KEKERASAN TERHADAP TOKOH UTAMA PEREMPUAN DALAM NOVEL KINANTI KARYA MARGARETH WIDHY PRATIWI

KEKERASAN TERHADAP TOKOH UTAMA PEREMPUAN DALAM NOVEL KINANTI KARYA MARGARETH WIDHY PRATIWI

Abuse to Woman Main Character in Kinanti Novel by Margareth Widhy Pratiwi

Yuli Kurniati Werdiningsih

Universitas PGRI Semarang Jalan Sidodadi Timur No. 24, Semarang, Indonesia Telepon (024) 8316377, Faksimile (024) 8448217, Pos-­‐el: yulikwerdi@gmail.com

(Naskah Diterima Tanggal 5 Desember 2015—Direvisi Akhir Tanggal 25 April 2016—Disetujui Tanggal 25 April 2016)

Abstrak: Tujuan penulisan makalah ini adalah mendeskripsikan kekerasan yang dialami oleh tokoh utama perempuan dalam novel Kinanti karya Margareth Widhy Pratiwi. Sebagai pengarang perempuan, Margareth memiliki sensitivitas tinggi dalam menggambarkan perasaan seorang perempuan yang mengalami kekerasan. Metode yang digunakan untuk mengungkap kekerasan dalam novel ini adalah deskriptif kualitatif. Data penelitian berupa kata, frasa, kalimat, dan wacana yang memuat unsur kekerasan terhadap perempuan. Teori yang digunakan adalah feminisme dengan fokus pada kekerasan terhadap perempuan dan upaya perempuan menghadapi kekerasan tersebut. Hasil penelitian ini adalah terdapat tiga jenis kekerasan yang dialami oleh tokoh utama perempuan dalam novel Kinanti, yakni kekerasan psikologis; fisik; dan seksual. Pelaku kekerasan terhadap perempuan tidak hanya laki-­‐laki, tetapi juga perempuan. Kelemahan secara struktur biologis yang dimiliki oleh perempuan dimanfaatkan oleh para pelaku kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan dalam novel Kinanti merepresentasikan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat Jawa. Upaya Kinanti menghadapi kekerasan merupakan bagian dari kuasa perempuan Jawa dalam mempertahankan hidupnya.

Kata-­‐KataKunci: kekerasan, perempuan, novel

Abstract: The aims of this study is describing the abused female main character in Margareth Widhy’s novel, Kinanti. As a female writer, Margareth uses her high sensitivity to express the feeling of an abused female main character. This descriptive qualitative study used words, phrases, sen-­‐ tences, and discourse to express the abuse in the novel. This paper used a feminist theory focusing on violence towards women. The result of the study shows that there are three kinds of abuse suffered by the main female charachter in Kinanti. The doers of the abuse towards women are not only men, but also women. The weakness of female biological structure has become the benefit for the abusers. The abuse toward women in Kinanti represents the abuse toward women happening in Javanese society.

Key Words: abuse, women, novel

PENDAHULUAN

segala bentuk persoalan yang dihadapi Posisi perempuan di dalam masyarakat

dalam kehidupan bermasyarakat, terma-­‐ Jawa tidak terlepas dari konstruksi sosial

suk menjadi objek kekerasan. Hal ini se-­‐ dan budaya Jawa yang dipayungi oleh

jalan dengan pendapat Sungkowati konsep paternalistik. Hal ini berimplikasi

(2012) bahwa konstruksi sosial tersebut pada kesan inferioritas perempuan. Sa-­‐

ditanamkan melalui berbagai institusi lah satu bentuk inferioritas perempuan

menjadi keadaan yang seolah-­‐olah kod-­‐ adalah ketika dirinya menjadi objek dari

rati. Akibatnya, perempuan tidak hanya

Kekerasan terhadap Tokoh Utama … (Yuli Kurniati Werdiningsih) terbatas ruang geraknya dalam bereks-­‐

presi, tetapi juga seringkali menjadi korban kekerasan, baik di dalam rumah tangga maupun dalam lingkup yang le-­‐ bih luas (hlm. 103). Menurut Abdullah (2004) “kekerasan terhadap perempuan merupakan social construct yang meli-­‐ batkan negara, pasar (swasta), dan mas-­‐ yarakat. Kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam ranah domestik dan publik (hlm. 1-­‐10).

Pada dasarnya, kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dilakukan oleh

laki-­‐laki, tetapi dilakukan pula oleh pe-­‐ rempuan. Kekerasan perempuan terha-­‐ dap perempuan lain disebabkan adanya konflik antarperempuan. Faktor pence-­‐ tus konflik antarperempuan ialah subor-­‐ dinasi yang dilakukan perempuan terha-­‐ dap perempuan lain. Hal ini sejalan de-­‐ ngan Madden (via Pembayun, 2009, hlm. 36-­‐37), yang menyatakan dalam diri pe-­‐ rempuan terjadi konflik yang kritis de-­‐ ngan sesama perempuan. Konflik ini ter-­‐ jadi karena perempuan seringkali mera-­‐ sa belum sepenuhnya menganggap pe-­‐ rempuan sebagai makhluk yang dapat memberikan rasa aman di lingkunganya (privat dan publik).

Kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh laki-­‐laki maupun perempuan merupakan bagian dari ke-­‐ hidupan sosial masyarakat. Kehidupan masyarakat tidak hanya dapat dilihat se-­‐ cara langsung, tetapi juga tecermin da-­‐ lam karya sastra. Hal ini sejalan dengan pendapat Watt (via Faruk, 2010, hlm. 5), bahwa sastra sebagai cermin masyara-­‐ kat. Berdasarkan hal tersebut, dapat di-­‐ asumsikan bahwa kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam masyara-­‐ kat juga dapat ditemukan dalam karya sastra, termasuk novel Jawa. Oleh karena itu, pembahasan mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam novel Jawa penting dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang kekerasan terhadap

perempuan yang terjadi di dalam kehi-­‐ dupan masyarakat Jawa.

