Chapter II Analisa Komponen Kimia Minyak Atsiri Dan Uji Pestisida Nabati Hasil Isolasi Daun Sirih Hutan (Piper aduncum L) Pada Larva Lalat Buah (Bactrocela carambolae) Jambu Biji

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pestisida
Pestisida adalah substansi (zat kimia) yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan berbagai hama. Berdasarkan asal katanya pestisida berasal dari bahasa
Inggris yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh (Djojosumarto, 2008).
Asosiasi Kimia Nasional Amerika Serikat menyatakan, bahwa yang juga termasuk
pengertian pestisida ialah agensia yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan
khusus seperti zat pengatur tumbuh, zat penggugur daun, zat pengering (desiccant) dan
zat-zat lainnya yang sejenis seperti feromon, zat kimia pemandul, zat anti feedant,
atraktan, repelen, sinergis (Oka dan Ida Nyoman, 1993).

2.1.1

Klasifikasi Pestisida

Klasifikasi pestisida dapat dibagi dua yaitu berdasarkan golongan hama yang dibunuh
dan berdasarkan efek yang ditimbulkannya pada hama sasaran sebagai berikut,
Tabel 2.1 Berdasarkan golongan hama sasaran yang dibunuh

Pestisida

Golongan hama sasaran

Akarisida/Mitisida

Tungau, caplak dan laba-laba

AlgesidaAlgae
Arborisida

Pohon, semak, belukar

Avisida

Burung

Bakterisida

Bakteri


Fungisida

Jamur

Herbisida

Gulma

Insektisdia

Serangga

Molisida

Siput (keong-keongan)

Tabel 2.2 Berdasarkan efek pestisida terhadap hama
Pestisida
Anti-makan (anti-feedant)


Pengaruhnya
Menghalangi makan, hama tetap tinggal
pada tanaman, hama klaparan dan
akhirnya mati mengurangi transpirasi.

Anti-transpiran

Mengurangi transpirasi.

Atrakta

Menarik hama kepada lokasi yang
memperoleh perlakuan (atraktan seks).

Zat kimia pemandul

Merusak reproduksi hama.

Penggugur daun (defoliant)


Menghilangkan pertumbuhan bagian
tanaman yang tidak dikehendaki, tanpa
membunuh tanaman seketika.

Zat pengering (desiccant)

Mengeringkan daun, batang dan serangga

Feromon

Melepaskan atau menghalangi perilaku
tertentu dari serangga

Zat pengatur tumbuh

Menghentikan, mempercepat atau
merubah proses pertumbuhan tanaman

Repelen


Mengusir hama dari objek sasaran

Sinergis

Meningkatkan efektifitas dari
agensia yang aktif

Sumber: Oka dan Ida Nyoman, 1993.

2.1.2

Jenis-jenis Pestisida

Insektisida dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar yaitu (1) berdasarkan
susunan kimia, dan (2) berdasarkan cara kerjanya.
1. Kelompok yang berdasarkan susunan kimia dibagi lagi menjadi kelompok
inorganik dan kelompok organik. Kelompok organik ini dibagi lagi ke dalam
kelompok organik sintetik dan kelompok organik alamiah.
Kelompok inorganik berasal dari unsur-unsur alamiah dan tidak mengandung

karbon. Misalnya arsenikum, merkurium, dan talium, boron, tembaga, sulfur,
semuanya persisten yang daya racunnya bersifat akumulatif.

Kelompok organik sintetik terdiri atas unsur karbon, hidrogen, dan satu atau beberapa
unsur seperti klorin, oksigen, belerang, fosfor, dan nitrogen.Kelompok ini merupakan
hasil sintesa manusia. Kelompok organik sintetik ini dapat diklasifikasikan lagi
berdasarkan unsur utama yang dikandungnya yaitu senyawa-senyawa sebagai berikut :
a. Organofosfor (malation, monokrotofos, parathion, fosfamidon, bromofos,
diazinon, dimetoat, diklorofos, fenitrotion, fention, dan lain-lain.) Bekerja
sebagai insektisida kontal atau sistemik. Kebanyakan diantaranya memiliki
aktivitas residu dalam waktu pendek, karena itu perlu diaplikasikan berulangulang
b. Metal karbamat yang mengandung fenol seperti BPMC, karbaril, MIPC,
metiokarb, propoksur. Metil karbamat yang mengandung senyawa-senyawa
hidrosiklik seperti karbofuran, dimetilon.
c. Organoklorin

