Pengembangan Kompetensi di Dalam Sudut P

Tugas Resume Filsafat Ilmu

Competence Development in Global
Perspective in Special Education
(Pengembangan Kompetensi di Dalam Sudut Pandang Umum Pada Pendidikan Khusus)

Disusun Oleh:
Desti Nurfaliqoh
S811708001

PROGRAM PENDIDIKAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS PASCASARJANA KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2017

BAB 1
Pendahuluan
Dalam rangka mewujudkan tatanan pendidikan yang mandiri dan berkualitas
sebagaimana diatur dalam UU no. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, perlu dilakukan berbagai upaya strategis dan integral yang menunjang
penyelenggara pendidikan. Pendidikan adalah hal yang penting bagi kehidupan

seseorang baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Pendidikan
memberikan banyak pengetahuan dan informasi yang akan membuat hidup dan
perilaku semakin baik. Semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan yang
layak, tidak memandang dari status, agama, suku, ras, maupun golongan tertentu.
Kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas berlaku untuk semua orang
(education for all), tanpa ada diskriminasi termasuk didalamnya anak berkebutuhan
kusus. Hal ini dapat disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya
kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang
bermutu.
Setiap individu merupakan pribadi yang unik, tidak semua individu dilahirkan
di dunia ini selalu mengalami perkembangan normal. Banyak diantara mereka yang
dalam perkembangannya mengalami hambatan, gangguan, kelambatan, atau memiliki
faktor-faktor resiko sehingga untuk mencapai perkembangan optimal diperlukan
penanganan yang khusus. Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai anak
berkebutuhan khusus atau biasa juga disebut penyandang disabilitas. Anak
berkebutuhan khusus yaitu anak dengan karakteristik berbeda dengan anak pada
umumnya yang mengalami kelainan pada mental, emosi, dan fisik. Anak
berkebutuhan khusus diantaranya seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,
tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, dan anak dengan
gangguan kesehatan.

Dengan dilaksanakannya pendidikan khusus diharapakan dapat memperkecil
jurang pemisah antara anak berkebutuhan khusus dan lingkungan masyarakat
sehingga mereka dapat mengembangakan potensinya secara optimal. Memang tidak
dapat dipungkiri, pengasuhan anak berkebutuhan khusus (ABK) memerlukan

tambahan energi, pemikiran, serta biaya yang lebih tinggi dibanding mengasuh anakanak pada umumnya.

BAB 2
Pengembangan Kompetensi di Dalam Sudut Pandang Umum
Pada Pendidikan Khusus
Istilah “pendidikan khusus” atau “pendidikan luar biasa” adalah terjemahan
dari “special education”. Pendidikan khusus adalah pengajaran yang dirancang untuk
memenuhi dan menghilangkan hambatan belajar maupun hambatan perkembangan
yang spesifik akibat disabilitas dan keberbakatan agar kebutuhan pendidikan muridmurid khusus dapat terpenuhi. Pendidikan khusus memerlukan pengetahuan yang luas
dan kemahiran yang kompleks. Pendidikan ini dirancang secara khusus, dijalankan
secara teratur, serta dinilai keefektifannya secara teliti untuk membantu murid dengan
kebutuhan khusus dalam mencapai tahap kemandirian dan keberhasilan hidup yang
memuaskan. Kebutuhan khusus tersebut adalah yang diakibatkan oleh berbagai
kategori disabilitas (disability) dan keberbakatan (giftedness). Anak berkebutuhan
khusus adalah anak yang mempunyai keunikan tersendiri yang ditunjukkan oleh jenis

dan karakteristiknya yang berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya. Dengan
kondisi seperti itu tentunya dalam memberikan layanan pendidikan anak
berkebutuhan khusus berbeda dengan pendidikan anak-anak normal. Dalam
pendidikan khusus (special education), yang menjadi fokus perhatian tertuju kepada
kecacatan anak (disability) atau keberbakatan (giftedness).
Disabilitas merupakan ketidakseimbangan interaksi antara kondisi biologis
dan lingkungan sosial sekitar artinya seorang yang termasuk kedalam penyandang
cacat fisik, cacat mental ataupun gabungan antara keduanya. Pada dasarnya,
penyandang disabilitas membutuhkan bimbingan kecakapan agar bisa menjalankan
hidup yang normal dan layak serta menjalankan fungsinya sebagai anggota
masyarakat.
Disisi lain, peserta didik yang menjadi fokus kajian pendidikan khusus biasa
kita sebut “anak berkebutuhan khusus”. Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah
anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa

selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik. Yang dimaksud
kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,
kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan.
Pendidikan khusus selama beberapa dekade telah mengalami banyak perubahan.
Perubahan itu dipengaruhi oleh sikap dan kesadaran masyarakat terhadap anak

penyandang cacat dan pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang
digunakan. Kolaborasi atau kesepakatan antara guru dan orang tua berperan penting
dalam pendidikan anak dengan kebutuhan khusus karena kolaborasi keduanya dapat
menambahkan

