Hukum Udara Internasional dengan PT Angk

Keterkaitan Hukum udara Internasional
dengan PT Angkasa Pura II
Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Internasional
lanjutan

Oleh Kelompok Hukum Perdata: Erawan Riswandi
Nadia Aulia
Rahmat Akbar
Nurul Haniza

Universitas Komputer Indonesia
Hubungan Internasional
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya lah makalah kami dengan judul “Peranan Hukum Udara
Internasional terhadap PT Angkasa Pura II” bisa diselesaikan dalam rangka
memenuhi tugas kami dalam mata kuliah Hukum Internasional Lanjutan.
Makalah yang kami buat ini menjelaskan bahwa Hukum Udara Internasional

sangat penting bagi Indonesia, Indonesia dan berbagai maskapai yang dimilikinya
sudah di perhitungkan oleh dunia internasional, termasuk di dalamnya kami ditugasi
menggambil salah satu maskapai yaitu PT Angkasa Pura II. Dalam makalah ini di
jelaskan bagaimana pentingnya Hukum Udara Internasional berperan sebagai suatu
standar dan acuan yang baku yang sudah di ratifikasi dan diterapkan oleh hampir tiap
maskapai penerbangan di Indonesia, berbagai perjanjian multilateral, konvensikonvensi serta kenggotaan Indonesia dalam Organisasi Penerbangan Internasional.
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Bapak H. Budi Mulyana,
S.IP.,M.SI selaku dosen pengajar Hukum internasional lanjutan, dan kepada pihak PT
Angkasa Pura II Bandung yang telah berkenan untuk kami wawancarai serta
pelayanan yang baik, ramah dan lengkap dalam memberikan informasi.
Kami sadar makalah yang kami buat ini jauh dari sempurna, maka kami
mohon saran dan kritik yang dapat menyempurnakan makalah kami ini kepada semua
pihak yang mau berpartisipasi. Atas segala saran dan kritik kami ucapkan terima
kasih.

Bandung, 20 Oktober 2014

Tim Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar belakang
Hukum udara merupakan salah satu cabang hukum internasional yang relatif

baru karena mulai berkembang pada awal abad ke 20 setelah kemunculan pesawat
udara.
Setiap negara pada dasarnya memiliki kedaulatan penuh dan ekskusif atas
wilayah udara di atas teritorialnya. Namun ternyata konsep ini sudah ada jauh-jauh
hari sebelum di temukannya pesawat udara, para pemikir hukum di Romawi telah
menemukan suatu asumsi yaitu “Cojus est solum, ejus est usque ad cuelum” yaitu
menyatakan bahwa “barang siapa yang memiliki sebidang tanah dengan demikian
juga memiliki segala-galanya yang berada diatas permukaan tanah tersebut sampai ke
langit dan segala apa yang ada di dalam tanah”.
Kami tarik ke masa sekarang dimana ruang udara yang dulunya tidak pernah
diarungi oleh manusia, menjadi suatu ruang yang menjadi alternatif bagi kita dalam
menjelajah dunia, tidak hanya cepat, namun ruang udara ini ekslusif, bahkan
beberapa negara salah satunya negara tetangga kita Singapura yang memiliki lalu
lintas udara yang sangat ramai, untuk mengatur penggunaan, penertiban dan

penyeragaman dalam menggunakan udara ini, jauh-jauh hari sudah di atur sedemikian
rupa oleh hukum udara internasional.
Beranjak dari hal ini kami membuat berbagai penjelasan Hukum Udara
Internasional dan penerapannya bagi Indonesia dan PT Angkasa Pura II sebagai salah
satu maskapai yang telah kami observasi.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah kemunculan dan pengaturan Hukum Udara Internasional ?
2. Bagaimana pengaturan Hukum Udara Internasional menjadi hukum nasional
Indonesia?
3. Sejauh mana keterkaitan Hukum Udara Internasional terhadap PT.Angkasa
Pura II ?

