Chapter I Resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang Berdagang di Jalan Dr.Mansyur

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan sektor informal merupakan ciri khas yang melekat pada pembangunan perkotaan. 1 Pedagang kakilima adalah salah satu pekerjaan sektor

informal. PudjioSantoso (2012) mengatakan “keberadaan pedagang kaki lima di perkotaan acapkali dipandang sebelah mata. Mereka tidak pernah dilihat sebagai penunjang sektor riil di perkotaan yang tahan terhadap badai krisis ekonomi yang pernah melanda negara Indonesia di tahun 1998 dan krisis ekonomi global tahun 2008”. Sektor informal, khususnya pedagang kaki lima dianggap membawa masalah bagi wilayah perkotaan terutama persoalan klasik, yakni keindahan kota, mengganggu ketertiban, mendatangkan kekumuhan serta mengganggu ketertiban lalu

lintas. 2

Beberapa kota besar seperti Kota Medan misalnya, menerapkan aturan penataan wilayah perkotaan yang cenderung kurang memperhatikan nasib pedagang kakilima. Penggusuran demi terciptanya kota Medan yang indah, nyaman dan terbebas dari kemacetan lalu lintas acapkali menjadi alasan utama tanpa memberikan

1 International Labour Organization (ILO) mendefinisikan sektor informal sebagai pekerjaan-pekerjaan di pinggiran kota besar, tetapi juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi antara lain ditandai dengan :

mudah untuk dimasuki, bersandar pada sumberdaya lokal, usaha milik sendiri, operasinya dalam skala kecil , padat karya dan teknologinya bersifat adaptif, keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal, dan tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif. (Kompas, 15/04/2006) 2

Pudjio Santoso, “Pembentukan Paguyuban PKL sebagai bentuk negosiasi terhadap kebijakan penggusuran oleh Pemkot Surabaya”, file:///C:/Users/win7/Desktop/PUDJIO%20SANTOSO.htm(akses 10 April 2015) Pudjio Santoso, “Pembentukan Paguyuban PKL sebagai bentuk negosiasi terhadap kebijakan penggusuran oleh Pemkot Surabaya”, file:///C:/Users/win7/Desktop/PUDJIO%20SANTOSO.htm(akses 10 April 2015)

prematur, namun keberadaanya sering tergusur oleh pembangunan. 3

Tindakan penertiban merupakan salah satu sumber terjadinya konflik antara pedagang kakilima dengan aparat pemerintah. Hal ini terjadi karena ada suatu bentuk resistensi pedagang kakilima terhadap aparat pemerintah. Sudarmawan juwono (2009) misalnya, menyebutkan aksi atau reaksi manusia tidak semata-mata bersifat moral namun ada perhitungan untung rugi masing-masing individunya.Resistensi adalah semua tindakan dari anggota masyarakat kelas bawah dengan maksud untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Para pedagang kaki lima melakukan resistensi atau melakukan perlawanan mempertahankan diri karena terpaksa untuk mempertahankan hidup. Perjuangan yang dilakukan para pedagang kakilima ini, merupakan perjuangan yang biasa namun dilakukan terus menerus. Sudarmawan Juwono (2009) juga menambahkan bahwa hal yang menarik dari konsep Scott ini adalah resistensi hanya bersifat individual atau tidak bersifat kolektif.

Ada 3 (tiga) kategori resistensi yaitu bisa dilakukan.Pertama, bersifat individual, spontan dan tidak terorganisasi.Kedua, tujuan resistensi agar ada

3 Ahmad Erani Yustika, Negara Vs. Kaum Miskin (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2003) hal 90 3 Ahmad Erani Yustika, Negara Vs. Kaum Miskin (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2003) hal 90

Pudjio Santoso (2012) menegaskan meningkatnya jumlah mereka yang bekerja di sektor informal tidak terlepas dari kecenderungan pembangunan yang lebih fokus ke perkotaan dari pada pedesaan, sehingga kesempatan kerja di pedesaan makin sempit.Sektor informal dipandang sebagai alternatif pilihan yang menguntungkan bagi pendatang yang berpenghasilan rendah agar dapat mencukupi kebutuhan hidupnya .

Sejak akhir tahun 1980-an, tema resistensi atau perlawanan menjadi tema penting dan menarik untuk penelitian. Tema ini menjadi trend sebab menelaah kasus- kasus yang gampang diamati serta bersifat empiris.Analisisnya banyak melihat hal- hal yang ada dalam keseharian masyarakat baik berupa kisah-kisah, tema pembicaraan, umpatan, serta puji-pujian dan prilaku lainnya.Resistensi dianggap

berciri kultural sebab muncul melalui ekspresi serta tindakan keseharian masyarakat. 4

Untuk tetap dapat bertahan hidup di tengah-tengah maraknya penggusuran yang dilakukan aparat pemerintahan kota, maka para pekerja sektor informal

4 Yusran Darmawan, “Reasistensi dalam Kajian Antropologi,” artikel diakses pada 8 April 2015 http://www.timur-angin.com/2009/08/re sistensi-dalam-kajian-antropologi.html 4 Yusran Darmawan, “Reasistensi dalam Kajian Antropologi,” artikel diakses pada 8 April 2015 http://www.timur-angin.com/2009/08/re sistensi-dalam-kajian-antropologi.html

menghilang ketika mendengar akan dilakukan penertiban dan kembali lagi pada saat situasi telah “tenang” seperti di jalan Dr. Mansyur depan kampus USU Medan.

Penelitian ini mengkaji resistensi sebagai suatu perlawanan para pedagang kakilima terhadap para pengambil kebijakan yaitu pemerintah melalui Satuan Polisi Pamong Praja dan pihak terkait, yang dianggap sewenang-wenang dan merugikan pedagang kakilima khususnya. Kalau kita mengingat bahwa keberanian dalam berbagai bentuk perlawanan sangat terlihat sejak reformasi digulirkan pada akhir tahun 1997, maka demokratisasi mulai dijunjung tinggi, karena adanya keberanian warga masyarakat untuk menolak kebijakan yang tidak memihak mereka.

Pada era zaman modern ini, keberadaan pedagang kaki lima (PKL) di kota- kota besar merupakan suatu fenomena kegiatan perekonomian rakyat yang akhir- akhir ini banyak terdapat fenomena penggusuran terhadap pedagang kaki lima yang marak terjadi. Kegiatan pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk kesempatan kerja sektor informal yang dianggap sebagai pedagang kecil yang mempunyai peranan. Kegiatan pedagang kaki lima merupakan salah satu fenomena kegiatan perekonomian rakyat kecil, yang dimana mereka berdagang hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok yaitu kehidupan sehari-hari.

