Realisme politik dalam Hubungan Internasional

SKOLASTIKA L.K./071411231051/WEEK 2
Realisme di Dalam Hubungan Internasional
Pada perkuliahan di semester sebelumnya, penulis telah membahas berbagai perdebatanperdebatan besar yang muncul dalam studi Hubungan Internasional, salah satunya yaitu,
perdebatan besar tentang asumsi-asumsi dasar antara kaum realis dan liberalis. Kali ini
penulis akan membahas kembali tentang “realisme”. Sepanjang Perang Dingin, realisme
menjadi cara berpikir yang dominan tentang Hubungan Internasional bukan hanya diantara
para penstudi Hubungan Internasional saja, tetapi juga diantara para politisi, diplomat, dan
juga diantara orang awam atau yang biasa disebut dengan “orang biasa” (Jackson dan
Sorensen, 1999:84). Kritik yang paling komperehensif dan mendalam terhadap idealisme
liberal adalah dari E.H. Carr, penstudi Hubungan Internasional asal Inggris. Carr berpendapat
bahwa para pemikir Hubungan Internasional liberal salah dalam menilai fakta sejarah dan
salah memahami sifat hubungan internasional. Menurutnya, titik awal yang benar yaitu, kita
harus menganggap bahwa ada konflik kepentingan yang dalam baik antarnegara maupun
antarmasyarakat. Ia beranggapan bahwa Hubungan Internasional pada dasarnya adalah
tentang perjuangan antara kepentingan dan keinginan yang bertentangan. Itulah sebabnya
mengapa Hubungan Internasional selalu digambarkan sebagai konflik daripada kerjasama.
Carr menamakan posisi ini sebagai ‘realis’. Pernyataan dari kaum realis lainnya berasal dari
penstudi asal Jerman yang bernama Hans J. Morgenthau. Bagi Morgenthau, sifat manusia
merupakan dasar hubungan internasional tidak lebih dari hubungan manusia lain yang mana
pun. Manusia mementingkan diri sendiri dan mengejar kekuasaan, dan itu dapat dengan
mudah mengakibatkan agresi (Jackson dan Sorensen, 1999:54-5).

Kaum realis memiliki beberapa ide dan asumsi-asumsi dasar yang berbeda dari pandangan
kaum liberalis. Ide dan asumsi-asumsi dasar dari kaum realis yang pertama yaitu, pandangan
pesimis atas sifat manusia, seperti yang dijelaskan di atas, manusia kebanyakan hanya
mementingkan diri sendiri dan mengejar kekuasaan. Asumsi dasar yang kedua yaitu,
keyakinan bahwa Hubungan Internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik
internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang. Asumsi kedua ini sama dengan
pendapat Carr yang mengemukakan bahwa akan selalu ada konflik di dalam suatu
kepentingan. Asumsi dasar yang ketiga, keum realis menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan
nasional dan kelangsungan hidup negara. Dan yang keempat yaitu, skeptisisme dasar bahwa
terdapat kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik
domestik. Kaum realis beranggapan bahwa politik dunia berkembang dalam anarki

SKOLASTIKA L.K./071411231051/WEEK 2
internasional. Anarki internasional sendiri merupakan sistem tanpa adanya kekuasaan yang
berlebihan, tidak ada pemerintahan dunia. Kaum realis setuju bahwa negara adalah aktor
utama dalam politik dunia, sedangkan untuk aktor-aktor lain seperti individu, LSM dan
organisasi internasional dianggap kurang penting atau tidak penting. Negara-negara yang
paling penting dalam politik dunia adalah negara-negara berkekuatan besar atau biasa disebut
great powers. Hubungan Internasional dalam pandangan kaum realis dipahami sebagai
perjuangan antara negara-negara yang berkekuatan besar untuk dominasi dan keamanan