1.3 Maksud dan tujuan penelitian
Dengan makalah atau laporan ini di harapkan agar bisa bermanfaat bagi kita
semua dan juga memberikan tambahan informasi tentang kaitan hukum Udara
Internasional terhadap salah satu maskapai penerbangan yaitu PT Angkasa Pura II.
Dalam makalah ini di jelaskan bagaimana pentingnya Hukum Udara Internasional
berperan sebagai suatu standar


dan acuan yang baku yang sudah di ratifikasi dan

diterapkan oleh hampir tiap maskapai penerbangan di Indonesia.
Dalam Makalah ini kami akan membahas tentang “Keterkaitan hukum udara
internasional terhadap PT Angkasa Pura II “ Adapun tujuan yamg terkandung dalam
hal penyusunan makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah kemunculan dan pengaturan
Hukum Udara Internasional.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan Hukum Udara Internasional
menjadi hukum nasional Indonesia
3. Untuk

mengetahui

sejauh

mana

keterkaitan


Internasional terhadap PT.Angkasa Pura II

Hukum

Udara

1.4 Metode Penelitian
Dalam mendapatkan hasil yang sesuai mengenai “Keterkaitan hukum udara
internasional terhadap PT Angkasa Pura II“ kami melakukan Observasi langsung ke
PT Angkasa Pura II, hasilnya berupa rekaman dan bukti-bukti dokumenter lainnya.
Selain itu kami membutuhkan data-data atau informasi mengenai perihal tersebut,
kami menggunakan metode studi kepustakaan di mana metode ini kami membaca
majalah aviasi yang mengupas tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
judul di atas. Kami juga di tunjang dengan sarana internet sebagai pelengkap dan
penyeimbang dari hasil studi kepustakaan.

BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Keterkaitan hukum Internasional dengan hukum nasional, teori

monisme
Starke (1989), Shelton (2006) menyebutkan bahwa hukum internasional dan
hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum
internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk
urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah
dibanding dengan hukum internasional. Hukum Teori Monisme:
a) Didasarkan pada analisis ilmiah terhadap struktur intern sistem hukum itu.
b) Hukum merupakan satu kesatuan tunggal dari peraturan hukum yang mengikat
negaranegara, individu, ataupun kesatuan-kesatuan bukan negara.
c) Hukum Internasional (HI) & Hukum Nasional (HN) merupakan bagian dari
himpunan peraturan yang universal yang

mengikat semua

oknum,

baik

secara


kolektif maupun secara individual. Individu menjadi pokok pangkal dari semua
sistem hukum.

2.2 Paham monisme dengan primat hukum internasional
Paham ini mengemukakan bahwa hukum nasional bersumber pada hukum
internasional yang merupakan perangkat ketentuan hukum yang hierarki lebih tinggi.
Menurut paham ini, hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada
hakikatnya,

berkekuatan

mengikatnya

berdasarkan

sesuatu

”pendelegasian”

wewenang dari hukum internasional.

Apabila ditinjau dari kedudukan suatu perjanjian internasional atau treaty
sebagaimana telah di atur di dalam Vienna Convention on the Law of Treaties tahun
1969 dapat di kemukakan dua pasal penting yang relevan dengan masalah keterikatan
suatu negara peserta konvensi yanng bersangkutan.

BAB III
Pembahasan Masalah

3.1 Bagaimana sejarah kemunculan dan pengaturan Hukum Udara
Internasional?
A. Paris Convention
Beberapa
versailles,

Dewan

bulan

sebelum ditanda


tertinggi

dari

tanganinya perjanjian perdamaian di

Konferesi

perdamaian

memutuskan

untuk

mengadakan suatu panitia penerbangan dan memberi tugas kepadanya untuk
menyiapkan suatu peraturan guna mengatur lalu lintas udara internasional dimasa
yang akan datang. Pekerjaan yang dilakukan panitia telah menghasilkan suatu
perjanjian penerbangan, yang ditandatangani di Paris pada tanggal 13 oktober 1919
oleh 27 negara. Perjanjian Paris ini merupakan cikal bakal dari lahirnya konvensi
chicago .