seperti

DDT,


aldrin,

dieldrin,

heptaklor,

toksafin,

pentaklorofenol. Senyawa ini adalah sintetik kebanyakan sebagai racun kontak
dan racun perut. Kebanyakan memiliki aktifitas residu yang panjang. Ada
kecenderungan menumpuk di dalam rantai makanan yang menimbulkan
kematian pada ikan dan kehidupan lainnya. Oleh karena itu penggunaannya
sangat dibatasi.
d. Piretroid sintetik yaitu senyawa-senyawa yang struktur kimianya seperti piretrin
yang berasal dari tumbuhan. Piretroid ini menunjukkan efikasi yang lebih tinggi
terhadap serangga dan pada umumnya toksisitasnya terhadap mamalia lebih
rendah dibandingkan dengan insektisida lainnya. Namun kebanyakan
diantaranya sangat toksik tehadap ikan, tawon madu dan serangga berguna
lainnya. Bekerjanya terutama secara kontak dan tidak sistematik.
e. Fumigan diantaranya metal bromide, etilen bromide, karbon disulfide, fosfin,

dan naftalin dipergunakan untuk mengendalikan serangga hama gudang, hama
rumah dan tikus.Daya racunnya berbeda-beda satu sama lain, tetapi semuanya
sangat mudah diabsorpsi oleh paru-paru.
2. Kelompok insektisida berdasarkan cara kerjanya ialah bagaimana efeknya dan
bagaimana cara masuknya ke dalam tubuh hama. Setelah insektisida masuk
kedalam tubuh serangga, maka akan mempengaruhi proses hidup hama tersebut.

Efek-efek yang terlihat adalah mati, sakit, perubahan perilaku, pertumbuhan,
metabolisme, atau kapasitas reproduksinya. Misalnya :
a. Racun-racun perut masuk kedalam perut serangga hama melalui mulut,
diabsorpsi ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan
b. Racun kontak pada umumnya masuk kedalam tubuh hama melalui kontak
tubuh serangga dengan permukaan daun yang mengandung racun tersebut.
Racun-racun ini merusak sistem saraf dan pernapasan hama.
c. Fumigan, mudah sekali menguap dan masuk kedalam tubuh serangga hama
dalam bentuk gas melalui sistem pernapasan.
d. Racun sistemik diaplikasikan pada daun, batang, buah-buahan atau akar
diabsorpsi oleh tanaman. Didalam tubuh tanaman racun tersebut bergerak
melalui sitem vascular menuju bagian-bagian yang tidak terkena perlakuan
racun itu. Selama hama memakan racun itu juga akan ikut termakan. Racun

sistemik itu juga dipergunakan untuk mengendalikan hama-hama ternak.
e. Racun penyebab mati lemas (suffocation) adalah racun yang menyumbat
saluran pernapasan, biasanya senyawa yang mengandung minyak. Karena tidak
dapat bernafas maka hama tersebut mati (Oka dan Ida Nyoman, 1993).

2.2. Tanaman Sirih Hutan (Piper aduncum L)
Berdasarkan taksonomi tanaman, Klasifikasi daun sesirihanhasil identifikasi tumbuhan
dilaboratorium Herbarium Medanense (MEDA) Universitas Sumatera Utara adalah
sebagai berikut :
Kerajaan

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Kelas

: Dicotyledonae


Bangsa

: Piperales

Familia

: Piperaceae

Genus

: Piper

Spesies

: Piper aduncum L

Gambar 2.1 Foto Tanaman sirih hutan (Piper aduncum L)
Nama daerah : Below-below (Karo), Sirih Hutan, Sesirihan, Kiseriuheun (Sunda).
Habitat tanaman ini di areal perkebunan, hutan alami, berkayu, ujung runcing, pangkal

membulat, tepi rata pada setiap buku, tangkai berbulu halus, silindris 5-10 mm,
panjang daun 10-14 cm, lebar 5-6 cm, pertulangan menjari, hijau muda. Bunga
majemuk, bentuk buli, berkelamin satu atau dua, daun pelindung bertangkai 0,5-1,25
mm, melengkung, tangkai benang sari pendek, kepala sari kecil, bakal buah duduk,
kepala putik dua sampai tiga, pendek, putih, putih kekuningan. Buah buni, bertangkai
pendek, panjang bulir 12-14 cm, masih muda kuning kehijauan, setelah tua hijau. Biji
kecil dan berwarna coklat. Akar tunggang, putih kecoklatan.

