Kesehatan Spiritual dan Kesiapan Lansia dalam Menghadapi Kematian Tugas Akhir - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesehatan Spiritual dan Kesiapan Lansia dalam Menghadapi Kematian

Kesehatan Spiritual dan Kesiapan Lansia dalam Menghadapi Kematian

Tugas Akhir

Disusun Oleh : Ananda Ruth Naftali 462013066 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2017

Kesehatan Spiritual dan Kesiapan Lansia dalam Menghadapi Kematian

Tugas Akhir Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam

memperoleh gelar sarjana keperawatan

Disusun Oleh : Ananda Ruth Naftali 462013066 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2017

ii

iii iii

Kesehatan Spiritual dan Kesiapan Lansia dalam Menghadapi Kematian

1 1 Ananda Ruth Naftali 2 , Yulius Yusak Ranimpi , M. Aziz Anwar

1 Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,

Universitas Kristen Satya Wacana

2 Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan, Salatiga Email korespondensi : [email protected]

Abstrak

Spiritualitas merupakan suatu hubungan multidimensi yang harmonis antara manusia, alam, dan Tuhannya yang dapat memberi kekuatan kepada seseorang ketika menghadapi stres emosional, penyakit fisik dan kematian. Kesehatan spiritual yang adalah bagian dari kondisi spiritual, merupakan hal penting yang mempengaruhi setiap tahap perkembangan dan kehidupan manusia, termasuk lanjut usia. Salah satu isu yang dihadapi lansia adalah persiapan mereka dalam menghadapi kematian. Salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapan lansia dalam menghadapi kematian adalah kesehatan spiritualitas. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kesehatan spiritual dan kesiapan lansia dalam menghadapi kematian, baik lansia yang berada di Panti Wredha Salib Putih Salatiga, maupun lansia yang tinggal bersama keluarganya di Dusun Dukuh, Getasan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tipe fenomenologi deskriptif serta desain studi komparasi. Partisipan berjumlah 6 orang, 3 partisipan yang tinggal di panti dan 3 partisipan yang tinggal di rumah bersama keluarganya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesehatan spiritual dipengaruhi oleh makna hidup, konsep agama dan ketuhanan, interaksi sosial, konsep sehat sakit, kesejahteraan dan spiritualitas, serta kesiapan menghadapi kematian. Lansia yang tinggal di rumah dan lansia yang tinggal di panti memiliki perbedaan dalam hal interaksi sosial, konsep agama dan ketuhanan. Kesiapan lansia dalam menghadapi kematian dipengaruhi oleh faktor pengertian mengenai kematian, pengalaman kehilangan, tempat yang diinginkan ketika menghadapi kematian, orang yang akan mendampingi ketika kematian dan tempat yang dituju setelah kematian, sedangkan ketidaksiapan dalam menghadapi kematian dipengaruhi oleh perbuatan yang dilakukan semasa hidup maupun keinginan untuk hidup lebih lama bersama keluarga.

Kata kunci : kesehatan spiritual, lansia, kematian.

Abstract

Spiritual Health and Elderly Preparedness in Facing Death

Spirituality is a harmonious relationship between man, nature and God. Spirituality has dimensions that provide power when facing emotional stress, physical illness and death. Spiritual health is an important aspect that affects human life in every stage of its development, including the elderly. One of the issue often faced by the elderly is associated with their preparation in the face of death. One of the factors that affect the readiness of the elderly in the face of death is spirituality. The purpose of this research is to describe the spiritual health and readiness of the elderly to face of death, both the elderly who are in Panti Wredha Salib Putih Salatiga and the elderly who lived with her family in Getasan. This study uses qualitative research methods with descriptive phenomenology approach and

vii vii

Key words : spiritual health, elderly, death.

viii

PENDAHULUAN

Masa lanjut usia (lansia) atau menua merupakan tahap paling akhir dari siklus kehidupan seseorang. World Health Organization (WHO) membagi masa lanjut usia menjadi empat golongan, yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 –90 tahun dan usia sangat tua (very old ) diatas 90 tahun (1). Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro lanjut usia (getriatric age) berkisar antara usia > 65 tahun atau 70 tahun (2). Masa lanjut usia (getriatric age) itu sendiri dibagi menjadi 3 batasan umur, yaitu young old (usia 70-

75 tahun), old (usia 75-80 tahun), dan very old (usia > 80 tahun). Sedangkan menurut Depkes RI lanjut usia digolongkan menjadi 2 yaitu, masa lansia awal (46-55 tahun) dan masa lansia akhir (56-65 tahun) (1). Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan lansia merupakan seseorang yang berusia diatas 60 tahun.

Menurut WHO, proporsi populasi penduduk berusia lebih dari 60 tahun adalah 11,7% dari total populasi dunia dan diperkirakan jumlah tersebut akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup (3). Jumlah lansia tahun 2009 telah mencapai 737 juta jiwa dan sekitar dua pertiga dari jumlah lansia tersebut tinggal di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Diperkirakan pada tahun 2020 populasi lansia meningkat 7,2% yang hampir sepadan dengan proporsi lansia di negara-negara maju saat ini (4).

Dalam perspektif perkembangan, lansia akan mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan yang pernah mereka miliki dan mengalami beberapa perubahan fisik seperti memutihnya rambut, munculnya kerutan di wajah, berkurangnya ketajaman penglihatan dan daya ingat yang menurun, serta beberapa masalah kesehatan fisik lainnya (5). Lansia juga kerap mengalami masalah sosial, berupa keterasingan dari masyarakat karena penurunan fungsi fisik yang dialami, misalnya berkurangnya kepekaan pendengaran, maupun cara bicara yang kadang sudah tidak dapat dimengerti. Para lansia juga menghadapi masalah psikologis, yaitu munculnya kecemasan dalam menghadapi kematian pada lanjut usia (6).

Kehilangan kehidupan atau kematian merupakan penghentian secara permanen semua fungsi tubuh yang vital atau akhir dari kehidupan manusia (7). Kematian merupakan sesuatu yang selalu menjadi hal wajar di dalam kehidupan. Peningkatan kesadaran mengenai kematian timbul saat individu beranjak tua, yang biasanya meningkat pada masa dewasa menengah, yang menandakan bahwa usia

paruh baya merupakan saat orang dewasa mulai berpikir lebih jauh mengenai berapa waktu yang tersisa dalam hidup mereka (8).

