MATI ITU PASTI Ebook

  

book

  

Penulis

Chuang

  

Penyunting

Handaka Vijjānanda

  

Penggambar Sampul

Alvina Swarnadhītā

Andreas Dīpaloka

  

Penata

Vidi Dayasati

  

Penerbit

Ehipassiko Foundation

  

Copyright ©2012 Chuang

Cetakan 1, Okt 2012

Cetakan 2, Feb 2013

Pusat Pelayanan

  

Ehipassiko Foundation

085888503388 | BB 29DFC495

ehipassikofoundation@gmail.com

www.ehipassiko.or.id

  

_____________________________________________

Dengan mendanai buku ini, Anda membantu

kelangsungan perjuangan penerbit dalam

menyediakan buku Dharma di Indonesia.

  

Derma dapat disalurkan melalui:

BCA 4900333833 Yayasan Ehipassiko Aku tahu seseorang yang suatu kali berkata, “Kematian tersenyum kepada kita semua; yang bisa kita lakukan hanyalah balas tersenyum kepadanya.”

  ~ Maximus, dari film Gladiator I knew a man who once said,

  “Death smiles at us all; all a man can do is smile back.” ~ Maximus, from the movie Gladiator

  Untuk semua yang sudah dan pasti akan “pindah alamat” ke alam atau kehidupan berikutnya.

  Dan terutama, untuk Almarhumah Mamaku, semoga senantiasa bahagia di mana pun kini berada.

  Mati Itu Pasti

  Syahdan pada masa kehidupan Buddha, terdapatlah seorang perempuan muda bernama Kisa Gotami. Setelah beberapa lama menikah dia akhirnya hamil, dan pada waktunya lahirlah seorang bayi lelaki yang sehat. Tapi mendadak pada suatu hari, begitu anak itu mulai akan belajar berjalan, anak itu terserang penyakit yang menyebabkan kematiannya.

  Kisa Gotami amat sedih. Dia menolak menerima kenyataan bahwa anak yang sangat dikasihinya itu telah mati. Dengan mendekap mayat bayinya, Kisa Gotami pergi berkeliling kota untuk mencari obat agar anaknya bisa “sembuh” kembali. Setiap orang di kota menganggap Kisa Gotami telah gila. Namun ada seorang baik hati yang bersimpati padanya. Orang itu menyarankan Kisa Gotami pergi menghadap Buddha karena hanya Buddha satu-satunya orang yang bisa memberikan obat bagi anaknya. Tanpa membuang waktu, Kisa Gotami bergegas pergi menghadap Buddha. Sesampainya di hadapan Buddha, dengan bercucuran air mata Kisa Gotami memohon Buddha untuk menyembuhkan anaknya. Buddha mengetahui bahwa keadaan batin Kisa Gotami tak siap menerima penjelasan apa pun mengenai hakikat kehidupan dan kematian. Karena itu,

  Buddha menyanggupi permohonan dengan meminta Kisa Gotami mencari segenggam biji sesawi dengan syarat biji-biji itu berasal dari rumah tangga yang belum pernah mengalami kematian anggota keluarganya.

  Dengan harapan yang membubung tinggi, Kisa Gotami pergi dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu untuk memperoleh sengenggam biji sesawi yang diminta Buddha. Tapi setiap kalinya, meskipun orang-orang dengan senang hati bersedia

  Mati Itu Pasti

  menerima pemberian itu sebab biji-biji itu selalu berasal dari rumah tangga yang pernah mengalami kematian satu atau lebih anggota keluarganya. Pada akhirnya, seiring makin lanjutnya proses pencarian segenggam biji sesawi itu, perlahan-lahan Kisa Gotami mulai menyadari bahwa kematian bukan hanya milik satu orang. Kematian adalah kenyataan tak terelakkan bagi semua yang hidup, bahwa kehidupan selalu berdampingan dengan kematian. Dan dengan pemahaman itu dia pun terbebas dari dukacita atas kematian anak satu-satunya.

Senarai Isi

  Apakah Kematian Itu?

  8 Mengapa Kita Harus Mati?

  13 Kehidupan Setelah Kematian

  18 Mitos Seputar Kematian

  20 Mati Itu Pasti

  23 Mempersiapkan Diri Menghadapi kematian

  34 Persiapan Spiritual

  38 Perenungan Kerap

  39 Melatih Diri Dalam Moralitas, Meditasi,

  45 dan Kebijaksanaan Mengembangkan Cinta Kasih

  56

  61 Menemukan Makna Hidup

  63 Persiapan Duniawi

  63 Surat Wasiat

  65 Asuransi Jiwa

  75 Membantu yang Lain Siap

  80 Serbaneka Eutanasia

  80 Bunuh Diri

  82 Donor Jenazah dan Organ

  84 Fakta Unik Tentang Kematian

  86 Humor Kematian

  87 Ungkapan Ungkapan Bijak Tentang Kematian

  92 Bacaan

  94 Profil Penulis

  96

Apakah Kematian Itu?

  ada sebagian besar kebudayaan di dunia, kematian dianggap

P

  sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan, yang diratapi dengan tangisan dan kesedihan. Beberapa kebudayaan yang dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan tertentu juga menganggap bila suatu keluarga sedang mengalami kematian salah satu anggotanya, maka keluarga itu dianggap berada dalam status “tidak suci” atau “sial” dan harus dijauhkan dari segala upacara yang menyangkut agama sampai batas waktu tertentu atau ketika suatu ritual “pembersihan” telah dilaksanakan untuk mengembalikan keadaan kembali “normal”. Jadi, selain menakutkan, kematian pun dianggap sebagai sesuatu yang “sial” atau “kotor”. Sikap dan cara pandang seperti ini membuat kematian menjadi sesuatu yang harus dijauhi sebisa-bisanya dari kehidupan, dibenci, tidak menguntungkan. Orang-orang menyembunyikan pekuburan di pinggiran kota dengan harapan tidak akan sering melintasinya, dan jenazah mendiang dirias sedemikian rupa hingga bisa jadi kita mengira itu bukanlah orang mati, melainkan hanya sedang tertidur pulas. Pembicaraan tentang kematian pun sering dianggap sama tabunya dengan membicarakan tentang seks atau pornografi. Sesungguhnya jika saja kita bersedia merenung, kematian tidaklah pantas dipandang sedemikian buruknya. Kematian pun memiliki segi-segi positif yang dapat kita hargai bahkan syukuri. Misalnya, dengan adanya kematian kita menjadi memiliki suatu perasaan kemendesakan untuk tidak menyia-nyiakan kehidupan

  

Apakah Kematian Itu?