2.3. Minyak Atsiri
Minyak atsiri adalah salah satu kandungan tanaman yang sering disebut minyak
terbang, dinamakan demikian karena minyak tersebut mudah menguap. Selain itu,
minyak atsiri juga disebut essential oil (dari kata essence) karena minyak tersebut
memberikan bau pada tanaman (Koensoemardiyah, 2010). Minyak atsiri bukan
merupakan senyawa tunggal, tetapi tersusun dari berbagai komponen kimia, seperti
senyawa – senyawa monoterpen (Gunawan, 1991).
Minyak atsiri dibagi 2 kelompok, yaitu:
1. Minyak atsiri yang dengan mudah dapat dipisahkan menjadi komponenkomponen atau penyusun murninya, komponen ini dapat menjadi bahan dasar
untuk diproses menjadi produk - produk lain. Contohnya: minyak sereh, minyak
terpentin.
2. Minyak atsiri yang sukar dipisahkan menjadi komponen murni. Contohnya
minyak nilam, minyak kenanga.

Minyak atsiri dari tanaman menghasilkan aroma yang berbeda, bahkan 1 jenis
tumbuhaan yang sama bila ditanam ditempat yang berlainan mampu menghasilkan
aroma yang berbeda, iklim, keberadaan tanah, dan sinar matahari. Cara pengolahan
tidak hanya mempengharui rendeman minyak atsiri tetapi berpengaruh pula pada
aromanya (Harris, 1987).

2.3.1. Komponen Kimia Minyak Atsiri
Pada umumnya perbedaan komposisi minyak atsiri disebabkan perbedaan jenis
tanaman penghasil, kondisi iklim, tanah tempat tumbuh, umur panenan, metode
ekstraksi yang digunakan dan cara penyimpanan minyak.
Minyak atsiri biasanya terdiri dari berbagai campuran persenyawaan kimia
yang terbentuk dari unsur Karbon (C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O). Pada umumnya
komponen kimia minyak atsiri dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1. Golongan hidrokarbon yang terdiri dari persenyawaan Terpen
Persenyawaan yang termasuk golongan ini terbentuk dari unsur Karbon (C), dan
Hidrogen (H). Jenis Hidrokarbon yang terdapat dalam minyak atsiri sebagian besar
terdiri dari monoterpen (2 unit isopren), dan politerpen.
2. Golongan hidrokarbon teroksigenasi
Komponen kimia dari golongan ini terbentuk dari unsur Karbon (C), Hidrogen
(H), dan Oksigen (O). Persenyawaan yang termasuk dari golongan ini adalah
persenyawaan alkohol, aldehid, ester, fenol. Ikatan karbon yang terdapat dalam
molekulnya dapat terdiri dari ikatan tunggal, dan ikatan rangkap dua dan ikatan
rangkap tiga. Terpen

mengandung ikatan tunggal dan ikatan rangkap dua.

Senyawa terpen memiliki aroma kurang wangi, sukar larut dalam alkohol encer
dan jika disimpan dalam waktu lama akan terbentuk resin. Golongan hidrokarbon
teroksigenasi merupakan senyawa yang penting dalam minyak atsiri karena
umumnya aroma yang lebih wangi. Fraksi terpen perlu dipisahkan untuk tujuan
tertentu, misalnya untuk pembuatan parfum, sehingga didapatkan minyak atsiri
yang bebas terpen (Ketaren, 1985).Pada minyak atsiri yang bagian utamanya
terpenoid, biasanya terpenoid itu terdapat pada fraksi minyak atsiri yang tersuling
uap. Zat inilah penyebab wangi, harum atau bau yang khas pada banyak tumbuhan
(Harborne, 1987).

