KONSTITUSIONALISME HAK MENGUASAI ATAS TA (1)

1

KONSTITUSIONALISME HAK MENGUASAI NEGARA ATAS TANAH
(Studi Komparatif hukum pertanahan Indonesia dan asutralia)
Oleh ; Kasyful Qulub
A. Latar belakang.
Indonesia merupakan negara dengan sistem hukum civil law dengan hukum
tertulisnya dengan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesi (disingkat
UUD 1945) sebagai hukum tertingginya, yang didalam rumusannya yang secara eksplisit
ataupun implisit terdapat pandangan-pandangan dan nilai-nilai fundamental. UUD 1945
sebagai konstitusi negara indonesia tidak hanya mengatur mengenai lembaga-lembaga
serta struktur ketatanegaraan indonesia saja atau yang disebut sebagai konstitusi politik
(political constitution) . namun lebih dari itu UUD 1945 juga merupakan konstitusi
ekonomi (economic constitution), bahkan konstitusi sosial (social constitution) karena
UUD 1945 memiliki dimensi pengaturan ekonomi dan kesejahtraan sosial didalam BAB
XIV tentang perekonomian dan kesejahtraan sosial.
Dimensi pengaturan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang tertuang di dalam Pasal
33 dan 34 UUD 1945. Pasal ini merupakan konsekuensi dari tujuan dari berdirinya negara
Indonesia, hal ini ditunjukkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke-4, yang
rumusannya sebagai berikut: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan “kesejahteraan umum”, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan social”.1 kesejahtraan disini juga berorientasi pada kesejahtraan ekonomi dan
sosial.
tujuan memajukan kesejahtraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dalam
alinea IV pembukaan UUD 1945 sangat erat dengan lebijakan ekonomi. meskipun hal ini
tidak dirumuskan sebagai norma yang dapat ditegakkan melalui proses pengadilan, namun
rumusan pembukaan UUD 1945 haruslah dijadikan acuan dan arahahan dalam
penyusunan kebijakan pemerintahan dibidang perekonomian. . acuan dan arahan yang
demikian dapat kita bandingkan dengan pengertian directive principle of economic policy
atau directive principle of state policy dalam konstitusi irlandia dan india yang harus
dijadikan dasar dalam setiap kebijakan.2
1 Kuntana Magnar, Inna Junaenah, dan Giri Ahmad Taufk, Tafsir MK Atas Pasal 33 UUd 1945: (Studi
Atas Putusan MK Mengenai Judicial Review UU No. 7/2004, UU No. 22/2001, dan UU No. 20/2002), Jurnal
Konstitusi, Volume 7, Nomor 1, Februari 2010, Hlm, 112.
2 Jimly Asshiddiqie, 2010, konstitusi ekonomi, komas, jakarta, hal. 248-249.

2

perkembangan ppengakuan hak asasi manusia tidak hanya berhenti di Hak asasi

manusia generasi pertama (liberte), namun lahir pula hak asasi manusia generasi kedua
(egalite) yang berkaitan langsung dengan hak-hak ekonomi dan sosial, walaupun hak-hak
ini masih mendapat berbagai kritikan dari berbagai pihak, namun hak ekonomi dan sosial
sendiri menurut amarty sen dalam artikelnya menganggap bahwa apabila hak ekonomi dan
sosial tidak diakui maka akan menyuburkan princip kew gardens principle .3 karena
konsep pembangunan yang hanya menekankan akumulasi kekayaan, pertumbuhan
pendapatan per kapita penduduk dan variablevariable lain yang terkait dengan pendapatan.
Menurut Sen, proses pembangunan adalah semua usaha untuk menghilangkan “ketidakbebasan” yang menimbulkan penderitaan bagi semua elemen masyarakat. Pembangunan
seharusnya diukur dengan seberapa banyak kebebasan yang dimiliki karena tanpa
kebebasan orang tidak bisa membuat pilihan yang memungkin mereka untuk membantu
diri sendiri dan orang lain. Amartya Sen mendefinisikan kebebasan sebagai sesuatu yang
terkait dan saling melengkapi antara: 1) kebebasan politik dan hak-hak sipil; 2) kebebasan
ekonomi, termasuk didalamnya kesempatan untuk mendapatkan kredit; 3) kesempatan
sosial, seperti fasilitas kesehatan, pendidikan dan layanan sosial lainnya; 4) jaminan
keterbukaan (transparency), yaitu interaksi antara satu orang dengan yang lain, termasuk
dengan pemerintah, yang ditandai dengan saling pengertian tentang apa yang ditawarkan
dan apa yang diharapkan; 5) perlindungan keamanan (security), seperti bantuan pada
kondisi darurat dan jejaring pengaman lainnya.4
Pasal 33 UUD 1945 sebelum amandemen hanya berisikan 3 (tiga) ayat saja yang
berbunyi sebagai berikut :

(1) pereknonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan;
(2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasa oleh negara;
(3) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
setelah amandemen UUD 1945 maka pasal tersebut ditambah menjadi 5 (lima) ayat
dengan menambahkan ayat 4 dan 5 yang berbunyi sebagai berikut :
(4) perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirianserta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional

3 amarty sen, elements of a theory of human rights, Philosophy and Public Affairs; Fall 2004 hal 37.
4 Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 2000), 14, 15-17, 38-41

3

(5) ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang
sebelum adanya amandemen pasal 33 dinilai oleh banyak ahli ekonomi sudah

tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan zaman. pertama perekonomian tidak
dapat lagi hanya berdasar atas asas kekeluargaan, karena didalam bisnis modern tidak
dapat dihindarkan sistem pemilikan pribadi sebagai hak asasi manusia yang juga di
lindungi didalam UUD 1945. sifat-sifat kekeluargaan dari suatu usaha hanya relevan
apabila dikaitkan dengan koperasi sebagai salah satu bentuk organisasi ekonomi.
sedangkan pada bentuk –bentuk usaha perseroan, yang berlaku adalah prinsip “one
share one vote” dengan penghargaan yang sangat tinggi terhadap hak milik (property)
, yaitu sama tingginya dengan penghargaan terhadap kebebasan (freedom). hal ini
tercermin dalam cara pandang masyarakat modern yang sangat mengagungkan prinsip
liberty dan property.kedua, cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai
hajat orang banyak memang harus dikuasai oleh negara, tetapi pengertian dikuasai
bukan dimaksudkan untuk dimiliki. ketika, pengertian “dikuasai oleh negara” harus
difahami tidak identik dengan “dimiliki oleh negara”. bahkan dikatakan bahwa
pengertian penguasaan oleh negara dalam ketentuan pasal 33 ayat (2) dan (3) tersebut
bukan harus diwujudkan melaluii pemilikan oleh negara. negara hanya cukup sebagai
regulator bukan pelaku.5
Bahwa berdasarkan uraian putusan mahkamah konstitusi terhadap Judicial
Review Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Undang-undang Nomor 20 Tahun
2002 dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 terhadap Pasal 33 UUD 1945 tersebut
diatas adalah untuk pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup

makna penguasaan oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari
konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian
kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.
Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat
kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad),

pengaturan

(regelendaad),

pengelolaan

(beheersdaad),

dan

pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah

5 Opcit, Jimly Asshiddiqie, hal 249-250

4

dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan
(vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie).
kemudia didalam undang-undang no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar
pokok-pokok agraria tepatnya di pasal pasal 2 ayat 2 juga memberikan pengertian
mengenai apa yang dimaksud dengan Hak menguasai dari yaitu:
1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. pasal ini
memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula

tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam
batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi.
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum . pasal ini
memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula
tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam
batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi.Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka
Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan.
hukum pertanahan di dunia mengenal dua macam asas mengenai tanah yang
memberikan pengaruh dalam bentuk kewenangan dan kepemilikan tanah.6 asas yang
6 Boedi Harsono, hukum agraria indonesia, (jakarta: Djambatan, 2003), hlm, 20

5


pertama dikenal sebagai asasl perlekatan (acessie) dan asas yang kedua adalah asas
pemisahan horizontal. namun hukum pertanahan Indonesia memiliki sejarah tersendiri
untuk menetapkan asas yang mana menjadi dasar dalam pengaturan mengenai tanah
di indonesia. kemudian UUPA yang merupakan unifikasi dibidang hukum agraria
yang mengakhiri dualisme hukum pertanahan dengan menetapkan hukum adat
sebagai dasar dari pembentukan hukum pertanahan di indonesia yang terkadung
dalam pasal 5 UUPA yang berbunyi:
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan
dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatau dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Maka dari itu, hukum agraria nasional mengadaptasi konsep-konsep, asas-asas
dan lembaga-lembaga hukumnya untuk dirumuskan menjadi norma hukum yang
tertulis, yang disusun menurut sistem hukum adat tersebut dan salah satu asas yang
diambil dari hukum adat dalam pengaturan hukum tanah nasional adalah asas
pemisahan horizontal.7 pemberlakuan asas pemisahan horizontal didalam hukum
pertanahan indonesia memberikan pemisahan antara kepemilikan tanah dengan apa
yang melekat padanya, hal ini membatasi kewenangan pemilik hak atas tanah dalam

memanfaatkan tanah yang dimilikinya. sebagai hasil dari pemberlakuan asas
pemisahan horizontal, diindonesia dikenal berbagai macam hak sebagaimana disebut
diatas selain hak milik untuk pemanfaatan atas tanah yang terpisah dari kepemilikan
atas tanah yang dimanfaatkan tersebut.
Diindonesia sendiri konsepsi hak milik baru diatur secara tegas dalam UndangUndang Dasar sementara tahun 1950, yaitu pada pasal 26 ayat (3) yang berbunyi,
“hak milik itu adalah suatu fungsi sosial”. Yang mana ketentuan mengenai fungsi
sosial hak milik itu juga dimuat dalam undang-undang pokok-pokok agraria (UUPA).
Yang dirumuskan dalam pasal 33 ayat (2) UUD 1945 hanya mengenai hak milik
kolektif yang berkaitan de ngan penguasaan oleh negara yang mencakup juga
pengertian hak milik kolektif seluruh rakyat indonesia.
Dengan banyaknya ketentuan mengenai hak-hak atas tanah, penulis mencoba
untuk fokus kepada permasalahan yang terjadi dari hak milik atas tanah, karena hak
7 sudargo Gautama, tafsitan Undang-Undang Pokok Agraria, Cet V, Alumni, Bandung, 1981, hlm 16

6

ini merupakan hak yang turun temurun, terpenuh dan terkuat, dan hanya warga negara
indonesia beserta badan hukum dengan ketentuan lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat
Mempunyai Hak Milik Atas Tanah yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.

namun banyak memberikan permasalahan.
Pertama, pasal 7 UUPA mengenai pemilikan dan penguasaan tanah yang tidak
boleh melampaui batas/batas maximum yang tidak diperkenankan dan pasal 17
undang-undang tersebut

kepemilikan tanah pertanian yang sudah mempunyai

ketentuan lebi lanjut, yakni dalam Undang-Undang No 56 prp tahun 1960 tentang
penetapan luas tanah pertanian.8 Serta kepemilikan tanah non pertanian sejauh ini
aturan batas mmaksimum kepemilikan tanah hak milik untuk perumahan adalah
keputusan Menteri Agraria/kepala kantor pertanahan No. 6 Tahun 1998 Tentang
pemberian hak milik atas tanah untuk rumah tinggal, serta di pasal 4 bahwa seseorang
yang mengajukan permohonan harus memberikan pernyataan yaitu bahwa dengan
perolehan tanah yang dimohon itu yang bersangkutan akan mempunyai hak milik atas
tanah untuk rumah tinggal lebih dari 5 (lima) bidang yang seluruhnya meliputi luas
tidak lebih dari 5000 (lima ribu) m2. namun, apakah dengan ketentuan No. 6 Tahun
1998 Tentang pemberian hak milik atas tanah untuk rumah tinggal dapat dijadikan
sebagai acuan batas maksimum tanah hak milik untuk tanah non pertanian.
Kedua, jumlah penduduk indonesia yang makin tahun makin mengalami
kesesakan, berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 memiliki jumlah penduduk

sebesar 237.641.326 juta jiwa, menjadikan negara ini negara dengan penduduk
terbanyak ke-4 di dunia.9 Yang lebih lanjut akan diurai dalam tabel berikut ini :

TABEL 1
DATA PENDUDUK INDONESIA
8 boedi harsono, hukum agraria Indonesi; sejarah pembentukan undang-undang pokok agraria, isi dan
pelaksanaannya, ED Rev. cet. 10, jakarta: djambatan, 2005, hlm 368
9 BPS: Sensus Penduduk 2010

7

Ko
de
BP
S

Lamba
ng

Nama

Kod
e
ISO

Ibu
kota

Popula
si[4]

[3]

Banda
Aceh

[5]