  ini. Dan menyadari bahwa cepat atau lambat semua dari kita pasti mati menyebabkan kita sadar tak ada gunanya menyimpan dendam, amarah, iri, dengki, dan emosi-emosi negatif lainnya. Kematian juga sebuah penyeimbang hebat yang membuat kita semua setara di hadapannya. Tak peduli siapa pun kita dalam kehidupan ini, apa pun pencapaian kita, pada akhirnya kita semua sama saja tak terelakkan menghadapi kematian. Lagi pula, karena adanya kematianlah dimungkinkan terjadinya pergantian generasi yang pada gilirannya membuat kehidupan terus berputar dan kemajuan pun dapat dicapai. Tapi bagaimanapun, pertama-tama penting untuk mencari tahu apakah sebenarnya kematian itu yang secara awam dianggap menakutkan dan tabu, sesuatu yang tak menguntungkan siapa pun kecuali mungkin mereka yang bergerak di bidang jasa pelayanan kematian?  Dengan kata lain, apakah definisi kematian? Itu adalah suatu pertanyaan sederhana yang kedengarannya sangat mudah untuk dijawab. Jika seseorang tahu apa definisi “kehidupan”, secara otomatis ia dapat mendefinisikan kematian. Sebab, definisi kematian tidak lain adalah kebalikan dari definisi kehidupan itu sendiri. Tapi dalam kenyataannya, definisi kematian jauh lebih pelik daripada yang diprakirakan oleh kebanyakan orang.

  Secara umum orang percaya bahwa seseorang disebut telah meninggal dunia ketika dia berhenti bernapas. Ungkapan lazim seperti “mengembuskan napas terakhir” untuk orang yang meninggal dunia secara tidak langsung menggambarkan betapa kita memandang napas sebagai sumber kehidupan. Keyakinan seperti ini dapat dipahami mengingat bahwa bila kita

  Mati Itu Pasti

  bermula dari suatu kepercayaan bahwa sang pencipta dunia dan seisinya, ketika menciptakan manusia, mengembuskan napas kehidupan ke apa yang sebelumnya adalah patung-patung tanah liat berbentuk manusia.

  Namun ternyata keberadaan napas sebagai penentu mati atau hidupnya seseorang, yang sekian lama diyakini oleh banyak orang, pada akhirnya tidak lagi mencukupi. Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang, manakala orang mulai bisa menciptakan alat pernapasan mekanis (respirator), saat itu pula napas sebagai penentu mati atau hidup mulai dipertanyakan. Karena terbukti napas berhenti bukanlah akhir segalanya, ada respirator yang bisa menggantikannya, dan sosok yang berabad-abad lalu pasti sudah dianggap telah mati kini tak lagi begitu saja bisa “diwisuda” menjadi mendiang. Karena itu, orang-orang mulai mencari rumusan kematian yang lebih bisa diterima. Dan untuk sementara ini, secara hukum dan medis kita menganggap seseorang telah meninggal dunia jika dia mengalami apa yang disebut sebagai “kematian batang otak” yang dapat dideteksi oleh suatu alat yang bernama electroencephalograph

  (EEG). Masalahnya adalah, jika pernapasan dan detak jantung dipertahankan dengan memakai mesin atau obat-obatan, seseorang yang mengalami mati batang otak akan tampak hidup. Kulit orang itu mungkin terasa hangat, dadanya naik dan turun dalam gerakan pernapasan dan denyut jantung terlihat di monitor. Tetapi, jika tidak ada aktivitas otak yang terekam oleh EEG, orang tersebut mati otak dan oleh karenanya secara medis dan hukum dianggap telah meninggal dunia.

  

Apakah Kematian Itu?

  Lalu, akankah pada kasus seperti itu melepas mesin penunjang kehidupan seperti ventilator berarti sama dengan menyebabkan kematian pada anggota keluarga kita atau dianggap tidak memberikan seluruh harapan yang memungkinkan kepada mereka? Begitu seseorang mati batang otak, maka orang itu telah meninggal dunia. Otak tidak akan pernah dapat dipulihkan kembali. Karena si pasien telah meninggal, kita tidak dapat membunuhnya dengan melepas mesin pernapasan. Mesin pernapasan hanyalah menjaga paru-paru tetap bergerak dan jantung berdenyut, yang memberi penampakan seolah-olah orang tersebut masih hidup. Dalam kejadian seperti itu, kita tidak semestinya mengatakan bahwa kita akan mematikan sistem pendukung kehidupan, karena hal itu seharusnya dikatakan sebagai kita akan mematikan sistem pendukung kematian.

  Jika uraian tersebut di atas adalah definisi kematian menurut medis dan hukum, lalu bagaimana definisi kematian menurut Buddhisme? Buddhisme secara tegas menolak definisi kematian yang merujuk pada pernapasan. Apakah ini berarti agama Buddha mengikuti definisi modern yang mengacu pada fungsi kerja otak? Jawabannya juga tidak. Definisi kematian dalam ajaran Buddha tidak hanya sekadar ditentukan dari unsur-unsur jasmaniah—entah paru-paru, jantung ataupun otak.

  Ketakberfungsian ketiga organ tubuh itu hanya merupakan “gejala”, “akibat” atau “pertanda” yang tampak dari kematian, tapi

  Mati Itu Pasti

  kematian ialah unsur-unsur batiniah suatu makhluk hidup. Walaupun organ-organ tertentu masih dapat berfungsi sebagaimana layaknya—secara alamiah ataupun melalui bantuan peralatan medis, seseorang dapat dikatakan mati apabila kesadaran ajal (cuticitta) telah muncul dalam dirinya.

  Begitu muncul sesaat, kesadaran ajal akan langsung padam. Kepadaman kesadaran ajal merupakan “point of no return” bagi suatu makhluk dalam kehidupan ini. Pada unsur-unsur jasmaniah, kematian ditandai dengan terputusnya kemampuan hidup (jivitindriya). Inilah definisi kematian menurut pandangan Buddhisme.

  Kematian adalah cara kehidupan memberitahu Anda bahwa Anda dipecat. ~ Penulis tak dikenal Death is life’s way of telling you: you’re fired.