2.3.2. Biosintesa pembentukan Minyak Atsiri
Berdasarkan proses biosintesisnya atau pembentukan komponen minyak atsiri di dalam
tumbuhan, minyak atsiri dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama
adalah turunan terpen yang terbentuk dari asam asetat melalui jalur biosintesis asam
mevalonat. Golongan kedua adalah senyawa aromatik yang terbentuk dari biosintesis
asam sikimat melalui jalur fenil propanoid (Agusta, 2000).
Mekanisme dari tahap tahap reaksi biosintesis terpenoid yaitu asam asetat yang
telah diaktifkan oleh koenzim A melalui kondensasi jenis Claisen menghasilkan asam
asetoasetat. Senyawa yang dihasilkan ini dengan koenzim a melakukan kondensasi
sejenis aldol menghasilkan rantai karbon bercabang sebagaimana ditemukan pada asam
mevalonat. Reaksi-reaksi berikutnya ialah fosforilasi, eliminasi asam fosfat dan
dekarboksilasi menghasilkan IPP (Isopentenil Pirofosfat) oleh enzim isomerase, IPP
sebagi unit isopren aktif bergabung secara kepala ke ekor dengan DMAPP dan
penggabungan ini merupakan langkah pertama

dari polimerasi isopren untuk

menghasilkan terpenoid. Penggabungan ini terjadi karena serangan elektron dari ikatan
rangkap IPP terhadap atom karbon dari DMAPP yang kekurangan elektron diikuti oleh
penyingkiran ion Pirofosfat. Serangan ini menghasilkan geranil pirofosfat (GPP) yakni
senyawa antara bagi semua senyawa monoterpen. Penggabungan selanjutnya antara
satu unit IPP dan GPP, dengan mekanisme yang sama seperti anatara IPP dan DMAPP
menghasilkan Farnesil Pirofosfat (FPP) yang merupakan senyawa antara bagi semua
senyawa seskuiterpen.
Senyawa-senyawa diterpen diturunkan dari geranil-geranil pirofosfat (GGPP)
yang berasal dari kondensasi antara satu unit IPP dan FPP dengan mekanisme yang
sama. Sintesa terpenoid sangat sederhana sifatnya. Ditinjau dari segi teori reaksi
organik sintesa ini hanya menggunakan beberapa jenis reaksi dasar. Reaksi-reaksi
selanjutnya dari senyawa antara GPP, FPP, GGPP untuk menghasilkan senyawasenyawa terpenoid satu persatu hanya melibatkan beberapa jenis reaksi sekunder.
Reaksi-reaksi sekunder ini lazimnya adalah hidrolisa, siklisasi, oksidasi, reduksi, dan
reaksi-reaksi spontan yang dapat berlangsung dengan mudah dalam suasana netral dan
pada suhu kamar, seperti isomerasi, dehidrasi, dekarboksilasi, dan sebagainya. Berikut
ini adalah gambar biosintesa terpenoid sapat dilihat pada gambar dibawah ini

ATP
-ADP

Gambar 2.2 Biosintesa Terpenoid (Achmad, 1985).
Untuk menjelaskan dapat diambil beberapa contoh monoterpen. Dari segi
biogenetik, perubahan geraniol, nerol dan linalool dari yang satu menjadi yang lain
berlangsung sebagai akibat reaksi isomerisasi. Ketiga alkohol ini, yang berasal dari
hidrolisa geranil pirofosfat (GPP) dapat menjalani reaksi-reaksi sekunder berikut,
misalnya dehidrasi menghasilkan mirsena, oksidasi menjadi sitral dan oksidasi reduksi

menghasilkan sitronelal. Berikut ini adalah contoh perubahan senyawa monoterpen,
dapat

dilihat

pada

gambar

2.3

Gambar 2.3 Perubahan Senyawa Monoterpen (Achmad, 1985)
Senyawa- senyawa seskuiterpen diturunkan dari cis-farnesil pirofosfat dan
trans- farnesil pirofosfat melalui reaksi siklisasi dan reaksi sekunder lainnya. Kedua
isomer farnesil pirofosfat ini dihasilkan in vivo melalui mekanisme yang sama seperti
isomerisasi antara geraniol dan nerol. Perubahan farnesil pirofosfat menjadi
seskuiterpen terlihat pada gambar 2.4