B. Konvensi Chicago
Menjelang berakhirnya perang dunia II, pemerintah Amerika Serikat yang
pada waktu itu dijabat oleh Presiden Roosevelt telah mengambil inisiatif untuk
mengundang berbagai Negara, baik Negara-negara sekutunya maupun Negara-negara
netral di Eropa dan Asia, kecuali Negara-negara Amerika Latin untuk menghadiri
suatu konferensi di Chicago, yang bertujuan menyusun ketentuan-ketentuan bersama
yang baru megenai lalu lintas udara sipil internasional dan mengganti perjanjian yang
telah ada sebelumnya yakni Perjanjian Paris . Konferensi yang dilaksanakan di
Chicago tersebut telah menghasilkan beberapa hal penting, yaitu :
1. Konvensi mengenai Penerbangan Sipil Internasional yang dikenal dengan
Konvensi Chicago Tahun 1944 (Convention Aviation Signed at Chicago on 7
Desember 1944)
2. Persetujuan Transit Udara Internasional (IASTA/ International Air Transit
Agreement)

3. Persetujuan Transportasi Udara Internasional (IATA/ International Air
Transport Agreement) IATA dan IASTA merupakan perjanjian internasional
yang bersifat multilateral, yang mempertukarkan lima hak-hak penerbangan (Five
Freedom on the Air) atau juga dikenal dengan lima kebebasan di udara, yang
dipertukarkan dalam IASTA hak kebebasan Ke-1 dan Ke-2, yaitu sebagai berikut :

1) Hak untuk terbang melintasi wilayah Negara lain tanpa melakukan
pendaratan.
2) Hak melakukan pendaratan di Negara lain untuk keperluan Operasioanl
(Technical Landing) dan tidak berhak untuk mengambil dan menurunkan
penumpang dan/ ataupun

kargo secara komersial.

Sedangkan hak kebebasan yang dipertukarkan dengan IATA adalah hak kebebasan
Ke-

1,2,3,4 dan Ke-5 . Hak kebebasan berikutnya adalah:
3) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari
Negara pendaftar pesawat udara ke Negara pihak yang lainnya.
4) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari
Negara yang berjanji lainnya ke Negara pesawat udara yang didaftarkan.
5) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari
atau negara ketiga diluar negara yang berjanji.
Kebebasan udara tersebut biasanya dipertukarkan dalam perjanjian udara

timbal balik (Bilateral Air Transport Agreement). Secara teoritis terdapat delapan
kebebasan di udara (Eight Freedom of the Air), namun dalam praktik hanya ada
terdapat lima kebebasan di

udara.

Tiga

kebebasan

kebebasan di udara ke-6,7 dan 8 yaitu sebagai berikut :

berikutnya,

masing-masing

6) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari
Negara ketiga melewati Negara tempat pesawat udara didaftarkan kemudian
diangkut kembali ke negara tujuan.
7) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial
semata-mata diluar Negara-negara yang mengadakan perjanjian.
8) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari
suatu tempat

ke tempat yang lain dalam suatu wilayah Negara berdaulat dan

ini dikenal dengan istilah ”Kabotase” (Cabotage). Cabotage merupakan hak
preogratif Negara berdaulat untuk melakukan transportasi dalam negeri guna
pemanfaatan

perusahaan

penerbangan

nasional.

Biasanya hak

kabotase

tersebut tidak pernah diserahkan kepada perusahaan asing manapun.
C. Perjanjian Warsawa Tahun 1929
Pada tanggal 12 oktober 1929 di Warsawa ditandatangani suatu perjanjian
yang lengkapnya bernama ”Convention for the Unification of Certain Rules Relating
to International Carriage by Air”, yang lebih dikenal dengan sebutan “ Perjanjian
Warsawa “. Perjanjian ini mengatur antara lain dua hal pokok, yaitu :
1) Mengenai Dokumen Angkatan Udara
2) Mengenai masalah tanggung jawab pengangkut udara Internasional.
Pentingnya perjanjian ini ialah ketentuan-ketentuan didalamnya mengatur
mengenai limit tanggung jawab ganti rugi . Konvensi yang mengatur mengenai
kejahatan dalam penerbangan (Hijacking)
Ada dua konvensi yang mengatur mengenai kejahatan dalam penerbangan, yaitu :

a) Konvensi Tokyo tentang pelanggaran dan Tindakan tertentu lainnya dalam
Penerbangan (Convention and Certain Other Acts Committe on Board
Aicraft) Tahun 1963
Konvensi ini disebut juga dengan konvensi pembajakan udara.
Tujuannya adalah untuk
diangkut

untuk

mempunyai

melindungi pesawat udara,orang,

menjamin

yurisdiksi

keselamAtan

terhadap

penerbangan.