Rasa cemas terhadap kematian dapat disebabkan oleh kematian itu sendiri dan apa yang akan terjadi sesudah kematian, bagaimana dengan sanak dan keluarga yang ditinggalkan, atau seseorang merasa bahwa tempat yang akan dikunjungi setelah kematian sangat buruk (9). Kecemasan dalam menghadapi kematian akan semakin membuat para lansia tidak siap dalam menghadapi kematian. Kesiapan merupakan keseluruhan kondisi yang membuat seseorang siap untuk memberi respon terhadap suatu situasi (10). Kesiapan adalah suatu kondisi yang dimiliki seseorang dalam mempersiapkan diri secara mental dan fisik untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Keadaan lansia yang telah siap untuk menghadapi dan menerima kematian tidak menimbulkan penyesalan maupun ketakutan apapun ketika kematian terjadi, itu berarti lansia telah matang dalam menghadapi kematian. Namun, lansia memiliki persepsi yang berbeda-beda ketika menghadapi kematian (11). Kesiapan lansia saat menjelang kematian dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu aspek psikologis, sosial, fisik dan spiritual (12).

Spiritual merupakan aspek yang didalamnya mencakup aspek-aspek yang lain, yaitu fisik, psikologi dan sosial. Spiritualitas juga bisa tentang perasaan akan tujuan hidup, makna hidup dan perasaan yang berhubungan dengan orang lain. Spiritualitas merupakan hubungan yang memiliki dua dimensi, yaitu antara dirinya, orang lain dan lingkungannya, serta dirinya dengan Tuhannya (13). Spiritualitas merupakan hubungan yang memiliki dimensi-dimensi yang berupaya menjaga keharmonisan dan keselarasan dengan dunia luar, menghadapi stres emosional, penyakit fisik dan kematian (14). Spiritualitas lansia yang sehat dapat membantu lansia dalam menjalani kehidupan dan mempersiapkan dirinya dalam menghadapi kematian.

Istilah lain yang terkait erat dengan fenomena di atas adalah kondisi sehat. Definisi sehat adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental atau psikis, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi (15). Secara khusus, kesehatan spiritualitas adalah kemampuan seseorang dalam menjaga keharmonisannya dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, alam dan Tuhannya.

Lansia dengan spiritual yang sehat tidak merasa cemas dan siap dalam menghadapi kematian (16). Berbeda halnya dengan lansia yang tidak memilik3i

kesehatan spiritual atau yang tidak konsisten dalam menjalankan ajaran agamanya tidak akan siap menghadapi kematian karena takut akan pembalasan dari dosa-dosa yang telah mereka buat (17). Kesehatan spiritual yang terbangun dengan baik membantu lansia menghadapi kenyataan, berpartisipasi dalam hidup, merasa memiliki harga diri dan menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari (18). Faktor yang mempengaruhi kesehatan spiritual seseorang adalah pertimbangan tahap perkembangan, keluarga, latar belakang etnik dan budaya, agama dan pengalaman hidup sebelumnya (19).

Peran keluarga, secara khusus sangat penting dalam mendukung dan memenuhi kebutuhan spiritualitas lansia. Keluarga sebagai orang terdekat untuk mencurahkan segala perhatiannya untuk memenuhi kebutuhan spiritualitas lansia. Lanjut usia yang tinggal bersama keluarga di rumah tidak hanya mendapatkan perawatan fisik, namun juga mendapatkan kasih sayang, kebersamaan, interaksi atau komunikasi yang baik, dan menerima bantuan (20). Berbeda dengan situasi didalam keluarga, spiritualitas yang dialami lansia di dalam panti cenderung rendah, karena dalam berhubungan dengan orang lain lansia memiliki konflik atau tidak mau berinteraksi dengan orang lain yang berada di dalam panti.

Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan di Panti Wredha Salib Putih Salatiga, para lansia di panti tersebut memiliki kegiatan kerohanian, berupa ibadah sebanyak empat kali dalam seminggu, meskipun demikian beberapa lansia menyatakan perasaan takutnya jika meninggal kepada pengurus panti dan terlihat menyendiri dan ada yang jarang mau berkumpul bersama para lansia yang lain. Di samping itu, peneliti juga melakukan pengamatan pendahuluan di Dusun Dukuh, Getasan, Kabupaten Semarang. Dusun tersebut sudah memiliki satu mushola dan satu gereja sehingga lansia di Dusun Dukuh pun memiliki kegiatan kerohanian. Para lansia yang beragama muslim biasanya ikut dalam kegiatan ibadah Jumat serta pengajian atau yasinan yang ada di dusun tersebut. Sekalipun demikian, terdapat lansia yang menyatakan belum siap jika “dipanggil” Tuhan, karena perasaan takut

jika meninggalkan keluarganya. Berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Kesehatan spiritualitas lansia dan

kesiapan lansia dalam menghadapi kematian. Suatu kasus di Panti Wredha Salib Putih Salatiga dan di Dusun Duku h Getasan, Kabupaten Semarang”.

RUMUSAN MASALAH

Bagaimana kesehatan spiritualitas lansia dan kesiapan lansia dalam menghadapi kematian, suatu kasus di Panti Wredha Salib Putih Salatiga dan di Dusun Dukuh Getasan, Kabupaten Semarang.

TUJUAN PENELITIAN Tujuan umum dari penelitian ini adalah mendeskripsikan kesehatan spiritual dan kesiapan lansia dalam menghadapi kematian, baik lansia yang berada di Panti Wredha Salib Putih Salatiga, maupun lansia yang tinggal bersama keluarganya di Dusun Dukuh, Getasan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tipe pendekatan fenomenologi deskriptif. Penelitian ini menelusuri dan menggali data mengenai arti dan makna pengalaman seseorang secara individu (21). Penelitian ini menggunakan desain studi komparasi, yaitu mendeskripsikan perbedaan dan persamaan antara dua atau lebih fakta atau sifat objek yang diteliti (22). Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah enam orang, yaitu tiga orang yang tinggal di panti dan tiga orang yang tinggal di rumah bersama dengan keluarganya. Partisipan dipilih menggunakan teknik purposive sampling yaitu dipilih sesuai kebutuhan dan tujuan penelitian (23). Karakteristik partisipan adalah individu lanjut usia yang berusia 60 tahun ke atas dan dapat berkomunikasi dengan baik.