  ~ Unknown author

  

Mengapa Kita Harus Mati?

  alam keseharian hidup, kita akan menemukan orang-orang

D

  meninggal pada semua besaran umur. Beberapa orang meninggal persis setelah mereka dilahirkan, atau bahkan malah sebelum dilahirkan (akibat suatu tindakan aborsi atau karena keguguran alami). Beberapa yang lainnya masih sempat muncul ke dunia dan membuka matanya, namun lantas “layu sebelum berkembang”. Beberapa lainnya panjang umur sampai sukses menjadi orang-orang T.O.P. (Tua, Ompong, Peot)  sebelum akhirnya berangkat untuk “pindah alamat” ke alam lain. Mereka semua meninggal karena pelbagai macam sebab yang, secara umum, dapat diringkas menjadi tiga kelompok: penyakit, kecelakaan atau bencana, dan usia lanjut. Ketika kita ditanyai mengapa seseorang meninggal dunia, kita bisa menjawab ada banyak penyebab seseorang meninggal dunia. Pernyataan-pernyataan seperti, “Kakekku telah meninggal dunia setahun lalu karena serangan jantung”, atau “Sepupu saya tewas dalam kecelakaan pesawat terbang”, atau “Orang tua itu meninggal dunia dengan tenang di tempat tidurnya karena usia yang sudah amat lanjut”, dapat diterima sebagai pernyataan- pernyataan yang terang jelasnya dalam pengertian kebenaran sehari-hari di dunia kita. Tetapi jika kita bertanya mengapa manusia HARUS mati, maka jawabannya akan tergantung dari latar belakang keyakinan kita.

  Ajaran tertentu yang meyakini adanya makhluk adikodrati sebagai sang pencipta dan penguasa semesta mengajarkan

  Mati Itu Pasti

  dunia akan penuh sesak bila semua manusia tak mati-mati, dan bahwa dunia ini bukanlah rumah sejati manusia, melainkan hanyalah persinggahan sementara sehingga kematian itu akan menjadi suatu perjalanan pulang menuju rumah sejati di sisi pencipta itu. Ajaran lainnya menyatakan bahwa pada mulanya manusia pertama ciptaan makhluk adikodrati itu hidup abadi di surga. Tapi karena dosa yang dilakukannya, manusia itu kemudian diusir dari surga dan jatuh ke bumi menjadi makhluk yang fana, yang masa kehidupannya dibatasi oleh kematian. Bagi Buddhisme, jawaban untuk pertanyaan mengapa manusia HARUS mati amatlah sederhana namun sekaligus menohok langsung ke ulu hati kesadaran: KITA MATI karena KITA LAHIR!

  Orang tidak mati lantaran cinta atau sakit hatinya atau bahkan usia lanjutnya; dia mati karena dia itu orang. ~ Percival Arland Ussher A man does not die of love or his liver or even of old age; he dies of being a man.

  ~ Percival Arland Ussher Menurut Buddhisme, kelahiran menyebabkan kita “memiliki” lima gugus ini yang secara ringkas disebut badan dan batin. Badan adalah perpaduan dari unsur-unsur seperti tanah, air, api dan angin yang membentuk pancaindra dan seluruh bagian lainnya. Batin terdiri dari kesadaran, pencerapan, bentukan pikiran, dan perasaan. Apa yang secara umum kita sepakati sebagai “manusia” atau “makhluk” adalah perpaduan semua hal ini. Dan karena apa pun yang merupakan perpaduan adalah tidak konstan, maka

  

Mengapa Kita Harus Mati?

  cepat atau lambat perpaduan ini pasti akan berpisah, dan itulah yang disebut kematian. Tanpa adanya perpaduan lima gugus ini (lahir), maka tak ada pula perpisahan lima gugus (mati). Tanpa kelahiran tak ada kematian. Dan keadaan tanpa kematian inilah yang dalam Buddhisme disebut Nibbana, tujuan tertinggi umat Buddha.

  Lalu, jika kelahiran menyebabkan kematian, maka apa yang menyebabkan kita lahir? Menurut keyakinan ajaran lain, kelahiran manusia disebabkan karena adanya satu sosok makhluk adikodrati yang maha pencipta. Makhluk inilah yang dipercaya menciptakan alam semesta berikut semua isinya, yakni: manusia, hewan, tumbuhan, batu, air, udara, tanah, pelangi, bahkan es krim juga!  Di sisi lain, Buddhisme tidak memercayai konsep ketuhanan seperti itu. Sebagai umat Buddha, kita tidak diajarkan tentang adanya satu makhluk adikodrati yang memiliki segala sifat maha, bahwa makhluk inilah yang merupakan kausa prima atau sebab pertama dari segala yang ada sekarang ini. Umat Buddha diajarkan bahwa terbentuknya alam semesta beserta keberadaan manusia adalah buah dari hukum sebab-akibat serta hukum-hukum alam lainnya. Tentang kelahiran manusia, jika Buddhisme ditanya, maka sebabnya adalah kekelirutahuan atau kegelapan batin. Tapi ini bukanlah sebab pertama. Buddhisme tidak memercayai adanya sebab pertama karena dalam lingkaran sangsara ini amat mustahil mencari satu awal untuk lingkaran lahir-mati yang sinambung ini. Kekelirutahuan berada dalam satu rangkaian lingkaran musabab yang saling bergantung: sebab yang ini menghasilkan akibat yang itu, dan akibat yang itu pada gilirannya

  Mati Itu Pasti

  menjadi sebab bagi akibat lainnya lagi. Rumusan terkenal untuk proses ini kaprah dikenal dengan: Ini ada, itu ada. Ini muncul, itu muncul. Ini tiada, itu tiada. Ini berhenti, itu berhenti. Pengertian yang didasarkan pada keyakinan yang berbeda membawa konsekuensi berupa sikap yang berlainan pula dalam menghadapi kematian. Sebagai contoh, ketika dihadapkan pada suatu pengalaman kematian yang menyangkut keluarga atau orang-orang terkasihnya, sebagian orang dari keyakinan lain sering terjebak dalam sikap mengutuki atau menyumpahi makhluk adikodrati itu. Mereka tak bisa memahami bagaimana suatu makhluk adikodrati yang diyakininya mahakuasa dan maha pengasih, begitu “tega” mencabut nyawa dari seorang bayi atau anak manis yang—menurut standar keyakinan mereka— tak berdosa, atau memisahkan seorang ibu amat pengasih dari anak- anak yang amat memerlukan curahan kasih sayangnya. Tentu saja, di sebagian kalangan umat Buddha pun kita bisa menemukan kemarahan seperti itu. Karena dilandasi oleh kekelirutahuan dan pekatnya kelekatan, sebagai orang awam kita mungkin saja tidak bisa menahan diri. Kita begitu geram dan meradang atas kematian seorang anak yang amat kita sayangi, yang padanya kita curahkan segala kasih dan pengharapan. Tapi bedanya di Buddhisme, lantaran kita tak memercayai adanya makhluk adikodrati seperti itu, kita tak memiliki “oknum sial” yang terpaksa harus rela menjadi kambing hitam untuk kita sumpah serapahi atau kutuki sebagai pelampiasan rasa derita

  

Mengapa Kita Harus Mati?