pelanggaran

maupun

barang yang
Konvensi
tindak

ini

pidana

penerbangan serta mencegah terjadinya kekosongan hukum pada tindak
pidana maupun pelanggaran di dalam pesawat udara yang sedang melakukan
penerbangan di atas laut lepas/ atau daerah yang tidak bertuan .
Menurut konvensi Tokyo kejahatan dan pelanggaran di udara maka
berlaku yurisdiksi dari Negara pendaftar pesawat udara yang terjadi dalam
pesawat udara ”in flight” . Dalam konvensi ini yang disebut dengan in flight
adalah pada saat pesawat udara dengan tenaga penuh siap untuk tinggal landas
sampai pesawat udara melakukan pendaratan di ujung landas pacu.
b) Konvensi The Haaque Tahun 1970
Konvensi tentang perlindungan pesawat udara dari tindakan melawan
hukum (Convention for the Supression of Unlawfull Seizure of Aircraft) yang
lebih

dikenal

dengan

konvensi

The

penyempurnaan dari Konvensi Tokyo

Haaque
1963.

Tahun1970

merupakan

Konvensi ini memperluas

pengertian dari in flight yaitu sejak semua pintu luar ditutup diikiuti dengan
embarkasi pesawat udara sampai semua pintu luar dibuka kembali diikuti
dengan

debarkasi penumpang

(ketika

semua

penumpang telah turun).

Berlakunya konvensi ini tergantung dari pendaratan nyata pesawat udara yang
dibajak bukan tergantung pada jenis penerbangannya.

3.2 Bagaimana pengaturan hukum udara Internasional menjadi hukum
udara nasional Indonesia, dan apa saja contohnya?
Dalam menjawab rumusan masalah ini, kami menggunakan teori Paham
monisme dengan primat hukum internasional,yaitu:
Paham ini mengemukakan bahwa hukum nasional bersumber pada hukum
internasional yang merupakan perangkat ketentuan hukum yang hierarki lebih tinggi.
Menurut paham ini, hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada
hakikatnya,

berkekuatan

mengikatnya

berdasarkan

sesuatu

”pendelegasian”

wewenang dari hukum internasional.
Hal tersebut terbukti dengan pengaturan hukum udara di indonesia sebagian
merupakan ratifikasi dari perjanjian-perjanjian internasional dibidang hukum udara
seperti Ordonansi pengangkutan udara 1939, yang lebih dikenal dengan OPU No. 100
stbl 1939 dimana mengatur mengenai tanggung jawab pengangkut dan ganti rugi.
Dasar hukum penerbangan sipil dalam hukum udara Indonesia diatur dalam Undangundang penerbangan yang telah beberapa kali disempurnakan, dimulai dengan
lahirnya Undang-undang No. 83 Tahun 1958 tentang penerbangan, yang kemudian
diubah dengan Undang-undang No.33 Tahun 1964, yang disempurnakan lagi dengan
Undang-undang No.72 Tahun 1976, kemudian dengan Undang-undang No.15 Tahun
1992, terakhir disempurnakan dengan lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 2009
tentang penerbangan yang terdiri dari 24 Bab 466 Pasal.
Undang-undang Penerbangan yang disahkan pada Tanggal 12 Januari 2009
Tentang Penerbangan sangat menjanjikan terhadap pertumbuhan transportasi udara di
Indonesia, karena Undang-undang tersebut secara komprehensif mengatur pengadaan
pesawat udara sebagaimana diatur dalam Cape Town 2001, berlakunya Undangundang secara Extra-teritorial kedaulatan atas wilayah udara di Indonesia ,
pelanggaran wilayah kedaulatan yang lebih dipertegas , produksi pesawat udara,
pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, asuransi pesawat udara , independensi

investigasi kecelakaan pesawat udara , pembentukan majelis profesi penerbangan,
lembaga penyelenggara pelayanan umum yang sering disebut Badan Pelayanan
Umum (BLU) , pengadaan pesawat udara sebagaimana diatur didalam Konvensi
Cape Town 2001.
Hal-hal lain yang telah diratifikasi, di adopsi dan diterapkan di antaranya:
I.