Data dikumpulkan dengan menggunakan wawancara mendalam (in depth interview ), yaitu suatu cara mengumpulkan data dengan maksud untuk menetapkan gambaran lengkap tentang topik yang diteliti dan mendalam (24). Dalam pelaksanaannya proses wawancara menggunakan pedoman wawancara yang terstruktur, artinya pedoman wawancara sudah disusun dan dipersiapkan sesuai dengan tujuan, sehingga mempermudah jalannya wawancara. Setelah melalui tahap pengumpulan data, data kualitatif yang diperoleh diolah dengan melakukan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (25). Reduksi data adalah kegiatan peneliti melakukan pengolahan data dengan merangkum dan memilih hal pokok dan penting sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan (26). Dalam hal ini, peneliti membuat transkrip verbatim dengan mendengarkan kembali hasil rekaman dan melengkapinya dengan field note yang dibuat saat wawancara. Transkrip verbatim Data dikumpulkan dengan menggunakan wawancara mendalam (in depth interview ), yaitu suatu cara mengumpulkan data dengan maksud untuk menetapkan gambaran lengkap tentang topik yang diteliti dan mendalam (24). Dalam pelaksanaannya proses wawancara menggunakan pedoman wawancara yang terstruktur, artinya pedoman wawancara sudah disusun dan dipersiapkan sesuai dengan tujuan, sehingga mempermudah jalannya wawancara. Setelah melalui tahap pengumpulan data, data kualitatif yang diperoleh diolah dengan melakukan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (25). Reduksi data adalah kegiatan peneliti melakukan pengolahan data dengan merangkum dan memilih hal pokok dan penting sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan (26). Dalam hal ini, peneliti membuat transkrip verbatim dengan mendengarkan kembali hasil rekaman dan melengkapinya dengan field note yang dibuat saat wawancara. Transkrip verbatim

HASIL

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat bebetapa kategori yang menjawab tujuan penelitian yaitu bagaimana kesehatan spiritual lansia dan kesiapannya dalam menghadapi kematian, baik mereka yang tinggal bersama keluarga di rumah maupun yang tinggal di panti. Berikut adalah kategori-kategori tersebut :

A. Makna Hidup

Masing-masing partisipan memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam memaknai hidup mereka, ada yang memaknai hidup mereka adalah untuk keluarga, seperti untuk hidup bersama keluarga, mendoakan anak cucu mereka ataupun kecukupan untuk keluarga. Ada pula yang mensyukuri hidup, menomorsatukan Tuhan dalam hidup dan mengartikan hidup mereka sebagai manusia utusan Tuhan. Namun, ada pula partisipan yang mengartikan tujuan hidupnya untuk menikmati hidup di dunia, misalnya bisa makan enak.

Menurut data yang di peroleh, terdapat perbedaan yang signifikan antara makna hidup lansia yang tinggal di panti dan partisipan yang tinggal di rumah. Dapat disimpulkan bahwa partisipan yang tinggal di rumah lebih memaknai hidupnya untuk keluarga mereka, sedangkan partisipan yang berada di panti memaknai hidup mereka dengan berbeda-beda, baik itu untuk keluarga maupun untuk Tuhan.

B. Konsep Agama dan Ketuhanan

Semua partisipan dalam penelitian ini baik mereka yang tinggal di panti ataupun di rumah menyatakan dirinya percaya akan adanya Tuhan, malah beberapa menyatakan tidak hanya percaya tapi juga yakin mengenai keberadaan Tuhan. Kepercayaan lansia kepada Tuhan menimbulkan sikap hati yang bersyukur atas semua pemberian Tuhan disepanjang hidup mereka. Mereka selalu menyatakan bersyukur, baik dalam keadaan susah maupun senang.

Selain itu, terdapat juga pernyataan partisipan mengenai perasaannya setelah bersyukur. Ada beberapa partisipan menyatakan hatinya menjadi tenang dan ada pula yang menyatakan hatinya menjadi senang.

Dalam menjalankan agamanya, berdoa dan beribadah menjadi bagian didalamnya. Dalam penelitian ini partisipan juga menyatakan kapan saja mereka berdoa, alasan mereka berdoa dan apa saja yang menjadi doa mereka. Peneliti juga mendapatkan bagaimana mereka beribadah dan apa saja kendala dalam mereka menjalankan ibadahnya.

1. Berdoa Berdoa merupakan sarama berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Semua lansia yang tinggal di panti dan dua dari tiga partisipan yang tinggal di rumah menyatakan mereka berdoa setiap waktu, baik itu mau makan, mau tidur. Namun, satu dari tiga partisipan yang tinggal di rumah menyatakan dirinya tidak pernah bersembahyang. Dalam doa, mereka pun menyatakan segala keinginan dan permohonan mereka, baik untuk dirinya sendiri, keluarga maupun untuk orang lain.

2. Beribadah Selain berdoa, partisipan dalam penelitian ini juga menjalankan kegiatan ibadah. Berdasarkan penelitian, dua dari tiga partisipan yang tinggal di rumah menjalankan kegiatan ibadah mereka masing-masing, baik di gereja, di masjid maupun di rumah. Namun, satu partisipan yang tinggal di rumah menyatakan dirinya tidak mempunyai ibadah khusus seperti sholat atau kebaktian di gereja.

C. Interaksi Sosial

Di dalam hidup, seseorang tentu memiliki keluarga maupun orang lain yang berada disekitarnya. Dalam penelitian ini, dibahas hubungan partisipan yang tinggal di panti dengan orang-orang di dalam panti, tetangga sekitar maupun dengan keluarga di rumah, dan terdapat pula pernyataan dari partisipan yang tinggal di rumah mengenai hubungannya dengan tetangga dan keluarga yang tinggal bersama dengan mereka.

1. Hubungan dengan tetangga Semua partisipan yang tinggal di panti memiliki tetangga yang berada disekitar panti, begitu juga dengan partisipan yang tinggal rumah memiliki tetangga. Semua partisipan yang tinggal di rumah menyatakan memiliki hubungan yang baik dengan tetangganya. Mereka menyatakan mengenal seluruh tetangganya yang dekat maupun yang jauh dengan sangat baik. Mereka pun menyatakan masih memiliki budaya gotong royong yang sangat erat. Sedangkan, satu dari tiga partisipan yang tinggal di panti menyatakan memiliki hubungan yang baik 1. Hubungan dengan tetangga Semua partisipan yang tinggal di panti memiliki tetangga yang berada disekitar panti, begitu juga dengan partisipan yang tinggal rumah memiliki tetangga. Semua partisipan yang tinggal di rumah menyatakan memiliki hubungan yang baik dengan tetangganya. Mereka menyatakan mengenal seluruh tetangganya yang dekat maupun yang jauh dengan sangat baik. Mereka pun menyatakan masih memiliki budaya gotong royong yang sangat erat. Sedangkan, satu dari tiga partisipan yang tinggal di panti menyatakan memiliki hubungan yang baik

2. Hubungan dengan keluarga Semua partisipan dalam penelitian ini baik yang tinggal di panti maupun yang tinggal di rumah menyatakan memiliki hubungan yang baik dengan keluarga mereka, walaupun dua dari tiga partisipan yang tinggal di panti menyatakan di jenguk anaknya saat awal masuk panti saja dan sisanya hanya berhubungan melalui telepon, sedangkan satu dari tiga partisipan yang tinggal di panti menyatakan tidak pernah di kunjungi anaknya. Dapat disimpulkan, hubungan dengan keluarga partisipan yang tinggal di rumah lebih baik dari pada hubungan partisipan yang tinggal di panti.