Istilah permainan tradisional jawa yang dimainkan anak-anak secara bersembunyi-sembunyi.

Masalah pedagang kakilima tidak kunjung selesai di setiap daerah di Indonesia. Permasalahan ini muncul setiap tahun dan terus saja berlangsung tanpa ada solusi yang tepat dalam pelaksanaannya, ini dibuktikan dengan masih banyaknya pedagang kaki lima dibeberapa tempat di daerah. Herwanto (2012) menyebutkan bahwa perekonomian Pemerintah kota Surabaya pada tahun 2009 jumlah pedagang kakilima kurang lebih sebanyak 75.000 PKL. Sementara itu daya tampung kota Surabaya hanya sekitar 10.000 PKL, hal ini berarti Bahwa di Surabaya telah terjadi kelebihan PKL Tujuh kali Lipat .

Keberadaan pedagang kaki lima kerap dianggap illegal karena menempati ruang publik dan tidak sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan aspek-aspek kebersihan, keindahan, dan kerapihan. Oleh karena itu pedagang kakilima seringkali menjadi target utama kebijakan-kebijakan pemerintah seperti penggusuran dan relokasi. Dimana kita ketahui bersama apabila kebijakan-kebijakan sudah dibuat maka ada sumber hukum yang berlaku. Menurut Bronislaw Malinowski, semua masyarakat memiliki hukum sebagai pengendali sosial. Hukum inilah yang digunakan masyarakat sebagai alat untuk menciptakan keamanan dalam kehidupan

bermasyarakat. 6

5K yaitu ketertiban, keamanan, keindahan, kebersihan, dan kenyamanan menjadi barometer citra kota. Itulah sebabnya, kemudian para pengambil kebijakan

6 Jayanti PN Sihombing, “Perempuan di Lembaga Permasyarakatan Dalam Kajian Kemajemukan Hukum,” (Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan,

2015) hal 2.

terobsesi untuk mewujudkannya, karena sekaligus untuk membuktikan kemampuanya mengelolah kota. Sedangkan dipihak lain, kebanyakan para pedagang kakilima dengan segala atribut yang serba sangat sederhana itu tidak mau tahu bahwa keberadaanya itu menimbulkan orang lain tidak nyaman, terganggu, risih, malu, citra kumuh, jorok yang penting dapat berusaha dan mendapatkan keuntungan.

Pada dasarnya penulis melihat pedagang kakilima itu bersifat ambigu atau ambivalen, artinya bahwa disatu aspek keberadaan pedagang kakilima harus diakui sebagai mata pencaharian yang dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah yang sangat basar tanpa menuntut kualifikasi tertentu. Artinya untuk bekerja sebagai pedagang kakilima tidak menuntut syarat formal termasuk pendidikan, sehingga warga yang tidak sekolah sampai lulus perguruan tinggi sekalipun dapat memasuki lapangan pekerjaan ini. Dalam situasi yang seperti ini maka akan adanya peran sektor informal yang secara langsung atau tidak membantu penciptaan kesejahteraan penduduk karena memberikan pekerjaan dan penghasilan demi kelangsungan hidup keluarganya.

Coba kita bayangkan jumlah pedagang kakilima yang besar ini tidak memiliki pekerjaan sama sekali atau sebagai penganggur, maka berbagai permasalahan sosial dapat dipastikan akan lebih banyak. Sedangkan dari aspek yang lain, eksistensi pedagang kaki lima yang semakin banyak sering dituduh sebagai biang terjadinya berbagai masalah sosial. Hal ini karena disamping jumlah pedagang kakilima yang terus mengalami pertambahan juga karena tempat usaha yang pada umumnya dipilih Coba kita bayangkan jumlah pedagang kakilima yang besar ini tidak memiliki pekerjaan sama sekali atau sebagai penganggur, maka berbagai permasalahan sosial dapat dipastikan akan lebih banyak. Sedangkan dari aspek yang lain, eksistensi pedagang kaki lima yang semakin banyak sering dituduh sebagai biang terjadinya berbagai masalah sosial. Hal ini karena disamping jumlah pedagang kakilima yang terus mengalami pertambahan juga karena tempat usaha yang pada umumnya dipilih

Keadaan sosial dijalan Dr.Mansyur yang dianggap pedagang kakilima tempat yang strategis untuk berjualan. Tempat tersebut merupakan jalan utama dari fasilitas umum seperti terminal, stasiun, rumah sakit, sekolahan, pasar tradisional tidak pernah sepi dari para pedagang kakilima. Ketika keberadaan pedagang kakilima dirasakan benar-benar menjadi masalah sosial, maka pada umumnya para pengambil kebijakan baru berusaha untuk mengatasinya, dan bukannya telah ada antisipasi usaha untuk mencegah sebelum pedagang kakilima menjadi masalah. Seperti halnya pemerintah kota Medan, baru pada tahun 2009 mempunyai peraturan Wali Kota Medan Nomor 9 Tahun 2009, sebagai rujukan tentang Larangan Beraktivitas Berjualan di Badan Jalan dan Trotoar.

Keyakinan saya bahwa kehadiran pedagang kakilima didasarkan pada jumlah pencari kerja lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang tersedia disektor formal. Maka sektor informal khususnya pedagang kakilima merupakan penyelesaian terhadap persoalan ini. Di samping adanya orang-orang yang memang sulit dapat tertampung pada sektor formal karena tingkat pendidikan yang tidak memenuhi kualifiksai pekerjaan formal dan juga terbatasnya pekerjaan di Keyakinan saya bahwa kehadiran pedagang kakilima didasarkan pada jumlah pencari kerja lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang tersedia disektor formal. Maka sektor informal khususnya pedagang kakilima merupakan penyelesaian terhadap persoalan ini. Di samping adanya orang-orang yang memang sulit dapat tertampung pada sektor formal karena tingkat pendidikan yang tidak memenuhi kualifiksai pekerjaan formal dan juga terbatasnya pekerjaan di

Penataan yang dilakukan para pengambil kebijakan pada umumnya menggunakan beberapa cara. Pertama, melakukan penggusuran tanpa harus menyediakan tempat sebagai pengganti agar tetap berjualan. Dengan demikian ini sudah semestinya pihak pemerintah akan keluar sebagai pemenangnya, walaupun di atas penderitaan para pedagang kakilima. Kedua, ada juga dengan menggunakan cara merelokasi ke tempat lain yang telah disediakan itu bukan tempat yang strategis, sehingga kemunkinan besar akan mendapat penolakan dari para pedagang kakilima.