Stat
us
khus
us

56.500,5 Daerah
1 khusus

Pulau
Sumater
a

11

Aceh

ID-AC

12

Sumater
a Utara

ID-SU Medan

12.982.20 72.427,8
4
1

Sumater
a

13

Sumater
a Barat

ID-SB Padang

4.846.909

42.224,6
5

Sumater
a

14

Riau

ID-RI

5.538.367

87.844,2
3

Sumater
a

15

Jambi

ID-JA Jambi

3.092.265

45.348,4
9

Sumater
a

16

Sumater
a Selatan

ID-SS

Palemban
g

7.450.394

60.302,5
4

Sumater
a

17

Bengkul
u

ID-BE Bengkulu

1.715.518

19.795,1
5

Sumater
a

18

Lampun
g

ID-LA

Bandar
Lampung

7.608.405

37.735,1
5

Sumater
a

19

Kepulau
an
Bangka
Belitung

ID-BB

Pangkal
Pinang

1.223.296

16.424,1
4

Sumater
a

21

Kepulau
an Riau

ID-KR

Tanjung
Pinang

1.679.163 8.084,01

Sumater
a

31

Daerah
Khusus
Ibukota
Jakarta

ID-JK

Jakarta
Pusat

9.607.787

32

Jawa
Barat

ID-JB Bandung

43.053.73 36.925,0
2
5

Jawa

33

Jawa
Tengah

ID-JT

Semarang

32.382.65 32.799,7
7
1

Jawa

34

Daerah
Istimewa
Yogyaka
rta

IDYO

Yogyakart
a

Daerah
3.457.491 3.133,15 istime
wa

Jawa

35

Jawa
Timur

ID-JI

Surabaya

37.476.75 46.689,6
7
4

Jawa

36

Banten

ID-BT Serang

10.632.16
9.018,64
6

Jawa

51

Bali

ID-BA Denpasar

3.890.757 5.449,37

Nusa

Pekanbaru

4.494.410

Luas
(km²)

Daerah
740,29 khusus Jawa
ibukota

8

Ko
de
BP
S

Lamba
ng

Nama

Kod
e
ISO

Ibu
kota

Popula
si[4]

[3]

Luas
(km²)
[5]

Stat
us
khus
us

Pulau
Tenggara

52

Nusa
Tenggara ID-NB Mataram
Barat

4.500.212

19.708,7
9

Nusa
Tenggara

53

Nusa
Tenggara ID-NT Kupang
Timur

4.683.827

46.137,8
7

Nusa
Tenggara

61

Kalimant
ID-KB Pontianak
an Barat

4.395.983

120.114,
32

Kalimant
an

62

Kalimant
Palangkar
an
ID-KT
aya
Tengah

2.212.089

153.564,
50

Kalimant
an

63

Kalimant
Banjarma
an
ID-KS
sin
Selatan

3.626.616

37.530,5
2

Kalimant
an

64

Kalimant
Samarind
ID-KI
an Timur
a

3.553.143

194.849,
08

Kalimant
an

65

Kalimant
Tanjung
ID-KI
an Utara
Selor

738.163

72.567.4
9

Kalimant
an

71

Sulawesi
ID-SA Manado
Utara

2.270.596

13.930,7
3

Sulawesi

72

Sulawesi
Tengah

2.635.009

68.089,8
3

Sulawesi

73

Sulawesi
ID-SN Makassar
Selatan

8.034.776

46.116,4
5

Sulawesi

74

Sulawesi
ID-SG Kendari
Tenggara

2.232.586

36.757,4
5

Sulawesi

75

Gorontal
o

1.040.164

12.165,4
4

Sulawesi

76

Sulawesi
Barat

1.158.651

16.787,1
9

Sulawesi

81

Maluku

IDMA

Ambon

1.533.506

47.350,4
2

Maluku

82

Maluku
Utara

IDMU

Sofifi

1.038.087

39.959,9
9

Maluku

91

Papua
Barat

114.566, Daerah
40 khusus

Papua

94

Papua

2.833.381 309.934, Daerah

Papua

ID-ST Palu

IDGO

Gorontalo

ID-SR Mamuju

[6]

Manokwa
ri

ID-PA Jayapura

760.422

9

Ko
de
BP
S

Lamba
ng

Nama

Kod
e
ISO

Ibu
kota

Popula
si[4]

[3]

Luas
(km²)
[5]

Stat
us
khus
us

Pulau

40 khusus

penerapan pasal 7 UUPA dan pasal 17 tentang batas maksimum pemilikan
tanah, dalam kenyataannya sering terjadi pelanggaran. berbagai kekisruhan yang
terjadi selama ini mengindikasikan terjadinya penumpukan pemilikan tanah disatu
pihak,

sedangkan

di

pihak

lain,

banyak

yang

tidak

mempunyai

tanah.

ketidakseimbangan dalam distribusi pemilikan tanah inilah baik tanah untuk pertanian
maupun bukan pertanian yang menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi,
politis maupun sosiologis. pada akhirnya, rakyat lapisan bawah yang memiku beban
terberat akibat ketidakseimbangan distribusi ini.10
Maka dengan jumlah penduduk yang sangat banyak dengan pengatur mengenai
kepemilikan yang belum optimal, tidak salah ketika orientasi perekonomian
diindonesia saat ini belum menuju kepada kesejahtaan sosial sebagaimana dalam pasal
34 UUD 1945 NRI , banyak rakyat yang tidak memiliki tanah atau tidak memiliki
tempat tinggal merupakan fakta nyata di indonesia, apalagi di daerah-daerah
perkotaan. Sedangkan konstitusi sendiri mengamanatkan untuk kesejahtraan dan
penguasaan yang berorientasi pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan uraian singkat diatas maka penulis tertarik untuk menulis tentang
KONSTITUSIONALISME

HAK MENGUASAI NEGARA ATAS TANAH,

dengan membandingkan hukum pertanahan di indonesia dengan hukum pertanahan di
australia.

B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimana perbandingan konstitusionalisme hak menguasai negara atas tanah
berdasarkan hukum pertanahan indonesia dan australia?
10 firly irhamdani, 2012, analisis yuridis terhadap batas mmaksimum kepemilikan tanah hak milik non
pertanian menurut hukum pertanahan nasional, tesis, universitas Indonesia, depok,

10

11

PEMBAHASAN

A. Menelisik konstitusionalisme hak menguasai atas tanah di Indonesia.
Negara Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaan nya pada tanggal 17
Agustus 1945 dengan hukum tertingginya yakni undang-undang dasar tahun 1945 negara
kesatuan republik Indonesia, namun dalam perjalannya telah mengalami berbagai
perubahan hingga kembali lagi pada UUD 1945 awal dengan perubahan-perubahannya,
negara kesatuan merupakan salah satu point yang disepakati untuk tidak dirubah kembali,
hal ini berimplikasi pada terbentuknya daerah-daerah otonom di Indonesia.
Konstitusi indonesia yang memuat pula ketentuan mengenai perekonomian atau yang
disebut sebagai konstitusi ekonomi merupakan batasan bagaimana negara harus bertindak
untuk masyarakatnya dan negara. Faham ini sesuai dengan faham konstitusinalisme
sebagaimana

pendapat

Walton

H.