  Namun, justru hal itu membuat umat Buddha lebih bisa bersikap tenang dan rasional dalam menghadapi kematian, tidak seemosional para penganut keyakinan lain. Tiadanya kepercayaan bahwa ada satu makhluk adikodrati mahakuasa + maha pengasih + mahatahu + maha pencipta yang mengatur kehidupan kita membuat umat Buddha tidak terserang oleh kompleksitas rasa penasaran dan rasa tak habis mengerti yang menyangkut kontradiksi-kontradiksi yang terkandung dalam kepercayaan itu sendiri. Dengan begitu, derita yang kita rasakan akibat masih pekatnya kelekatan kita terhadap orang-orang terkasih yang meninggalkan kita tak dilipatgandakan dengan beban-beban rasa penasaran itu.

  Ditambah dengan kenyataan bahwa dalam Buddhisme kita diajarkan kematian itu adalah sesuatu yang amat alami, bagian dari lingkaran kehidupan yang tak terelakkan, maka sebagai Buddhis kita lebih bisa menerima kenyataan “pahit” tersebut, lebih bisa bersikap rasional dan tenang ketimbang mereka yang “terpaksa” diberati oleh rasa penasaran dan ketidakpuasan karena pandangan seperti itu.

  Kita tidak akan sampai bertanya dan menuntut mengapa Tuhan yang (konon) maha pengasih dan penyayang begitu tega mencabut nyawa anak kita, seorang anak yang kemarin masih sehat-sehat dan ceria tapi dalam semalam berubah menjadi sebujur jenazah? Mengapa kemalangan seperti ini menimpa kita yang rajin beribadah dan selalu berusaha untuk menjadi orang baik? Dan itu menciptakan suatu perbedaan besar antara kita dengan mereka.

  

Kehidupan Setelah Kematian

  ebagian besar ajaran di dunia sepakat bahwa kematian

S

  bukanlah akhir dari segala-galanya. Kematian hanyalah awal bagi kehidupan berikutnya. Beberapa agama mengajarkan para pengikutnya tentang alam surga dan neraka, tempat di mana kehidupan setelah kematian itu berlanjut. Bagi yang baik dan patuh kepada perintah atau larangan Tuhan—sosok makhluk adikodrati yang diyakini sebagai pencipta dunia— akan diberikan tempat di surga yang kekal. Untuk anak nakal, orang jahat, apalagi koruptor, neraka siap menerima mereka untuk tinggal selama-lamanya. Agama-agama seperti ini tidak mengenal konsep kelahiran ulang dalam pengertian bahwa manusia bisa terlahir ulang menjadi manusia kembali atau bahkan menjadi binatang di kehidupan mendatang. Kelahiran kembali setelah kematian, menurut ajaran-ajaran ini, hanyalah di alam surga atau di neraka, dan kedua alam itu diyakini kekal abadi selama-lamanya: sekali seseorang menjadi penghuni di salah satu alam itu, dia akan terus ada di sana selamanya.

  Seperti ajaran-ajaran tersebut, kosmologi Buddhis pun mengenal alam surga dan neraka. Bedanya, Buddhisme tidak hanya mengenal surga dan neraka, tapi bahkan ada 29 alam kehidupan setelah kematian lainnya yang juga dikenal oleh Buddhisme, tempat di mana para makhluk dapat terlahir ulang. Alam-alam itu secara garis besarnya digolongkan menjadi 6 jenis alam: alam surga, alam manusia, alam binatang, alam hantu kelaparan, alam asura/siluman, dan alam neraka.

  Dalam Buddhisme, alam surga memiliki banyak tingkatan,

  

Kehidupan Setelah Kematian

  kebajikan dan kebijaksanaan yang telah dikembangkan semasih hidup oleh para penghuninya. Alam neraka pun ada banyak tingkat seperti alam surga. Hanya saja di sini para pesakitan ini dibedakan berdasarkan tingkat kebengisan atau kejahatan mereka. Seperti di dunia manusia, penjahat kelas kakap tentu tidak berada di penjara yang sama dengan penjahat kelas teri, bukan? Di luar 31 alam tersebut, Buddhisme terpecah menjadi 2 kelompok: kaum Theravada menolak adanya alam-alam lain seperti alam antara yang merupakan alam persinggahan sementara “roh” orang yang telah mati sebelum nantinya masuk ke surga atau neraka atau turun ke bumi sebagai manusia. Karena dalam ajaran Theravada tumimbal lahir atau kelahiran ulang itu terjadi secara seketika, tidak ada jeda waktu, tidak ada alam antara apa pun. Begitu seseorang meninggal di sini, maka dia langsung terlahir di salah satu dari 31 alam itu sesuai dengan karma yang telah dia kumpulkan semasih hidup. Sedangkan kelompok Mahayana menganggap ada yang disebut alam persinggahan atau alam transisi, dan bahwa kelahiran ulang tidak terjadi seketika melainkan ada waktu jeda/transisi antara 1 minggu sampai 49 hari semenjak kematian.

Mitos Seputar Kematian

  itos adalah suatu kisah atau legenda yang biasanya berisi

M

  penjelasan tentang sebab-musabab dari terjadinya suatu peristiwa atau hal. Mitos muncul karena kurangnya pengetahuan dan penalaran kita tentang suatu hal sehingga untuk menjelaskannya kita pun menciptakan mitos.

  Bagi kebanyakan orang, kematian adalah sebuah misteri. Hanya sedikit di antara kita yang sungguh-sungguh telah memahami dan menaklukkannya. Karena itu, tak heran dari sejak dahulu kala hingga kini mitos-mitos seputar kematian terus lestari.

  Ada mitos tentang orang-orang yang meninggal tak wajar— misalnya, gantung diri, dibunuh, kecelakaan—akan menjadi hantu atau roh yang bergentayangan. Mitos seperti ini diperkuat dan dimanfaatkan oleh produser film untuk menghasilkan film- film horor yang penuh dengan cerita balas dendam dari mantan manusia yang sudah menjadi arwah gentayangan itu.