Novel Jawa kebanyakan berkisah tentang kehidupan keluarga, perkawin-­‐ an, perbedaan status sosial, mobilitas so-­‐ sial, dan perubahan nilai (Quinn, 1992, hlm. 197). Tema-­‐tema tersebut merupa-­‐ kan refleksi dari kondisi sosial masyara-­‐ kat Jawa. Seiring perkembangan kondisi sosial masyarakat, berkembang pula te-­‐ ma-­‐tema novel Jawa menjadi novel-­‐no-­‐ vel modernis. Salah satu novel Jawa yang menceritakan kehidupan keluarga dan termasuk dalam novel modernis adalah Kinanti karya Margareth Widhy Pratiwi.

Margareth Widhy Pratiwi (selan-­‐ jutnya disebut Pratiwi), merupakan sa-­‐ lah satu perempuan pengarang yang produktif. Menurut Suwondo, et al. (2006), dunia kepengarangan diterjuni Pratiwi sejak tahun 1981 saat duduk di kelas III SMA. Selain produktif, Pratiwi juga memperoleh berbagai penghargaan sastra, di antaranya adalah sebagai juara

I menulis cerkak dalam rangka Hari Pen-­‐ didikan Nasional tahun 1982 yang diada-­‐ kan oleh Balai Bahasa dan P&K Daerah Istimewa Yogyakarta; pada tahun 1982, cerpennya termasuk 10 besar karya ter-­‐ baik lomba penulisan dalam rangka Lingkungan Hidup yang diadakan oleh Harian Berita Nasional Yogyakarta; ta-­‐ hun 1983 sebagai juara harapan I dari Keluarga Penulis Semarang (KPS); tahun 1984 mendapat juara II dari Balai Pene-­‐ litian Yogyakarta dan P&K Daerah Isti-­‐ mewa Yogyakarta; penghargaan Sastra Dasa Warsa Sanggar Triwida Tulung-­‐ agung pada tahun 1990 (Periode I Ta-­‐ hun 1985-­‐1990); penghargaan lomba Cipta Cerpen dan Puisi yang diselengga-­‐ rakan oleh Taman Budaya Yogyakarta pada tahun 1991; juara II dari Sanggar Sastra Jawa Timur “Triwida” tahun 1995; dan novel Kinanti juara I lomba penulisan Novel Sastra Jawa dalam rang-­‐ ka Kongres Bahasa Jawa III yang diada-­‐ kan oleh Taman Budaya Yogyakarta

ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 102-­‐115 pada tahun 2001 (hlm. 157-­‐158). Hal

digabungkan menjadi 15 sekuen. Meski-­‐ tersebut membuktikan bahwa karya-­‐

pun merupakan hasil gabungan, 15 se-­‐ karya Pratiwi berkualitas, salah satunya

kuen itu tidak mengalami perubahan adalah novel Kinanti.

komposisi cerita. Kelima belas sekuen itu Novel Kinanti bersetting di Yogya-­‐

dijadikan sebagai dasar menulis prosa di karta dengan tokoh utama seorang pe-­‐

tingkat SMP. Sebagai dasar simplifikasi rempuan yang diberi nama sama dengan

dalam menulis prosa baru melalui 15 se-­‐ judul novel, yakni Kinanti. Novel Kinanti

kuen itu, siswa dapat menggunakan menceritakan seorang perempuan dan

komponen karakter, alur, setting, editing, kekerasan yang dialaminya. Masalah

dan revisi.

yang menjadi fokus penelitian ini adalah Berdasarkan tinjauan terhadap pe-­‐ bagaimanakah kekerasan yang dialami

nelitian novel Kinanti sebelumnya terse-­‐ tokoh utama perempuan dalam novel Ki-­‐

but, diketahui bahwa kekerasan dalam nanti? Tujuan penelitian ini adalah untuk

novel ini sepengetahuan penulis belum mengungkap dan mendeskripsikan ke-­‐

pernah diteliti. Oleh karena itu, artikel ini kerasan yang dialami tokoh utama pe-­‐

diharapkan dapat memperkaya dan rempuan dalam novel Kinanti.

memperluas penelitian terhadap novel Novel Kinanti pernah diteliti oleh

Kinanti.

Hasanah (2013) dengan judul “Analisis Untuk menjawab masalah kekeras-­‐ Struktur Objektif Novel Kinanti Karya

an terhadap tokoh utama perempuan ini, Margareth Widhy Pratiwi”. Penelitian ini

penulis menggunakan teori feminisme hanya membahas struktur objektif novel

radikal. Hal ini sejalan dengan pendapat Kinanti yang terdiri atas tema, tokoh,

Strinati (2010) yang menyatakan bahwa alur, latar, gaya bahasa, serta nilai budi

feminisme radikal memandang kepenti-­‐ pekerti. Novel Kinanti bertemakan keti-­‐

ngan laki-­‐laki maupun perempuan pada dakharmonisan

dasarnya berbeda. Feminisme radikal Sujarwo. Tokoh utama dalam novel

dalam

keluarga

menganggap patriarkat maupun kontrol Kinanti adalah Kinanti. Tokoh bawahan-­‐

dan represi kaum perempuan oleh laki-­‐ nya yaitu Yulia, Sujarwo, Sumpana, Kelik,

laki sebagai wujud historis paling krusial Lik Semi, Boy, Pak Aminoto, Bu Aminoto,

dari pembagian sosial maupun bentuk Hapsari, Anjani, Widarini, dan Dhik

penindasan, serta memperdebatkan sua-­‐ Imam. Latar novel Kinanti terbagi dalam

tu strategi pemisahan kaum perempuan tiga jenis, yakni latar tempat, waktu, dan

(hlm. 274). Feminisme radikal berang-­‐ sosial dengan sudut pandang orang per-­‐

gapan bahwa faktor utama yang menjadi tama. Gaya bahasa simile, personifikasi,

penyebab pembagian kerja secara sek-­‐ metafora, ironi, dan hiperbola merupa-­‐

sual adalah sistem patriarkat yang laki-­‐ kan gaya bahasa yang digunakan dalam

laki mengendalikan perempuan dengan novel Kinanti. Nilai budi pekerti yang ter-­‐

kekuasaan (Sugihastuti dan Sastriyani, kandung dalam novel Kinanti antara lain

2007, hlm. 66). Sementara itu, feminisme penyabar, pemaaf, pemberani, egois, dan

liberal memandang manusia dilahirkan tidak bertanggung jawab.

