya di Iran, yang ditopang oleh pelbagai wacana filosofis. Dengan melibatkan filsafat ilmu (epistemologi) dalam memahami religiusitas manusia, pembacaan Soroush juga meniscayakan suatu perspektif baru dalam memandang realitas, baik realitas individual, sosial, maupun global.
Keywords: rational modesy; shifting paradigm; falsification; fallibility; ibthāl-
pazīrī; corroboration; contraction; expansion; critical rationalism; critical realism
A. Pendahuluan
Ada sebuah tilikan menarik terkait signifikasi sebuah permulaan dari Edward Said yang tertuang dalam buku Beginning, Intention, and Method, bahwa:
Beginning is not only a kind of action; it is also a frame of mind, a kind of work, an attitude, a consciousness. It is pragmatic—as when we read a difficult text and wonder where to begin in other to understand it, or where the author began the work and why. And it is theoretic—as when we ask whether there is any peculiar epistemological trait or performance unique to
J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 25 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 25
Does the beginning? 1
Permulaan selalu menjadi horizon awal seseorang memberikan pe- mahaman dan pemaknaan atas kemunculan suatu fenomena beserta pelbagai variabel doktrinal maupun moral-kultural yang menopangnya.
Permulaan bukan hanya suatu tindakan aktual, namun sekaligus kerangka pikiran, suatu sikap, hingga konstruksi kesadaran. Dengan demikian, jika suatu fenomena yang sudah sedemikian kompleks —melalui pelbagai tindakan penafsiran yang menjadikannya tidak pernah memadai untuk diandaikan sebagai sesuatu yang hadir ‘begitu saja’— memiliki alur logikanya tersendiri, maka apakah demikian dengan sebuah permulaan? Ataukah sebuah permulaan justru sejatinya mengandaikan satu kondisi pra-reflektif, semacam kondisi ketika suatu fenomena tengah dibiarkan hadir apa adanya, tanpa melibatkan intensi apapun?
Bagi Said sendiri, permulaan bisa dimaknai sebagai moment kemunculan atau penanda awal yang —seolah— terlihat sederhana. Namun dibalik ke- sederhanaan tersebut, permulaan justru mengandaikan adanya pelbagai elemen penopang yang acap luput dari tindakan interpretasi, baik bersifat praksis maupun teoritis. Permulaan juga mengandaikan suatu potensi tafsiran-tafsiran yang akan sedemikian melimpah dan kompleks karena dipicu oleh perbedaan latar belakang sosio-kultural saat menjumpai suatu permulaan.
Mempertimbangkan sedemikian pentingnya sebuah permulaan, maka untuk memulai memperbincangan pemikiran Abdul Karim Soroush tidak mungkin lepas dari bagaimana ia menggambarkan konteks kehidupan kultural yang menjadi permulaan pemahamannya atas realitas sosial di sekelilingnya. Digambarkan Soroush,
“We, Iranian Moslems are the inheritors and the carriers of three cultures at once […] The three cultures that form our common heritage are of national,
religious, and Western origins.” 2
Soroush menggambarkan bahwa selain sebagai sebuah topografi, Iran merupakan suatu situasi, sebuah identitas khas bagi riuhnya ingatan-ingatan
1 Edward Said, Beginning, Intention, and Method (New York: Basic Books Publisher, 1975), h. xi. 2 Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom, and Democracy in Islam, terj. Mahmoud Sadri dan
Ahmad Sadri (New York: Oxford University Press, 2000), h. 156.
26 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 26 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016
Bagi Soroush sendiri, masyarakat Muslim Iran mewarisi dan memikul tiga identitas, yaitu warisan kebudayaan Iran lama (Persia), Islam, dan peradaban Barat. Perjumpaan ketiga identitas tersebut melebur di kancah peradaban Iran kontemporer. Maka membincang Iran berarti memperbincangkan situasi konkret sosio-kultur masyarakat Iran, baik dalam aspek politik, ekonomi, sistem sosial, hingga religiusitas masyarakat di dalamnya yang terbentuk dan ditopang oleh tiga identitas tersebut.
B. Geliat Pemikiran Islam di Sekitar Revolusi Iran
Sebagai pemikir ensiklopedis yang terdidik dari pelbagai latar belakang intelektual dan kebudayaan, pemikiran Soroush berkembang di sekitar gerakan revolusi Iran yang puncaknya meletus pada tahun 1979. Meminjam analisa
Farhang Rajaee, 3 peristiwa Revolusi Iran dipicu oleh tiga faktor utama yang menghantam Iran secara bersamaan pada akhir abad ke-20, yaitu: Pertama, kembalinya spirit modernisasi Iran yang sebelumnya telah dirusak oleh kekuasaan Dinasti Pahlevi. Masyarakat Iran berupaya membangun kembali sebuah identitas baru yang inklusif. Dalam pada itu, revolusi menjadi panggilan jiwa kebudayaan masyarakat Iran untuk mengembalikan indigiensi kultural yang telah mereka miliki sepanjang sejarah kebudayaan dan peradabannya, namun dikaburkan oleh imperialisme Barat. Kedua, upaya mengembalikan spirit restorasi politik yang terakhir kali terdengar didengungkan oleh seorang pemimpin nasionalis, Mohammad Mosaddeq (1882-1967). Restorasi ini me- nekankan pada upaya pemulihan krisis kepercayaan (erosion of confidence) masyarakat Iran yang tengah memudar. Paradigma restorasi identitas pribumi (nativist restoration) menjadi wacana dominan di Iran pada tahun 1970-an. Ketiga, terjadinya pergeseran arus paradigmatik dalam sistem interaksi global. Wacana yang berkembang di lingkup internasional tengah merayakan kemunculan narasi-narasi kecil peradaban, dengan tidak lagi mengandaikan sebuah totalitas. Revolusi di bidang informasi dan komunikasi telah merubah konfigurasi dunia menjadi sebuah desa global (global village).
3 Farhang Rajaee, Islamism and Modernism: The Changing Discourse in Iran, cet. I (Austin: University of Texas Press, 2007), h. 7.