  Menurut Buddhisme, disebabkan oleh karma buruk dan kurangnya kebajikan dan kebijaksanaannya, manusia memang bisa terlahir ulang sebagai hantu atau siluman di alam hantu atau siluman. Mereka yang meninggal karena bunuh diri pergi ke alam lain didorong oleh rasa benci pada kehidupannya. Mereka amat mungkin terlahir ulang sebagai hantu yang menderita oleh rasa bencinya, atau bahkan langsung ke alam neraka. Tapi untuk jenis kematian lain seperti kecelakaan atau dibunuh, sulit dipastikan korban yang tewas terlahir ulang sebagai hantu yang bergentayangan. Karena hal itu tergantung sepenuhnya pada

  

Mitos Seputar Kematian

  keadaan batin sesaat sebelum meninggal dunia. Bila dalam kasus ini yang meninggal telah banyak mengumpulkan jasa baik dan keadaan batinnya cukup hening saat meninggal dunia, dia akan terlahir di alam-alam yang baik meskipun cara kematiannya tidaklah indah. Ada pula mitos—atau mungkin lebih tepatnya kepercayaan— yang sering disalahartikan sebagai ajaran Buddha tapi sebenarnya hanyalah kepercayaan lokal bangsa Tiongkok yang “bercampur” dengan ajaran Buddha. Dikatakan bahwa kita bisa mengirimkan uang dan perbekalan lainnya serta membangunkan rumah di alam sana untuk keluarga kita yang telah meninggal dengan cara membakar kertas tertentu yang dianggap sebagai “uang” dan rumah-rumahan yang terbuat dari kertas lengkap dengan mobil-mobilan, pesawat-pesawatan atau bahkan antena parabola di atas atap rumah-rumahan tersebut.

  Tentu saja, bagi umat Buddha yang paham Dharma, hal- hal tersebut bertentangan dengan apa yang telah diajarkan oleh Buddha. Karena menurut Buddhisme, seseorang yang meninggal dunia akan langsung lahir ulang di salah satu dari 31 alam kehidupan sesuai dengan karmanya: seseorang bisa memiliki bekal dan rumah di alam sana bukanlah dengan cara sanak saudaranya membakar “uang” kertas dan rumah-rumahan kertas, tapi dengan usahanya sendiri mengumpulkan jasa- jasa kebajikan serta dengan pelimpahan jasa yang dilakukan oleh sanak saudaranya yang telah melakukan kebajikan atas namanya. Namun demikian, ada satu mitos tentang kematian yang amat berbahaya karena banyak dipercayai sebagai fakta oleh orang. Mitos inilah yang menyebabkan kita lalai mengembangkan diri

  Mati Itu Pasti

  percaya bahwa, meskipun kematian itu pasti, tapi kematian tidak akan datang menimpa kita hingga kita menjadi tua bangka! Itulah mitos kematian paling berbahaya yang menyebabkan kita, selagi muda dan sehat, merasa dunia ada di tangan kita. Kesenangan-kesenangan indrawi memabukkan kita, membuat kita terlena, lupa daratan dan lautan, dan abai bahwa raja kematian bisa datang sewaktu-waktu. Dalam kenyataannya, kehidupan memaparkan pada kita: tak perlu harus tua dulu untuk mati. Karena, bahkan yang amat belia pun pergi meninggalkan dunia ini ditengah-tengah kebeliaannya.

  Bagi orang muda, kematian adalah kabar angin. ~ Andrew A. Rooney Death is a distant rumor to the young.

  ~ Andrew A. Rooney

  

Mati Itu Pasti

alam kehidupan, kita sering mendambakan suatu kepastian.

D

  Para pedagang dan investor, jika bisa, dengan senang hati bersedia membayar harga berapa pun asalkan mereka mendapatkan suatu kepastian bisnis atau investasi mereka tidak akan merugi. Para pelajar akan berusaha sekuat tenaga, belajar mati-matian siang malam untuk mendapatkan kepastian bisa diterima di universitas terkemuka yang amat diidamkan. Pasangan kekasih atau mereka yang sedang mencari jodoh, mendatangi para penasihat perjodohan atau peramal demi memastikan jodoh yang tepat untuk mereka. Dalam banyak aspek kehidupan, semua orang sangat menyukai kepastian.

  Mengapa? Karena hidup itu tak pasti, maka kita membuat pelbagai rencana untuk memastikan apa yang kita inginkan atau harapkan bisa tercapai, dan untuk memastikan kita terhindar dari hal-hal yang tak kita inginkan. Kecuali satu: begitu menyangkut kematian, kepastian menjadi sesuatu yang secara umum dianggap menakutkan, ditolak, dijauhi, dan dianggap seolah tak ada.

  Sebenarnya, layakkah kita takut terhadap kematian? Layakkah kematian itu dijauhi, ditolak, dan kita pura-pura tidak tahu bahwa kematian itu nyata adanya, bisa datang sewaktu-waktu tanpa perlu diundang? Kematian memang sesuatu yang pasti, tapi pada saat yang sama juga tidak pasti karena kita tak pernah tahu kapan ia akan

  Mati Itu Pasti

  tak terelakkan, ketakutan seperti itu terasa konyol: apa ada gunanya kita takut pada sesuatu yang tak terelakkan, yang tak dapat kita hindari dengan cara apa pun? Dan bila dilihat dari keyakinan Buddhis yang mengakui adanya kelahiran ulang, bahwa kehidupan ini bukanlah yang pertama kali dan bukan yang terakhir kecuali kita telah mencapai kesucian tertinggi, maka peristiwa yang disebut kematian pada dasarnya tidak pernah ada. Kematian sesungguhnya dapat dipandang hanya sebagai suatu peristiwa “pindah alamat”: seseorang yang meninggal dalam kehidupan ini pergi “pindah alamat” menuju alam lain atau kehidupan berikutnya di dunia ini (bila terlahir sebagai manusia lagi). Dan andai yang terakhir ini yang terjadi, seperti yang pernah dikatakan oleh Ajahn Chah dalam salah satu ceramahnya, mendiang yang kita sayangi itu biasanya akan terlahir kembali dalam lingkungan keluarga kita sendiri. Dengan begitu kita kemungkinan besar akan bisa bertemu lagi dengan mereka, jadi tak ada alasan untuk takut atau sedih.

  Mati? Ah, cuma pindah alamat saja, kok!

  Dalam keseharian secara umum, kematian dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan untuk dibicarakan. Kebudayaan kita kini didominasi oleh keyakinan bahwa kematian harus disambut dengan dukacita, ratap tangis dan kesedihan. Padahal, sedari manusia ada di dunia, tak terelakkan bagi kita untuk menghadapi pengalaman kematian. Kematian dari anggota keluarga inti, sanak saudara yang cukup jauh, teman, kerabat, dan nantinya—cepat atau lambat— kematian kita sendiri.

  Mati Itu Pasti

  Saya pun juga, seperti semua orang, punya pengalaman kematian. Mulai dari kematian nenek, bibi, paman, dan terakhir yang amat dekat, mama saya sendiri.