Hamilton

dalam

artikelnya

yang

berjudul

constitutionalism, yang menjadi entry dalam encyclopedia of social sciences tahun 1930
dengan kalimat: "constitutionalism is the name given to the trush which men repose in the
power of word engrossed on parchment to keep a government in order"11. untuk tujuan to
keep a government in order. Berdasarkan hal tersebut maka pasal 33 UUD 1945 sebagai
konstitusi ekonomi indonesia untuk dilaksanakan oleh pemerintahan indonesia sendiri.
Hak menguasai negara atas tanah di indonesia digunakan hanya semata-mata untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan UUPA menambahkan bahwasannya hak
atas tanah harus memiliki fungsi sosial. UUD 1945 yang menganut desentralisasi pun
tidak dapat mengabaikan hal tersebut dalam pemaknaan mengenai penguasaan negara atas
tanah, dengan dianutnya desentralisasi maka pelimpahan dan penyerahan hak menguasai
negara pun dapat dipindahkan kepada pemerintah daerah.12
berdasarkan sejarah terbentuknya pasal 33 ayat 3 UUD 1945, berawal pada saat R
soepomo melontarkan didepan sidang BPUPKI pada tanggal 31 mei 1945 yang diakhir
pidatonya tentang negara integralistik. dinyatakan bahwa, dalam negara yang berdasarkan
integralistik berdasarkan persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem
"sosialisme Negara" (staats socialism). perusahaan-perusahaan yang penting akan diurus
oleh negara sendiri. pada hakekatnya negara yang akan menentukan dimana, dimasa apa,
perusahaan apa yang akan diselenggarakan oleh pemerintah pusan maupun pemerintah
11 walton h hamilton, constitutionalism, encyclopedia of social sciences, edwin Ra., seligman & Alvin
Johnson, eds., 1931, hal. 255
12 badan pembinaan hukum nasional, 2015, Hak menguasai negara di bidang pertanahan. Hasil
penelitian dengan pimpinannya rachmat trijono. Hal 48

12

daerah atay yang akan diserahkan pada suatu badan hukum pribat atau kepada seseorang,
itu semua tergantung pada kepentingan negara atau kepada kemakmuran yang sebesarbesarnya bagi rakyat. begitu pun tentang hal tanah, pada hakekatnya negara yang
menguasai tanah seluruhnya. tambang-tambang yang penting untuk negara akan diurus
sendiri oleh negara.13 Yang walaupun hari ini banyak tambang-tambang yang diizinkan
oleh negara untuk beroperasi, padahal tambang tersebut memiliki dayaguna yang sangat
besar bagi kemakmuran rakyat.
Memberikan izin kepada pihak swasta merupakan salah satu hak menguasai negara
dalam hal pemberian dan pencabutan izin oleh pemerintah. Berpegang teguh pada
konstitusi merupakan elemen penting untuk dapat mewujudkan kemakmuran rakyat yang
sebesar-besarnya, karena rumusan pasal 33

sendiri memiliki corak anti liberalisme-

kapitalis serta mengikuti tradisi dari negara-negara sosialis.
Konsep hubungan antara pemerintah dengan tanah, pemerintah dengan warganegara
yang berkaitan dengan tanah memang telah di rumuskan dalam ketentuan pasal 33 ayat (3)
dengan penguasaan negara terhadap tanah, penguasaan disini pula berkaitan dengan
hubungannya

dengan warga negara, dengan orientasi kemakmuran sebesar-besarnya

untuk rakyat.
(1) Mahakamah konstitusi sebagai pengegak konstitusi ekonomi
Telah dijabarkan diatas bahwasannya ketentuan mengenai pertanahan di indonesia
hukum tertingginya adalah pasa 33 ayat (3) dengan penguasaan negara atas tanah yang
menjadi intinya, hal ini memberikan pemafahaman bahwasannya kepemilikan kolektif
yang menjadi tlak ukur nya, walaupun dalam UUPA berdasarkan penguasaan tersebut
menghasilkan berbagai hak atas tanah lainnya yang salah satunya adalah hak milik.
Faham konstitusi dijadikan sebagai panduan dalam menjalankan kehidupan berbangsa
dan bertanah air untuk menuju pada tujuan negara indonesia pun di wujudkan dengan
mahkamh konstitusi sebgai The guardian of constitution,

yang menuntut konstitusi

sebagai poros hubungan negara dengan warganya dalam hal pertanahan.
Di tengah perkembangan kajian hukum konstitusi, konstitusi agraria hadir sebagai
suatu ranah baru di tengah kecenderungan semakin luasnya objek kajian dari hukum
konsitusi. Beberapa studi kontemporer tentang konstitusi sudah memperluas ruang
perantauannya dari persoalan yang belum banyak dibahas sebelumnya. Misalkan dalam
dua buku dari Jimly Asshiddiqie barubaru ini yang membahas persoalan lingkungan hidup
dan persoalan ekonomi dari sudut pandangan hukum konstitusi dalam buku Green
Constitution dan buku Konstitusi Ekonomi (Economic Constitution) (Asshiddiqie, 2010).
13 Muhammad Bakri, hak menguasai tanah oleh negara : paradigma baru untuk reformasi agraria,
yogyakarta, cetakan I, 2007, hal 35

13

Contoh lain, Neil Walker di Edinburg University mengembangkan studi konstitusi dalam
masyarakat majemuk dan supra-negara di Eropa dengan menawarkan wacana Konstitusi
Pluralis (Constitutional Pluralism). Buku ini berada dalam semangat perantauan dari
kajian konstitusi yang sama, yang dalam hal ini membahas persoalan agraria, sehingga
disebut sebagai Konstitusi Agraria (agrarian constitution). Ranah yang lebih luas dalam
kajian konstitusi dikemudian hari barangkali akan membahas persoalan yang selama ini
masih kurang didalami seperti perburuhan (labor constitution), perempuan (feminist
constitution), keuangan (financial constitution), maritim (maritime constitution) dan
seterusnya.
Dengan banyak nya perkembangan mengenai ranah konstitusi berimplikasi pula pada
wewenang mahkamah konstitusi sebagai penegak konstitusi, kebijakan-kebiajakan
pemerintah harus terus di tinaju konstitutionalitas nya agar UUD 1945 tetap sebagi poros
penyelenggaraan negara indonesia.
Mahkamah konstitusi kerap memutuskan perkara yang menggunakan batu uji pasal 33
UUD 1945 yang diantaranya adalah:
1.
Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Judicial Review Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang tertuang dalam PUU 063/PUUII/2004 memberikan pertimbangan-pertimbangan yang pada sebagian pokoknya
sebagai berikut:
a. karakteristik air yang merupakan bagian dari HAM, oleh karenanya negara
memiliki peran dalam rangka melindungi, mengormati dan memenuhinya;
b. negara dapat turut campur didalam melakukan pengaturan terhadap air.
Sehingga Pasal 33 ayat (3) harus diletakan di dalam konteks HAM dan
merupakan bagian dari Pasal 28H UUD 1945
c. Bahwa air merupakan sebagai benda res commune, sehingga tidak dapat
dihitung hanya berdasarkan pertimbangan nilai secara ekonomi. Konsep res
commune, berimplikasi pada prinsip pemanfaat air harus membayar Iebih
murah;
d. Hak guna pakai air merupakan turunan dari hak hidup yang dijamin oleh UUD
1945 dan masuk ke dalam wilayah hokum publik yang berbeda dengan hukum
privat yang bersifat kebendaan;
e. peran swasta masih dapat dilakukan di dalam pengelolaan sumber daya air,
selama peran negara masih ditunjukkan dengan merumuskan kebijakan,
pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan untuk tujuan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
f. Berdasarkan pokok pertimbangan di atas, maka substansi Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air tidak
bertentangan dengan UUD 1945.