sama dan mempunyai hak yang sama Penelitian lainnya dilakukan oleh

(Sofia, 2009, hlm. 167). Menurut Wolf via Setyaningsih (2013) dengan judul “Sim-­‐

Sofia (2009) “feminisme adalah sebuah plifikasi Novel Kinanti Karya Margareth

teori yang mengungkapkan harga diri Widhy Pratiwi sebagai Bahan Ajar Mem-­‐

pribadi dan harga diri semua perem-­‐ baca Teks Sastra di SMP”. Penelitian itu

puan” (hlm. 13). Secara sederhana, kritik menghasilkan temuan ada 40 sekuen da-­‐

sastra feminis berarti pengkritik me-­‐ lam struktur naratif novel Kinanti yang

mandang sastra dengan kesadaran

Kekerasan terhadap Tokoh Utama … (Yuli Kurniati Werdiningsih) khusus, kesadaran bahwa ada jenis kela-­‐

Sumber kelemahan perempuan min yang banyak berhubungan dengan

adalah pada struktur biologis badannya budaya,

(Sugihastuti dan Sastriyani, 2007, hlm. (Sugihastuti, 2005, hlm. 21). Pembicara-­‐

66). Kelemahan-­‐kelemahan perempuan an mengenai tokoh dalam novel khusus-­‐

tersebut acapkali menimbulkan dampak nya dalam kritik sastra feminis dituntut

negatif pada perempuan. Berbagai dam-­‐ melibatkan dua pihak yang beroposisi,

pak negatif yang dialami oleh para pe-­‐ yakni laki-­‐laki dan perempuan.

rempuan di antaranya adalah kekerasan. Kritik sastra feminis menawarkan

Kekerasan yang dialami perempuan da-­‐ pandangan bahwa para pembaca perem-­‐

pat berupa kekerasan fisik, psikologis, puan membawa persepsi, pengertian,

kekerasan seksual, dan kekerasan eko-­‐ dan dugaan yang berbeda pada penga-­‐

nomi. Pada subjudul selanjutnya, diurai-­‐ laman membaca karya sastra apabila di-­‐

kan kekerasan-­‐kekerasan yang dialami bandingkan dengan laki-­‐laki. Dalam arti-­‐

oleh Kinanti dan upaya Kinanti sebagai kel ini, penulis berposisi sebagai pemba-­‐

perempuan keluar dari berbagai perso-­‐

ca perempuan yang berusaha membaca alan yang dihadapinya. dengan kepekaan pembaca perempuan. Hal ini sejalan dengan pendapat

METODE

Sugihastuti (2005) bahwa membaca se-­‐ Pembicaraan terhadap novel Kinanti di-­‐ bagai perempuan berarti membaca de-­‐

batasi pada tokoh utama perempuan ngan kesadaran membongkar praduga

yang mengalami kekerasan dari lingku-­‐ dan ideologi kekuasaan laki-­‐laki yang an-­‐

ngannya. Guna melengkapi data dalam dosentris dan patriarkat, yang sampai

kritik sastra feminis, pembicaraan me-­‐ sekarang masih menguasai penulisan

ngenai tokoh perempuan tidak hanya dan pembacaan sastra (hlm. 22). Perbe-­‐

membutuhkan data berupa kata, kali-­‐ daaan jenis kelamin pada penyair, pem-­‐

mat, dan wacana yang memuat oposisi baca, karya, dan kenyataan serta faktor

perempuan dengan laki-­‐laki, tetapi juga luar itulah yang memengaruhi situasi

yang memuat mengenai perlakuan to-­‐ sistem komunikasi sastra. Pembaca pe-­‐

koh perempuan lain terhadap tokoh uta-­‐ rempuan dianggap berpengaruh dalam

ma perempuan dalam cerita. pemahamannya atas karya sastra. Jenis

Metode yang digunakan dalam pe-­‐ kelamin dipertimbangkan dalam hal ini.

nelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pertimbangan jenis kelamin yang mela-­‐

Hal ini didasari oleh data penelitian yang hirkan sikap “membaca sebagai perem-­‐

bersifat kualitatif, yakni berupa kata; fra-­‐ puan” dicakup dalam kritik sastra femi-­‐

se; kalimat; dan paragraf yang memuat nis (Sugihastuti, 2005, hlm. 23). Para

informasi mengenai kekerasan terhadap pembaca perempuan membawa persep-­‐

Kinanti dan upayanya untuk keluar dari si, pengertian, dan dugaan yang berbeda

belenggu kekerasan tersebut. Data ber-­‐ pada pengalaman membaca karya sastra

asal dari sumber data yang berupa novel apabila dibandingkan dengan laki-­‐laki

Kinanti yang diterbitkan oleh Taman Bu-­‐ (Sugihastuti dan Suharto, 2010, hlm. 6).