  Dari pengalaman terakhir ini, saya baru benar-benar melihat bagaimana seseorang berjuang untuk tetap hidup, tapi yang pada akhirnya karena waktunya telah tiba tetap harus berangkat pergi meninggalkan segala yang ia kasihi. Saya pun menyadari satu pelajaran amat penting, yang meski sebelum ini telah mendapatkan perhatian saya, namun melalui kematian mama arti penting pelajaran itu semakin ditekankan: sedari awal kehidupan, kita semestinya membiasakan diri untuk melepas, membiarkan berlalu. Karena di sepanjang keseharian hidup dan lebih-lebih lagi kelak ketika kita menghadapi kematian, kemampuan melepas itu sungguh amat berguna sekali. Seperti yang telah saya sebutkan di awal, ada suatu anggapan kaprah bahwa kematian itu seharusnya menyedihkan. Karena itulah, ketika kematian mama, beberapa kerabat mungkin merasa heran mengapa saya tidak menangis atau menampakkan wajah sedih. Mengapa saya bisa bersikap tenang, bahkan meminjam kata seorang kerabat: “santai sekali”? Apakah saya tidak menyayangi mama saya? Ha-ha- ha, apakah kasih harus berarti kesedihan ketika kita ditinggal pergi oleh yang terkasih? 

  Mati Itu Pasti

  Tentu saja, saya belumlah suciwan, bahkan masih amat jauh dari itu. Tapi ada beberapa hal yang bisa menjelaskan mengapa saya tidak menangis seperti peran yang dituntut oleh anggapan umum bagi orang yang mengalami kematian keluarganya. Pertama, mama meninggal pada waktu yang tepat. Maksud saya, beliau meninggal ketika saya telah memiliki suatu tingkat pemahaman terhadap apa sesungguhnya hakikat kehidupan ini. Pemahaman yang saya peroleh melalui pembacaan, perenungan, dan meditasi. Saya membayangkan, andai mama meninggal 10 tahun lalu, saat mana saya masih amat “cengeng” (sekarang pun masih, tapi sudah tidak amat-amat sih, he-he-he….), saya pasti sudah menangis dan bahkan mungkin mengalami depresi. Kedua, mama meninggal tidak secara mendadak. Beliau mengalami sakit yang cukup lama sehingga sedari awalnya beliau masuk rumah sakit saya sudah mempersiapkan batin saya untuk bersedia menerima apa pun yang terjadi. Saya selalu mengingat-ingat satu pelajaran penting tapi mungkin terasa terlalu “kasar” bagi sebagian orang yang tak siap dengan keterusterangan seperti ini: nasihat Ajahn Chah bahwa, “Hanya ada dua kemungkinan bagi seseorang yang sakit, dan kedua kemungkinan itu sama-sama baik: sembuh, atau mati!”

  Mati Itu Pasti

  Itulah mengapa saya bisa bersikap tenang. Termasuk juga ketika seorang kenalan mama saya yang tak tahu menahu bahwa mama saya telah meninggal, bertanya tentang kabar beliau. Ketika saya bertahukan mama saya sudah meninggal, kenalan itu, seperti adegan klise di film-film Hollywood, meminta maaf. Saya bilang, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kematian itu wajar, amat alami, karena bagian dari kelahiran.

  Sesungguhnya dari perspektif kelahiran ulang, kematian itu tidak ada. Kematian hanyalah satu proses pindah alamat ke alam lain. Dan dari keyakinan Buddhis, orang-orang yang kita kasihi yang telah berangkat pergi tak akan pergi jauh-jauh dari lingkaran keluarga kita sendiri. Mereka bisa jadi, jika karmanya memungkinkan, terlahir ulang sebagai kerabat dekat atau jauh kita, dan kita pun bisa bertemu kembali dengan mereka jika jalinan karma kita dan mereka masih belum usai. Jadi, gak perlu sedih lah…. 

  Mati Itu Pasti

  Tapi bila kita mempertimbangkan sifatnya yang tak pasti, bahwa tak seorang pun tahu kapankah kematian tiba dan apa yang terjadi setelah kematian, bahwa ada suatu tabir gelap yang tak seorang pun bisa pastikan karena hal ini berada di luar pengetahuan awam kita, kita bisa memahami mengapa orang- orang secara umum takut terhadap kematian.

  Selain itu, ada ketakutan setelah kematian keberadaan diri kita akan dilupakan oleh mereka yang masih hidup. Karena bagi manusia awam, eksistensi, suatu keberadaan, hasrat untuk dumadi, pengakuan bahwa seseorang itu ada, amatlah penting. Ketika dilupakan, saat itu pula kita merasa seperti mengalami kematian yang kedua.

  Karena itulah kita menghindari membicarakannya. Kita cenderung menipu diri kita sendiri bahwa kematian itu memang tak terelakkan tapi kematian tidak akan datang sebelum kita benar-benar tua. Dan itu pun, pada saat kita telah sungguh tua, sebagian dari kita masih bersikeras tak bersedia menerima kepastian kematian.

  Karenanya, tak heran untuk sesuatu yang amat pasti seperti kematian, kita cenderung abai mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangannya yang cepat atau lambat tapi pasti. Dan sikap abai ini, yang pada dasarnya sudah buruk, dalam derajat tertentu bisa menjadi amat gawat konsekuensinya: sebagian dari kita yang abai, berat menjalani kehidupan seolah- olah kita tak akan pernah mati, dan karena itu kita terus mengejar kesenangan duniawi dengan menghalalkan segala cara. Kita tak peduli pada hal-hal baik dan mulia, hal-hal yang melampaui dan lebih berharga daripada kesenangan duniawi yang terus membuat kita selalu haus, haus, haus, tak terpuaskan. Tentu kita tak ingin menjadi seperti para rusa bodoh yang menjadi

  Mati Itu Pasti Serigala, Rusa, dan Kematian

  Barangkali selama ini sebagian besar dari kita hanya tahu bahwa serigala adalah binatang yang kejam, licik, dan jahat. Seperti ular, serigala diperlakukan sebagai binatang dari neraka, bahkan mungkin malah serigala itulah setan yang menyamar jadi binatang. Anggapan seperti itu bisa dipahami mengingat sedari kecil kita telah disuguhi oleh cerita-cerita tentang serigala sebagai tokoh antagonis. Hanya dalam sedikit kebudayaan saja serigala dihormati sebagai binatang yang sesungguhnya amat cerdas, penyayang keluarga, setia kawan, dan pemburu yang luar biasa. Seperti misalnya dalam kebudayaan Mongolia. Percayakah Anda jika disebutkan bahwa Genghis Khan dahulu mampu menaklukkan dunia karena dia dan rakyatnya banyak belajar dari para serigala? Dari sebuah novel, Wolf Totem, yang ditulis berdasarkan kisah nyata pengalaman penulisnya sendiri, saya mengetahui sedikit banyak fakta kehebatan serigala. Dan satu hal dari novel itu yang amat mengesankan saya adalah tentang bagaimana cara serigala berburu rusa.