Gambar 2.4. Reaksi Biogenetik Beberapa Seskuiterpena (Achmad, 1985)

2.3.3. Sumber Minyak Atsiri
Minyak atsiri merupakan salah satu akhir proses metabolisme sekunder dalam tanaman
tumbuhan. Tumbuhan penghasil minyak atsiri antara lain termasuk family Pinaceae,
Labiatae, Compositae, Lauraceae, Myrtaceae, Rutaceae, Piperaceae, Zingiberaceae,
Umbelliferae, dan Gramineae. Minyak atsiri terdapat pada setiap bagian tumbuhan
yaitu di daun, bunga, batang, kulit, akar, dan rimpang (Ketaren, 1985).

2.4. Isolasi Minyak Atsiri Dengan Destilasi
Dalam tanaman minyak atsiri, biasanya proses difusi berlangsung sangat lambat, maka
untuk mempercepat proses difusi sebelum melakukan penyulingan terlebih dahulu
bahan tanaman harus diperkecil dengan cara dipotong - potong atau digerus. Peristiwa
terpenting yang terjadi dalam proses penyulingan dengan metode hidrodestilasi ini
adalah terjadinya difusi minyak atsiri dan air panas melalui membran bahan yang
disuling, terjadinya hidrolisa terhadap beberapa komponen minyak atsiri dan terjadinya
dekomposisi yang disebabkan oleh panas (Guenther, 1987). Penyulingan suatu
campuran yang berwujud cairan yang tidak saling bercampur, hingga membentuk dua
fase atau dua lapisan. Keadaan ini terjadi pada pemisahaan minyak atsiri dengan uap
air. Penyulingan dengan uap air sering disebut steam destilasi. Pengertian umum ini
memberikan gambaran bahwa penyulingan dapat dilakukan dengan cara mendidihkan
bahan tanaman atau minyak atsiri dengan air (Sastrohamidjojo, 2004).
Beberapa jenis tanaman sumber minyak atsiri perlu dirajang terlebih dahulu
sebelum disuling. Hal ini untuk memudahkan proses penguapan minyak yang terdapat
didalamnya karena perajangan ini menyebabkan kelenjar minyak dapat selebar
mungkin (Lutony, 1994).
Dalam industri minyak atsiri dikenal 3 macam metode penyulingan, yaitu:
1.

Penyulingan air (Hidrodestilasi)
Pada metode ini bahan yang akan disuling berhubungan langsung dengan air
mendidih. Bahan yang akan disuling kemungkinan mengapung diatas air atau
terendam seluruhnya (Sastrohamidjojo, 2004).

2.

Penyulingan uap (Steam destilasi)
Penyulingan uap disebut juga penyulingan tak langsung. Didalam proses
penyulingan dengan uap ini, uap dialirkan melalui pipa uap berlingkar yang
berpori dan berada dibawah bahan tanaman yang akan disuling. Kemudian uap
akan bergerak menuju ke bagian atas melalui bahan yang disimpan di atas
saringan (Lutony, 1994).

3. Penyulingan dengan air dan uap (Water and Steam distillation)
Bahan tanaman yang akan diproses secara penyulingan uap dan air ditempatkan
dalam suatu tempat yang bagian bawah dan tengah berlobang-lobang yang
ditopang diatas dasar alat penyulingan. Ciri khas model ini yaitu uap selalu

dalam keadaan basah, jenuh, dan tidak terlalu panas. Bahan tanaman yang akan
disuling hanya berhubungan dengan uap dan tidak dengan air panas (Lutony,
1994).