daya Provinsi Yogyakarta. Data dikum-­‐ Hal ini disebabkan pembaca perempuan

pulkan dengan metode pustaka melalui memiliki sensitivitas yang berbeda de-­‐

teknik catat dan selanjutnya dipilah (di-­‐ ngan pembaca laki-­‐laki, terutama dalam

klasifikasi). Setelah data terkumpul, di-­‐ berbagai hal yang berkaitan dengan pe-­‐

identifikasi kemudian dianalisis. Metode ristiwa-­‐peristiwa yang dialami oleh to-­‐

analisis data dengan teknik trianggulasi, koh-­‐tokoh perempuan dalam karya sas-­‐

yakni melakukan interpretasi; reduksi tra (novel).

data; dan pengambilan simpulan dengan

ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 102-­‐115 tujuan dapat mendeskripsikan lebih de-­‐

tail dan jelas mengenai fenomena femi-­‐ nisme dalam karya sastra khususnya berkait dengan kekerasan terhadap to-­‐ koh perempuan. Oleh karena itu, dalam analisis data, konsep-­‐konsep dalam teori feminisme tidak ditinggalkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menghasilkan temuan ada-­‐ nya tiga bentuk kekerasan yang dialami oleh Kinanti, yakni kekerasan psikologis; fisik; dan seksual. Ketiga bentuk kekeras-­‐ an tersebut terjadi dalam ranah domes-­‐ tik dan publik. Motif para pelaku keke-­‐ rasan terhadap Kinanti beragam; motif balas dendam; ekonomi; dan nafsu. Ada-­‐ pun pelaku kekerasan terhadap Kinanti adalah tokoh laki-­‐laki dan perempuan.

Kekerasan Psikologis

terhadap

Kinanti

Kekerasan psikologis mencakup berteri-­‐ ak-­‐teriak, menyumpahi, mengancam, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntit, dan memata-­‐matai, dan tin-­‐ dakan-­‐tindakan lain yang menimbulkan rasa takut, termasuk yang diarahkan ke-­‐ pada orang-­‐orang dekat korban, misal-­‐ nya suami; anak; keluarga; dan teman dekat (Poerwandari, 2000, hlm. 11). To-­‐ koh utama perempuan, yakni Kinanti, mengalami beberapa kekerasan psikolo-­‐ gis yang berbeda. Kekerasan psikologis yang dialami oleh Kinanti dilakukan oleh laki-­‐laki dan perempuan dalam area do-­‐ mestik dan publik. “Wangun, anak karo mbokne padha wae.” Anjani kumecap se-­‐ ngak, banjur lunga saka papane (Pratiwi, 2001. hlm. 83). ‘”Pantas, anak dan ibu-­‐ nya sama saja.” Anjani berkata sengak, lantas pergi’.

Anjani melakukan kekerasan psiko-­‐ logis secara verbal dengan menghina dan melecehkan Kinanti. Pelecehan dila-­‐ kukan di dalam rumah. Anjani menya-­‐ makan Kinanti dengan ibunya yang man-­‐ tan perempuan penghibur. Hal ini

menunjukkan Anjani tidak menghargai Kinanti. Cara pengucapan pelaku yang sengak (menusuk hati) mendatangkan efek perasaan tersinggung/sakit hati se-­‐ hingga korban tidak sanggup menelan nasi yang ada di mulutnya. Kekerasan ini terjadi di area domestik karena dilaku-­‐ kan oleh Anjani yang merupakan sauda-­‐ ra tiri Kinanti.

Selain itu, Kinanti juga menjadi kor-­‐ ban kekerasan psikologis Bu Aminoto, se-­‐ perti berikut. “Menika larenipun Yulia ta?” Bu Aminoto nudingi aku. “Kajengipun ngertos trekahipun perempuan bejat me-­‐ nika.” (Pratiwi, 2001, hlm. 158). “Ini anak Yulia kan?” Bu Aminoto menunjuk aku. “Biarlah dia tahu tingkah laku perempu-­‐ an bejat itu”. Kekerasan psikologis yang dialami oleh Kinanti berupa teriakan, an-­‐ caman, dan tindakan yang menimbulkan rasa takut. Motif pelaku adalah balas den-­‐ dam atas tindakan tidak baik ibu kan-­‐ dung Kinanti. Tindakan berkacak ping-­‐ gang Bu Aminoto bertujuan untuk meng-­‐ ancam Kinanti supaya memberitahukan keberadaan Yulia (ibu korban). Penye-­‐ butan Yulia sebagai perempuan bejat oleh pelaku di depan Kinanti, tidak hanya bertujuan untuk menunjukkan perilaku sang ibu, tetapi juga menghina korban.

”Lancang lambemu!” panyentake.

“Aja sapenakmu kowe? He, anake Yulia, saiki kandhakna ana ngendi Ibu-­‐ mu ndhelik?” Wiwit dak ngerteni apa karepe Bu Aminoto iki nyulik. Dheweke bakal nyan-­‐ dhera aku kanggo bisa nemokake ibuku. Apa bisa? “Penak banget ibumu ming-­‐ gat, ninggal tanggung jawab. Dhuwit

satus yuta iku akeh, nek ora bisa bali ning tanganku, nyawamu sing kang-­‐

go ijol aku ora sabar maneh” (Pratiwi, 2001, hlm. 185).