  Ketika segerombolan serigala memutuskan untuk memburu kawanan rusa, pemimpin mereka akan memandu kawanannya ke sebuah padang rumput tempat di mana para rusa berkumpul untuk makan. Mereka tidak langsung menyerbu begitu saja karena

  Mati Itu Pasti

  mereka sadar dalam hal kecepatan lari mereka akan kalah oleh para rusa itu. Jadi, dengan sabar mereka mengintai dari balik rerumputan yang tinggi dan dari jarak yang cukup jauh, menunggu para rusa itu makan sepuas-puasnya, diam hening nyaris tanpa bergerak selama berjam-jam agar buruan mereka tak menyadari bahaya yang sedang mengintipnya. Dan sementara para serigala mengintai, beberapa rusa dengan bodohnya makan sampai perut mereka kenyang kembung seperti balon, tapi beberapa yang lain cukup cerdas dan eling untuk hanya makan secukupnya. Ketika para rusa bodoh telah makan sekenyang- kenyangnya, saat itulah dengan serentak para serigala menyerbu. Dan karena perutnya terisi penuh, rusa-rusa itu tak mampu berlari. Sebagian dari mereka langsung jatuh lemas, sebagian lagi berusaha lari tapi sia-sia saja. Tanpa kesulitan berarti para serigala bisa berpesta daging rusa gemuk yang masih segar dengan rumput belum tercerna sempurna dalam perutnya.

  Sangat luar biasa, bukan, cara para serigala berburu? Amat cerdas, taktis, terorganisir dengan baik, dan sabar menunggu momentum yang tepat.

  Dalam renungan saya, para serigala bisa diumpamakan sebagai dewa kematian. Dan rusa-rusa itu adalah kita, padang rumput adalah dunia ini. Sebagian dari kita begitu bodohnya, terlena, mabuk oleh kesenangan- kesenangan duniawi sampai tak waspada pada dewa kematian yang sedang mengintai, menunggu

  Mati Itu Pasti

  kita “makan” sekenyang-kenyangnya dan setelah itu menyerbu masuk untuk “membantai” kita. Sebagian lagi, dan biasanya minoritas, cukup eling untuk selalu ingat bahwa kematian dapat datang kapan pun, dan karena itu mereka menggunakan kesempatan terlahir sebagai manusia dengan sebaik-baiknya untuk mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan. Dan dengan bekal kebajikan dan kebijaksanaan itu, meskipun dalam kehidupan ini belum mampu melarikan diri dari raja kematian, pada akhirnya kematian tak dapat lagi menangkap mereka.

  Sesungguhnya, andai saja kita tak abai terhadap kematian, andai kita senantiasa ingat padanya dan menjalani kehidupan dengan sepenuh-penuhnya, kita tak akan begitu saja menjadi santapan empuk raja kematian. Meskipun pada akhirnya toh kita harus mati juga, paling tidak saat itu tiba kita telah sungguh siap dengan bekal yang memadai. Karenanya, kita tak perlu merasa takut terhadap kematian. Apa pun yang terjadi pada saat dan setelah kematian tak lagi mencemaskan kita. Dengan selalu mengingat bahwa kematian itu pasti, dengan selalu mengingat bahwa setiap momen kehidupan kita bisa saja berakhir, kita mempersiapkan diri kita dengan bekal kekayaan kebajikan dan kebijaksanaan, melatih diri dalam meditasi yang mengajari kita untuk mampu melepas, membiarkan berlalu segalanya.

  Begitu kita ingin tahu bagaimana kita akan mati, kita belajar bagaimana seharusnya kita hidup. ~ Morrie dalam “Selasa Bersama Morrie”

  Mati Itu Pasti Iklan “Pindah Alamat” yang Unik

  Di harian KOMPAS terbitan 14 Mei 2012 pada rubrik Kilasan Kawat Sedunia tersua berita unik tentang seorang pria di Berlin, Jerman, yang iklan pindah rumahnya di sebuah harian menarik perhatian pembaca. Berikut ini saya tulis ulang beritanya.

  Seorang pria yang mengumumkan perubahan alamatnya di surat kabar lokal menarik perhatian media nasional karena alamat “rumah baru”-nya tidak biasa: 6 kaki (1.8 meter) di bawah tanah. Karl Albrecht, yang meninggal dunia sebulan lalu pada usia 88 tahun, memasang iklan obituari dengan gaya seperti baru pindah rumah. Dia mengundang rekan-rekannya untuk perayaan yang “meriah” di pemondokan barunya di sebuah pemakaman di Hamburg, Jerman. “Saya pindah rumah. Alamat baru saya: Pemakaman Olhsdorf-Ruhewald, Kavling Bx 65/28C. Saya sangat mengharapkan kehadiran Anda,” demikian pengumuman yang dimuat harian Hamburger Abendblatt itu. Surat kabar Bild mengabarkan, Albrecht berpesan kepada keluarganya untuk memasang iklan itu di surat kabar. Mantan pemasar asuransi itu dikenal sangat humoris dan gemar tertawa. “Di makamnya tersedia sahnapps

  (minumam beralkohol populer di Jerman) untuk semua tamu. Dia pasti menginginkan itu,” kata Anastasia, istri Albrecht. Anastasia menambahkan,

  Mati Itu Pasti

  almarhum suaminya menginginkan tamu perempuan mengenakan gaun bermotif bunga. “Jangan sampai ada yang mengenakan pakaian hitam. Karl tak tahan dengan suasana suram,” ujarnya.

  Ide yang cemerlang, bukan, dan rasanya bisa kita tiru. Kecuali tentu saja kita tidak akan menyajikan minuman beralkohol untuk para tamu yang mengunjungi “alamat baru” kita. 

  

Mempersiapkan Diri

Menghadapi Kematian

  pakah penting mempersiapkan diri menghadapi kematian?

A

  Semua pemeluk agama yang benar akan menjawab dengan pasti: jelas amat penting! Karena dalam agama mana pun kematian selalu menjadi salah satu peristiwa dalam kehidupan yang amat penting, jadi mempersiapkan diri untuk menghadapinya juga amatlah penting. Lebih-lebih dalam Buddhisme.