J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 27
Menurut Farhang Rajaee, politik restorasi merupakan faktor paling me- nentukan terjadinya peristiwa Revolusi Iran, karena pudarnya kepercayaan diri, keterpurukan psikologis, hingga dislokasi ontologis yang telah mengaburkan otentisitas eksistensial, telah menicu krisis identitas akut masyarakat Iran. Sedangkan spirit modernisasi Iran dan afirmasi dunia global atas kemunculan narasi kecil lebih sebagai katalisator atau penyebab lain yang turut mem- percepat meletusnya Revolusi.
Sengkarut persoalan internal masyarakat Iran ini menggambarkan ke- tidakmampuan mereka untuk memperbaharui dan memajukan peradabannya sejak keruntuhan Dinasti Safawi pada tahun 1736. Pelbagai respon umat Islam terhadap situasi tersebut bergerak liar di antara dua spektrum yang silih memunggungi—layaknya ayunan sebuah pendulum; antara tren sekularisasi (dalam bentuknya yang prematur atau bahkan radikal, dengan dalih modernisasi) dan revivalisasi Islam (fanatisme berdalih agama).
Semenjak itu, sejarah Iran riuh oleh pelbagai fenomena anomi politik dan sosial, seperti demonstrasi, pemberontakan, kudeta, hingga revolusi. Tidak heran gerakan revivalisme dan upaya indigiensi kultural menjadi tema yang terus didengungkan di masyarakat Muslim Iran. Tokoh-tokoh Iran semisal Seyyed Jamal Assadabadi (w. 1897), Mirza Hassan Shirazi (w. 1895), Mohammad Mosaddeq (w. 1967), Jalal al-Ahmad (w. 1969), Ali Shari`ati (w. 1977), Mehdi Bazargan (w. 1995), hingga Khomeini (w. 1989), mewacanakan kemandirian dan otentisitas diri sebagai jalan keluar persoalan Iran—tentu
dalam pemaknaan dan caranya masing-masing. 4 Spirit revivalisme ini telah memunculkan pelbagai spektrum pemikiran di Iran kontemporer.
Namun terlebih dahulu harus dipahami bahwa gaya berpikir Islam (Islam- minded) dalam aspek politik dan sosial di Iran telah lama mengakar di jantung kebudayaannya, terutama semenjak Dinasti Safawi menjadikan Syi`ah sebagai ideologi resmi negara pada abad ke-15. Hal ini menegaskan bahwa setiap perubahan yang terjadi di jantung kebudayaan Iran senantiasa melibatkan Islam, baik sebagai instrumen politik sebagaimana dilakukan kelompok fundamentalis, maupun sebagai bagian dari sosio-kultur masyarakat Iran.
Pada akhir abad ke-19, ketika gerakan modernisasi dan sekulerisasi menjadi tren kebudayaan yang dominan, masyarakat Muslim Iran berusaha
4 Ibid., h. 7-8.
28 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 28 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016
restorasi. 5 Generasi pertama yang berusaha mengembalikan identitas kebudayaan
masyarakat Muslim Iran muncul dalam bentuk gerakan Islam, semacam upaya pemulihan melalui jalur kultural-agama, bukan jalur politik praktis. Gerakan ini memandang perlu adanya upaya merawat dan membela identitas Islam dari pengaruh buruk modernisme; dengan cara memperkuat posisi ulama dan menghidupkan kembali spirit keagamaan melalui pelbagai institusi otoritatif. Dalam hal ini, terjadi pergeseran paradigma Islam dan mengubahnya menjadi proyek sosio-kultural.
Adapun proses pembebasan masyarakat Muslim Iran dari kungkungan imperialisme Barat, khususnya Amerika, yang diwacanakan oleh generasi kedua bergerak di jalur politik praksis yang mencita-citakan sebuah revolusi. Para pelaku generasi kedua menyuarakan berakhirnya Amerikanisasi pada tahun 1960 dan 1970-an. Mengingat pelaku generasi kedua menaruh perhatian pada proses ideologisasi Islam, maka wacana pemikiran yang berkembang dan turut menopang praksis politik mereka berkutat pada pembacaan kritis dan evaluatif terhadap modernitas, sekaligus terhadap pelbagai wacana keagamaan yang turut menopangnya. Peristiwa revolusi 1979 dianggap sebagai moment puncak sekaligus pembuka fase baru modernisasi Iran yang dikembangkan dari akar tradisi Islam, dengan Khomeini sebagai ikonnya.
Walaupun Khomeini sendiri mendeklarasikan berakhirnya revolusi pada Desember 1982, namun perkembangan Iran pasca-revolusi sendiri telah memunculkan dua tren kecenderungan baru, yaitu gerakan ekstremisme dan moderatisme Islam. Tren ekstremis ini menjadi moment kemunculan— meminjam istilah Horkheimer—rasio instrumental Iran yang telah melahirkan generasi Islam politis. Menggunakan rasio instrumental, ekstremis Iran mem- fungsikan wacana keagamaan sebagai instrumen moral maupun formal untuk tujuan kekuasaan dan dominasi, baik terejawantahkan dalam bentuk kontrol ____________
5 Ibid., h. 17.
J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 29 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 29
Kegagalan Islamisme di kancah kebudayaan global serta semakin matang- nya intelektual Iran yang terlibat dalam revolusi telah memantik wacana baru dalam memahami pertautan antara Islam dan modernitas. Sikap moderat menjadi tren baru di Iran yang berusaha merefleksikan ulang pergumulan Iran di kancah kebudayaan global. Gerakan ini bertujuan untuk melakukan lokalisasi aspek kebudayaan global (localization of the global) dan globalisasi aspek kebudayaan lokal (globalization of the local) dalam perjumpaan-perjumpaan kreatif. Dalam arti, terbuka terhadap globalisasi kebudayaan, sekaligus —dalam waktu yang bersamaan—apresiatif atas identitas lokal Iran di kancah hiruk- pikuk kebudayaan global itu sendiri. Tren kedua ini berusaha mengembalikan Islam sebagai bagian kultural dari kebudayaan peradaban Iran, bukan
instrumen politik formal untuk mengukuhkan dominasi dan kekuasaan an sich. 7 Di tengah pergulatan identitas dan wacana pemikiran di dunia Islam, 8
khususnya di kancah peradaban dan kebudayaan Iran, di manakah posisi pemikiran Soroush? Wacana filosofis semacam apa yang diketengahkan ____________
6 Rasio instrumental (instrumentellen vernunft) merupakan istilah yang digunakan Horkheimer, untuk memotret kecenderungan positivistik dalam ilmu-ilmu sosial yang mengandaikan satu
konstruksi epistemologis yang bebas nilai (value-free) dan bersifat objektif. Rasio instrumental ini di dikendalikan oleh kesadaran pragmatisme manusia. Dampaknya, gambaran manusia direduksi sedemikian rupa, kemudian dilepaskan dari pertautannya dengan praktik sosial dan moralitas. Rasionalitas manusia hanya dipahami sebatas proses industrial dan mekanis. Selengkapnya lihat: Max Horkheimer, Eclipse of Reason (New York: Continuum, 2004), h. 14-15.