Terjemahan :

“Lancang mulutmu! bentaknya. Jangan seenaknya kamu? He, anaknya Yulia,

Kekerasan terhadap Tokoh Utama … (Yuli Kurniati Werdiningsih)

sekarang katakan di mana Ibumu ber-­‐ sembunyi” “Mulai aku pahami apa yang menjadi tujuan Bu Aminoto menculikku. Dia menjadikan aku sebagai sandera supa-­‐ ya bisa menemukan Ibuku. Apakah bi-­‐ sa? Enak sekali Ibumu lari dari tang-­‐ gung jawab. Uang seratus juta itu ba-­‐ nyak, jika tidak bisa mengembalikan ke tanganku, nyawamu yang jadi gantinya aku sudah tidak sabar lagi”

Ancaman dan bentakan yang dila-­‐ kukan oleh Bu Aminoto dikategorikan sebagai kekerasan psikologis yang terja-­‐ di dalam ranah publik. Kekerasan psiko-­‐ logis yang berupa ancaman dilakukan berkali-­‐kali oleh Bu Aminoto terhadap Kinanti. Ancaman disebabkan ibu kan-­‐ dung Kinanti berhutang kepada Bu Aminoto sebanyak seratus juta. Bu Aminoto mengancam akan menjadikan nyawa Kinanti sebagai taruhannya jika uangnya tidak kembali. Hal ini menun-­‐ jukkan bahwa Kinanti dijadikan sebagai objek tukar dalam kasus yang dilakukan oleh ibu kandungnya. Dalam konteks ini Kinanti sebagai perempuan tidak dipan-­‐ dang sebagai sesama manusia yang me-­‐ miliki hak hidup yang sama. Akan tetapi, justru dijadikan sebagai alat tukar, di-­‐ anggap tidak memiliki kuasa atas diri dan tubuhnya sehingga dimanfaatkan oleh Bu Aminoto sebagai umpan.

Selain kekerasan dari tokoh-­‐tokoh perempuan lain dalam novel, Kinanti ju-­‐

ga mengalami kekerasan dari tokoh laki-­‐ laki, seperti pada kutipan berikut. “Mbe-­‐ ngok sepisan meneh, nek njaluk dakdu-­‐ gang,” kandhane karo methentheng sa-­‐ ngar. “Aja kasar-­‐kasar.” Ana wong lanang liya mlebu. (Pratiwi, 2001, hlm. 188). “Teriak sekali lagi, kalau minta aku ten-­‐ dang, katanya sambil berkacak pinggang mengerikan. Jangan kasar-­‐kasar. Ada se-­‐ orang laki-­‐laki lain masuk.” Tokoh laki-­‐ laki tersebut menjadi agen dominasi maskulin dan konsep patriarkat yang di-­‐ miliki oleh masyarakat Jawa dengan

memanfaatkan kelemahan Kinanti seba-­‐ gai perempuan. Gambaran mengenai to-­‐ koh laki-­‐laki yang kuat, kasar, dan sangar menjadi bagian dari pandangan masya-­‐ rakat Jawa terhadap dominasi maskulin. Laki-­‐laki memandang perempuan seba-­‐ gai sosok yang tidak berdaya, penakut dan penurut. Bersumber dari pandangan tersebut, laki-­‐laki mengira dengan ben-­‐ takan dan gertakan perempuan akan ke-­‐ takutan dan tidak dapat melakukan apa pun. Kekerasan psikologis yang dialami oleh Kinanti terjadi di ranah domestik dan publik. Dalam ranah domestik keke-­‐ rasan psikologis terhadap Kinanti dila-­‐ kukan oleh Anjani yang merupakan sau-­‐ dara tirinya, sedangkan dalam ranah publik, kekerasan psikologis dilakukan oleh Bu Aminoto dan para penculik yang tidak memiliki hubungan personal de-­‐ ngan dirinya.

Kekerasan Fisik terhadap Kinanti

Dimensi kekerasan fisik mencakup me-­‐ mukul, menampar, mencekik, menen-­‐ dang, melempar barang ke tubuh kor-­‐ ban, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau alat/senjata, dan membu-­‐ nuh (Poerwandari, 2000, hlm. 11). Ke-­‐ kerasan fisik yang dialami oleh Kinanti tidak hanya dilakukan oleh tokoh laki-­‐la-­‐ ki, tetapi dilakukan pula oleh tokoh pe-­‐ rempuan. Para pelaku kekerasan memi-­‐ liki motif yang beragam. Berbagai keke-­‐ rasan fisik yang dialami oleh Kinanti da-­‐ pat dilihat pada kutipan berikut. Ora nyadhari apa-­‐apa, nalika mobil iku mbu-­‐ kak lawange lan ana tangan kuat kang nyeret aku mlebu (Pratiwi, 2001, hlm. 183). “Tidak sadar terhadap apa yang terjadi, ketika pintu mobil tersebut ter-­‐ buka dan ada tangan yang kuat menye-­‐ retku masuk.” Kekerasan fisik berupa penyeretan tersebut dialami Kinanti ke-­‐ tika sedang menunggu bus ke sekolah. Kekerasan fisik terhadap Kinanti yang dilakukan oleh lawan jenis (laki-­‐laki) ti-­‐ dak hanya berlangsung satu kali.

ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 102-­‐115 Wusana mobil iku mandheg. Tetep ora

Nalika dadakan mripatku ditutup nga-­‐ ana sing omong. Sing dakrungu mung nggo kain lan tangan ditlikung, aku wi-­‐

lawang dibukak, lan sing dak rasakake wit bisa nyadhari apa sing dumadi. Seca-­‐

sabanjure aku diseret isih tetep jroning ra reflex aku mbengok lan gedrung-­‐ged-­‐

kahanan tangan ditlikung lan mripat di-­‐ rug. Nanging tangan prakosa iku luwih

tutup. Semono uga tutukku disumpel dhisik nekep tutukku lan mbungkem

gombal (Pratiwi, 2001, hlm. 184). nganggo gombal uga. Awakku dijorog-­‐ ake lan aku kelangan keseimbangan, ti-­‐

Terjemahan :

ba ing jogan mobil (Pratiwi, 2001, hlm. 183).

“Sudah beberapa lama mobil berputar-­‐ putar, sampai-­‐sampai badanku sakit.