2.5. Analisis Komponen Kimia Minyak Atsiri dengan GC-MS
Minyak atsiri yang memiliki komponen tunggal dengan porsi yang sangat besar,
kebanyakan mengandung campuran senyawa dengan berbagai tipe. Karena itu analisis
dan karakterisasi komponen minyak atsiri merupakan masalah yang cukup rumit,
ditambah dengan sifatnya yang mudah menguap pada suhu kamar. Jadi, untuk
menganalisa minyak atsiri perlu diseleksi metode yang akan diterapkan. Sejak
ditemukan kromatografi gas (GC), kendala dalam analisis komponen minyak atsiri ini
mulai dapat diatasi. Pada penggunaan GC efek penguapan dapat dihindari bahkan
dihilangkan sama sekali. Perkembangan teknologi instrumentasi yang sangat pesat
akhirnya dapat menghasilkan suatu alat yang merupakan gabungan dua sistem dengan
prinsip dasar yang berbeda satu sama lain tetapi dapat saling menguntungkan atau
saling melengkapi, yaitu gabungan antara kromatografi gas dan spektrometri massa
(GC-MS). Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah berbagai komponen
campuran dalam sampel, sedangkan spektrometrimassa berfungsi untuk mendeteksi
masing-masing molekul komponen yang telah dipisahkan pada sistem kromatografi
gas (Agusta, 2000).

2.5.1. Analisis Kromatograf Gas
Kromatografi gas digunakan untuk memisahkan komponen campuran kimia dalam
suatu bahan berdasarkan perbedaan polaritas campuran. Fase gerak akan membawa
campuran sampel menuju kolom. Campuran dalam fase gerak akan berinteraksi dengan
kecepatan yang berbeda dimana interaksi komponen dengan fase diam dengan waktu
yang paling akhir (Eaton, 1989). Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase
gas bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah
menguap) yang terikat pada zat padat penunjangnya (Khopkar, 2003).

Gambar 2.5. Skema alat Kromatografi Gas

2.5.1.1. Gas Pembawa
Pemilihan gas pembawa sampai taraf tertentu bergantung pada detektor yang dipakai:
hantar hambang, ionisasi nyala, tangkap elektron, atau khas terhadap unsur. Nitrogen,
Helium, Argon, Hidrogen, dan Karbon dioksida adalah gas yang paling sering dipakai
sebagai gas pembawa karena mereka tidak reaktif serta dapat dibeli dalam keadaan
murni dan kering dalam kemasan tangki bervolume besar dan bertekanan tinggi. Hal
yang menentukan ialah bahwa kita harus memakai gas paling murni (Gritter, 1991).
2.5.1.2. Sistem Injeksi
Lubang injeksi didesain untuk memasukkan sampel secara cepat dan efesien. Pada
dasarnya, ada 4 jenis injektor pada kromatografi gas, yaitu :
1.

Injeksi langsung (direct injection), yang mana sampel yang diinjeksikan akan
diuapkan dalam injektor yang panas dan 100% masuk menuju kolom.

2. Injeksi terpecah (split injection), yang mana sampel yang diinjeksikan diuapkan
dalam injektor yang panas dan selanjutnya dilakukan pemecahan.
3. Injeksi tanpa pemecahan (splitness injection), yang mana hampir semua

sampel

diuapkan dalam injektor yang panas dan dibawa ke dalam kolom karena katup
pemecah ditutup.
4. Injeksi langsung ke kolom (on coloum injection), yang mana ujung semprit
dimasukkan langsung ke dalam kolom. Teknik injeksi langsung ke dalam kolom

digunakan untuk senyawa-senyawa yang mudah menguap, karena kalau
penyuntikkannya melalui lubang suntik, dikwatirkan akan terjadi peruraian senyawa
tersebut karena suhu yang tinggi (Rohman, 2009).

2.5.1.3. Kolom
Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahaan karena didalamnya terdapat
fase diam. Oleh karena itu, kolom merupakan komponen sentral pada kromatografi gas
(Rohman, 2009).

2.5.1.4. Fase Diam
Fase diam dibedakan berdasarkan kepolarannya, yaitu nonpolar, semi polar dan polar.
Berdasarkan minyak atsiri yang nonpolar sampai sedikit polar, maka untuk keperluan
analisis sebaiknya digunakan kolom fase diam yang bersifat nonpolar (Agusta, 2000).

2.5.1.5. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor utama yang menentukan hasil analisis Kromatografi
Gas dan Spektrometri Massa. Umumnya yang sangat menentukan adalah pengaturan
suhu injektor dan kolom (Agusta, 2000).