Memang merupakan problem tersendiri bagi pemerintah kota untuk menyediakan lahan yang strategis usahanya para pedagang kakilima karena terbatasnya lahan tersedia. Dua cara tersebut bukanlah merupakan program yang populer, karena disamping prosesnya cenderung represif dan arogan yang juga tidak mau mendengarkan keluh kesah para pedagang kakilima. Hal ini biasanya didasari adanya anggapan bahwa pedagang kakilima merupakan “penyakit” yang harus dihilangkan. Anggapan demikian ini tidaklah keliru, karena disatu pihak di kota-kota besar seperti kota Medan, lahan ditempat strategis bukan saja mahal harganya, juga sangat terbatas. Ketiga, yaitu perenovasian tempat dimana hal itu ditunggu serta Memang merupakan problem tersendiri bagi pemerintah kota untuk menyediakan lahan yang strategis usahanya para pedagang kakilima karena terbatasnya lahan tersedia. Dua cara tersebut bukanlah merupakan program yang populer, karena disamping prosesnya cenderung represif dan arogan yang juga tidak mau mendengarkan keluh kesah para pedagang kakilima. Hal ini biasanya didasari adanya anggapan bahwa pedagang kakilima merupakan “penyakit” yang harus dihilangkan. Anggapan demikian ini tidaklah keliru, karena disatu pihak di kota-kota besar seperti kota Medan, lahan ditempat strategis bukan saja mahal harganya, juga sangat terbatas. Ketiga, yaitu perenovasian tempat dimana hal itu ditunggu serta

Dalam hal kasus seperti ini, merupakan masalah yang sangat kompleks karena akan menghadapi sisi dilematis. Pertentangan antara kepentingan hidup dan kepentingan pemerintahan akan berbenturan kuat diantara keduanya. Melihat kondisi seperti ini, maka seharusnya semua tindakan pemerintah didasarkan atas kepentingan masyarakat.Geertz (1973) mengatakan, antropologi tampaknya harus berada di tengah-tengah karena posisinya tidak melulu pemekiran teori, melainkan lapangan empiris yang langsung bersumber dari warga masyarakat yang nyata.

1.2. Tinjauan Pustaka

1.2.1. Pengertian Sektor Informal

Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart (1991) dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada di

pasar tenaga yang terorganisasi. 7 Agar tetap dapat bertahan hidup ( survive ), para migran yang tinggal dikota melakukan aktifitas-aktifitas informal (baik yang sah dan

tidak sah) sebagai sumber mata pencaharian mereka. Hal tersebut dilakukan dengan

7 Eko Digdoyo, “Analisa Sektor Informal di Perkotaan,”www.lemlit.uhamka.ac.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=36&judul=anali

sa-usaha-sektor-informal-di- perkotaan.html ( akses 10 April 2015) sa-usaha-sektor-informal-di- perkotaan.html ( akses 10 April 2015)

Beberapa jenis “pekerjaan” yang termasuk di dalam sektor informal, salah satunya adalah pedagang kaki lima, seperti warung nasi, penjual rokok, penjual koran dan majalah, penjual makanan kecil dan minuman, dan lain-lainnya. Mereka dapat dijumpai di pinggir-pinggir jalan di pusat-pusat kota yang ramai akan pengunjung. Mereka menyediakan barang-barang kebutuhan bagi golongan ekonomi menengah ke bawah dengan harga yang dijangkau oleh golongan tersebut.Tetapi, tidak jarang mereka yang berasal dari golongan ekonomi atas juga ikut menyerbu sektor informal.

Dengan demikian, sektor informal memiliki peranan penting dalam memberikan sumbangan bagi pembangunan perkotaan, karena sektor informal mampu menyerap tenaga kerja (terutama masyarakat kelas bawah) yang cukup signifikan sehingga mengurangi problem pengangguran diperkotaan dan meningkatkan penghasilan kaum miskin diperkotaan. Selain itu, sektor informal memberikan kontribusi bagi pendapatan pemerintahan kota.

Pertumbuhan sektor informal yang cukup pesat tanpa ada penanganan yang baik dapat mengakibatkan ketidakaturan tata kota. Sebagaimana kita ketahui, banyak pedagang kaki lima yang menjalankan aktifitasnya ditempat-tempat yang seharusnya Pertumbuhan sektor informal yang cukup pesat tanpa ada penanganan yang baik dapat mengakibatkan ketidakaturan tata kota. Sebagaimana kita ketahui, banyak pedagang kaki lima yang menjalankan aktifitasnya ditempat-tempat yang seharusnya

lalu lintas karena para konsumen pengguna jasa memarkirkan kendaraannya dipinggir jalan. Ketidakteraturan tersebut mengakibatkan Public Space kelihatan kumuh sehingga tidak nyaman lagi untuk bersantai ataupun berkomunikasi.

Untuk mengatasi masalah sektor informal, diperlukan ketegasan dari pemerintah kota. Selama ini, pemerintah hanya melakukan “penertiban” dalam mengatasi masalah sektor informal. Namun hal tersebut terbukti tidak efektif, karena setelah para pedagang kaki lima tersebut ditertibkan maka beberapa hari kemudian mereka akan kembali ketempat semula untuk berjualan. Selain itu, ada kecenderungan tempat yang digunakan untuk berjualan tersebut diperjualbelikan, padahal mereka berjualan dilokasi Public Space yang merupakan milik pemerintah.Hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan melanggar hukum.

1.2.2. Hubungan Kebijakan dengan Kekuasaan

Seperti diketahui selama ini, studi kebijakan kebanyakan menerima input dari ilmu politik, administrasi publik, kebijakan sosial, kajian organisasi, hubungan internasional dan sebagainya. Antropologi sendiri baru belakangan ini diakui oleh

8 Public Space merupakan tempat umum dimana masyarakat bisa bersantai, berkomunikasi, dan menikmati pemandangan kota. Tempat umum tersebut bisa berupa taman, trotoar, halte bus, dan lain-

lain lain

tidak begitu jelas (lacking a clear identity); malahan sering disebut dengan sesuatu yang lain, atau tidak langsung disebut dengan antropologi kebijakan. 10

Fikarwin Zuska (2005) mengatakan “bahwa kebijakan (policy) itu sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari pada isu kekuasaan. Dalam hal ini kebijakan dapat diartikan dengan cara bagaimana pemerintah memainkan kekuasaan melalui kebijakan-kebijakan. Kalau kita melihat kebijakan maka seringkali dikaitkan dengan pemerintah sebagai alat atau instrument.Padahal kita ketahui bersama bahwa pemerintah memainkan kekuasaannya yang terdapat di dalam relasi-relasi antara pemerintah dan individu-individu (Fikarwin, 2005).