14

2.

Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Judicial Review Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang tertuang dalam PUU :002/PUUI/2003 memberikan pertimbangan-pertimbangan yang pada sebagian pokoknya
sebagai berikut:
a. Konsepsi “Dikuasai oleh Negara” dalam pasal 33 (3) UUD 1945 merupakan
konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang
dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun
ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah
yang diakui sebagai sumber, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian
kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh
rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik
publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkankepada negara untuk
menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar besarnya kemakmuran
bersama.
b. Bahwa jika pengertian “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai
pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi
dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Walaupun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu
sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh
negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas
rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.
c. Bahwa berdasarkan uraian tersebut, pengertian “dikuasai oleh negara”
haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara yang luas yang
bersumber dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia. Rakyat secara kolektif
itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk
merumuskan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan
pengawasan untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan sebagian pokok pertimbangan Mahkamah konstitusi tersebut,
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan secara materil mengabulkan gugatan
pemohon untuk sebagian.

3.

Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Judicial Review Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang tertuang dalam PUU Nomor:
001/PUU-(/2002) memberikan pertimbangan-pertimbangan yang pada sebagian
pokoknya sebagai berikut:

a.

bahwa berdasarkan penafsiran historis, seperti yang tercantum dalam Penjelasan
UUD 1945 sebelum perubahan, makna ketentuan tersebut adalah “Perekonomian
berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu

15

b.

c.

cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak harus dikuasai oleh negara.
Mahkamah berpendapat bahwa untuk menyelamatkan dan melindungi serta
mengembangkan lebih lanjut perusahaan negara (BUMN) sebagai aset negara dan
bangsa agar lebih sehat yang selama ini telah berjasa memberikan pelayanan
kelistrikan kepada masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, baik yang beraspek
komersiil maupun non-komersiil sebagai wujud penguasaan negara.
sehingga ketentuan Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2002 yang memerintahkan sistem
pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan (unbundling system) dengan pelaku
usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara
kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik
yang bersifat komersial maupun non-komersial. sehingga oleh karenanya
Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan pasal 33 UUD
1945
Berdasarkan sebagian pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan di atas,

maka MK memutuskan permohonan Para Pemohon dikabulkan sebagian dengan
menyatakan Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68 UU No. 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan karena bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Salah satu hal yang masih menjadi perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 adalah
tercantum didalam ayat (3) mengenai pengertian “hak penguasaan negara” atau ada yang
menyebutnya dengan “hak menguasai negara”. Sebenarnya ketentuan yang dirumuskan
dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tersebut sama persisnya dengan apa yang
dirumuskan dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) UUDS 1950, sehingga ada anggapan
bahwa hal itu merupakan cerminan nasionalisme ekonomi Indonesia.
Bahwa berdasarkan uraian putusan mahkamah konstitusi terhadap Judicial Review
Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 dan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 terhadap Pasal 33 UUD 1945 tersebut diatas adalah
untuk pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan
oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat
Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas
rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.
selanjutnya, untuk mengurai konsep penguasaan negara atas tanah, ada baiknya kita
tinjau juga beberapa teori kekuasaan negara, diantaranya yaitu menurut van vollenhoven
negra sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yang diberi kekuasan untuk mengatur

16

segala-galaanya dn negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk
peraturan hukum14. dalam hal ini kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori
kedaulatan (sovereignty atau souverenitet).
sedangkan menurut JJ Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara sebagai
suatu badan atau organisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (contract
social) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi
kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu 15. dalam hal ini pada
hakikatnya kekuasaan bukan kedaulatan, namun kekuasaan negara bukanlah kekuasaan
tanpa batas, sebab ada beberapa ketentuan hukum mengikat dirinya seperti hukum alam
dan hukum tuhan serta hukum yang umum pada semua bangsa yang dinamakan leges
imperii.
sejalan dengan kedua teori diatas, maka secara teoritik kekuasaan negara atas sumber
daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. negara dalam hal ini,
dipandang sebagai yang memiliki karakter suatu lembaga masyarakat umum, sehingga
kepadanya diberikan wewenang dan kekuasaan untuk mengatur , mengurus dan
memelihara pemanfaatan tanah.
Maka berdasarkan penjelasan diatas perbuatan pemerintahan baik dalam bentuk
peraturan maupun keputusan yang berkaitan dengan tanah harus sesuai dengan konsep
menguasai negara dalam pasal 33 (3) UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi indonesia
dan di tujukan untuik kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.
Kebijakan dari rakyat dan oleh rakyat untuk rakyat tersebut dapat mencegah
kemelaratan, kemiskinan bahkan dapat menjadi poros kesejahtraan sosial sebagimana
dirumuskan dalam pasal 34 UUD 1945 .
B. konstitusionalisme Hak menguasai atas tanah Di Australia.
Australia sebenarnya memiliki beberapa dokumen yang difungsikan sebagai hukum
tertinggi atau konstitusi yang menentukan berpoperasinya pemerintahan negara
Commonwealth. Dokumen terpenting diantara dokumen-dokumen dimaksud adalah The
Contitution of Commanwealth of Australia yang disahkan melalu beberapa referendum
yang diadakan antara penduduk koloni inggris di australia pada tahun 1898 – 1900. Hasil
referendum-referendum terebut selanjutnya disetujui oleh parlemen inggris sebagai salah
satu bagian dalam kerangka The Commonwealth of Austraia Constitution Act 1900.
14 Notonagoro, Politik Hukum dan Pembngunan agraria, jakarta, bina aksara, 1984, hal 99
15 R. Wiratno, dkk, ahli-ahli pikir tentang negara dan hukum, jakarta , pembangunan, 1958 hal 176.