7 Farhang Rajaee, Islamism and Modernism, h. 17-18. 8 Meminjam pemetaan al-Jabiri, kecenderungan intelektual Arab dalam upaya keluar dari
keterpurukannya ini terejawantahkan ke dalam tiga tipologi dasar. Pertama, sikap modernis (al- `ashrāniyyah) yang menjadikan capaian Barat modern sebagai model paradigma peradaban masa kini dan masa depan. Kedua, sikap tradisionalis (salafiyyah) yang menganggap bahwa capaian peradaban Arab-Islam perdana, sebelum terjadi—sebagaimana diasumsikan mereka—pelbagai penyimpangan dan kemunduran, dianggap sebagai model paling relevan dalam menghadapi modernitas. Ketiga, sikap ekletis (intiqāiyyah) yang berusaha mencari unsur-unsur terbaik dari paradigma Barat modern dan capaian peradaban Arab-Islam klasik, kemudian memadukan keduanya dalam sebuah paradigma baru. Selengkapnya lihat: Muhammad Abed al-Jabiri, Ishkāliyāt al-Fikr al-`Arabi al-Mu`āṣir, cet. VI (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-`Arabiah, 2010), h. 15-17.
30 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016
Soroush untuk memulihkan peradaban Iran dari krisis identitas, keterpurukan psikologis, hingga dislokasi ontologis yang telah mengaburkan otentisitas eksistensial masyarakatnya? Mengapa Soroush menghendaki adanya arah baru dalam diskursus teologi dan politik Islam, khususnya di Iran? Pandangan filosofis dan konstruksi epistemologis semacam apa yang ditawarkan Soroush untuk menopang pelbagai wacananya? Di seputar pertanyaan-pertanyaan itulah tulisan ini dihadirkan. Tulisan ini bermaksud menguraikan beberapa wacana filosofis dan religius yang dikembangkan Soroush untuk menopang proyek kebangkitan peradaban Iran yang dicita-citakannya.
C. Sketsa Biografis Soroush
1. Sejarah Hidup
Husain Haj Farajullah Dabbagh, atau lebih dikenal dengan nama pena Abdul Karim Soroush, merupakan salah satu intelektual Iran yang cukup berpengaruh, ensiklopedis, sekaligus kontroversial di kancah kebudayaan dan peradaban Iran kontemporer. Pemikirannya dianggap sebagai wajah baru rasionalisme Mu’tazilah, yang bahkan dikukuhkannya sendiri dalam sebuah wawancara:
Let me also add here that I consider myself a ‘neo-Muʿtazilite’. I believe that the Qur’an is God’s creation. The Mu`tazilites said this. But we can take one step further and say that the fact that the Qurʾan is God’s creation means that the Qurʾan is the Prophet’s creation. The Mu`tazilites didn’t explicitly take this step
but I believe it is a necessary corollary of their creed and school of thought. 9 Karena keluasan pemikirannya, Forough Jahanbakhsh, dalam pengatar
buku The Expansion of Prophetic Experience, memuji Soroush sebagai one of the most systematic architects of the Neo-Rationalist Islam, and one whose ideas have introduced a paradigm shift in Muslim religious thought (salah satu arsitek Neo- Rasionalis Islam paling sistematis, dan intelektual yang mengenalkan perubahan
paradigma di kancah pemikiran Islam). 10 Bahkan karena semangat reformisnya
9 Mohammed Hashas, “Abdolkarim Soroush: The Neo-Mu`tazilite that Buries Classical Islamic Political Theology in Defence of Religious Democracy and Pluralism”, jurnal Studia Islamica, Vol. 109
(Netherlands: Brill, 2014), h. 151. 10 Forough Jahanbakhsh, “Introduction”, dalam: Abdul Karim Soroush, The Expansion of Prophetic Experience: Essays on Historicity, Contigency, and Plurality in Religion, terj. Nilou Mobasser (Netherlands: Brill, 2009), h. xvii.
J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 31 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 31
Intelektualitas Soroush yang digambarkan tersebut tercermin dari perjalanan hidupnya. Dilahirkan pada tahun 1945 di Teheran Selatan—Iran, Soroush terdidik di lingkungan yang memiliki perhatian penuh pada pendidikan. Soroush mendapatkan pendidikan menegahnya di sekolah swasta ‘Alawi di Teheran, salah satu institusi pendidikan di Iran yang pertama kali meng- gabungkan pendidikan sains modern dan agama dalam kurikulum pembel- ajarannya. Terlebih lagi Reza Rouzbeh, kepala sekolah ‘Alawi, terdidik dari dua kultur pendidikan yang berbeda, yaitu pendidikan fisika di Universitas Teheran dan pendidikan fikih di Madrasah (Hauzah) Qum. Pada awal-awal kehidupan- nya, Soroush mengunjungi Gunabad-Khurasan, sebuah kota di tengah padang pasir. Di sana ia berjumpa dengan Muhammad Hasan Salih dan `Ali Shah, se- orang mursyid tarekat Ni`mat’ llāhi-Sa`ādat `Ali Shah.