“Michael Hardt dan A. Negri (2004) dalam bukunya yang berjudul War and Democracy in the Age of Empire, menyebutkan bahwa resistensi memiliki bentuk yang berbeda-beda sepanjang sejarah dan hal ini terjadi secara garis besar karena adanya perubahan didalam masyarakat. Secara spesifik, perubahan bentukresistensi ini konvergen dengan perubahan dalam struktur buruh dan bentuk organisasi produksi masyarakat, karena pada dasarnya struktur buruh dan bentukorganisasi produksi akan membentuk komposisi masyarakat dan resistensi munculdari masyarakat sendiri. Bagaimana struktur buruh dan bentuk organisasi produksimembentuk komposisi masyarakat dapat dipahami secara sederhana melaluikelas-kelas sosial didalam masyarakat yang sering kali dikategorikan dengan kelasatas, kelas menengah dan kelas bawah berdasarkan tingkat

9 Fikarwin Zuska, “Penghampiran Antropolgi atas Kebijakan dan Kekuasaan (Berefleksi dari Kebijakan 10 Otonomi Daerah),” Jurnal Antropologi Sosial Budaya, No. 3 (Desember, 2005), hal .1

Fikarwin Zuska, “Penghampiran Antropolgi atas Kebijakan dan Kekuasaan (Berefleksi dari Kebijakan Otonomi Daerah),” Jurnal Antropologi Sosial Budaya, No. 3 (Desember, 2005), hal .1 Fikarwin Zuska, “Penghampiran Antropolgi atas Kebijakan dan Kekuasaan (Berefleksi dari Kebijakan Otonomi Daerah),” Jurnal Antropologi Sosial Budaya, No. 3 (Desember, 2005), hal .1

1.2.3. Pedagang Kaki Lima

1.2.3.1. Pengertian Pedagang Kaki Lima

Fenomena meningkatnya perpindahan penduduk dari desa ke kota atau yang lebih dikenal dengan urbanisasi terjadi karena masing-masing kota mempunyai daya tarik tersendiri bagi para migran. Menurut Effendi (1992, dalam Novita, 2014: 18) Urbanisasi merupakan suatu fenomena yang wajar dalam proses pembangunan ekonomi. Keadaan itu cenderung memunculkan masalah tenaga kerja, baik pengangguran maupun setengah pengangguran di desa disertai dengan meluasnya kegiatan sektor informal di kota. Keterbatasan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh para urban/pendatang menyebabkan mereka lebih memilih pada jenis kegiatan usaha yang tidak terlalu menuntut pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Pilihan mereka jatuh pada sektor informal yaitu pedagang kaki lima atau sebagai pedagang asongan.

Menurut McGee dan Yeung (2007, dalam Novita, 2014 :18-19), pedagang kaki lima atau pedagang kaki lima mempunyai pengertian yang sama dengan ”hawkers”, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menjajakan barang dan jasa untuk dijual di tempat yang merupakan ruang untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Oleh karena tidak tersedianya ruang informal kota bagi Menurut McGee dan Yeung (2007, dalam Novita, 2014 :18-19), pedagang kaki lima atau pedagang kaki lima mempunyai pengertian yang sama dengan ”hawkers”, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menjajakan barang dan jasa untuk dijual di tempat yang merupakan ruang untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Oleh karena tidak tersedianya ruang informal kota bagi

Dalam pandangan Rachbini (1991), para pedagang kaki lima (PKL) yang menjajakan barang dagangannya diberbagai sudut kota sesungguhnya adalah kelompok masyarakat yang tergolong marjinal dan tidak berdaya. Dikatakan marjinal sebab mereka rata-rata tersisih dari arus kehidupan kota dan bahkan ditelikung oleh kemajuan kota itu sendiri. Dikatakan tidak berdaya, karena mereka biasanya tidak terjangkau dan tidak terlindungi oleh hukum, posisi tawar (bargaining position) mereka lemah dan acapkali menjadi obyek penertiban dan penataan kota yang tak jarang bersikap represif (Novita, 2014: 18-19).

Istilah pedagang kaki lima berasal dari jaman pemerintahan Rafles Gubernur jenderal Kolonial belanda yaitu dari kata five feet yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar lima kaki. Ruang tersebut digunakan untuk kegiatan penjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan pedagang kaki lima (Widjajanti, 2000: 26).

Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sektor informal yang tumbuh dalam perubahan struktur perkotaan baik dari segi ekonomi dan sosial. Oleh karenanya dalam pembahasan mengenai pedagang kaki lima tidak akan terpisah dari pembahasan sektor informal. Konsep sektor informal lahir pada tahun 1971 yang dipelopori oleh Keith Hart berdasarkan penelitiannya di Ghana. Kemudian konsep itu Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sektor informal yang tumbuh dalam perubahan struktur perkotaan baik dari segi ekonomi dan sosial. Oleh karenanya dalam pembahasan mengenai pedagang kaki lima tidak akan terpisah dari pembahasan sektor informal. Konsep sektor informal lahir pada tahun 1971 yang dipelopori oleh Keith Hart berdasarkan penelitiannya di Ghana. Kemudian konsep itu

Berdasarkan pengertian tersebut, peneliti berpendapat bahwa pedagang kaki lima adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, yaitu melayani kebutuhan barang-barang atau makanan yang dikonsumsi langsung oleh konsumen, yang dilakukan cenderung berpindah-pindah dengan kemampuan modal yang kecil/terbatas, dalam melakukan usaha tersebut menggunakan peralatan sederhana dan memiliki lokasi di tempat-tempat umum (terutama di atas trotoar atau sebagian badan jalan), dengan tidak mempunyai legalitas formal.

1.2.3.2. Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima

Menurut Mc. Gee dan Yeung (1977, dalam Novita, 2014:21-22), jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan dimana pedagang tersebut beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman, Menurut Mc. Gee dan Yeung (1977, dalam Novita, 2014:21-22), jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan dimana pedagang tersebut beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman,

1. Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk didalamnyamakanan mentah, seperti daging, buah-buahan, dan sayuran.

2. Makanan yang siap saji, seperti nasi dan lauk pauknya dan jugaminuman.

3. Barang bukan makanan, mulai dari tekstil, hingga kartu paket internet.

4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang tambal ban, stiker, dan mobil mencari sewa.