(Jackson dan Sorensen, 1999:88-89). Morgenthau (1960) berpedapat “Politik Internasional
seperti semua politik, adalah perjuangan demi kekuasaan. Apa pun tujuan akhir politik
internasional, kekuasaan merupakan tujuan yang selalu didahulukan.” (Jackson dan Sorensen,
1999:55).
Morgenthau menyusun daftar enam prinsip politik realisme. Pertama, Politik diatur oleh
hukum objektif. Kedua, kunci untuk memahami politik internasional adalah konsep
kepentingan yang dalam hal ini didefinisikan sebagai hal kekuasaan. Prinsip yang ketiga,
bentuk-bentuk dan sifat kekuasaan negara akan bervariasi dalam waktu, tempat dan konteks,
tetapi konsep kepentingan tetap konsisten. Prinsip yang keempat yaitu, prinsip-prinsip moral
yang universal tidak membimbing perilaku negara, meskipun perilaku negara tentu akan
memiliki implikasi moral dan etika. Kelima, tidak ada kesepakatan universal dari serangkaian
prinsip-prinsip moral. Prinsip yang keenam yaitu, secara intelektual, lingkungan politik
otonom dari setiap bidang lain menjadi perhatian manusia, apakah itu legal, moral, atau
ekonomi (Burchill, 2001:79). Dengan demikian mempertahankan kehidupan negara dan
komunitas masyarakat etika itu menjadi kewajiban moral negarawan tersebut (Dunne dan
Schmidt, 2001:143).
Di dalam realis terdapat tiga elemen atau unsur yang membantu kita untuk mengetahui
bagaimana sebenarnya pandangan kaum realis tersebut. Elemen yang pertama yaitu tentang
statism yang memandang bahwa negara merupakan aktor utama, dan aktor-aktor lain seperti
individu maupun organisasi-organisasi internasional tidak dihiraukan. Elemen yang kedua

yaitu survival yang berbicara mengenai bagaimana suatu negara dapat bertahan dalam sistem
Internasional dan kemanusiaan tidak akan dapat terealisasi apabila eksistensi negara tersebut
terancam. Elemen yang ketiga yaitu berbicara mengenai self-help. Self-help merupakan
prinsip aksi dalam sistem yang anarkis. “Anarkis” disini yaitu keadaan dimana tidak ada
pemerintahan global, politik internasional tidak memiliki kedaulatan menyeluruh. Tidak ada

SKOLASTIKA L.K./071411231051/WEEK 2
kekuasaan yang lebih tinggi dari negara, sehingga yang dapat menyelesaikan permasalahan
yang sedang dihadapi oleh suatu negara hanya negara itu sendiri, dan untuk bertahan hidup,
suatu negara harus menjalin aliansi dengan negara-negara lain (Dunne dan Schmidt,
2001:143-144). Aliansi strategis menurut kaum realis yaitu mencakup adanya diplomasi,
negosiasi dan konpromi, serta adanya pengakuan dari negara lain. Ada dua macam realisme
yaitu realisme klasik dan realisme kontemporer. Dalam realisme klasik menggunakan
pendekatan dasar dan berbicara tentang politik dan kelangsungan hidup. Dalam realisme
kontemporer, kurang lebih sama dengan realisme klasik, tetapi kurang spesifik menjelaskan
tentang dasar-dasar dari politik dunia. Dalam realisme, juga terdapat istilah balance of power.
Realisme beranggapan bahwa setiap negara yang bekerjasama harus memiliki balance of
power. Balance of power ini merupakan upaya atau cara untuk bagaimana agar negara-negara
dapat bekerjasama di dalam kondisi yang konfliktual, dengan kata lain, agar tidak ada salah
satu negara yang terlalu mendominasi negara-negara lain yang bekerjasama dan akhirnya

bertindak semaunya sendiri (Wardhani, 2015).
Dari semua penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa realis memiliki pandangan
pesimis tentang sifat dasar manusia, konfliktual dalam Hubungan Internasional, dan
menjunjung tinggi keamanan nasional. Ada dua macam realisme yaitu realisme klasik dan
realisme kontemporer. Dalam realisme terdapat tiga unsur untuk membantu menggambarkan
bagaimana pandangan kaum realis yaitu statism, survival, dan self-help. Dalam realisme juga
mengenal istilah balance of power yang harus dimiliki oleh setiap negara-negara yang
bekerjasama agar tidak ada negara yang terlalu dominan dan bertindak sewenag-wenang
terhadap negara-negara lainnya.
Referensi :
Burchill, Scott, 2001. Realism and Neo-realism, in: Scott Burchill, et al. Theories of
International Relations. New York: Palgrave Macmillan. pp. 70-102.
Dunne, Tim and Brian D. Schmidt. 2001. Realism, in: Baylis, John & Smith, Steve, eds.
2001. The Globalization of World Politics, 2nd edition. Oxford University Press. Part 2
Chap. 7, pp. 141-60.
Jackson, R., &. Sorensen, G., 1999. Introduction to International Relations. Oxford
University Press.
Wardhani, Baiq L.S.W., 2015. Realism in IR, disampaikan pada perkuliahan Teori Hubungan
Internasional. Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia. 5 Maret 2015.