17

Undang-undangnya disahkan oleh ratu victoria inggris pada 9 juli 1900 dan mulai berlaku
pada 1 januari 1901.16 Dengan pengesahan dan pemberlakuan itu, resmilah undangundangn tersebut berfungsi sebagai konstitusi atau hukum tertinggi di asutralia, karena
sesudah diberlakukan, konstitusi tersebut menentukan tidak dapat dicabut atau dirubah lagi
oleh parlemen inggris sampai kapanpun.
Konstitusi pertama ini sampai saat ini masih berlaku, tentunya juga dengan
perubahan-perubahan yang dilakukan dari waktu kewaktu. Perubahan-perubahan yang
dianggap paling penting dalam sejarah adalah terbitnya dua undang-undang yang
mengubah status konstitusional australia dalam hubungannya dengan inggris.
Dari segi isinya, konstitusi australia dapat dianggap cukup lengkap memuat ketentuan
mengenai sistem politik dan ketatanegaraan. Isinya terdiri dari 128 section

yang

dikelompokkan dalam 8 Chapter. Akan tetapi sama halnya negara-negara lain dengan
konstitusi dinegara-negara liberal-kapitalis lainnya dalam konstitusi australia tidak ada
satupun yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi dan lingkungan hidup. Yang ada hanya
ketentuan mengenai administrasi keuangan negara, seperti anggaran dan perpajakan yang
juga terdapat dalam konstitusi amerika serikat, ditabah dengan ketentuan yang dimasud
untuk sekedar menajaga integritas ekonomi nasional sebagai kesatuan ekonomi. Kemudia
sebagai negara yang mengikuti tradisi common law, perkembangan hukum australia pun
tidakbergantung kepada pembentukan hukum tertulis, yang apabila timbul masalah, maka
lembaga peradilanlah yang menyelesaikannya dengan asas Precedent, sehingga
terbentuklah pengertian Judge made law. Karena itu, yang dianggap penting diatur secara
tertulis hanyalah persoalan-persoalan politik saja , sedangkan persoalan-persoalan
perkeonomian biasa dilihat sebagai persoalan yang timbul dan dapat diselesaikan sendiri
dalam masyarakat berdasarkan mekanisme pasar.17
Sistem Common Law di the Commonwealth of Australia sangat mempengaruhi
konsepsi Hukum Tanah dalam pengaturan hak-hak penguasaan atas tanahnya, termasuk
pembatasan atau larangan tertentu atas tanahnya.
Australia adalah negara bersandar pada system Common Law. Hukum Tanah Inggris
(Real Estate Law) menjadi bentuk awal hukum di Amerika Serikat, Kanada, Australia dan
New Zealand (Selandia Baru) melalui kolonisasi. 18 Negara-negara Bagian Australia juga
memodifikasi sejarah hukum ini dalam berbagai tingkatan. Penelitian sistem tanah feodal
Inggris kuno memberi hal tak ternilai kepada sejarah hukum yang mengatur asset yang
16 Tony Blackshield dan George Williams, Australian constitution law, the federation press, hal 1.
Dalam Jimly asshiddiqie, konstitusi ekonomi , 2010, kompa jakarta hal 131.
17 Ibid, hal 133
18 Duhaime, Lloyd, Real Property and Tenancy Law, Published: 30 October 2011
www.duhaime.org/LegalResources/RealEstateTenancy.aspx. Diakses pada 10 november 2016.

18

paling berharga yaitu ‘tanah’. Pada abad pertengahan, tanah adalah satu-satunya bentuk
kekayaan. Kepemilikan tanah menurut sistem Inggris kuno bergantung pada kepemilikan
awal (chain of title atau rantai kepemilikan).19 Seseorang yang menguasai tanah berarti ia
memilikinya. Apabila seseorang menginginkannya, ia berjuang untuk memperolehnya.
Apabila seseorang menemukan sebidang tanah, ia akan menjaganya. Tidak ada pengadilan
atau polisi yang dapat memaksakan untuk mengakui atau menegakkan hak yuridisnya
seperti ketentuan hukum yang berlaku saat ini. Kondisi ini berubah sejak Norman
menaklukan Inggris tahun 1066. Raja William memutuskan bahwa dia memiliki semua
tanah di Inggris melalui hak penaklukan (right of conquest). Tidak sejengkal tanah Inggris
dikecualikan dari penyitaan secara besar-besaran. Pengosongan hak pribadi atas tanah
segera dilakukan melalui berbagai hibah tanah yang sangat luas yang diberikan oleh Raja
baru kepada perwira-perwiranya Norman atau untuk orang-orang Inggris yang bersedia
mengakuinya sebagai raja. Prinsip dasar dari sistem ini adalah bahwa tidak ada seorang
pun memiliki tanah tetapi tanah adalah milik raja. Pernyataan dominion directum dan
dominion utile sering digunakan untuk menggambarkan kepemilikan relatif raja dan
bangsawan; raja sebagai pemilik sedangkan bangsawan sebagai penyewa.
Asas pemilikan tanah dan bangunan/tanaman di atas tanahnya yang dianut di
Indonesia berbeda dengan Australia, yaitu Hukum Tanah Australia yang bersumber pada
English Common Law menggunakan asas Accessie (Perlekatan) sedangkan Hukum Tanah
Nasional di Indonesia yang bersumber pada Hukum Adat menggunakan asas Horizontale
Scheiding (Pemisahan Horizontal). Pada asas Horizontale Scheiding, perbuatan hukum
yang dilakukan bisa meliputi tanahnya saja, atau hanya meliputi bangunan dan/atau
tanamannya saja, yang kemudian dibongkar (adol bedol) atau tetap berada di atas tanah
yang bersangkutan (adol ngebregi). Perbuatannya pun bisa juga meliputi tanah berikut
bangunan dan tanaman keras yang ada di atasnya, dalam hal mana yang dimaksud wajib
dinyatakan secara tegas.20 Walaupun Hukum Tanah Nasional di Indonesia menggunakan
asas Pemisahan Horizontal dimana bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari
tanah yang bersangkutan sehingga hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi
pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.
19 Chain of Title-Wikipedia, the free encyclopedia, en.wikipedia.org/wiki/Chain_of_title. A chain of
title is the
sequence of historical transfers of title to a property. The "chain" runs from the present owner back to
the original owner of the property. In situations where documentation of ownership is important, it is often
necessary to reconstruct the chain of title. To facilitate this, a record of title documents may be maintained by a
registry office or civil law notary. Diakses pada 10 november 2016.
20 Boedi Harsono, Op. Cit., hal. 20.