1.2.3.3. Bentuk Sarana Perdagangan dari Pedagang Kaki Lima

Bentuk sarana perdagangan yang dipergunakan oleh para PKL dalam menjalankan aktivitasnya sangat bervariasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mc. Gee dan Yeung (1977, dalam Novita, 2014: 23-24) di kota-kota di Asia Tenggara diketahui bahwa pada umumnya bentuk sarana tersebut sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah atau dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual. Adapun bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh PKL. Menurut Novita ( 2014), adalah sebagai berikut:

1. Gerobak/kereta dorong, bentuk sarana ini terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu gerobak/kereta dorong tanpa atap dan gerobak/kereta dorong yang beratap untuk melindungi barang dagangan dari pengaruh cuaca. Bentuk ini dapat dikategorikan dalam bentuk aktivitas PKL yang permanen (static) atau semi 1. Gerobak/kereta dorong, bentuk sarana ini terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu gerobak/kereta dorong tanpa atap dan gerobak/kereta dorong yang beratap untuk melindungi barang dagangan dari pengaruh cuaca. Bentuk ini dapat dikategorikan dalam bentuk aktivitas PKL yang permanen (static) atau semi

2. Pikulan/keranjang, bentuk sarana perdagangan ini digunakan oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static), yang sering dijumpai pada PKL yang berjualan jenis barang dan minuman. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat.

3. Warung semi permanen, terdiri dari beberapa gerobak/kereta dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan meja. Bagian atap dan sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung yang terbuat dari kain plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus air. Berdasarkan sarana usaha tersebut, PKL ini dapat dikategorikan pedagang permanen (static) yang umumnya untuk jenis dagangan makanan dan minuman.

4. Kios, bentuk sarana PKL ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah bilik semi permanen, yang mana pedagang yang bersangkutan juga tinggal di tempat tersebut. PKL ini dapat dikategorikan sebagai pedagang menetap (static).

5. Jongko/meja, sarana berdagang yang menggunakan meja jongko dan beratap, sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap.

6. Gelaran/alas, PKL menggunakan alas berupa tikar, kain atau lainnya untuk menjajakan dagangannya. Berdasarkan sarana tersebut, pedagang ini dapat 6. Gelaran/alas, PKL menggunakan alas berupa tikar, kain atau lainnya untuk menjajakan dagangannya. Berdasarkan sarana tersebut, pedagang ini dapat

1.2.4. Resistensi

1.2.4.1. Pengertian Resistensi

Resistensi berarti perlawanan. Resistensi (perlawanan) sebenarnya merupakan tindakan dilakukan oleh masyarakat lemah yang berada pada struktur bawah terhadap pihak kuat yang berada pada struktur atas/penguasa. Hubungan di antara satu pihak yang lemah (masyarakat) dan pihak yang lain yang kuat (penguasa) menurut Bernard dan Spencer (2005, dalam Novita, 2014: 22) sesungguhnya berada pada suatu hubungan kekuasaan yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebih atas atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri terhadap kelas-kelas atasan ini. Konsep resistensi yang dipakai Scoot (2003) adalah resistensi sehari-hari (every day forms of resistance), yaitu perjuangan yang biasa-biasa saja, namun terjadi terus- menerus.

Kebanyakan resistensi dalam bentuk ini tidak sampai pada taraf pembangkangan terang-terangan secara kolektif. Senjata yang biasa digunakan oleh kelompok orang-orang yang tidak berdaya antara lain mengambil makanan, menipu, berpura-pura tidak tahu, mengumpat dibelakang, sabotase dan lainnya. Novita, (2014) berpendapat bahwa kaum miskin melakukan resistensi bukan karena keinginan untuk membuat kerusuhan, tetapi karena keterbatasan sarana alternatif yang mampu Kebanyakan resistensi dalam bentuk ini tidak sampai pada taraf pembangkangan terang-terangan secara kolektif. Senjata yang biasa digunakan oleh kelompok orang-orang yang tidak berdaya antara lain mengambil makanan, menipu, berpura-pura tidak tahu, mengumpat dibelakang, sabotase dan lainnya. Novita, (2014) berpendapat bahwa kaum miskin melakukan resistensi bukan karena keinginan untuk membuat kerusuhan, tetapi karena keterbatasan sarana alternatif yang mampu

Mengingat hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, pihak lemah yang berada pada struktur bahwa berusaha menyeimbangkan hubungan mereka melalui resistensi agar tidak terlalu tertekan/tertindas. Bentu-kbentuk resistensinya tersebut termanifestasi berdasarkan tujuan mereka melakukan aksi. Dalam berbagai literatur, disebutkan bahwa bentuk tipikal reisistensi yang sering dilakukan oleh masyarakat pedesaan dan dalam kaitanyya dengan pembangunan infrastruktur dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama resistensinya tertutup (simbolis/ideologis) seperti gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat, serta penarikan kembali rasa hormat terhadap penguasa.

Menurut Scott (2003: 302) bentuk resistensi ini muncul karena masyarakat pedagang kaki lima tidak berprestasi mengubah sistem dominasi, tetapi hanya untuk menolak sistem yang berlaku yang bersifat eksploitatif dan tidak adil. Tujuan bentuk resistensi tertutup ini menurut Bloch (dalam Novita 2014: 23) adalah untuk mengurangi eksploitasi atas diri mereka. Kedua, semi-terbuka seperti protes sosial dan demonstrasi mengajukan klaimkepada pihak yang berwenang.

Scott (2003: 303) mengatakan, bentuk resistensi ini diwujudkan untuk menghindari kerugian yang lebih besar yang dapat menimpa dirinya. Ketiga, resistensi terbuka (sungguhan) merupakan bentuk resistensi yang terorganisir, Scott (2003: 303) mengatakan, bentuk resistensi ini diwujudkan untuk menghindari kerugian yang lebih besar yang dapat menimpa dirinya. Ketiga, resistensi terbuka (sungguhan) merupakan bentuk resistensi yang terorganisir,

Dengan demikian, resistensi merupakan konsep yang sangat luas, walaupun demikian pada dasarnya ingin menjelaskan terjadinya perlawanan yang dilakukan sub altern atau mereka yang tertindas, karena ketidakadilan dan sebagainya. Resistensi juga dapat dilihat sebagai materialisasi atau perwujudan yang paling aktual dari hasrat untuk menolak dominasi pengetahuan atau kekuasaan (Hujanikajenong,2006:176).