Terjemahan :

Akhirnya mobil itu berhenti. Tetap ti-­‐ dak ada yang bercakap-­‐cakap. Yang ku

“Ketika mendadak mataku ditutup de-­‐ dengar hanya suara pintu dibuka, dan ngan kain dan tanganku ditarik kebela-­‐

yang kurasakan selanjutnya adalah aku kang dengan kasar, aku mulai bisa me-­‐

diseret masih dalam kondisi tangan di-­‐ nyadari apa yang sedang terjadi. Secara

ikat dan mata ditutup. Demikian pula refleks aku berteriak dan meronta-­‐ron-­‐

mulutku disumpal dengan kain.” ta. Tetapi tangan kuat itu lebih dahulu berhasil menutup mulutku dan mem-­‐

Selain penculikan, Kinanti juga me-­‐

bungkamku menggunakan kain. Badan-­‐

ngalami kekerasan fisik berupa tampar-­‐

ku didorong dan aku kehilangan kese-­‐

an dan tendangan: Wanita tuwa nanging

imbangan, jatuh dilantai mobil.”

isih bregas iku malah nendhang sikilku. Sakala lambeku ditapuk. ”Lancang lam-­‐

Pada kutipan tersebut tampak bah-­‐ bemu!” panyentake (Pratiwi, 2001, hlm. wa Kinanti mengalami kekerasan fisik

186). ‘Wanita tua yang masih kuat itu dengan dibungkam, ditutup matanya, di-­‐

malah menendang kakiku. “Seketika bi-­‐ ikat kaki dan tangannya, dibekap mulut-­‐

birku ditampar. Lancang mulutmu! ben-­‐ nya, serta didorong badannya sehingga

taknya.’ Kekerasan fisik tersebut dilaku-­‐ terjatuh di lantai mobil. Kekerasan fisik

kan oleh Bu Aminoto. Kinanti ditampar berikutnya yang dialami Kinanti adalah

karena dianggap lancang oleh Bu penculikan yang dilakukan oleh bebera-­‐

Aminoto.

pa orang dan Kinanti menyadarinya se-­‐ Tokoh penculik juga melakukan ke-­‐ telah diikat tangan dan kakinya serta di-­‐

kerasan fisik lain terhadap Kinanti beru-­‐ bekap. Dalam penculikan tersebut,

pa menarik tangan dan mendorong seca-­‐ Kinanti juga mengalami kekerasan fisik

ra kasar sehingga membuat Kinanti ja-­‐ yang lain berupa penyekapan di dalam

tuh terjerembab. Kekerasan tersebut di-­‐ mobil. Selama penyekapan, Kinanti di-­‐

buktikan dengan kutipan berikut. Aku ikat tangannya dan ditutup matanya.

ngrangsang arep metu, nanging tangan-­‐ Kinanti dibawa berkeliling dan ditutup

ku disaut lan dijorogake mlebu. Aku tiba matanya dengan tujuan membuat

krengkangan, nanging sing njorogake ora Kinanti tidak mengetahui keberadaan-­‐

rumangsa welas (Pratiwi, 2001, hlm. nya. Kekerasan yang dialami Kinanti pa-­‐

188). ‘Aku berniat untuk keluar, tetapi

da waktu yang bersamaan adalah diseret tanganku ditarik dan didorong masuk. dalam keadaan mata masih ditutup dan

Aku jatuh terhempas tetapi yang mendo-­‐ tangan diikat.

rongku tidak merasa kasihan.’ Seluruh kekerasan fisik yang di-­‐

Wus sawetara mobil mubeng-­‐mubeng

alami oleh Kinanti tersebut terjadi di

suwe banget, nganti awakku lara kebeh.

area publik karena pelakunya tidak

Kekerasan terhadap Tokoh Utama … (Yuli Kurniati Werdiningsih) memiliki hubungan secara personal de-­‐

ngan korban. Pelaku kekerasan terdiri atas tokoh laki-­‐laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan ti-­‐ dak hanya dapat menjadi korban laki-­‐la-­‐ ki, tetapi juga dapat menjadi korban se-­‐ sama perempuan. Tokoh laki-­‐laki yang menjadi pelaku kekerasan adalah para penculik. Keterlibatan tokoh laki-­‐laki da-­‐ lam peristiwa kekerasan terhadap Kinanti menunjukkan adanya dominasi maskulin dalam novel. Kelemahan struk-­‐ tur biologis perempuan (dalam hal ini Kinanti) menyebabkan dirinya jadi objek kekerasan fisik yang dilakukan oleh lawan jenis. Secara fisik, Kinanti menjadi korban kekerasan lawan jenisnya karena kelemahan struktur biologisnya sebagai perempuan. Efek dari kekerasan fisik tersebut adalah korban mengalami sakit secara fisik.

Kekerasan Seksual terhadap Kinanti

Selain mengalami berbagai kekerasan fi-­‐ sik, Kinanti juga mengalami kekerasan seksual hingga nyaris menjadi korban perkosaan. Kekerasan seksual dapat be-­‐ rupa pemaksaan hubungan seksual, pe-­‐ lecehan, dan perkosaan (Katjasungkana, 2001, hlm. 153). Kekerasan seksual meli-­‐ puti tindakan yang mengarah pada ajak-­‐ an/desakan seksual seperti menyentuh; meraba; atau mencium. Selain itu, yang termasuk dalam kekerasan seksual ada-­‐ lah melakukan tindakan-­‐tindakan yang tidak dikehendaki korban, seperti me-­‐ maksa korban untuk menonton produk pornografi, gurauan-­‐gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-­‐ ucapan yang merendahkan dan mele-­‐ cehkan dengan mengarah pada aspek je-­‐ nis kelamin atau seks korban, memaksa berhubungan seks dengan kekerasan fi-­‐ sik maupun tidak, memaksa korban me-­‐ lakukan aktivitas-­‐aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, dan porno-­‐ grafi dengan dampak yang sangat luas bagi perempuan (Poerwandari, 2000,

hlm. 11). Kekerasan seksual yang di-­‐ alami Kinanti terjadi bersamaan dengan kekerasan fisik, yakni saat penculikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Aja kasar-­‐kasar.” Ana wong lanang liya mlebu. Alon alon nyedhaki papan ndhe-­‐ prokku. “Cah ayu kaya ngene kok dika-­‐ sari. Eman-­‐eman. Sapa jenengmu, Cah ayu?” “Auuw!” Aku ngipatke tangan kang arep nyenggol janggutku. Pranyata wong lo-­‐ ro iku padha wae. “Hahahaha...” Dheweke ngguyu nggilani karo nyawang badanku sakojur kaya arep nguntal-­‐nguntala (Pratiwi, 2001, hlm. 189).