3. Hubungan dengan orang-orang di dalam panti Dalam penelitian ini, terdapat pernyataan hubungan partisipan yang tinggal di panti dengan orang-orang didalam panti, satu partisipan menyatakan senang dengan orang-orang yang ada di panti karena merasa memiliki banyak teman, satu partisipan yang lain mengatakan hubungan dengan orang di panti tidak terlalu akrab, sedangkan satu partisipan terakhir mengatakan merasa jengkel dengan teman-temannya di dalam panti, ia merasa selalu di musuhi. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa hubungan partisipan dengan orang-orang di dalam panti tidak begitu baik.

D. Konsep Sehat Sakit

1. Pengertian sehat dan sakit Pengertian sehat dan sakit lansia berdasarkan penelitian ini adalah sehat secara jasmani atau fisik. Mereka menyatakan sehat itu jika badan terasa ringan, enak dan tidak terasa sakit. Namun, ada pula yang menyatakan sehat itu jika mereka bisa bekerja dan makan enak. Dalam penelitian ini, satu dari tiga partisipan yang tinggal di panti dan satu dari tiga partisipan yang tinggal di rumah menyatakan bahwa sehat itu jika fisiknya ringan saat 1. Pengertian sehat dan sakit Pengertian sehat dan sakit lansia berdasarkan penelitian ini adalah sehat secara jasmani atau fisik. Mereka menyatakan sehat itu jika badan terasa ringan, enak dan tidak terasa sakit. Namun, ada pula yang menyatakan sehat itu jika mereka bisa bekerja dan makan enak. Dalam penelitian ini, satu dari tiga partisipan yang tinggal di panti dan satu dari tiga partisipan yang tinggal di rumah menyatakan bahwa sehat itu jika fisiknya ringan saat

2. Penurunan fisik dan sikap menghadapi penurunan fungsi fisik

Beberapa lansia dalam penelitian ini mengalami penurunan fungsi fisik pada mata, seperti pernyataan dua dari tiga partisipan yang tinggal di panti dan dua dari tiga partisipan yang tinggal di rumah. Sedangkan, dua dari tiga partisipan yang tinggal di panti dan semua partisipan yang tinggal di rumah mengalami sakit atau pegal pada kaki.

Berdasarkan data di atas, peneliti menyimpulkan bahwa penurunan fungsi fisik yang dialami oleh partisipan yang tinggal di panti maupun yang tinggal di rumah adalah sama. Sehubungan dengan penurunan fungsi fisik pada lansia, juga diperoleh data mengenai tanggapan lansia mengenai penurunan fungsi fisik yang dialami. Beberapa lansia menyatakan mensyukuri dan menerima kondisi fisik mereka yang menurun, karena menyadari usia mereka yang menua. Mereka juga menyatakan tidak pusing terhadap kondisi fisik mereka, walaupun ada pula yang menyatakan perasaannya sangat berkurang saat matanya sudah tidak bisa membaca, namun ia menyatakan tetap menerima keadaannya. Sesuai dengan data tersebut, peneliti menemukan kesamaan mengenai tanggapan semua partisipan yang tinggal di panti maupun di rumah, yaitu semua menerima keadaan fisiknya yang menurun.

E. Kesejahteraan dan Spiritualitas

1. Kasih Kasih kepada orang lain menjadi salah satu bagian dari bagaimana seseorang bisa merasa sejahtera, seperti dalam penelitian ini partisipan bagaimana kasih terhadap orang lain. Sesuai dengan data yang diperoleh, semua partisipan baik yang tinggal di rumah maupun di panti memiliki kasih kepada sesama mereka yang diungkapkan berupa wujud yang berbeda beda, seperti menegur ketika temannya sedang cemberut, menolong orang lain, ataupun dengan memancarkan cinta kasih kepada semua makhluk.

2. Harapan di masa tua Berdasarkan penelitian ini, peneliti juga menemukan harapan partisipan di masa tuanya, lansia yang tinggal di panti ada yang menyatakan ingin pulang dijemput anak-anaknya, sedangkan satu dari tiga partisipan yang tinggal di panti dan satu dari tiga partisipan yang tinggal di rumah menyatakan sudah tidak memiliki harapan apa-apa, hanya ingin cepat meninggal untuk segera menyelesaikan hidup mereka. Sedangkan, satu dari tiga parisipan yang yang tinggal di rumah menyatakan ingin hidup sejahtera dan tidak kekurangan.

F. Pandangan Mengenai Kematian

Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bagaimana pengertian lansia mengenai kematian, pengalaman mengenai kehilangan, kesiapannya dalam menghadapi kematian, serta keadaan yang diinginkan ketika menghadapi kematian.

1. Pengertian kematian

Dalam penelitian ini, masing-masing lansia memiliki pengertian yang berbeda-beda mengenai kematian. Beberapa lansia mengartikan bahwa kematian itu merupakan sesuatu yang tidak bisa di tolak, namun ada pula yang berpendapat kematian merupakan sesuatu yang terjadi karena manusia yang sudah tua kehilangan energi atau tenaga. Dua dari tiga partisipan yang tinggal di rumah mengatakan kematian sebagai sesuatu yang terjadi karena manusia kehilangan energi sehingga mengalami kematian. Sedangkan, satu dari tiga partisipan yang tinggal di panti dan satu dari tiga partisipan yang tinggal di rumah memiliki pemahaman yang sama yaitu kematian sebagai sesuatu yang tidak bisa ditolak, karena semua yang hidup pasti akan mengalami kematian. Satu partisipan yang tinggal di rumah juga memahami mati merupakan proses

terpisahnya raga dari jiwanya, ia percaya bahwa raga akan mati, tetapi tidak dengan jiwanya yang ia sebut badan pikiran. Walaupun demikian, tidak terdapat perbedaan yang signifikan mengenai pemahaman lansia mengenai kematian baik lansia yang tinggal di panti maupun lansia yang tinggal di rumah.