19

Berdasarkan latar belakang historis kepemilikan hak atas tanah bahwa, pernah di
dunia Barat ada dan diperlakukan asas hukum: “Cuius est solum eius est usque ad coelum
et ad inferos”. Barang siapa memiliki tanah (permukaan bumi), dia juga memiliki segala
apa yang ada di atasnya sampai surga nirwana dan segala apa yang di bawahnya sampai
pusat bumi.21 Sehubungan dengan hal itu, disimpulkan oleh Kratovil, bahwa kerena
pengertian “tanah” meluas sampai pusat bumi, maka jelas, bahwa pemilik tanah biasanya
memiliki juga mineral-mineral yang merupakan bagian dari tanah.22 Bahkan sejak zaman
Abad Pertengahan (Middle Ages) dikenal “asas Domein” sebagai dasar hukum yang
memungkinkan Negara memberikan hak atas tanah kepada pihak lain selaku pemilik tanah
berdasarkan konsepsi feodal, seperti yang melandasi Hukum Tanah Inggris dan bekas
negara-negara jajahannya. Dalam konsepsi feodal ini, semua tanah adalah “milik Raja”
dan siapapun hanya menguasai dan menggunakan tanah “milik Lord”-nya sebagai
“tenant”. Hal ini disebut Doktrin Tenure. Biarpun ketentuan-ketentuannya sudah diganti
namun konsep dasarnya masih tetap sama, juga di negara-negara yang tidak lagi berbentuk
kerajaan. Kedudukan Raja/Crown sebagai pemilik tanah diganti oleh Negara. Dalam
Hukum Tanah yang berkonsepsi feodal, hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah
Hak Milik Raja. Semua tanah di seluruh wilayah negara adalah milik raja, seperti misalnya
yang berlaku di Kerajaan Inggris. Di negara-negara yang tidak lagi merupakan kerajaan,
hak penguasaan yang tertinggi ada pada Negara, sebagai pengganti Raja. Hak-hak
penguasaan atas tanah yang bersumber pada hak milik Raja tersebut dengan sendirinya
tidak ada yang setingkat Hak Milik, mereka hanya “memakai” tanah milik Raja.
Dalam konteks ini, karena Australia merupakan negara Commonwealth dari Kerajaan
Inggris maka dalam Hukum Tanah Australia, pada prinsipnya sama dengan Inggris bahwa
semua minyak bumi dan helium adalah milik Crown, yang penguasaannya ada pada
Negara Bagian. Emas dan perak juga milik Crown, selama belum secara tegas diberikan
dengan grant kepada pihak lain. Pemilikan mineral dan bahan galian lainnya tergantung
pada apa yang ditentukan dalam grant pemberian hak yang bersangkutan. Jika tidak secara
tegas dinyatakan, tetap menjadi milik Crown, mineral dan bahan galian lainnya yang ada
dalam tubuh bumi di bawah tanah yang diberikan itu adalah milik pemegang haknya.23
Pada prinsipnya, seluruh tanah di wilayah Australia adalah milik Raja (all land
belongs to the Crown). Awalnya, tanah yang dialihkan dari pemerintah untuk kepemilikan
21 Butt, Peter, Land Law, 3rd ed, (Sidney: The Law Book Company Limited, 1996), hal. 12.
22 Kratovil, Robert, Real Estate Law, (New Yersey: Prentice Hall, 1974), hal. 5-6.
23 Wikipedia, the Free Encyclopedia, “Australian Property Law”, diakses pada 10 november 2010.

20

pribadi melalui tanah "grant" (hibah) atau tanah "patent". Pemerintah dapat atau tidak
dapat menyertakan atau mengecualikan hak mineral dalam tanah "grant" atau tanah
"patent", atau hak-hak tersebut dapat diatur oleh undang-undang. Pemerintah dapat
memilih untuk menyewakan atau menjual hak mineral terpisah dari "tanah" atau "real
property". Selanjutnya, tanah atau real property dialihkan dari kepemilikan pribadi
menjadi kepemilikan pribadi lainnya oleh "Deed" (Akta). Seorang pemilik pribadi juga
dapat menjual hak mineral kepada pihak lain, sementara pihak lain menjual tanahnya
kepada pihak ketiga. Hal ini menjadi "chain of title" (rantai kepemilikan) tanah grant atau
patent, diikuti oleh serangkaian akta pengalihan (conveyance deeds). Umumnya, tanah
"fee simple" yang dialihkan juga mengalihkan hak mineral dari Grantor (pemberi) kepada
Grantee

(penerima)

asalkan

Grantor

memiliki

hak

mineral

tersebut

untuk

mengalihkannya. Untuk mengetahui apakah Grantor (pemberi) telah memiliki hak mineral
tersebut, maka Grantee (penerima) perlu menelusuri kembali "chain of title" (rantai
kepemilikan), biasanya oleh County Clerk of Court atau County Recorder of Deeds. Salah
satunya adalah mencari pembatasan-pembatasan akta atau pemisahan hak mineral dalam
chain of title. Kemudian seseorang juga perlu meneliti apakah hukum (undang-undang)
Federal atau Negara Bagian mencadangkan hak mineral untuk pemerintah melalui tanah
grant atau tanah patent atau peralihan berikutnya. Salah satu komponen penting dari "hak
mineral" biasanya "right of entry" untuk mengeksploitasi hak-ha tersebut. Sementara
banyak hak mineral memberikan penguasaan "dormant" (aktif), mereka sering memiliki
hak "superior" untuk mengeksploitasi tanah dibandingkan pemilik properti. Mereka dapat
memilih menggali lubang besar atau membongkar properti pihak lain untuk
mengeksploitasi sumber daya alam yang terkandung di bawah tanahnya. Mereka
"akhirnya" perlu memberi ganti kerugian kepada pemilik tanah atau mengembalikan
segala sesuatu seperti keadaan sediakala ketika dimulai penggalian, tetapi mereka dapat
memiliki lebih banyak hak atas tanah daripada pemilik properti. Hal ini tergantung pada
hukum yang mengatur di Negara Federal atau Negara Bagian, hak apa yang diberikan,
kepada siapa diberikan dan kapan diberikan.24
Sistem hak atas tanah di Australia yang didasarkan pada Common Law Inggris
terbukti rumit. Khususnya, hak atas tanah yang baik tergantung pada validitas setiap tahap
perubahan dalam rantai kepemilikan hak atas tanah (chain of title) sejak awal tanah
tersebut diberikan. Oleh karena itu, tahun 1863, diputuskan untuk memulai perubahan
24 Woodman, R.A., The Law of Real Property in New Soouth Wales, ((Sidney: The Law Book
Company Limited, 1996), hal. 30.