2.5.1.6. Detektor
Detektor pada kromatografi gas adalah suatu sensor elektronik yang berfungsi
mengubah sinyal gas pembawa komponen-komponen di dalamnya menjadi sinyal
elektronik. Sinyal elektronik detektor akan sangat berguna untuk analisis kualitatif
maupun kuantitatif terhadap komponen-komponen yang terpisah di antara fase diam
dan fase gerak (Rohman, 2009).

2.5.2. Analisis Spektroskopi Massa
Spektrometer massa adalah suatu alat berfungsi untuk mendeteksi masing-masing
molekul komponen yang telah dipisahkan pada sistem kromatografi gas yang terdiri
dari sistem analisis dan sistem ionisasi dan sistem molekul. Prinsip spektrometri massa
(MS) ialah senyawa organik (sampel) ditembak

dengan berkas elektron dan

menghasilkan ion bermuatan positif yang mempunyai energi yang tinggi karena

lepasnya elektron dari molekul yang dapat pecah menjadi ion positif yang lebih kecil
(ion fragmen). Spektrum massa merupakan grafik antara limpahan relatif lawan
perbandingan massa/muatan (m/z). Terpisah fragmen ion positif didasarkan pada
massanya. Kejadian tersederhana adalah tercampaknya satu elektron dari molekul
dalam fasa gas oleh sebuah elektron dalam berkas elektron dan membentuk suatu
kation radikal (M•+ )
M • +e



M•+

+

2e

Satu proses yang disebabkan oleh tabrakan elektron pada kamar pengion
spektrometer massa adalah ionisasi dari molekul yang berupa uap dengan kehilangan
satu elektron dan terbentuk ion molekul bermuatan positif, karena molekul senyawa
organik mempunyai elektron berjumlah genap maka proses pelepasan satu elektron
menghasilkan ion radikal yang mengandung satu elektron tidak berpasangan.
M

M•+

Proses lain molekul yang berupa uap tersebut menangkap sebuah elektron membentuk
ion radikal bermuatan negatif dengan kemudian terjadi jauh lebih kecil (10-2) dari pada
ion radikal bermuatan positif (Sudjadi, 1983)

Gambar 2.6 Skema alat Spektroskopi Massa
Pada sistem GC-MS ini, yang berfungsi sebagai detektor adalah spektrometer massa itu
sendiri yang terdiri dari sistem analisis dan sistem ionisasi, dimana Electron Impact
ionization (EI) adalah metode ionisasi yang umum digunakan (Agusta, 2000).
Spektrometer massa pada umumnya digunakan untuk :
1. Menentukan massa suatu molekul
2. Menentukan rumus molekul dengan menggunakan spektrum massa beresolusi tinggi
(High Resolution Mass Spectra)
3. Mengetahui informasi dari struktur dengan melihat pola fragmentasinya.

2.6. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan yang paling banyak digunakan untuk
menarik atau memisahkan komponen bioaktif dari suatu bahan baku. Ekstraksi dapat
diartikan sebagai suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan
dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga komponen yang diinginkan dapat
larut (Ansel, 1989). Menurut Winarno et al 1973, ekstraksi adalah suatu cara untuk
memisahkan campuran dari beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah.
Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagia-bagian tertentu dari suatu bahan
yang mengandung bahan aktif.
Selama proses ekstraksi terdapat gaya yang bekerja akibat adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan cairan ekstraksi di luar sel. Bahan
pelarut yang mengalir ke dalam ruang sel akan menyebabkan protoplasma
membengkak dan bahan yang terkandung di dalam sel akan terlarut sesuai dengan
kelarutannya (Voight, 1994).
Menurut Ansel (1989) dan Winarno et al (1973), ekstraksi dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu :
1. Aqueus phase yaitu dilakukan dengan menggunakan air
2. Organic phase dilakukan dengan menggunakan pelarut organik
Berdasarkan prinsipnya, proses ekstraksi dapat berlangsung bila terdapat kesamaan
dalam sifa kepolaran antara senyawa yang diekstraksi dengan senyawa pelarut. Suatu
zat memiliki kemampuan terlarut yang berbeda dalam pelarut yang berbeda. Hal ini
menunjukkan adanya interaksi antara zat terlarut dengan pelarut. Senyawa polar akan
larut dalam pelarut polar, begitu juga sebaliknya. Sifat penting yang harus diperhatikan
dalam pemilihan pelarut adalah kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus polarnya
(seperti gugus OH, COOH dan sebagainya). Hal ini yang perlu diperhatikan dalam
pemilihan pelarut adalah selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas,
kemudahan untuk diuapkan, dan harga ( Harbone, 1987).
Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa
cara yaitu :