UNDANG-UNDANG / PERATURAN
a) Stbl (Staatsbland/ Lembaran Negara). 118 Tahun 1933 : Tentang
Pokok-pokok Penerbangan

b) Stbl. 205 Tahun 1954 : Diganti dengan UU No 83 Tahun 1958
Tentang Penerbangan diganti dengan UU No. 15 Tahun 1992
c) Stbl. 425 Tahun 1936 : Tentang Lalu Lintas Udara , secara Yuridis
Formal

masih

berlaku,

karena

belum

diganti.

Namun

dalam

prakteknya Indonesia telah memakai aturan lain yaitu C.A.S.R.
(CIVIL AVIATION SAFETY REGULATION) dari Amerika Serikat
d) Stbl. 426 Tahun 1936 : Tentang Peraturan Pengawasan Penerbangan
secara yuridis formal masih berlaku, karena belum diganti. Namun
dalam praktek Indonesia telah memakai aturan lain yaitu C.A.S.R
(CIVIL AVIATION SAFETY REGULATION) dari A.S.
e) Stbl. 100 Tahun 1939 : Ordonansi Pengangkutan Udara (O.P.U)
- mengatur tentang pengangkutan penumpang, bagasi dan barang.
- mengatur tanggung jawab pengangkut
Ketentuan-ketentuan dalam O.P.U ini masih tetap berlaku. Kecuali
ketentuan mengenai jumlah ganti rugi yang diatur dalam PP 40/95- Angkutan
Udara

f) Stbl. 150 Jo. 149 Tahun 1939 : Tentang Karantina Pencegahan
Penyebaran Penyakit Menular. Ketentuan ini telah dicabut dengan undangundang No. 2 Tahun 1952 Tentang Karantina
II.

PERJANJIAN-PERJANJIAN INTERNASIONAL

a) Chicago Convention 1944 - Tentang Penerbangan Sipil Internasional
b) Warsawa Convention 1929 - Tentang Dokumen Angkutan dan Tanggung
jawab Pengangkut. Akan diganti dengan “Montreal Convention” pada bulan
Mei 1999
c) Rome Convention 1933

-

Tentang Tanggungjawab Pengangkut Udara

Terhadap Pihak Ketiga di Darat
d) Tokyo Convention 1965 -Tentang Tindak Melawan Hukum di dalam Pesawat
e) The Hague Convention 1970 -Tentang Tindak Melawan Hukum Terhadap
Pesawat
f) Montreal

Convention

1971

-Tentang

Tindak

melawan

hokum

yang

membahayakan keselamatan penerbangan.
Kecuali Rome Convention 1952, semua konvensi ini telah diratifikasi oleh
Indonesia, Indonesia tunduk pada ketentuan-ketentuan ini.

III.

PERSETUJUAN-PERSETUJUAN ANTARA PENGANGKUT DAN
PENUMPANG ATAU PENGIRIM BARANG

Persetujuan ini dibuat oleh IATA ( International Air Transport Association)
untuk membuat persetujuan tentang syarat-syarat umum pengangkutan (General
Conditions of Carriage), berdasarkan ketentuan Perjanjian Warsawa 1929.Tujuannya
untuk menyeragamkan persyaratan bagi semua anggotanya dalam hal Pengangkutan
Udara.

3.3 Sejauh mana keterkaitan Hukum Udara Internasional terhadap
PT.Angkasa Pura II?
A. PT Angkasa Pura II telah mengikuti peraturan-peraturan Organisasi Internasional
1. ICAO (International Civil Aviation Organization)
ICAO