1.2.4.2. Bentuk Resistensi

Menurut James Scott (199, dalam M. Tri, 2014: 28-29) dalam studinya weapons of the week: Everyday Form of peasant Resistance tentang resistensi petani di Malaysia. Menurutnya selama ini telah banyak bermunculan literatur mengenai bentuk-bentuk resistensi yang di pakai petani.Terlebih pada bentuk perlawanan diantara kelompok sosial dalam civil society. Berbeda dengan sebelumnya, scott mencoba mengobservasi serta mendeskripsikan tentang merasakan serta tingkahlaku masyarakat miskin di perkampungan Malaysia yang menjadi sebuah kerangka sosial kehidupan mereka dalam melakukan kegiatan perlawanan. Scott membuatkan 3 level perbedaan atas resistensi: Menurut James Scott (199, dalam M. Tri, 2014: 28-29) dalam studinya weapons of the week: Everyday Form of peasant Resistance tentang resistensi petani di Malaysia. Menurutnya selama ini telah banyak bermunculan literatur mengenai bentuk-bentuk resistensi yang di pakai petani.Terlebih pada bentuk perlawanan diantara kelompok sosial dalam civil society. Berbeda dengan sebelumnya, scott mencoba mengobservasi serta mendeskripsikan tentang merasakan serta tingkahlaku masyarakat miskin di perkampungan Malaysia yang menjadi sebuah kerangka sosial kehidupan mereka dalam melakukan kegiatan perlawanan. Scott membuatkan 3 level perbedaan atas resistensi:

b. Intervensi pemerintah yang kurang melakukan observasi terhadap norma dalam kehidupan masyarakat sekitar, dan yang terakhir.

c. Terdiri dari peristiwa lokal dan kondisi perasaan serta pengalaman dari masing-masing individu. 11

Scott mendokumentasikan kehidupan sehari-hari warga dan sejarah mereka, dan menunjukkan bagaimana mereka melakukan perlawanan dari campur tangan negara dan agen perusahaan ekonomi.Bentuk-bentuk perlawanan mereka yaitu teknik rendah diri (low-profile techniques), sebagian bersembunyi dan menghindar, mengidentifikasikan dengan menyeret kaki mereka (foot-draging evasions) dan pasif, dari pada penolakan terbuka atau perlawanan terbuka (open rejection or

struggle). 12 Meski menurut Scott bentuk-bentuk perlawan tersebut kurang efektif, tetapi karena ada satu alasan bagi mereka melakukannya yaitu mereka tidak ingin

tergabung kedalam pola produk kapitalis dan terjebak pada relasi kelas.

Terjadinya Kasus Bentrokan mewarnai penertiban pedagang kakilima (K-5) di Jalan Gatot Subroto, mulai persimpangan Jalan Nibung Raya sampai persimpangan Jalan Iskandar Muda Kamis 20 Maret 2015. Tim gabungan yang dipimpin Kasatpol

11 John Martinussent, Sociaty, State and Market : A Guide to competing theories of development, hal 12 316

John Martinussent, Sociaty, State and Market : A Guide to competing theories of development, hal 317

PP Kota Medan M Sofian sempat adu jotos dengan sejumlah pedagang yang berusaha mempertahankan dagangannya agar tidak diangkut. 13 Terjadinya kasus pemblokiran

jalan yang dilakukan pedagang Pusat Pasar Sambu kawasan perempatan Jl Sutomo- H.M Yamin dan Jl Perintis Kemerdekaan, Senin 6 April 2015.Aksi ini merupakan bentuk protes mereka terkait kebijakan Pemerintah Kota Medan , yang memindahkan

aktivitas perdagangan di pasar tradisional di Sambu ke Pasar Induk Tuntungan. 14

Analisa (20 Maret 2015) melansir ucapan Kasatpol PP Kota Medan yang mengatakan penertiban ini dilakukan dalam rangka mengembalikan fungsi kawasan itu sebagai lokasi parkir kenderaan.

“Akibat kehadiran para pedagang kaki lima, tempat itu sulit untuk dilalui kenderaan dan rumah maupun tempat usaha warga pun tertutup. “Sebelum penertiban ini, kita telah melakukan sosialisasi agar tidak berjualan di tempat itu.Selain sosialisasi Pak Wali juga telah menawarkan relokasi di Jalan Kota Baru III.Mereka tinggal berjualan, sebab seluruh fasilitas telah disediakan.pihaknya tidak akan mentolerir jika para pedagang kembali berjualan di kawasan tersebut. “Saya minta itu tidak dilakukan para pedagang lagi, sebab tempat itu akan dijadikan lokasi parkir.Apabila ini dilanggar, maka kita akan kembali

melakukan penertiban.” 15 Disamping itu, kasus Puluhan massa pedagang Jalan Akik Sukaramai

berunjukrasa di depan Kantor DPRD Kota Medan, Rabu 8 April 2015. Mereka berorasi menolak rencana penggusuran mereka dari jalan tersebut. Tribun Medan

13 “Diwarnai Bentrokan, Pedagang K-5 Jalan Gatot Subroto Ditertibkan”, Analisa, 20 Maret 2015. 14 “Tak Terima Dipindahkan, Pedagang Sambu Blokir Jalan,”Tribun Medan , 6 April 2015 hal 2.

15 “Diwarnai Bentrokan, Pedagang K-5 Jalan Gatot Subroto Ditertibkan”, Analisa, 20 Maret 2015. Hal 1.

melansir surat pernyataan yang mereka bagikan, para pedagang menyatakan tak akan mau direlokasi dari jalan tersebut:

"Kebijakan pemerintah, baik eksekutif dan legislatif, yang mengatasnamakan pembangunan seringkali kontraproduktif dengan kenyataan di lapangan.Begitu pula rencana pemerintah yang ingin menggusur Pasar Akik," ujar Koordinator Aksi, Abdi Rahman Sihombing."Wali kota dan DPRD Kota Medan tidak pernah mendengarkan sedikitpun aspirasi pedagang. Hanya mendengar pihak yang sama sekali tidak punya kepentingan di Pajak Akik." Alasan yang disampaikan Pemko Medan, bahwa pedagang di Pasar Akik menjadi biang masalah atas merosotnya omzet pedagang Pasar Sukaramai, kata Abdi, merupakan tudingan kambing hitam. "Padahal yang terjadi adalah kesalahan PD Pasar mengelola Pasar Sukaramai yang tidak memikirkan kelayakan berjualan, tanpa melibatkan

pedagang dalam menetapkan tata kelola yang baik," 16 Common Sense yang tercipta di masyarakat yaitu perlawanan selalu di kaitkan

dengan bentrokan fisik, ini tidak terlepas dari peran media yang melihat konflik pedagang selalu dari sisi bentrokan terbuka fisik 17 . Bagi James Scott justru strategi

perlawanan yang seharusnya menarik untuk dilihat dan dikaji ialah everydayforms of resistance yang terdiri dari kumpulan pola perilaku sehari-hari dari para pedagang

untuk melakukan perlawanan 18 .