A. Cara Dingin
1. Maserasi
Maserasi berasal dari kata “macerace” yang artinya melunakkan. Maserat adalah hasil
penarikan simplisia dengan cara meserasi, sedangkan maserasi adalah cara penarikan
simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan dengan beberapa kali
pengocokan atau pengadukan pada temperature kamar, sedangkan remaserasi
merupakan pengulangan penbambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat
pertama, dan seterusnya (Depkes, 2000). Keuntungan dari metode maserasi adalah
prosedur dan peralatannya sederhana, sedangkan kerugiannya adalah pelarut yang
digunakan lebih banyak (Agoes, 2007).
2. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai
terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses
perkolasi terdiri dari tahap pelembaman bahan, tahap perendaman antara, tahap
perkolasi

sebenarnya

(penetasan/penampungan

ekstrak)

terus-menerus

sampai

diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Harbone, 1987).

B. Cara Panas
1. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstrak continue menggunakan alat soklet, dimana pelarut akan
terdestilasi dari labu menuju pendinginan, kemudian jatuh membasahi dan merendam
sampel yang mengisi bagian tengah alat soklet, setelah pelarut mencapai tinggi tertentu
maka akan turun ke labu destilasi, demikian berulang-ulang (Depkes, 2000).
2. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu
tertentu dan pelarut akan terdestilasi menuju pendingin dan akan kembali kelabu
(Depkes, 2000).
3. Infudasi
Infudasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature penangas air (bejana
infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperature terukur 96-980C) selama
waktu tertentu 15-20 menit (Depkes, 2000).

4. Dekoktasi
Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai
titik didih air (Depkes , 2000).

2.7.

Lalat Buah (Bactrocela Carambolae)

Bactrocera carambolae merupakan spesies lalat buah yang paling melimpah. Lalat
buah ini selalu ada dan melimpah karena keberadaan tanaman inangnya. Selain
menyerang jambu biji, lalat buah ini menyerang berbagai macam buah-buahan antara
lain belimbing, kluwih, cabai, nangka, jambu bol, tomat, mangga, papaya (Siwi et al.
2006). Klasifikasi dari lalat buah (Bactrocela carambolae)
Kingdom
Phylum
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Diptera
: Tephritidae
: Batrocera
: Batrocera carambolae

Gambar 2.6 Foto lalat buah

Gambar 2.7 Foto Daur Hidup Lalat Buah

2.7.1. Morfologi Lalat Buah
Lalat buah yang dewasa ukurannya sedang, warnanya kuning, sayapnya datar. Pada
tepi ujung sayap ada bercak-bercak cokelat kekuningan. Pada abdomennya ada pitapita hitam. Dengan ovipositorinya, lalat ini menusuk kulit buah (Pracaya, 1991).

2.7.2. Daur Hidup Lalat Buah
Dengan ovipositorinya, lalat ini menusuk kulit buah. Telurnya diletakkan di bawah
kulit buah. Jumlah telurnya kurang lebih 100-120 butir. Pada temperatur 25-350C
dalam waktu lebih kurang 2-3 hari telur menetas, belatungnya makan selama lebih
kurang satu minggu kemudian keluar dari buah. Belatung yang telah dewasa

mempunyai kebiasaan melenting dan bias melompat sampai jarak ± 30 cm. Belatung
masuk kedalam tanah sedalam ± 1-5 cm lalu membuat puparium. Setelah menjadi pupa
± 10 hari menjadi lalat. Setelah berumur ± 5-7 hari lalat betina mulai bertelur. Daur
hidup dari telur sampai dewasa 23 sampai 34 hari, tergantung pada keadaan udara. Satu
tahun kira-kira ada 8 sampai 10 generasi (Pracaya, 1991).

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45