Saat mulai meneruskan pendidikannya di Universitas Teheran dengan mengambil kuliah farmasi, Soroush juga mempelajari ilmu tradisional Islam, utamanya filsafat, fikih, dan teologi, di Masjid-i Sipahsalar di bawah bimbingan langsung seorang ulama yang direkomendasikan oleh Murtada Mutahhari. Secara regular Soroush mengikuti kuliah-kuliah di institusi pendidikan Husainiyah-yi Irshad yang bertepatan dengan semakin menggeliatnya pergerakan politik Ali Syari`ati. Soroush sendiri sangat dipengaruhi oleh kitab Usūl-i Falsafah wa Rawis-i Ri’alism (Prinsip-prinsip Dasar Filsafat dan Metode
Realisme). 12 Setelah menyelesaikan pendidikan farmasi, Soroush bertolak ke Inggris
pada tahun 1973 untuk meneruskan pendidikan formalnya di Universitas London dengan mengambil kuliah ilmu kimia. Ia juga mengambil kuliah sejarah dan filsafat sains di Chelsea College. Selama menempuh pendidikannya di London, Soroush turut terpengaruh oleh gerakan politik keagamaan yang tengah marak berkembang di kalangan intelektual Iran, baik di dalam maupun di luar negri. Ia sering mengikuti pelbagai aktivitas politik intelektual Iran di Inggris yang ____________
11 Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire (New York: Routledge, 2008), h. 117. 12 Ashk P. Dahlèn, Islamic Law, Epistemology and Modernity: Legal Philosophy ini Contemporary Iran (London: Rotledge, 2003), h. 193.
32 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 32 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016
dari simpatisan gerakan Revolusi Iran dan pemimpinnya, Khomeini. 13 Di tengah studinya di Inggris, Soroush menjadi public speaker di Muslim
Youth Association (MYA) sekaligus seorang kritikus rezim Pahlevi. Latar belakang inilah yang membuatnya harus kembali ke Iran di tengah gejolak Revolusi Iran (1978-1979). Pasca revolusi, Soroush menjabat Committee of the Cultural Revolution (Komite Revolusi Kebudayaan Iran) yang bertugas membentuk sistem pendidikan yang sejalan dengan spirit revolusi. Namun pada tahun 1987, ia mengundurkan diri dari jabatan tersebut karena ketidaksepakatannya dengan
visi-misi dasar revolusi itu sendiri. 14
Pada tahun 1992, Soroush membentuk Research Faculty for the History and Philosophy of Science di bawah naungan Research Institute for the Humanities- Teheran. Sejak tahun 1990-an, Soroush juga mulai melancarkan kritik terbuka terhadap pemerintahan Islam Iran dan ulama-ulama yang terlibat di dalamnya, bahkan pada September 2009, Soroush menulis surat terbuka kepada pemimpin spiritual, Ayatollah Khomeini, yang dianggap tokoh yang paling bertanggung jawab atas konsep sosio-ekonomi dan kebudayaan yang justru menjerumuskan peradaban Iran ke dalam keterpurukan dan ortodoksi baru. Soroush sendiri dipaksa untuk meninggalkan Iran atas kritismenya terhadap pemerintahan dan pelbagai gagasan kontroversialnya. Sejak saat itu ia menjadi lecturer tamu pelbagai universitas di Amerika dan Eropa, seperti Harvard,
Princeton, Yale, London, Berlin dan Amsterdam. 15
2. Sejarah Intelektual
Menurut Farhang Rajaee, sejarah intelektual Soroush terbagi ke dalam dua fase yang berbeda. Pertama, sejak menempuh jenjang pendidikan formal hingga awal tahun 1990-an, Soroush berafiliasi dengan gerakan revivalis Islam dan ____________
13 Ibid., h. 194. 14 Mohammed Hashas, Abdolkarim Soroush: The Neo-Mu`tazilite, h. 151. 15 Ibid., h. 152.
J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 33 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 33
Cara pandang Soroush ini berubah sedemikian kontras saat merasakan bahwa rezim Islam sama-sekali tidak membawa spirit kebebasan ataupun membangun masyarakat etis dan terbuka, namun malah melahirkan praktik- praktik despotisme dan diktatorisme. Sikap ini juga dipicu oleh kuatnya tekanan politik terhadap Soroush saat menulis esai berjudul contraction and expansion of the creed (shari`at) yang dimuat di majalah Keyhan-e Farhangi. Pembredelan majalah yang disponsori pemerintah tersebut membuat Soroush beserta kawan-kawan intelektualnya menyusun sebuah majalah baru yang diberi nama Kiyan. Majalah inilah yang menjadi corong media bagi aktualisasi pelbagai
pemikiran Soroush yang menyuarakan spirit kebebasan. 16 Petualangan intelektual Soroush yang sangat kosmopolit, juga ditopang
kombinasi pendidikan yang berakar dari sumber-sumber Islam klasik dan filsafat Barat modern, telah membuatnya menjadi intelektual ensiklopedis, mendalam, serta memiliki gaya berpikir kritis. Wacana-wacana yang di- kembangkannya banyak menyorot upaya mengurai dan menjembatani hubungan antara agama, kemanusiaan, sains, dan institiusi publik di era modern. Dengan berbekal latar belakang intelektual ini, Soroush berusaha mereformasi wacana keagamaan; yaitu arah baru pengembangan diskursus Islam dalam konteks masyarakat Islam kontemporer.
Visi reformis Soroush sangatlah terbuka terhadap pelbagai capaian pengetahuan manusia. Sehingga proyek reformasinya lebih memper- timbangkan kualitas intelektual dalam membincang masa depan Islam, bukan pada letak geografis. Hal ini turut pula merubah konsep pusat (center) dan pinggiran (peripheries) dalam wacana keagamaan yang selama ini senantiasa mengacu pada kawasan Timur Tengah sebagai pusatnya. Soroush meng- ungkapkan bahwa pusat peradaban Islam, dalam konteks Islam kontemporer, ____________
16 Farhang Rajaee, Islamism and Modernism: The Changing Discourse in Iran, h. 226.
34 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 34 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016
To enter or leave the dār al-Islām (abode of Islam) was of significance as long as the spheres (of civilisations) had unmistakable geographical borders. These borders no longer exist. A colleague at an Islamic conference in London once said to me that London is the present capital of Islam. Yes, most Muslim scholars either reside in London or frequently visit that city. London houses a number of international conferences on Islam and there are hundreds of mosques in that city and a lot of notable books on Islam that are published there as well. For these reasons, the concept of citizenship has radically
changed. 17
D. Arah Baru Diskursus Teologi Islam Perspektif Soroush
1. Urgensitas Reformasi Agama di Era Kontemporer
Konstruksi teologi Islam telah memposisikan Allah swt. sebagai pusat segala metafisika kehadiran, dengan al-Qur’an sebagai sumber primer doktrinalnya. Setiap aktivitas penyingkapan Ada beserta jejak-jejak kehadiran- Nya selalu memihak pada al-Qur’an. Di dalamnya terkandung seluruh wacana keagamaan (al-khithāb al-dīniy), baik dalam konteks wacana teologi (ulūhiyyat), ekskatologi (ma`ād), propetik (nubuwwah), hingga manusia (insāniyāt). Tidak ayal, Islam perdana sangat berkelindan dengan upaya umat Muslim meng-
ejawantahkan pesan Tuhan melalui aktivitas interpretasi al-Qur’an. 18 Dinamika penafsiran menjadi elemen yang paling berperan atas pelbagai corak pe- mahaman Islam perdana.