  Menurut Buddhisme, momen-momen menjelang ajal berperan amat dominan dalam menentukan ke alam mana pertama- tama kita akan menuju. Meskipun sepanjang hayat kita adalah seorang yang selalu berusaha mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan, tapi karena suatu kejahatan yang pernah kita lakukan dan amat mendalam membekas dalam batin kita menyebabkan saat jelang ajal kita mengalami suatu batin yang gelisah, yang negatif, maka bila kita meninggal dunia dengan batin yang seperti itu kita akan pertama-tama menuju alam yang sesuai dengan keadaan batin itu: alam rendah, alam sengsara. Baru setelah masa hidup di alam rendah itu habis, akibat habisnya kekuatan buah karma yang menyebabkannya, kita bisa terlahir di alam yang lebih baik sesuai dengan timbunan jasa-jasa baik yang telah kita kumpulkan.

  Pentingnya memiliki batin yang tenang dan damai saat menjelang mati dapat ditunjukkan oleh beberapa kisah yang terjadi pada masa kehidupan Buddha. Misalnya kisah yang menyangkut Ratu Mallika, permaisuri Raja Pasenadi Kosala.

  

Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

  Ratu Mallika adalah salah satu pengikut Buddha yang amat berbakti. Sepanjang hidupnya dia banyak melakukan perbuatan berjasa. Tapi ada satu kejahatan yang pernah dilakukannya dan amat membekas dalam bentuk penyesalan di dalam dirinya hingga terbawa ke momen jelang ajalnya. Karena terkuasai batin tak sehat seperti itu, Ratu Mallika langsung terlahir kembali di alam rendah, dan baru setelah lewat seminggu dia meninggal di alam itu dan pindah ke alam surga sesuai timbunan jasa kebajikan yang telah dikumpulkannya. Untuk kisah pada masa modern, kita bisa membaca pengalaman Bhante Rastrapal Mahathera, guru meditasi di International Meditation Centre di Bodh Gaya, dalam bukunya “Five Visions of A Dying Man”. Buku itu bercerita tentang pengalaman beliau menangani seorang pria yang menjelang ajalnya melihat lima penampakan, dan setiap penampakan itu adalah perlambang ke alam mana pria itu akan terlahirkan kembali apabila pada saat itu—ketika penampakan itu terlihat—dia meninggal. Penampakan itu berasal dari keadaan batin orang yang sedang sekarat itu. Ketika keadaan batinnya tenang dan damai, dia melihat penampakan dewa-dewi surgawi, atau pohon Bodhi dan kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia. Saat keadaan batinnya berubah gelisah atau penuh kelekatan, dia pun melihat penampakan burung gagak yang menakutkan.

  Selain itu, amat penting mempersiapkan diri menghadapi kematian karena, sebagaimana dengan kehidupan, kematian pun sering diumpamakan sebagai suatu perjalanan. Hanya saja, kehidupan adalah perjalanan menuju kematian, dan kematian adalah perjalanan menuju kehidupan berikutnya. Sebuah perjalanan tentu memerlukan suatu persiapan agar berhasil sampai di tujuan yang direncanakan, bukan? Demikian pula

  Mati Itu Pasti

  tenang dan berhasil sampai di kehidupan berikutnya yang lebih baik, kita harus mempersiapkan diri kita dengan sebaik- baiknya. Kita perlu membawa perbekalan yang memadai dan mempersiapkan batin kita untuk menerima kematian sebagaimana adanya. Semua itu pada akhirnya hanya demi satu tujuan: mencapai kebahagiaan. Karena jika kita, misalnya, ditanyai tujuan menjalani kehidupan, kita semua akan sepakat bahwa kita menjalani kehidupan demi meraih suatu kebahagiaan; dan demi tujuan itu mempersiapkan diri menghadapi kematian semestinya menjadi bagian dari cara menjalani kehidupan. Memanglah definisi kebahagiaan dan macamnya ada beraneka ragam, tapi kita bisa menarik satu benang merah yang sama: kita semua menginginkan kehidupan yang damai, tenteram, dan harmonis.

  Orang-orang bajik pasti mati, tapi kematian tidak bisa membunuh nama mereka. ~ Pepatah Good men must die, but death can not kill their names. ~ Proverb

  Jadi, seseorang yang mengisi kehidupan dengan persiapan untuk menghadapi kematian berarti dia menjalani kehidupan dengan semestinya. Dan kehidupan yang dijalani dengan semestinya akan membuat kita memperoleh kebahagiaan di sini (semasa hidup) dan di sana (setelah mati), sebab buah dari kebajikan yang telah dilakukan selama hidup akan menjadi bekal dalam perjalanan menuju kehidupan berikutnya, memungkinkan si

  

Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

  Mati Itu Pasti

  satu alam yang membahagiakan. Seperti yang tertulis dalam ayat Dhammapada 18: Di dunia ini ia bahagia, setelah mati ia bahagia.

  Pelaku kebajikan bahagia di kedua alam. Ia bahagia “aku telah berbuat bajik”. Ia kian bahagia setelah pergi ke alam menyenangkan.

  Dalam hal ini, persiapan menghadapi kematian dapat kita bagi menjadi 2 jenis: 1) persiapan secara spiritual, dan 2) persiapan secara duniawi.

  Selain itu, kita juga perlu mempertimbangkan tidak hanya mempersiapkan diri kita sendiri, tetapi juga orang-orang terdekat kita supaya mereka pun siap menghadapi kematian bila sudah tiba waktunya, baik untuk kematian mereka sendiri maupun kematian kita dan keluarga lainnya. Uraian berikut ini tidak dimaksudkan memberi paparan yang terperinci mengenai setiap tahap persiapan yang disarankan. Untuk penjelasan lebih rinci yang disertai dengan tip-tip dalam melakukan kebajikan (dan juga mengembangkan kebijaksanaan), pembaca bisa membaca buku “Berbuat Baik Itu Mudah” dari penulis dan penerbit yang sama dengan buku ini.

  Persiapan Spiritual

  Persiapan spiritual bertujuan untuk mentransformasi diri kita secara spiritual agar siap menghadapi kematian. Bagi pemeluk agama, persiapan ini amat berkaitan erat dengan doktrin-doktrin agama yang kita anut. Dan setiap ajaran di dunia memiliki

  

Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

  menghadapi kematian. Secara garis besar tiap metode itu tidak terlalu berbeda satu dengan lainnya karena selalu ada penekanan pada mengumpulkan suatu jasa kebajikan (yang disebut dengan pelbagai istilah) dan mengembangkan suatu sikap berserah atau melepas.

  Perenungan