21

menjadi "Torrens Title"25, sebuah sistem yang awalnya dirancang untuk South Australia
(Australia Selatan), di mana hakatas tanah dijamin oleh Crown.26 Perubahan besar oleh
legislatif Inggris tahun 1926 tidak mempengaruhi hukum Negara-negara bekas koloni,
sebagai negara yang terpisah sudah menerima atau menolak sisa-sisa hukum kepemilikan
tanah Inggris kuno. Tetapi satu aspek yang tetap adalah bahwa hak atas tanah kuno
menurut koloni Inggris, biasanya dapat ditelusuri kembali kepada titik awal kepemilikan
oleh kedaulatan Negara Inggris berdasarkan chain of title. Pada abad modern, tanah tetap
merupakan fokus utama dalam Hukum Tanah atau Hukum Properti Barat, khususnya
Hukum Properti Australia. Perkembangan hukum di bidang pertanahan lebih besar
daripada perkembangan hukum atas benda bergerak, terutama disebabkan tingginya nilai
tanah dibandingkan dengan benda bergerak. Setiap Negara Bagian Australia memiliki asas
(regime) yang berbeda untuk pengaturan dan birokratisasi pertanahan. Sebagian besar
undang-undang berdasarkan hukum tetapi masih dapat dipengaruhi oleh common law dan
prinsip-prinsip yang berasal dari sejarah Australia sebagai koloni Inggris, di mana hukum
tanah dan bangunan dikembangkan melalui lingkup feodalisme. Hukum Properti
memungkinkan menciptakan sebuah sistem untuk membuktikan, mengakui dan
mengalihkan hak atas tanah, memfasilitasi penggunaannya sebagai prasarana ekonomi.
Instrumen hukum lainnya dalam hukum properti yaitu memfasilitasi transaksi tanah
pribadi dan komersial, termasuk hipotek, sewa, perjanjian dan easement. Undang-undang
properti di semua Negara Bagian didasarkan atas prinsip Torrens pendaftaran hak.
Berdasarkan hal tersebut, setiap Negara Bagian memiliki daftar sentral dari semua tanah di
Negara Bagian dan register (daftar) juga menunjukkan 'pemilik' tanah. Sistem Torrens ini
dirancang untuk mengurangi jumlah penipuan yang berkaitan dengan tanah akibat
pemalsuan title deeds (akta-akta hak). Sistem ini juga menyediakan untuk pendaftaran hak
lainnya atas tanah seperti hipotek, dimana tanah digunakan untuk mengamankan
pinjaman. Prinsip utama lain dari sistem Torrens ini adalah 'indefeasibility' of title - di

25 Title Torrens adalah sistem kepemilikan tanah di mana daftar kepemilikan tanah yang dikelola oleh
negara
yang menjamin indefeasible title (hak tidak dapat diganggu gugat) yang termasuk dalam daftar
tersebut. Kepemilikan tanah dialihkan melalui pendaftaran hak dengan menggunakan akta (deed). Tujuan
utamanya adalah untuk menyederhanakan transaksi tanah dan untuk menjamin kepemilikan sebagai hak mutlak
atas tanahnya. Hal ini telah meluas di seluruh negara sangat dipengaruhi oleh Inggris, terutama di
Commonwealth of Nations dan telah menyebar ke berbagai negara dalam kelompok negara tersebut. “Torrens
Title”, Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Torrens_title. Diakses pada 10 november
2016
26 Searching New South Wales Land Titles Office Records, NSW LTO, 1996 - detailed guide to
searching the various classes of record in the LTO (SAG ref: B2/11/Pam.18). diakses pada 10 november 2016.

22

mana hak yang telah dimasukkan pada register (daftar), tidak bisa dikalahkan oleh hak
yang timbul kemudian kecuali dalam keadaan tertentu.
Tabel di bawah ini berisi daftar undang-undang inti dalam setiap yurisdiksi Australia yang
mengatur kepentingan dalam Hukum Tanah berkaitan dengan property dan pola pendaftaran
hak:
TABEL II
Peraturan tentang tanah yang berkaitan dengan hak dan property
Negara Bagian atau
Wilayah Australia

Peraturan berkaitan dengan
Property

Peraturan berkaitan dengan
Hak (Title)

New South Wales

Real Property Act 1900

Conveyancing Act 1919

Victoria

Transfer of Land Act 1958

Land Titles Validation Act 1994

Australian Capital Territory

Real Property Act 1925

Land Titles Act 1925

Queensland

Property Law Act 1974

Land Titles Act 1994

Northern Territory

Law of Property Act

Validation of Titles Act 1994

South Austr

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PERSEPSI KONSUMEN ATAS KUALITAS LAYANAN PEMBAYARAN KREDIT MOTOR YAMAHA TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN PADA PT. BUSAN AUTO FINANCE JEMBER

0 35 19

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU MAKAN DENGAN INDEKS MASSA TUBUH PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 2 SIDOARJO

0 25 27

TELAAH ATAS KETELADANAN RASULULLAH SAW DALAM MENDIDIK ANAK (USIA 6­12 TAHUN)

4 74 1

ANALISIS TERHADAP PEMBATALAN PERJANJIAN BANGUN GUNA SERAH (BUILD OPERATE AND TRANSFER) OLEH PEMERINTAH DAERAH SERTA AKIBAT HUKUM BAGI INVESTOR YANG MENGALIHKAN HAK PENGELOLAAN KEPADA INVESTOR LAIN

3 64 161

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENGHAPUSAN ATAS MEREK DAGANG "SINKO" DARI DAFTAR UMUM MEREK OLEH DIREKTORAT JENDERAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (Studi Putusan Pengadilan Niaga No. 03/Merek/2001/PN.Jkt.Pst)

0 23 75

EVALUASI PENGENDALIAN INTERN ATAS PERSEDIAAN CV. ERLANGGA, SIDOARJO

0 19 11

HUBUNGAN ANTARA LEBAR INTERMOLAR DAN PANJANG LENGKUNG GIGI RAHANG ATAS PADA PASIEN USIA 8-10 TAHUN DI KLINIK ORTODONSIA RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT UNIVERSITAS JEMBER

0 26 17

KAJIAN YURIDIS TENTANG PERUBAHAN TANAH PERDIKAN MENJADI HAK MILIK DI KELURAHAN TAMAN KECAMATAN TAMAN KOTA MADIUN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA

2 44 14

KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN ADAT TERHADAP WANPRESTASI DALAM HAK NUMPANG KARANG (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 110

1 42 17

EVALUASI ATAS PENERAPAN APLIKASI e-REGISTRASION DALAM RANGKA PEMBUATAN NPWP DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA TANJUNG KARANG TAHUN 2012-2013

9 73 45