2. Pengalaman mengenai kehilangan Setiap orang pasti memiliki pengalaman dalam hidup, baik itu pengalaman menyenangkan maupun menyedihkan. Dua dari tiga partisipan yang tinggal di panti dan semua partisipan yang tinggal di rumah dalam penelitian ini menyatakan pernah merasa kehilangan orang yang mereka cintai, diantaranya merupakan anak, kakak, suami ataupun istri. Namun, satu dari tiga partisipan yang tinggal di panti menyatakan tidak merasa kehilangan, dikarenakan ia merasa sudah memiliki foto keluarganya untuk dikenang. Penelitian ini juga mendapatkan cara bagaimana partisipan mengalihkan pikirannya saat mengalami rasa kehilangan yang muncul. Diantaranya, dengan tidak mengingat-ingat kembali kenangan kehilangan yang terkadang muncul dalam pikiran mereka.

Berdasarkan pemaparan di atas, dua dari tiga partisipan yang tinggal di panti dan semua partisipan yang tinggal di rumah pernah mengalami kehilangan. Namun, satu dari tiga partisipan yang tinggal di panti tidak pernah merasa kehilangan. Semua partisipan dalam penelitian ini memiliki cara yang sama untuk mengalihkan rasa kehilangan mereka yaitu dengan cara tidak mengingat-ingat kembali.

3. Kesiapan menghadapi kematian

Tiga dari enam partisipan menyatakan siap dalam menghadapi kematian. Ada yang menyatakan dirinya siap karena menganggap kematian merupakan sesuatu yang tidak bisa ditolak dan ada juga yang menyatakan kesiapannya karena usianya yang sudah tua.

Partisipan mengemukakan bahwa perbuatan semasa hidup juga mempengaruhi ketidaksiapan mereka dalam menghadapi kematian. Partisipan merasa dirinya masih sering membenci orang lain. Namun, ada juga yang menyatakan ketidaksiapannya karena masih ingin hidup bersama keluarganya, memelihara anak dan cucunya. Pada penelitian ini, terdapat dua partisipan yang menyatakan ketidaksiapannya dalam menghadapi kematian. Secara umum, dua

dari tiga partisipan yang tinggal di panti menyatakan kesiapannya dalam menghadapi kematian. Sedangkan, terdapat dua partisipan yang tinggal di rumah yang menyatakan kesiapannya. Adapun alasan yang melatarbelakangi kesiapan lansia adalah usia yang sudah menua dan kematian yang tidak bisa ditolak lagi, sedangkan ketidaksiapan disebabkan oleh perbuatan mereka di masa lalu dan keinginan untuk terus hidup bersama keluarga.

4. Keadaan yang diharapkan ketika menghadapi kematian.

Dalam konteks ini juga dibahas seperti apa kematian yang diinginkan oleh lansia. Kematian yang diharapkan oleh lansia meliputi harapan tentang bagaimana keadaan atau kondisi dalam menghadapi kematian, di mana tempat mereka akan meninggal, siapa yang akan mendampingi mereka dalam menghadapi kematian sampai dengan pendapat mereka mengenai tempat setelah kematian.

a. Keadaan yang diinginkan dalam menghadapi kematian.

Partisipan yang tinggal di panti menyatakan ingin meninggal dalam keadaan yang tidak mengalami sakit dan mendadak. Ada pula yang menyatakan tidak ingin meninggal dalam keadaan yang merepotkan orang lain. Sedangkan, partisipan yang tinggal di rumah, menginginkan kematian yang tidak mendadak. Berdasarkan data di atas, peneliti menemukan perbedaan keadaan yang diharapkan lansia yang tinggal di rumah dan yang tinggal di panti. Semua partisipan yang tinggal di panti menyatakan ingin meninggal secara tiba-tiba serta tidak mengalami rasa sakit. Partisipan menyatakan ingin mengalami kematian yang mendadak, seperti meninggal saat sedang makan atau saat sedang tidur. Sedangkan, dua dari tiga partisipan yang tinggal di rumah menyatakan tidak mau meninggal tiba-tiba ataupun secara mendadak, karena merasa khawatir keluarga akan kaget dengan kepergiannya. Satu dari tiga partisipan yang tinggal di rumah menyatakan ingin meninggal secara Husnul Khotimah yang artinya meninggal dengan keadaan yang terbaik.

b. Tempat yang diinginkan dalam menghadapi kematian.

Dalam memutuskan tempat untuk meninggal, ada beberapa lansia belum tahu tempat dimana mereka akan menghadapi kematian. Ada juga yang menyatakan meninggal di rumah atau di rumah sakit sama saja. Lansia yang tinggal di panti pun ada yang menyatakan ingin meninggal di

panti saja dan tidak mau di bawa kemana-mana, karena merasa jika anaknya membawanya pulang akan membebani biaya yang banyak pada anaknya. Sedangkan lansia yang tinggal di rumah ada yang menyatakan ingin meninggal di rumah karena merasa dirinya dari kecil memang sudah di tinggal rumah.

c. Keinginan yang akan menemani dalam menghadapi kematian.

Dalam penelitian ini, semua partisipan menyatakan ingin meninggal didampingi oleh orang-orang terkasih seperti anak maupun keluarga. Dengan demikian, dalam hal ini tidak ada perbedaan mengenai keinginan lansia mengenai orang yang akan mendampingi dalam menghadapi kematian baik lansia yang tinggal di panti maupun tinggal di rumah.

d. Pengertian tempat terakhir setelah kematian.

Beberapa lansia menyatakan tempat akhir setelah kematian adalah surga dan neraka, namun ada juga yang menyatakan bahwa ia tidak percaya dengan adanya surga dan neraka, tempat yang dituju setelah kematian bukan surga atau neraka melainkan tempat yang tidak terdapat kesenangan maupun kesusahan, tempat yang disebut tenang.

Semua partisipan yang tinggal di panti dan satu dari tiga partisipan yang tinggal dirumah menyatakan tempat setelah kematian adalah surga dan neraka, namun terdapat satu dari tiga partisipan yang tinggal di rumah menyatakan tidak pergi ke surga atau pun neraka, melainkan ke tempat tenang. Sehingga diperoleh kesimpulan, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pengertian mengenai tempat akhir setelah kematian pada lansia yang tinggal di panti maupun yang tinggal di rumah.

e. Keinginan tempat yang dituju setelah kematian.