Jika melihat konteks historisnya, peristiwa turunnya al-Qur’an terjadi di tengah masyarakat Arab Jahiliyah. Keterlibatan langsung Nabi Muhammad dengan proses perkembangan sosio-kultur masyarakat Arab tentu menjadikan agama bukan hanya sekedar gemuruh perasaan iman belaka yang berada di luar ____________
17 Ashk P. Dahlèn, Islamic Law, Epistemology and Modernity…, h. 211. 18 Berbeda dengan peradaban Yunani yang dicirikan sebagai peradaban akal, ataupun Mesir kuno
sebagai peradaban setelah kemtian, keterikatan peradaban Islam dengan naṣ al-Qur’an menjadikannya dicirikan sebagai peradaban teks (haḍārah al-naṣ). Lihat: Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhūm al-Naṣ: Dirāsah fi ‘Ulūm al-Qur’ān, cet. VI (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi, 2005), h. 24-25.
J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 35 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 35
manusialah yang berbicara’. 19 Keterlibatan manusia dalam pelbagai tindakan interpretasi al-Qur’an semakin menegaskan batas penafsiran tersebut.
Muatan-muatan dalam al-Qur’an, sebagai sumber paling otoritatif Islam tentunya, menjadi riuh dengan persinggungan interpretasi; ketika pelbagai
perspektif manusia, dengan pelbagai konteks sosio-kulturnya, saling ber- dialektika dan terlibat langsung dengan kesadaran religiusitas manusia. Dalam pada itu, al-Qur’an juga memuat konten-konten praksis yang menjadi landasan etika dan visi sosial dalam upaya transformasi kebudayaan masyarakat. Pada titik inilah wacana keagamaan menjadi terbincangkan dalam kerangka epistemologis dan etis.
Realitas sosial masyarakat Islam kontemporer sendiri telah mengalami perubahan sedemikian rupa, jauh berbeda dengan realitas pada masa Islam perdana. Maka sebagai agama yang terlibat dalam peradaban manusia—melalui interaksi dan proses belajar di kancah peradaban dan kebudayaannya—wacana kebangkitan atau reformasi wacana keagamaan merupakan sebuah keniscaya- an historis. Hal ini dilakukan untuk menghadirkan Islam yang kontekstual di setiap penanda zaman, Islam yang ra ḥ matan li ’l-`ālamīn. Keniscayaan semacam inilah yang menjadi perhatian Soroush dalam proyek kebangkitan atau re- formasi Islam, khususnya masyarakat Muslim Iran kontemporer yang tengah mengalami keterpurukan eksistensial maupun sosial.
Dijelaskan Soroush, reformasi ataupun revivalisasi Islam sejatinya telah menjadi perhatian intelektual Islam sejak dahulu. Sungguhpun demikian, reformasi yang digagas oleh ulama klasik —semisal— al-Ghazali, Faiz Kasyani, Rumi, Syabistari, Haidar Amuli, dan Dihlawi, ataupun oleh cendekiawan
19 Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Tārīkh al-Ṭabarī, Muḥammad Abū al-Faḍl Ibrāhīm (ed.), cet. II (Cairo: Dār Aa- Ma`ārif, t.th.), Vol. V, h. 66.
36 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 36 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016
Dalam hal ini, Soroush menawarkan satu kerangka epistemologis yang diistilahkannya dengan teori contraction (teori penyusutan) dan expansion (teori perluasan) yang bertujuan untuk membuat perbedaan mendasar antara agama
(religion) dan pengetahuan agama (religious knowledge). 20 Karena itu, pe- mikirannya memberikan perhatian dan penekanan khusus pada aspek historisitas dan humanitas agama, serta ditopang oleh teori-teori epistemologi modern. Soroush berusaha menghadirkan suatu arah baru diskursus Islam yang rasional dan kompatibel dengan realitas masyarakat Muslim kontemporer.
2. Historisitas dan Humanitas: Perbincangan Antropologi Agama
Secara umum, Soroush mengawal wacana reformasi agamanya dengan menggunakan pendekatan historis-antropologis. Pendekatan ini digunakan untuk memahami agama secara holistik. Meminjam teori J.W.M Bakker, agama tidak dilihat sebagai fenomena otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik- praktik sosial yang turut mengkonstruksi pemahamannya, sehingga agama dan pelbagai praktik sosial harus dilihat secara bersama-sama. Dalam pemaknaan lain, tikikan antropologi agama berusaha memandang agama sebagai salah satu unsur kebudayaan yang dapat dipelajari dari perspektif evolusi, fungsi, simbol- simbol, dan peranannya dalam masyarakat, serta hubungan agama dengan
pranata-pranata lainnya. 21 Soroush berusaha melihat agama dalam kerangka kebudayaan manusia dan pelbagai jenis aktualisasi dan wujud praksisnya agama dalam konteks sosial, historis, dan kebudayaan tertentu.
Namun sebelum membincang pemikiran Abdul Karim Soroush lebih jauh, permenungan eksistensial Karl Jasper menarik untuk dikemukanan terlebih dahulu, bahwa ‘tidak ada realitas paling esensial bagi manusia selain sejarah dirinya; mengerak di pedalaman, membatasi, lalu membentuk cara manusia ____________
20 Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom, and Democracy in Islam, h. 30-31. 21 J.W.M Bakker. SJ, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar, cet. XV (Yogyakarta: Kanisius, 2015),
h. 150; bdk. Peter Conolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 34.