Terjemahan :

Jangan terlalu kasar. Ada laki-­‐laki lain yang masuk. Pelan-­‐pelan mendekati tempatku terduduk. Perempuan secan-­‐ tik ini koq diperlakukan kasar. Sayang, kan. Siapa namamu, cah ayu? Auuw! Aku menepis tangan yang akan me-­‐ nyentuh daguku. Ternyata kedua orang itu sama saja. Hahaahah.. Dia tertawa mengerikan sambil memandangi seku-­‐ jur tubuhku seperti akan melahapnya.

Dari kutipan tersebut tergambar bagaimana Kinanti mengalami kekeras-­‐ an seksual berupa pelecehan seksual yang tampak pada saat seorang laki-­‐laki memegang dagu Kinanti dan kemudian memandangi seluruh tubuhnya seakan-­‐ akan hendak melahapnya. Sebagai se-­‐ orang perempuan, Kinanti merasa ter-­‐ hina dengan perlakuan kedua laki-­‐laki tersebut. Oleh karena itu, tindakan ke-­‐ dua laki-­‐laki tersebut dapat dikatego-­‐ rikan sebagai pelecehan seksual. Keke-­‐ rasan seksual selanjutnya adalah Kinanti dijadikan sebagai objek kepuasan sek-­‐ sual laki-­‐laki, seperti tampak pada kutip-­‐ an berikut.

ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 102-­‐115

Awakku dadi mrinding, lan kringet anyep dakrasakake klebus ing epek-­‐epek tanganku. Sing mau galak melu ngguyu. Wong loro banjur klesak-­‐klesik rembug-­‐ an. Awakku saya krasa gumeter nalika nyoba ngira apa sing lagi padha direm-­‐ bug. Nalika sing sijine sedhela-­‐sedhela nyawang, kaya-­‐kaya uripku tanpa rasa. Atiku wus ora ana. (Pratiwi, 2001, hlm. 189).

Terjemahan :

Badanku menjadi merinding, dan keri-­‐ ngat dingin kurasakan membasahi tela-­‐ pak tanganku. Orang yang awalnya ga-­‐ lak ikut tertawa. Kedua orang itu kemu-­‐ dian berbisik-­‐bisik mendiskusikan se-­‐ suatu. Badanku semakin gemetar keti-­‐ ka mencoba membayangkan apa yang sedang mereka diskusikan. Ketika salah satu orang tersebut memandangiku, hi-­‐ dupku seperti tanpa rasa. Hatiku telah lenyap.

Kinanti mengalami kekerasan sek-­‐ sual berupa perlakuan tidak menye-­‐

nangkan dari para penculik. Meskipun ti-­‐ dak ada tindakan secara fisik, tindakan para penculik tersebut termasuk dalam kekerasan seksual karena menjadikan Kinanti sebagai objek keinginan seksual dari dua tokoh laki-­‐laki tersebut. Efek dari kekerasan ini membuat Kinanti me-­‐ rasa terancam dan ketakutan, hal ini dibuktikan dengan ketakutannya yang membuat badannya merinding dan keri-­‐ ngat dingin membasahi kedua telapak tangannya. Kekerasan seksual yang di-­‐ alami Kinanti berlanjut ke upaya pemer-­‐ kosaan, seperti berikut.

“Aku dhisik, kowe nyekeli sikile nek bron-­‐ tak”. Ukara iku cetha dakrungu njalari ototku krasa kaku kabeh. Ambeganku kang kemrungsung nyoba daktata. Saklebat-­‐ an aku weruh yen lawang menga, arepa mung sithik. Jroning kahanan kedhesek aku kudu pinter etung. Otakku mubeng ing wektu kepepet iku. Wong loro

nyedhak bareng. Mripatku ora uwal mandeng kekarone kang wus kepanjing-­‐ an setan kuwi. Yen salah petung aku ba-­‐ kal kewirangan ing papan kene. Lan kanggoku luwih becik mati mbelani aji-­‐ ning dhiri, katimbang urip nyandhang siksa batin (Pratiwi, 2001, hlm. 189).

Terjemahan :

“Aku duluan, kamu yang pegang kaki-­‐ nya kalau dia berontak. Kalimat itu begitu jelas kudengar mem-­‐ buat seluruh ototku terasa kaku. Nafas yang terasa tidak tenang perlahan ku-­‐ tata. Sepintas aku melihat pintu terbu-­‐ ka, meskipun hanya sedikit. Dalam kon-­‐ disi terdesak ini aku harus pandai-­‐pan-­‐ dai memperhitungkan. Otakku berpu-­‐ tar dalam waktu yang singkat ini. Ke-­‐ dua orang itu mendekatiku bersama-­‐ sama. Mataku tidak lepas mengamati keduanya yang sudah kerasukan setan itu. Jika salah berhitung aku akan diper-­‐ malukan di tempat ini. Dan bagiku lebih baik mati mempertahankan hargadiri, daripada hidup menahan siksa batin”