Setelah mengalami kematian beberapa lansia menyatakan keinginannya untuk masuk surga atau pun neraka. Dalam penelitian ini, semua partisipan yang ada di panti dan dua dari tiga partisipan yang tinggal di rumah menyatakan ingin masuk surga dan ada pula yang menyatakan tidak siap masuk ke neraka. Sedangkan satu dari tiga partisipan yang tinggal di rumah menyatakan setelah meninggal tidak ingin masuk ke surga atau pun neraka, melainkan ingin mencari tempat yang tenang.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian berikut adalah enam kategori yang mendeskripsikan kesehatan spiritualitas lansia, baik yang tinggal di rumah maupun yang tinggal di panti, serta kesiapannya dalam menghadapi kematian.

1. Makna Hidup

Dalam penelitian ini, baik partisipan yang tinggal di rumah maupun di panti, ada yang menyatakan bahwa tujuan hidupnya adalah untuk keluarga, seperti mendoakan anak cucunya, mengharapkan hidup yang rukun bersama anak dan cucunya, serta mengharapkan hidup yang berkecukupan bagi keluarganya. Di samping itu, ada yang memaknai hidup mereka sebagai utusan Sang Pencipta.

Kondisi ini menunjukkan bahwa lansia memiliki tujuan hidup yang bermakna, seperti memaknai hidup sebagai utusan Tuhan untuk menjalankan perintahNya, serta keinginnya untuk bisa mewujudkan hidup yang sejahtera bagi keluarganya. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Bastaman bahwa seseorang yang mencapai kebermaknaan hidup akan merasakan hidupnya penuh makna, berharga dan memiliki tujuan mulia (27).

Kondisi ini sesuai dengan pendapat Rahmat (dalam Setiyono) yang menyatakan bahwa makna hidup seseorang dapat ditemukan salah satunya di dalam tanggung jawab dan mampu menentukan apa yang akan dilakukannya dan apa yang paling baik bagi dirinya dan orang lain (28). Bastaman juga menambahkan bahwa makna hidup adalah sesuatu yang dianggap paling benar, penting, berharga dan didambakan karena mampu memberikan nilai tersendiri bagi seseorang dan dapat dijadikan sebagai tujuan hidup (27).

Artista Permatasari mengingatkan bahwa keluarga merupakan tempat pemenuhan kebutuhan sosial, yaitu sumber kasih sayang serta rasa mencintai dan dicintai (29). Hal tersebut merupakan salah satu nilai hidup yang menjadikan hidup bermakna, sehingga keluarga mampu menimbulkan makna hidup terhadap seseorang. Namun, bagi semua umat beragama, Tuhan juga merupakan sumber makna dalam hidup. Menurut hasil kajian Musa As’ari (dalam Asyafah) manusia

memiliki amanat dari Tuhan, hal ini kemudian ditanggapi oleh lansia dan kemudian dijadikan makna dalam hidupnya (30).

Hidup yang memiliki tujuan yang jelas akan menjadikan seseorang terarah dan mengetahui apa yang akan hendak ia lakukan. Bila tujuan hidup terpenuhi maka kehidupan akan dirasa berguna dan bermakna, serta menimbulkan perasaan

13

14

bahagia dan berharga. Tujuan hidup dapat menjadi sebuah semangat dan motivasi utama yang bisa mendorong seseorang dalam menjalankan kehidupannya. Bastaman menyatakan bahwa seseorang yang memiliki hidup yang bermakna dapat membuatnya menghayati hidupnya dengan menunjukkan semangat dan gairah hidup, serta menjauhkan mereka dari perasaan hampa dan tidak berguna (27). Dengan demikian, hidup yang dimaknai oleh lansia dalam penelitian ini, baik yang tinggal di rumah dan di panti memiliki keterarahan yang jelas karena menempatkan Tuhan, keluarga dan dirinya sebagai tujuan hidup, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka telah memiliki hidup yang bermakna.

2. Konsep Agama dan Ketuhanan

Semua partisipan yang tinggal di panti maupun yang tinggal di rumah menyatakan percaya kepada Tuhan. Kepercayaan ini tidak hanya tergantung pada sistem keagamaan formal saja, karena ada partisipan yang sekalipun tidak memeluk agama apapun (secara formal), tetap meyakini keberadaan Tuhan. Partisipan menanggapi keberadaan Tuhan dengan sikap bersyukur terhadap segala sesuatu yang sudah Tuhan berikan, baik dalam susah dan senang, sehingga syukur yang di panjatkan menimbulkan rasa tenang dan senang dalam diri mereka.

Kepercayaan dan keyakinan yang dinyatakan partisipan didukung oleh Fowler (dalam Kozier) yang menjelaskan bahwa keimanan dapat dimiliki pada orang yang beragama maupun yang tidak beragama (31). Dengan selalu mengingat Tuhan dalam hidup akan membuat seseorang merasa damai dan tentram (32). Menurut hasil penelitian yang dilakukan Isnaeni lansia merasa bahagia walaupun hidup di panti dikarenakan adanya aktifitas sehari-hari dan berdoa serta melakukan kegiatan keagamaan, sehingga rasa syukur muncul dan membawa ketenangan pada mereka (33).

Berdoa dan beribadah merupakan ritual dan praktek yang dilakukan seseorang yang beragama. Semua partisipan yang tinggal di panti menyatakan dirinya rutin melaksanakan ibadah. Semua lansia diwajibkan mengikuti ibadah tersebut, salah satu lansia mengatakan mereka akan ditegur atau dimarahi jika tidak mengikuti ibadah tersebut.

Partisipan yang tinggal di rumah menyatakan dirinya rutin beribadah di masjid dan di gereja, serta rutin mengikuti perkumpulan keagamaan. Sedangkan

satu partisipan yang lain menyatakan tidak memiliki ritual ibadah seperti yang umum dilakukan oleh orang yang beragama.

Lansia yang tinggal di panti maupun di rumah memiliki ritual berdoa yang mereka bisa lakukan kapan saja dan di mana saja. Dalam doa, partisipan menyatakan segala keinginan dan harapan mereka kepada Tuhan, serta mendoakan keluarga dan orang-orang yang mereka kasihi. Mereka yakin dengan berdoa Tuhan akan menjaga mereka dan melancarkan segala yang mereka kerjakan. Mereka juga mengatakan merasakan adanya rasa damai setelah mereka berdoa.

Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh Benson salah seorang pelopor penelitian doa bahwa doa yang dilakukan berulang-ulang (repetitive prayer) akan membawa berbagai perubahan fisiologis, seperti berkurangnya kecepatan detak jantung, menurunnya kecepatan nafas, menurunnya tekanan darah, melambatnya gelombang otak dan pengurangan menyeluruh kecepatan metabolisme. Kondisi ini disebut sebagai respon relaksasi (relaxation response) (34).

3. Interaksi Sosial

a. Hubungan dengan keluarga Semua partisipan, baik yang tinggal di rumah maupun di panti menyatakan memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya. Mereka yang tinggal di rumah merasa senang tinggal satu rumah bersama dengan keluarganya, sedangkan mereka yang di panti mengaku memiliki hubungan yang baik dengan keluarga mereka walaupun keluarganya jarang datang menjenguk ke panti.

Hubungan yang baik tersebut menimbulkan perasaan senang pada lansia serta membuat mereka merasa ada yang mengurus dan memenuhi kebutuhan dimasa tua mereka. Konteks ini sejalan dengan yang disebutkan oleh Bandiyah bahwa peran keluarga bagi lansia adalah menjaga dan merawat lansia, memberikan motivasi,

mengantisipasi perubahan ekonomi, serta mempertahankan status mental dan memfasilitasi kebutuhan spiritualitas lansia (35). Pemenuhan dukungan keluarga (family support) tersebut secara emosional menimbulkan perasaan yang bahagia pada lansia (36).

Bagi lansia yang tinggal di panti, mereka tidak tinggal bersama keluarganya. Keadaan ini mengakibatkan kurangnya perhatian keluarga pada lansia. Kesibukan adalah alasan utama bagi keluarga sehingga kurangnya

perhatian mereka kepada anggota keluarganya yang lansia. Namun, sebagaimana menurut Sarafino dukungan atau bantuan yang dibutuhkan lansia bisa diperoleh dari berbagai sumber, sehingga lansia yang tinggal di panti mendapatkan dukungan dari sesama teman di panti, pengurus panti, dokter maupun perawat yang ada di panti (37).

b. Hubungan dengan tetangga Selain menjalin hubungan yang baik dengan keluarga, semua partisipan yang tinggal di rumah menyatakan memiliki hubungan yang baik dengan tetangga mereka. Sedangkan, bagi lansia yang tinggal di panti tidak semua mengatakan memiliki relasi dengan tetangga di sekitar panti. Hal ini terjadi karena berbagai keterbatasan lansia, seperti tidak tahu jalan keluar panti karena lingkungan yang baru ataupun karena keterbatasan fisik yang susah untuk berjalan.

Bagi lansia yang tinggal di rumah, memiliki relasi yang baik dengan tetangga merupakan kekhasan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan. Mereka menyatakan mengenal semua tetangganya dari yang dekat sampai yang jauh. Mereka juga menyatakan bahwa kebersamaan dalam gotong royong pun masih sangat terasa, tetangga saling tolong-menolong satu sama lain. Hal ini sama dengan yang dikemukakan Darmojo bahwa di daerah pedesaan pergaulan antara lansia dilakukan secara teratur, mereka lebih sering mengunjungi atau dikunjungi, sedangkan di daerah perkotaan kegiatan ini jarang dilakukan (38).

Kebutuhan lansia yang telah disediakan di panti membuat lansia tidak perlu keluar panti untuk mencari kebutuhan mereka. Keseharian lansia yang dilakukan di dalam panti pun membuat mereka tidak mengenal lingkungan di luar panti. Selain itu, keterbatasan fisik mereka juga menghambat mereka untuk berinteraksi dengan lingkungan luar. Menurut Fitria (39) derajat kesehatan dan kemampuan fisik yang menurun akan mengakibatkan lansia secara perlahan menarik diri dari hubungan dengan masyarakat sekitar. Hal ini dapat menyebabkan interaksi sosial menurun.

c. Hubungan dengan sesama teman di panti Dalam berhubungan dengan sesama teman di panti, ada partisipan yang menyatakan memiliki hubungan yang baik, ada juga yang mengatakan tidak, bahkan ada yang menyatakan dirinya selalu merasa jengkel dengan orang-orang di panti.

Konteks ini sangat terkait dengan proses penyesuaian diri. Dalam proses penyesuaian diri sebagai akibat perpindahan tempat tinggal dari rumah ke panti memanglah tidak mudah. Tidak jarang situasi seperti itu akan menyebabkan munculnya masalah dalam hubungan interpersonal, seperti konflik. Subekti menyatakan bahwa masalah yang dirasakan lansia dapat berupa konflik dengan orang lain, tidak menyukai perilaku lansia lain, atau merasa dimusuhi orang (40). Konflik tersebut dapat menyebabkan tidak terjalinnya hubungan yang baik antar sesama lansia di panti. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang telah dilakukan Marwanti mengenai kondisi kehidupan lanjut usia di Panti Wredha Karitas dan Nazaret Bandung, bahwa hubungan sosial yang terjalin di panti kurang baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah latar belakang lansia yang beragam, sehingga dalam konteks ini dibutuhkan juga dukungan keluarga atau orang terdekat untuk menyelesaikan masalah tersebut (41). Meskipun demikian, secara ideal, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiti kebutuhan sosial merupakan kebutuhan lansia yang dapat mempengaruhi emosional lansia (42). Setiti menjelaskan bahwa lansia membutuhkan orang-orang dalam berinteraksi secara sosial. Mereka membutuhkan teman bicara, sering dikunjungi dan disapa serta silaturahmi dari keluarga dekat.

Dengan demikian, terdapat perbedaan interaksi sosial antara partisipan yang tinggal di panti maupun yang tinggal di rumah. Partisipan yang tinggal di rumah, memiliki hubungan dan emosional yang lebih baik dari pada partisipan yang tinggal di panti.

4. Konsep sehat sakit

a. Pengertian sehat sakit Semua partisipan, baik yang tinggal di panti maupun di rumah mengartikan bahwa sehat adalah keadaan dimana badan atau fisik mereka tidak merasakan sakit atau tidak merasakan adanya gangguan. Demikian juga dengan sakit, mereka mengartikan sakit adalah keadaan dimana tubuh mengalami perubahan, seperti tidak nafsu makan, tidur terus dan tidak bisa melakukan aktivitas atau bekerja.