Analisa resistensi sendiri terhadap suatu fenomena banyak melihat hal-hal yang ada dalam keseharian masyarakat baik berupa kisah-kisah, tema pembicaraan,

16 “Pedagang di Jalan Akik Tolak Relokasi,”Tribun Medan , 8 April 2015 hal 2.

17 M. Tri Panca W, “Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta Bekasi Barat (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah , Jakarta, 2011), hal 7. 18

Marzani Anwar , Adaptasi dan resistansi (Jakarta:Panamadani, 2006) hal 150.

umpatan, serta puji-pujian dan prilaku lainnya sehingga resistensi menjadi gayung bersambut dalam keilmuan sosial. 19

Dalam khazanah antropologi, benih-benih kritik internal atau refleksi yang dapat dilihat sebagai upaya resistensi telah muncul terhadap arus besar keilmuan

antropologi saat itu. 20 Pedagang kakilima merupakan salah satu bagian pekerjaan di sektor informal yang sangat penting khususnya di daerah perkotaan di negara-negara

berkembang. Bahkan dianggap sebagian kalangan sebagai katup penyelamat (safety valve) krisis keuangan dan finansial yang dialami bangsa indonesia sejak tahun 1998.

Ketika kondisi dalam satu tempat atau dalam sekelompok masyarakat hukum formal dan hukum non formal berdampingan maka kondisi tersebut dapat menimbulkan sebuah arena sosial.Dimana dalam arena Sosial tersebut ada aktor-aktor yang terlibat dan menjalankan peranan khusus dalam kondisi tersebut.Penelitian Sally

Folk Moore 21 dalam menjelaskan kewajiban antara sesama secara hukum dan non hukum dalam industri pakaian gaun mahal mengatakan ada aktor-aktor sebagai

pelaku dalam menjalankan aturan yang berlaku. Antropologi hukum berpegang pada anggapan bahwa manusia hidup bermasyarakat pasti ada hukum, jadi baik di zaman dahulu hingga sekarang hukum

19 Yusran Darmawan, “Reasistensi dalam Kajian Antropologi,” artikel diakses pada 8 April 2015

http://www.timur-angin.com/2009/08/resistensi-dalam-kajian-antropologi.html 20 M. Tri Panca W, “Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta Bekasi Barat (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah , Jakarta, 2011), hal 28. 21 Sally Fallk Moore, 1993, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi Otonom sebagai Suatu

Topik Studi yang Tepat” dalam T.O. Ihromi (editor) antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

selalu ada dalam masyarakat. Hukum tersebut mengikuti pola kehidupan manusia bermasyarakat, baik ia berbentuk tertulis ataupun tidak tertulis (hukum adat). Tidak ada manusia hidup tanpa budaya, tidak ada manusia tanpa kepentingan, dan juga tidak ada manusia tanpa hukum (aturan). 22

Kakilima menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1991), adalah pedagang yang menjual barang dagangannya di pinggir jalan atau di dalam usahanya menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau dipindahkan serta memempergunakan bagian jalan atau trotoar, tempat-tempat yang tidak diperuntukkan bagi tempat untuk berusaha atau tempat lain yang bukan miliknya. Pedagang kakilima adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga kaki “Gerobak”.

Tetapi saat ini istilah Pedagang kaki lima juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya. Istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial belanda. Sebab pada waktu itu Peraturan Pemerintah menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan kaki adalah lima kaki atau sekitar 1,5 meter. Namun dalam kenyataannya, ruas jalan yang seharusnya dipergunakan untuk pejalan kaki ternyata

22 Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum. PT Citra Aditya Bakti, Bandung 1992 22 Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum. PT Citra Aditya Bakti, Bandung 1992

Karakteristik Pedagang kakilima sama seperti pekerja-pekerja sektor informal lainnya, yakni modal kecil, keterlibatan anggota keluarga/kerabat, waktu kerja yang tak teratur serta tidak adanya pencatatan yang jelas mengenai keluar masuknya keuangan. Salah satu informan yang bernama Bambang (54 tahun) PKL penjual bakso mengatakan:

“Pertamakali aku jualan ini modalnya cuma limaratus ribu, sekarang ini penghasilanku bisa sampai dua juta sebulan bersih. Sedangkan waktu jualan ya gak mesti, kalau capek ya istirahat dulu, tapi biasanya yang kerja gantikan aku ya keluarga, kalau gak istri, anak-anak ya ponakan. Kalau soal keluar masuknya uang ya gak sampai dicatat secara teliti.Paling-paling berapa dapetnya hari ini, berapa perlunya

untuk belanja bahan, ya gitu aja.” 23 Berdasarkan keterangan pak Bambang tersebut tampak bahwa bekerja sebagai

pedagang kakilima memang tidak membutuhkan modal yang besar, di samping itu juga tidak perlu pendidikan serta keterampilan yang khusus, karena istrinya yang lulus SMP saja sudah bisa menjalankan usahanya.

1.3. Rumusan Masalah

Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah perlawanan pedagang kakilima terhadap peraturan Wali Kota Medan Nomor 9 Tahun 2009 tentang Larangan Beraktivitas Berjualan di Badan Jalan. Berdasarkan uraian latar belakang

23 Wawancara Pribadi dengan Bambang, Medan, 8 April 2015.

masalah yang di kemukakan, maka yang manjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah apabentuk-bentuk resistensi pedagang kakilima terhadap penggusuran dan relokasi?

1.4. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untukMengetahui bentuk-bentuk resistensi pedagang kakilima terhadappenggusuran dan relokasi.

1.5. Manfaat Penelitian

Dengan penelitian yang dilakukan ini, mampu memberikan manfaat yang antara lain adalah:

1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya mengenai faktor dan bentuk resistensi pedagang kaki lima (PKL) yang berdagang di jalan Dr.Mansyur Kota Medan.

2. Sebagai bahan penelitian dalam penyusunan tugas akhir (skripsi) sebagai syarat gelar S1 (Strata Satu) pada Departemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Medan dalam melakukan penertiban kepada para pedagang kaki lima.

4. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam bidang yang sama dengan pendekatan dan ruang lingkup yang berbeda.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, Suparlan menyatakan bahwa penelitian kualitatif sama dengan penelitan etnografi yang pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial yang berkaitan dengan itu dan berbagai benda kebudayaan dari sesuatu masyarakat, yang berdasarkan bahan-bahan keterangan tersebut dibuat deskripsi mengenai kebudayaan tersebut. Dalam deskripsi mengenai kebudayaan tersebut tercakup deskripsi mengenai makna dari benda-benda, tindakan-tindakan dan peristiwa yang ada dalam kehidupan sosial mereka, menurut kaca mata mereka yang menjadi pelaku-pelakunya.

Bungin (2008) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian studi kasus yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada dalam masyarakat menjadi objek penelitian yang berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu. Selain untuk mendiskripsikan dampak eksplorasi penambangan emas terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

Kluckholn mengelompokkan unsur kebudayaan ke dalam tujuh unsur, yaitu.

1. Sistem peralatan & perlengkapan hidup.

2. Sistem mata pencaharian.

3. Sistem kemasyarakatan.

4. Bahasa.

5. Kesenian.

6. Sistem pengetahuan.

7. Sistem religi.

1.6.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini di lakukan di Kota Medan, salah satu Kota metropolitan di Indonesia yang merupkan ibukota Propinsi Sumatera Utara. Jalan Dr.Mansyur tepatnya di sepanjang jalan di depan Kampus Universitas Sumatera Utara. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa pedagang kakilima ditempat tersebut masih saja berjualan, padahal pihak pemerintah sudah menghimbau untuk tidak berjualan di sepanjang trotoar jalan Dr.Mansyur.

1.6.3. Teknik Pengumpulan Data 1.6.3.1.Studi Kepustakaan

Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara menelaah dan mengkaji berbagai literature-literatur yang berkenaan dengan judul penelitian dan masalah penelitian dengan fokus “strategi adaptif”. Studi mencakup buku-buku dan hasil penelitian yang relevan dengan masalah penelitian, serta pencarian situs-situs internet yang berkaitan dengan masalah ini.

1.6.3.2.Pengamatan (Observation)

Pengamatan 24 ini dilakukan untuk melihat atau mengamati pristiwa-pristiwa dan terlibat langsung dengan kondisi-kondisi yang terjadi pada saat melakukan

penelitian, seperti mengidentifikasi penggusuran dan relokasi Pemerintah Kota Medan terhadap pedagang kaki lima. Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, peneliti akan menggunakan dua teknik observasi, yaitu:

• Observasi Tanpa berpartisipasi Dalam pengamatan ini si peneliti datang langsung ke pedagang kakilima guna

untuk melihat aktifitas yang dilakukan. Dengan observasi yang seperti ini peneliti akan memperoleh data yang dibutuhkan untuk menjawab masalah yang ada.

• Observasi berpartisipasi Dalam hal ini si peneliti terlibat langsung dalam kegiatan pedagang kakilima

maupun pihak Satpol PP, si peneliti harus mengenal informan dengan baik. Dengan begitu si penulis akan membina rapport (hubungan yang baik). Dengan rapport tersebut si penulis mengharapkan keterbukaan dan tangan keterbukaan antara si

penulis dan pedagang kakilima dapat memenuhi data yang diperlukan. 25

24 Pengamatan (observasi) adalah suatu tindakan untuk meneliti suatu gejala (tindakan ataupun peristiwa) dengan cara mengamatinya. Peneliti akan menggunakan observasi guna memperoleh gambaran penuh

tentang segala tindakan, percakapan, tingkah laku dan semua hal yang akan di tangkap panca indra terhap apa saja yang dilakukan masyarakat yang diteliti dilapangan. 25

J. Vredenbregt. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia 1984

1.6.3.3.Wawancara Mendalam (depth interview)

Wawancara ini dimaksudkan untuk dapat menggali informasi dari informan dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan kebutuhan dari penelitian ini, wawancara dalam penelitian kali ini dimulai dari menjelaskan apa alasan seorang informan menerima atau menolak penggusuran, lalu kemudian dari jawaban informan inilah pertanyaan-pertanyaan berikutnya muncul. Dalam penelitian ini peneliti sengaja tidak menggunakan pedoman wawancara (depth interview) dengan maksud untuk menciptakan suasana yang santai dan nyaman menghindari ketegangan informan pada saat melakukan wawancara atau dalam memberikan informasi- informasi berkenaan data-data yang diperlukan dalam penelitian.

1.6.3.4. Pengalaman Singkat Penelitian

Di penghujung tahun 2014, seorang insan antropologi program sarjana antropologi Universitas Sumatera Utara mengayunkan langkah menemui pedagang kaki lima, menyusuri jalan Dr.Mansyur depan Kampus USU Medan, Sumatera Utara. Apa gerangan yang mendorong saya melakukan penelitian dijalan yang saya lewati menuju Kampus? Rasa ingin tahu yang besar tentang fenomena resistensi pedagang kaki lima. Oleh karena itu, fenomena resistensi ini cukup menarik di tinjau dari persfektif antropologi karena terkait relasi antara aparat dan masyarakat yang dalam hal ini adalah pedagang kaki lima yang berdagang di sepanjang jalan Dr.Mansyur.

Problematika pedagang kaki lima ini akan terus menjadi pekerjaan rumah pemerintah dari waktu ke waktu sehingga kalau kita lihat dalam satu atau dua bulan Problematika pedagang kaki lima ini akan terus menjadi pekerjaan rumah pemerintah dari waktu ke waktu sehingga kalau kita lihat dalam satu atau dua bulan

Sebelum melakukan penelitian, saya sudah sangat sering melintasi dan mengunjugi jalan Dr.Mansyur beberapa kali, pada saat itu hanya melintasi jalan saja untuk pergi dan pulang ke kampus. Suasana di jalan tersebut sangatlah ramai karena merupakan jalan utama dari fasilitas umum seperti terminal, stasiun, rumah sakit, sekolahan, pasar tradisional yang tidak pernah sepi dari para pedagang kaki lima. Saya tidak pernah terpikir untuk melakukan penelitian dijalan Dr.Mansyur, akan tetapi ketika saya lebih memperhatikan keadaan sepanjang jalan, saya mulai menyadari bahwa dibalik aktivitas pedagang kaki lima ada resistensi yang terjadi dari pihak lawan maupun yang dilawan. Akhirnya saya pun berniat untuk meneliti pedagang kaki lima dijalan Dr. Mansyur agar saya dapat mengetahui lebih dalam bentuk-bentuk resistensi pedagang kaki lima.