J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 37 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 37
Kenyataan bahwa manusia —meminjam istilah Heidegger— adalah Dasein (Ada-di-sana), sebagai yang hadir dalam kemewaktuan dan ketersituasiannya, turut menegaskan bahwa manusia tidak mungkin berdiri di luar sejarah, atau sebagai Ada yang melampaui waktu. Dasein’s Being find its meaning in temporality. But temporality is also the condition wich makes historicality possible
as a temporal kind of Being wich Dasein itself possesses, 23 demikianlah ungkapan Heidegger saat menggambarkan manusia sebagai Dasein yang menemukan makna dan realitasnya dalam bingkai waktu, dalam sebuah temporalitas. 24
Temporalitas Dasein yang diwacanakan Heidegger memiliki konsekuensi yang sangat mendasar dalam konfigurasi filsafat kontemporer, khususnya kritik atas
totalitas dan logosentris. Sebagaimana waktu menjadi sedemikian penting dalam konfigurasi filsafat
kontemporer, signifikasi waktu juga cukup mendasar dalam pemikiran Soroush. Tilikan-tilikan filosofisnya saat membincang agama senantiasa berpijak pada pemahaman tentang waktu (temporalitas) dan pelbagai konsekuensinya terhadap pewacanaan dan pemahaman manusia atas agama. Pelbagai metode analitik yang dipinjam Soroush dari tradisi filsafat Barat —seperti metode falsifikasi Karl Popper atau shifting paradigm Thomas Kuhn— ataupun antropo- logi agama yang digali dari sumber-sumber Islam, senantiasa berpijak pada perspektifnya akan kemewaktuan pemahaman keagamaan manusia.
Perhatian Soroush terhadap waktu atau temporalitas wacan keagamaan ini menegaskan gaya berpikir Soroush yang bersifat historis dan hermeneutis. Menurut analisa Forough Jahanbakhsh, gaya berpikir neo-rasionalis Soroush ____________
22 Karl Jasper, Way to Wishdom (America: Yale University Press, 1954), h. 96. 23 Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie & Edward Robinson, cet. VII (UK:
Blackwell, 2001), h. 41. 24 Temporalitas (kemewaktuan) dasein menjadi kunci utama fenomenologi ontologis Heidegger. Baginya, analisis ontologis atas dasein harus diungkapkan dalam kerangka temporalitas yang membingkai Ada. Lihat: Martin Heidegger, The Basic Problem of Phenomenology, terj. Albert Hofstadter (America: Indiana Unversity Press, 1982), h. 16.
38 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 38 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016
Expansion of Legal Theory dan Expansion of Prophetic Experience. 25 Historisitas wacana keagamaan ini tercermin dari pelbagai isu yang diangkat
Soroush berkaitan dengan evolusi dan devolusi (peralihan) pemahaman manusia atas agama, sebagaimana menjadi isu utama buku The Contraction and Expansion of Legal Theory. Untuk menjelaskan fenomena keagamaan tersebut, Soroush banyak menawarkan model interpretasi hermeneutis dan teori-teori epistemo- logis (interpretive-epistemological theory) untuk melengkapi domain-domain pengetahuan Islam tradiosional seperti kalām (teologi Islam), u ṣ ūl (teori
jurisprudensi Islam), and `irfān (esoterisme Islam). 26
Adapun fondasi teoritis untuk mereformasi teologi Islam kontemporer banyak diuraikan Soroush dalam buku Expansion of Prophetic Experience. Soroush sendiri dipengaruhi oleh tilikan Muhammad Iqbal dalam memahami profetikalitas Muhammad saw. yang tergambarkan dalam sebuah ungkapan Abdul Quddus (seorang sufi dari Ganggah), bahwa “Muhammad saw. telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, seadnainya aku telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi.” Bagi Iqbal, pernyataan ini mengandung perspektif dan konsekuensi yang terbilang sangat tajam, bahwa kembalinya seorang nabi mengandung nilai lebih bagi tatanan sosial dan kebudayaan manusia. Ia menyisipkan diri dalam ruang-waktu untuk menjaga laku sejarah manusia, sekaligus menciptakan satu dunia ideal baru. Kembalinya Nabi dari mi`rāj-nya ke bumi selalu memberi arti kreatif bagi manusia dan
kemanusiaan. 27 Menurut Soroush, aspek kemanusiaan dalam agama inilah yang jarang tersentuh dalam pelbagai diskursus Islam. Padahal Islam sendiri tidak bisa hanya dipahami sebatas naṣ atau sejumlah susunan kata-kata pewahyuan belaka, melainkan juga harus dipahami dalam keterlibatannya pada arus sejarah ____________
25 Forough Jahanbakhsh, ‘Introduction,’ dalam: Abdul Karim Soroush, The Expansion of Prophetic Experience, h. xix. 26 Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom, and Democracy in Islam, h. 34. 27 Muhammad Iqbal, Tajdîd al-Tafkîr ad-Dîniy fî al-Islām, terj. Abbas Mahmud (Dar al-Hiadayah:
Cairo, cet II, 2000), h. 147-148; bdk. Abdul Karim Soroush, The Expansion of Prophetic Experience, h. 5-6.
J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 39 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 39
Tidak hanya menekankan pada aspek historisitas pemahaman agama, Soroush juga menaruh perhatian pada keterlibatan manusia dalam pelbagai tindakan interpretasi agama. Dalam pengertian semacam ini, gaya berpikir
Soroush juga bersifat antroposentris, 29 sebagaimana tercermin dari per- nyataannya saat membincang esensi dan aksidensi agama, bahwa Bahasa Arab beserta kebudayaannya menjadi pembuktian paling tegas watak antropologi
Islam. 30 Hanya saja bukan berarti strategi pembacaan antropologi agama diketengahkan Soroush untuk memosisikan agama sebagai konstruksi ke- budayaan (antropologis murni), namun lebih pada upaya menempatkan agama dalam kerangka keterbatasan manusia dalam memahaminya, baik batas waktu maupun batas kebudayaan. Tilikan antropologis ini juga dimaksudkannya untuk memulihkan aspek kreatif dan dinamis dalam Islam yang telah sedemikian lama membeku di era kontemporer.
Penyejarahan (historicise) dan pemanusiawian (humanise) agama inilah yang menjadi pintu masuk proyek reformasi diskursus Islam dalam pemikiran Soroush. Melalui pembacaan historis-antropologis, Soroush berupaya me- ngembalikan Islam sebagai sebuah peristiwa atau realitas aktual. Karena kemewaktuan dan ketersituasian manusia meniscayakan agama—sejauh itu diperbincangkan manusia melalui interaksi dan proses belajar di kancah kebudayaannya—tidak mungkin dipahami di luar waktu dan kebudayaannya.