Upaya pemerkosaan yang dilakukan oleh para penculik terhadap Kinanti membuatnya merasa sangat terancam. Kekerasan ini didasari atas pandangan laki-­‐laki bahwa perempuan adalah objek seksual laki-­‐laki. Sebagai second sex, pe-­‐ rempuan dianggap tidak memiliki pilih-­‐ an dan kuasa atas dirinya, dalam hubu-­‐ ngan seksual dengan lawan jenis. Tubuh perempuan dianggap sebagai tempat melampiaskan hasrat seksual laki-­‐laki. Seluruh kekerasan seksual yang dialami Kinanti terjadi dalam ranah publik ka-­‐ rena dilakukan oleh orang yang tidak memiliki hubungan secara personal de-­‐ ngan Kinanti. Kekerasan secara seksual oleh laki-­‐laki ini salah satu akibat dari wacana dalam masyarakat Jawa yang merupakan konstruksi sosial tentang ke-­‐ lemahan tubuh perempuan. Sejalan de-­‐ ngan pendapat

Sugihastuti dan Saptiawan (2010, hlm. 236), bahwa

Kekerasan terhadap Tokoh Utama … (Yuli Kurniati Werdiningsih) perempuan merupakan objek eksploitasi

yang menarik, tidak hanya dari sisi sek-­‐ sual, tetapi juga dari sisi stereotip pe-­‐ rempuan sebagai makhluk yang lemah.

Kinanti dan Kekerasan terhadap Pe-­‐ rempuan Jawa

Kinanti sebagai tokoh perempuan masih dipandang sebagai objek dengan berba-­‐ gai kelemahannya. Anjani sebagai kakak tiri Kinanti memandang Kinanti sebagai objek untuk melampiaskan kekesalan-­‐ nya kepada Yulia. Tindakan Anjani ter-­‐ hadap Kinanti menjadi gambaran dalam kehidupan masyarakat Jawa yang masih mendikotomikan anak kandung dengan anak tiri. Sebagai gambaran dari mas-­‐ yarakat Jawa, novel ini melegalkan mitos tentang watak dan perilaku ibu tiri yang tidak baik. Konflik antarsaudara tiri dan antara anak tiri dan ibu tiri dalam masyarakat Jawa masih menunjukkan adanya konflik kepentingan dan upaya penguasaan satu sama lain. Dalam novel ini, konflik tersebut diwakili oleh tokoh-­‐ tokoh perempuan, yakni Yulia, Anjani, dan Kinanti. Kinanti sebagai korban ke-­‐ kerasan di area domestik ini tidak me-­‐ nunjukkan reaksi yang frontal.

Ketidakberdayaan Kinanti memper-­‐ lihatkan bahwa terdapat oposisi antara anak kandung dan tiri dalam masyarakat Jawa yang tetap meletakkan anak kan-­‐ dung sebagai pihak paling benar, se-­‐ dangkan anak tiri distereotipkan sebagai pihak yang salah, sebagaimana posisi ibu tiri. Posisi sebagai anak tiri maupun anak kandung tidak dapat dipilih oleh Kinanti tetapi hak hidup yang diterima Kinanti diyakini tidak sama dengan Anjani dan Hapsari saudara tirinya. Hal ini tentu ti-­‐ dak sejalan dengan feminisme liberal yang memandang setiap orang dilahir-­‐ kan dengan hak yang sama (Sastriyani dan Sugihastuti, 2007). Artinya, Kinanti juga memiliki hak yang sama dengan Anjani dan Hapsari. Perlakuan Anjani dan Hapsari yang tidak ramah serta

tidak adil terhadap Kinanti memperlihat-­‐ kan ketidaksamaan hak yang diterima oleh tokoh perempuan, hanya karena status yang tidak dapat dipilihnya. Pe-­‐ rempuan Jawa yang diwakili oleh Kinanti tidak memiliki kemampuan untuk meno-­‐ lak justifikasi masyarakat tentang posisi-­‐ nya sebagai anak tiri.

Reaksi Kinanti terhadap persoalan kekerasan yang dialaminya menggam-­‐ barkan citra perempuan Jawa yang le-­‐ mah lembut, tetapi teguh pendirian, dan memiliki kekuatan batin. Kinanti tidak bereaksi secara berlebihan ketika dihina dan dilecehkan oleh Anjani dan Bu Aminoto, tetapi memiliki kekuatan eks-­‐ tra ketika akan dilecehkan secara seksu-­‐ al oleh lawan jenisnya. Upaya penolak-­‐ an dan perlawanan yang dilakukan Kinanti saat kekerasan seksual terjadi memperlihatkan bahwa perempuan Ja-­‐ wa lebih mementingkan harga dirinya dibandingkan dengan fisiknya. Bagi pe-­‐ rempuan, hilangnya harga diri (dalam konteks ini keperawanan) jauh lebih sa-­‐ kit jika dibandingkan dengan sakit fisik.

Pandangan masyarakat Jawa me-­‐ ngenai kondisi biologis perempuan men-­‐ jadikan Kinanti sebagai korban kekeras-­‐ an psikologis, fisik, dan seksual. Kele-­‐ mahan perempuan secara biologis juga dimanfaatkan oleh Bu Aminoto dan para penculik. Meskipun sesama perempuan, Bu Aminoto ternyata juga memandang tokoh perempuan lain (Kinanti) sebagai sosok yang lemah secara biologis. Hal ini merupakan gambaran bahwa dalam masyarakat Jawa pandangan terhadap sesama perempuan masih menunjukkan ketidaksetaraan. Perempuan sendiri da-­‐ pat melakukan ketidakadilan bahkan ke-­‐ kerasan terhadap perempuan yang lain.

Para penculik yang berjenis kelamin laki-­‐laki melakukan kekerasan secara psikologis, fisik, dan seksual terhadap Kinanti yang merupakan perempuan. Para penculik dapat diasumsikan seba-­‐ gai wakil dari laki-­‐laki, jadi perlakuan

ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 102-­‐115 mereka terhadap Kinanti menunjukkan