Pemahaman mengenai sehat dan sakit yang dimiliki lansia masih sangat terbatas. Sehat dipandang sebagai keadaan tubuh yang kuat dan tidak lemah, sedangkan sakit dipandang sebagai keadaan yang tidak enak yang

dirasakan tubuh. Hal ini sama dengan yang dinyatakan Solita bahwa sakit adalah konsep psikologis yang menunjuk pada persaan, persepsi, atau pengalaman subyektif seseorang tentang ketidaksehatannya atau keadaan tubuh yang dirasa tidak enak (43).

b. Penurunan fungsi fisik Semua lansia yang tinggal di panti maupun di rumah menyatakan mengalami kemunduran fisik, misalnya dalam hal kualitas penglihatan. Namun demikian partisipan tetap bersyukur dan menerima keadaan fisik yang seperti itu.

Hal ini sama dengan yang dinyatakan Nugroho bahwa seseorang yang memasuki usia tua akan mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik seperti kulit yang mengendur, rambut yang memutih, gigi mulai ompong, pendengaran dan penglihatan yang kurang jelas, gerakan lambat dan postur tubuh yang tidak proporsional (44). Respon yang di alami lansia juga berbeda- beda. Beberapa menerima kenyataan penuaan namun, ada juga yang mengalami perasaan fungsi yang menurun pada dirinya. Hal serupa juga dikemukakan oleh Hurlock bahwa kemunduran fisik terjadi secara bertahap, dimana kondisi tersebut dapat menimbulkan stres pada sebagian lansia (45).

5. Kesejahteraan dan Spiritualitas

Semua partisipan dalam penelitian ini, baik yang tinggal di panti maupun di rumah menyatakan mereka mengetahui arti mengasihi. Mereka memahami kasih sebagai tindakan yang dilakukan walaupun orang lain tidak berbalik mengasihi mereka.

Sikap lansia tersebut, menunjukkan adanya spiritualitas yang baik. Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh Tischler yaitu spiritualitas sebagai suatu hal yang berhubungan dengan perilaku atau sikap tertentu dari seorang individu, menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih (46).

Partisipan dalam penelitian ini, baik yang tinggal di rumah maupun di panti memiliki harapan yang berbeda-beda di masa tuanya. Lansia yang tinggal di panti menginginkan anaknya datang menjemputnya pulang, sedangkan lansia yang tingal di rumah mengharapkan memiliki hidup sejahtera bersama keluarganya, namun ada pula yang menyatakan ingin segera menyelesaikan hidup atau meninggal.

Berdasarkan kondisi di atas, dapat dikatakan bahwa lansia memiliki harapan untuk bisa hidup bersama keluarganya, mendapatkan cinta dan kasih dari keluarga untuk menghadapi kesulitan hidup di masa akhir kehidupannya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Duggleby et al bahwa seseorang memiliki harapan yaitu hidup bersama keluarga dengan nyaman dan damai (47). Westburg mengingatkan bahwa harapan adalah salah satu sumber psikososial yang digunakan orang dewasa untuk mengatasi kesulitan hidup (48).

6. Kematian

a. Pengertian mengenai kematian Partisipan dalam penelitian ini baik yang tinggal di rumah maupun di panti, ada yang mengatakan bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak, ada yang mengatakan kematian itu terpisahnya jiwa dari raga, serta ada juga yang menyatakan kematian adalah jalan untuk ke surga.

Pemahaman tersebut sejalan dengan yang diungkapkan Chusairi (dalam Wijaya & Savitri) bahwa kematian dipandang sebagai sesuatu yang tak terelakkan dan dapat terjadi kapan saja, sehingga dapat menimbulkan kecemasan pada seseorang. Kematian menurut Zubair (dalam Wijaya & Savitri) juga dipahami sebagai saat terpisahnya jiwa dan raga (49). Raga merupakan kualitas kebendaan dan badan fisik yang diyakini akan musnah, sedangkan jiwa merupakan kualitas rohani yang pada saat kematian akan tetap abadi. Selain itu, pernyataan bahwa kematian diyakini sebagai cara untuk dekat dan bertemu Tuhan dan orang-orang yang dikasihi yang telah meninggal sebelumnya juga di ungkapkan oleh Ross dan Pollio (50). Menurut Adelina pandangan lansia tentang kematian mempengaruhi kesiapan lansia dan menghadapi kematian (16). Lansia yang memiliki iman dan kesadaran bahwa kematian akan membawa mereka kembali kepada Tuhan akan membuat mereka menerima kematian yang akan datang. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Snessby, Satchel, dan Good yang menyatakan bahwa lansia yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tuhan akan memiliki keberanian ketika berhadapan dengan kematian dan kesakitan (51).

b. Pengalaman kehilangan Selain akan menghadapi kematian diri sendiri, lansia juga kemungkinan akan menghadapi kematian pasangan, saudara kandung, teman dan individu lain yang penting dalam hidupnya (52). Dalam penelitian ini, lansia yang

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 5 SD Negeri Kesongo 01 Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Semester II Tahun

0 0 9

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 5 SD Negeri Kesongo 01 Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang S

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 5 SD Negeri Kesongo 01 Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 17

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA Melalui Model Cooperative Learning Tipe Numbered Heads Together (NHT) pada Siswa Kelas 4 SD Negeri Bergas Kidul 01

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA Melalui Model Cooperative Learning Tipe Numbered Heads Together (NHT) pada Siswa Kelas 4 SD Negeri Bergas Kidul 01 Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang Semes

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA Melalui Model Cooperative Learning Tipe Numbered Heads Together (NHT) pada Siswa Kelas 4 SD Negeri Bergas Kidul 01 Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang Semes

0 0 13

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA Melalui Model Cooperative Learning Tipe Numbered Heads Together (NHT) pada Siswa Kelas 4 SD Negeri Bergas Kidul 01

0 0 35

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA Melalui Model Cooperative Learning Tipe Numbered Heads Together (NHT) pada Siswa Kelas 4 SD Negeri Bergas Kidul 01 Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang Semes

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA Melalui Model Cooperative Learning Tipe Numbered Heads Together (NHT) pada Siswa Kelas 4 SD Negeri Bergas Kidul 01 Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang Semes

0 0 72

Kesehatan Spiritual Lanjut Usia Di Getasan Dan Panti Wredha Salib Putih Salatiga Tugas Akhir - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesehatan Spiritual Lanjut Usia di Getasan dan Panti Wredha Salib Putih Salatiga

1 1 40