3. Topangan Teori-teori Epistemologi Modern dalam Pemikiran Soroush
Sebagai intelektual yang terdidik dari tradisi intelektual Islam klasik, tradisi filsafat Barat hingga sins modern, serta memiliki gaya berpikir kritis (critical thinking), fondasi pemikiran Soroush saat membincang agama tampil dalam
28 Abdul Karim Soroush, The Expansion of Prophetic Experience, h. 16. 29 Pendekatan antropologis dalam penelitian agama diartikan sebagai upaya memahami agama
dengan cara melihat wujud praksis keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan antropologis, dapat dilihat pertautan agama dengan pelbagai jenis aktualisasinya di kancah realitas kebudayaan manusia, baik ekonomi, politik, psikologis, dan fenomena kehidupan lainnya. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, cet. XVIII (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 35.
30 Abdul Karim Soroush, The Expansion of Prophetic Experience, h. 63.
40 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 40 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016
dengan keniscayaan relativisme postmodern. 31
Untuk mengidentifikasi tipologi pemikiran Soroush, penjelasannya menjadi titik tolak yang memadai, bahwa:
[…] naïve realism is appropriate to a world that is assumed to be simple; sophisticated realism, to a world that is assumed to be complicated […] the discoveries that have been made concerning cause and reason have, all in all, rendered people more aware of the truth of rationality, its historicity and its capabilities. Perhaps there was a time when people expected more from rationality, but now science, reason and philosophy have become more modest and this modesty is the outcome of the growth of reason. This rational modesty will also undoubtedly extend its verdict to our
understanding of religion. 32
Dijelaskan Soroush, terdapat dua corak realisme. Pertama, realisme naïf (naïve realism) yang senantiasa memotret dunia secara sederhana dalam sebuah totalitas atau suatu narasi besar. Kedua, realisme kritis-filosofis (sophisticated realism) yang mengandaikan suatu gambaran dunia yang rumit, serta terdiri dari narasi-narasi kecil yang silih berdialektika satu sama lain.
Dalam konteks filsafat kontemporer, rasionalitas yang berusaha me- redukasi realitas ke dalam sebuah narasi tunggal tengah ditilik ulang, bahkan digugat. Historisitas dan ambang batas rasio manusia justru meniscayakan suatu sikap kerendahan hati (rational modesty) dan keterbukaan terhadap narasi yang berbeda. Historisitas dan ambang batas rasio manusia ini juga meniscayakan rasionalitas kontemporer tidak lagi bisa dipahamai sebagai pengejawantahan— dalam istilah Cartesian—ego cogito yang menghendaki adanya suatu totalitas pandangan dunia.
31 Ashk P. Dahlèn, Islamic Law, Epistemology and Modernity, h. 203. 32 Abdul Karim Soroush, The Expansion of Prophetic Experience, h. 156.
J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 41
Agar tidak terjebak dalam relativisme ataupun destruksi metafisika, sekaligus juga merepresentasikan posisinya yang menengahi antara metafisika religius klasik dengan relativisme postmodern, Soroush memahami rasionalitas kontemporer sebagai suatu sikap kerendahan hati di hadapan pelbagai narasi- narasi manusia. Rational modesy ini merepresentasikan tahapan kematangan/ kedewasaan rasio manusia, seraya merayakan kemunculan pelbagai narasi kecil dunia. Tahapan rasio manusia yang telah memasuki kondisi rational modesy juga berimplikasi pada pemahaman seseorang atas agama.
Soroush sendiri memposisikan pemikirannya sebagai representasi dari rasionalisme-kritis. Dijelaskannya:
Hence, my position, in fact, is the sophisticated rationalism or critical rationalism. That is to say, the actually existing world, be it religion, philosophy or nature, is much too complicated to be dealt with by judgements based on naïve rationalism or to sanction dogmatic commitment to one single option […] One of the clear consequences of critical rationalism is to show that most of people’s certainties are little more than conjectures. This is not to say that people can never arrive at truth but that arriving at truth has no specific signpost. The signposts mentioned in traditional philosophy, such as observation, certitude, etc., are all fallible. Hence, one cannot easily say, this is true and that is not true. […] Critical rationalism is, therefore, much more modest in its claims and it takes human fallibility very
seriously. 33
Gambaran realitas aktual kontemporer, baik di ruang pewacanaan agama, filsafat, maupun ekologi, tidak sesederhana sebuah klaim rasionalisme naïf atau justifikasi dogmatik yang mengandaikan klaim kebenaran tunggal atau pendakuan naratif sebagai sebuah narasi besar paling paripurna. Rasionalisme kritis justru tengah menunjukan satu kenyataan mendasar bahwa kepastian apapun yang dikonstruksi manusia tidak lebih sebatas hipotesa (dugaan) belaka yang senantiasa terbuka untuk difalsifikasi. Dengan demikian, upaya manusia untuk menemukan sebuah kepastian tunggal tidak pernah memadai.
Ungkapan Soroush terkait realitas aktual konemporer di atas meng- indikasikan adanya pengaruh kuat pelbagai wacana filsafat Barat. Terkait situasi aktual kontemporer yang diandaikan Soroush adalah kondisi postmodern. 34
33 Ibid., h. 156-157. 34 Istilah ‘post’ ini sendiri bisa dimaknai sebagai proyek lanjutan dari modernitas untuk menambal
kecacatan-kecacatan yang diimplikasikannya, namun tetap memiliki keyakinan terhadap pelbagai
42 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016
Implikasi dari kondisi postmodern ini, pelbagai narasi manusia —baik narasi filsafat, agama, maupun kebudayaan— tidak bisa lagi mendaku dirinya sebagai narasi besar yang diandaikan sebagai satu-satunya realitas kebenaran pari- purna. Kondisi postmodern justru mengandaikan kemunculan narasi-narasi kecil pemahaman manusia atas dunia yang mengkendaki pengakuan di kancah kebudayaan global. Maka menjadi sebuah pemahaman yang teramat angkuh dan naïf jika manusia mengandaikan dirinya (ego cogito/ the I) tengah melakukan monolog, termasuk bermonolog dalam narasi agama.