(International Civil Aviation Organization) adalah badan dibawah

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kegiatannya menyiapkan peraturan
penerbangan sipil internasional, melakukan distribusi dan melakukan pemantauan
serta evaluasi terhadap penerapannya. ICAO lahir atas prakarsa negara-negara
sekutu Amerika, tepatnya pada tanggal 01 November 1944 sampai dengan 07
Desember 1944 (selama lima minggu), 52 (lima puluh dua) negara-negara sekutu
Amerika berkumpul di Chicago.
Sebagai negara anggota PBB, Indonesia merupakan peserta konvensi atas
dasar “Adhere” (penundukan diri), dan tanggal 27 April 1950, secara resmi
tercatat sebagai tanggal masuknya Indonesia menjadi anggota ICAO; Kepentingan
dan tujuan utama ICAO adalah Kamanan & Keselamatan, Efisiensi dan
Keteraturan (Security & Safety, Efficiency, Regularity).
2. IATA (International Air Transport Association)
Asosiasi

Pengangkutan

sebuah organisasi perdagangan

Udara
internasional

Internasional (IATA)
yang

terdiri

adalah

dari maskapai-

maskapai penerbangan. Maskapai-maskapai penerbangan anggotanya diberikan
kelonggaran khusus sehingga dapat mengkonsultasikan harga antara sesama
anggota melalui organisasi ini. IATA juga bertugas menjalankan peraturan
dalam pengiriman barang-barang berbahaya dan menerbitkan panduan Peraturan
Barang-barang Berbahaya IATA (IATA Dangerous Goods Regulations).

B. PT Angkasa Pura II telah menerapkan 6 (enam) dokumen hasil Konverensi Chicago :
1. The Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention 1944).

2. International Air Services Transit Agreement (IASTA).
3. International Air Transport Agreement (IATA).
4. Draft of 12 Tehnical Annexes (Annex 1 – 12).
5. Standard form of Bilateral Agreement (Chicago Form Agreement).
6. The Provisional International Civil Aviation Organization (PICAO).
Status penerapan Konvensi Chicago 1944 terhadap PT Angkasa Pura II :
1. Merupakan

Konvensi Penerbangan Sipil Internasional yang sangat

berpengaruh;
2. Merupakan sumber hukum internasional dibidang penerbangan sipil;
3. Secara moral mengikat setiap negara anggota PBB (negara yang merdeka
dan berdaulat), melalui instrumen “Ratifikasi” atau “Adhere”(penundukan
diri);

C. PT Angkasa Pura II sudah menerapkan 5 (lima) Kebebasan Di Udara (The Five
Freedom of The Air) :
1. Pesawat udara sipil berhak untuk terbang melintasi ruang udara lain, tanpa
mengadakan pendaratan, asalkan negara yang dilintas terbangi itu
sebelumnya diberitahu dan memberikan izin. Kebebasan ini dinamai : “Hak
untuk melakukan Terbang Lintas Damai” (The Right of Innocent Passage).
2. Pesawat udara sipil suatu negara berhak untuk mengadakan pendaratan di
negara lain untuk keperluan teknis misalnya untuk pengisian bahan bakar
atau menjalani perbaikan tanpa memberikan pelayanan komersial ke atau
dari tempat pendaratan tersebut. Pemberhentian ini dikenal sebagai :
“Pemberhentian

Teknis”

(Technical

Stop),

sebagai

lawan

dari

“Pemberhentian Lalu Lintas” (Traffic Stop).
3. Pesawat udara suatu perusahaan penerbangan berhak untuk menurunkan
penumpang
didaftarkan

dan

barang

dari negara

tempat

pesawat

(Country of Registry) Ke Negara Lain.

udara

itu

4. Pesawat udara suatu perusahaan penerbangan berhak untuk mengangkut penumpang dan barang dari negara lain ke negara tempat pesawat
udara itu di daftarkan.
5. Pesawat udara suatu perusahaan penerbangan berhak untuk mengangkut
penumpang dan barang antara dua negara diluar tempat pesawat udara di
daftarkan, sepanjang penerbangannya berawal atau berakhir di negaranya
sendiri tempat pendaftaran pesawat udara dilakukan. Hak tersebut dinamai
sebagai “HakTambahan” (Beyond Rights).
D. Penerapan PT Angkasa Pura II terhadap Annex
Annex adalah konvensi dunia mengenai pembakuan (standard) dan rekomendasi
penerbangan untuk negara-negara anggota ICAO. Berikut adalah Annex 1-18 :
 Annex 1 : Personnel Licensing (Perizinan Personil).
 Annex 2 : Rules of the Air (Peraturan Udara).
 Annex 3 : Meteorological Service for International Air Navigation (Layanan
Meteorologi untuk Navigasi Udara Internasional).
 Annex 4 : Aeronautical Charts (Grafik Aeronautical)
 Annex 5 : Units of Measurement to be used in Air and ground Operations
(Unit Pengukuran yang akan digunakan dalam Udara dan Operasi tanah).
 Annex 6 : Operation of Aircraft (Pengoperasian Pesawat).
 Annex 7 : Aircraft Nationally and Registration Marks (Pesawat nasional dan
Pendaftaran Marks).
 Annex 8 : Airwothiness of Aircraft (Kelayakan Pesawat Udara).
 Annex 9 : Facilitation (Fasilitas).
 Annex