Meskipun pengandaian tersebut menjadi sebuah pemahaman yang diyakini ataupun dikonstruksi melalui pelbagai argumen-argumen filosofis maupun teologis, pengandaiannya tidak lebih sebatas proyeksi ilusif ego manusia yang ditransendensi sedemikian rupa, melampaui ketersituasian dan kemewaktuan dirinya. Di tengah realitas aktual semacam ini, Soroush meniscayakan sebuah rasio yang rendah hati (rational modesy), yang sadar akan batas-batasnya.
Lain pada itu, Soroush juga terpengaruh oleh teori falsifikasi Popper. Menurut Soroush pelbagai kepastian dalam agama sejatinya merupakan hipotesa (dugaan sementara) manusia yang bersifat fallibility (ibthāl-pazīrī); yaitu kemungkinan suatu pengetahuan untuk disalahkan atau disangkal. Falsifiabilitas di sini bukan berarti falsifikasi absolut, namun sebagai proses graduasi pemahaman manusia atas realitas yang mengacu dan pada pengalaman- pengalaman empirisnya yang juga menjadi batas atau bingkai pemahamannya. Jika hipotesa atas pemahaman agama telah melewati tahap falsifikasi maka hipotesa tersebut hanya sampai pada tahap corroboration (pengokohan sebuah
hipotesis), sehingga masih terbuka untuk difalsifikasi di masa selanjutnya. 35 Arah baru dalam diskursus Islam yang diandaikan Soroush sendiri,
sebagaimana analisa Ashk P. Dahlèn, mengacu pada teori pergeseran paradigma (shifting paradigm) Thomas Kuhn. Bagi Soroush, pergeseran paradigma dalam
capain modernitas itu sendiri. Istlah tersebut bisa juga dimaknai sebagai upaya ‘melampaui’ modernitas, dengan menghadirkan suatu paradigma baru yang bertolak belakang.
35 Konsep falsifikasi ini diajukan Popper sebagai antitesa dari kecenderungan verivikasi dalam ilmu pengetahuan. Popper melihat kelemahan dalam prinsip verifikasi, yaitu sifat justifikatif terhadap
teori yang telah ada sebagaimana yang dianut oleh positivisme. Untuk menghindari kelemahan tersebut, Popper mengajukan prinsip falsifikasi. Baginya, setiap teori-teori ilmiah selalu bersifat hipotesis (dugaan sementara), karena itu sangat terbuka untuk digantikan oleh teori lain. Lihat: Rizal Mustansyir dan Misnal Muni, Filsafat Ilmu, cet. XIII (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 117-118; Ashk P. Dahlèn, Islamic Law, Epistemology and Modernity, h. 204.
J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 43 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 43
agama ataupun filsafat. 36
Kondisi postmodern dan prinsip falsifiabilitas inilah yang menopang tilikan baru Soroush atas wacana keagamaan; sebuah titilkan revolusioner yang mengandaikan suatu arah baru dalam diskursus agama di kancah kebudayaan kontemporer, khususnya reformasi dalam domain teologi dan etika Islam, baik pada tataran teoritis maupun praksis.
E. Beberapa Konsekuensi Teoritis dan Praksis Pemikiran Soroush
Mengacu pada pembacaan Forough Jahanbakhsh, arah baru diskursus Islam yang diwacanakan Soroush tidak sedang berusaha melakukan reaktualisasi konsep Islam klasik yang ditampilkan dalam bingkai modernitas; semacam gaya berpikir retrospektif. Arah baru diskursus Islam dalam pemikiran Soroush merupakan gerakan reformasi pada tataran lebih sistematis dan mendasar; dengan memanfaatkan konsep-konsep baru yang tengah berkembang dalam peradaban manusia kontemporer. Konsep-konsep dasar teologi seperti Tuhan, manusia, wahyu, kenabian, dan lain-lain, direvisi dan didefinisikan ulang sesuai dengan capaian pengetahuan manusia di masanya. Apa yang tersisa dari capaian teologi dan filsafat klasik hanya digunakan sebatas
untuk melihat apa yang harus dikembangkan dan apa yang harus ditinggalkan. 37 Arah baru diskursus Islam yang ditopang oleh pembacaan historis-
antropologs Soroush ini memiliki konsekuensi-konsekuensi teoritis dan praksis tersendiri. Pada tataran teoritis, pemikiran Soroush mengejawantah dalam upayanya membedakan antara: 1) Agama dan pemahaman keagamaan (religion ____________
36 Ashk P. Dahlèn, Islamic Law, Epistemology and Modernity, h. 208-209. 37 Forough Jahanbakhsh, “Introduction”, dalam: Abdul Karim Soroush, The Expansion of Prophetic
Experience, h. xviii.
44 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 44 J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016
Misalnya, teori Soroush terkait fenomenalitas atau kemakhlukan al- Qur’an. 38 Historisitas manusia yang meniscayakan adanya distingsi antara agama dan pemahaman keagamaan, merupakan konsekuensi langsung dari pemikiran Soroush atas kemakhlukan al-Qur’an (ḥudūth al-Qur’ān), atau bagian fenomenalitas manusia. Jika mengacu pada literatur Islam klasik, perspektif ini pertama kali diwacanakan oleh sekte Mu’tazilah yang berargumentasi bahwa penggunaan Bahasa Arab dalam al-Qur’an, dapat diujarkan dan diperdengarkan, serta terdiri dari bagian-bagian surat yang terpisah, menjadi pembuktian paling
tegas atas fenomenalitas al-Qur’an. 39
Soroush sendiri—yang mengaku sebagai representasi wajah baru rasionalisme Mu’tazilah—melihat bahwa wacana kemakhlukan al-Qur’an Mu’tazilah belum diuraikan secara eksplisit dan memadai. Untuk mengeksplisit- kan wacana Mu’tazilah tersebut sekaligus untuk menemukan konsepsi yang tepat tentang kenabian dan wahyu, Soroush memulainya dengan menguraikan relasi antara Tuhan dan alam. Dia mengungkapkan:
[…] God governs the world in the way that a soul governs a body. The body works like a self-regulating machine but it is under the soul’s pervasive sway […] This metaphor and analogy at least shows that, until and unless we have a correct conception of the relationship between God and the world, we will not
have correct theories about the Prophet and revelation either. 40 Bagi Soroush, relasi Tuhan dan alam diibaratkan layaknya penguasaan jiwa
atas tubuh. Tubuh bekerja seperti halnya mesin mengatur dirinya sendiri,