10

:

Aeronautical

Telecommunications

(Telekominakasi

Aeronautical).
 Annex 11 : Air Traffic Services, Air Traffic Control Service, Flight
Informatio Service and Alerting Service (Layanan Lalu Lintas Udara)
 Annex 12 : Search and Rescue (Pencarian dan Penyelamatan)

 Annex 13 : Aircraft Accident and Incident Investigation (Kecelakaan
Pesawat dan Incestigasi Insiden).
 Annex 14 : Aerodromes
 Annex 15 : Aeronautical Information Services (Layanan Informasi
Aeronautical).
 Annex 16 : Environmental Protection (Perlindungan Lingkungan).
 Annex 17 : Security : Safeguarding International Civil Aviation Againts Acts
of Unlawful Interference (Keamanan - Pengamanan Penerbangan Sipil Internasional
terhadap Kisah Interferensi Melanggar Hukum).
 Annex 18 : The Safe Transport of Dangerous Goods by Air (Transportasi
Aman dari Barang Berbahaya di Udara).

BAB IV
Kesimpulan

Kesimpulan dari “Keterkaitan Hukum udara Internasional dengan PT Angkasa

Pura II” adalah Hukum udara merupakan salah satu cabang hukum internasional yang
relatif baru karena mulai berkembang pada awal abad ke 20 setelah kemunculan
pesawat udara.
Starke (1989), Shelton (2006) menyebutkan bahwa hukum internasional dan
hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum
internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk
urusan luar negeri
Sejarah kemunculan dan pengaturan Hukum Udara Internasional diawali dari
Paris Convention, Konvensi Chicago, Perjanjian Warsawa Tahun 1929, Konvensi
The Haaque Tahun 1970. Dan pengaturan hukum udara Internasional menjadi hukum
udara nasional Indonesia terbukti dengan pengaturan hukum udara di indonesia
sebagian merupakan ratifikasi dari perjanjian-perjanjian internasional dibidang
hukum udara seperti Ordonansi pengangkutan udara 1939, yang lebih dikenal dengan
OPU No. 100 stbl 1939 dimana mengatur mengenai tanggung jawab pengangkut dan
ganti rugi.
Keterkaitan Hukum Udara Internasional terhadap PT.Angkasa Pura II A. PT
Angkasa Pura II telah mengikuti peraturan-peraturan Organisasi Internasional seperti,
ICAO (International Civil Aviation Organization), IATA (International Air Transport
Association), PT Angkasa Pura II telah menerapkan 6 (enam) dokumen hasil
Konverensi Chicago ,PT Angkasa Pura II sudah menerapkan 5 (lima) Kebebasan Di
Udara (The Five Freedom of The Air, Penerapan PT Angkasa Pura II terhadap
Annex.

DAFTAR PUSTAKA
http://article.wn.com/view/2014/07/21/Agar_Aman_Identitas_Maskapai_Penerbanga
n_Sipil_Harus_Diperje/

http://www.angkasapura2.co.id/
http://www.beritasatu.com/ekonomi/212402-kontrak-kerja-sama-garuda-danangkasa-pura-berakhir-penumpang-garuda-harus-bayar-pajak-bandara.html
http://www.ilmuterbang.com/artikel-mainmenu-29/peraturan-penerbanganmainmenu-81/28-casr1/757-hubungan- icao-annexes-dan-penomoran-casr
https://github.com/ardwort/freq-dist-id/blob/master/data/idwiki.csv

Lampiran