efektivitas

pembelajaran,

disamping

meningkatkan

pelayanan

pendidikan. Tanggung jawab dalam mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus
adalah tanggung jawab yang harus dipikul bersama, baik oleh guru, orangtua, maupun
seluruh masyarakat.
1. Sekilas Tentang Perkembangan Konsep Kompetensi
Sebelum abad ke-20 persoalan melek huruf bukanlah isu sosial utama. Hubungan

antar perorangan didasarkan pada interaksi individu secara langsung. Informasi yang
diperlukan untuk kemandirian dan kompetensi individu terutama ditentukan oleh
percakapan lisan. Kemampuan dalam membaca dan menulis lebih merupakan
perkecualian atau kelebihan, bukan suatu yang diharuskan. Seiring dengan
berjalannya waktu, transformasi budaya dan ekonomi yang terjadi selama pergantian
abad, mengakibatkan standar-kompetensi berkembang menjadi berdasarkan pada
kemampuan baca tulis. Perubahan dari masyarakat pedesaan yang agraris ke
masyarakat industri perkotaan, secara nyata menciptakan revolusi dalam hal cara
orang-orang mencari nafkah. Hal tersebut sejalan dengan konsep bahwa kompetensi
seseorang adalah kemampuan dasar dalam menyiapkan dirinya sendiri dan
kemandirian seseorang dalam mengatasi masalah-masalah lingkungan atau alam.
2. Pengembangan Program Pendidikan Kecakapan Hidup
Pengembangan program pendidikan kecakapan hidup untuk anak-anak dengan
kebutuhan khusus dapat dimulai dengan identifikasi tentang nilai-nilai kehidupan
nyata, pengembangan kompetensi, pengembangan kultur, dan pengembangan
penilaian. Proses ini dapat digambarkan sebagai berikut:.

Identifikasi nilai-nilai kehidupan nyata

Pengembangan kompetensi kecakapan

hidup
Pengembangan kultur sekolah

Pengembangan penilaian

a.) Identifikasi nilai-nilai kehidupan
Nilai-nilai

tersebut

kemudian

didentifikasi

untuk

disesuaikan

penerapannya dengan tingkat pendidikan, jenis sekolah, jenis kelainan
anak dengan kebutuhan khusus dan tingkat kelainannya. Proses

identifikasi ini dilakukan agar pendidikan kecakapan hidup benar-benar
sesuai dengan kebutuhan anak, sesuai dengan lingkungan anak, sesuai
dengan sumber daya yang tersedia dan dapat diterapkan. Hal ini sesuai
dengan prinsip bahwa dengan pendidikan kecakapan, hidup anak-anak
dapat menghadapi dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
b.) Pengembangan kompetensi kecakapan hidup
Hasil

identifikasi

nilai-nilai

kehidupan

nyata

selanjutnya

dikembangkan menjadi kompetensi yang harus dicapai/dikuasai. Peran
guru menjadi sangat penting untuk mengembangkan selumlah kompetensi

dasar menurut pokok bahasan dalam kurikulum yang diintegrasikan
dengan kecakapan hidup. Sesuai dengan karakteristsik anak-anak dengan
kebutuhan khusus maka pengembangan kompetensi kecakapan hidup
hendaknya disesuaikan dengan karakteristik individual anak. Pencapaian
kompetensi oleh anak-anak kemungkinan juga sangat beragam, baik dalam
segi waktu maupun tingkat keberhasilannya. Oleh sebab itu perlu adanya
program yang fleksibel sehingga pelaksanaannya tidak menyulitkan guru
maupun siswa.

c.) Pengembangan kultur sekolah
Pendidikan kecakapan hidup perlu didukung oleh kultur sekolah yang
sehat dan kondisif. Semua komponen sekolah baik kepala sekolah, wakil
kepala, wali kelas dan guru-guru serta pegawan sekolah hendaknya
memberi dukungan positif terhadap program pendidikan kecakapan hidup.
Pengembangan kultur sekolah yang kondusif menjadi tanggung lawab
manajemen sekolah. Karenanya, sangat diperlukan manajemen sekolah
yang sehat. Keberhasilan membangun kultur sekolah tidak semata-mata
dapat dibebankan kepada guru-guru saja, karena terciptanya kultur yang
baik merupakan kontribusi dari semua warga sekolah, bahkan orangtua
siswa dan masyarakat sekitar.

d.) Pengembangan penilaian
Sejalan dengan pengembangan kecakapan hidup maka perlu diiringi
dengan pengembangan penilaiannya. Penguasaan kecakapan hidup tidak
cukup hanya dinilai dengan hanya seperti tes pilihan ganda, atau model
penilaian lain yang mengungkap pengetahuan. Penilaian pendidikan
kecakapan hidup harus komprehensif, tidak semata aspek kognitif yang
diukur, tetapi juga menggunakan hasil karya anak, catatan-catatan tentang
perkembangan anak, perubahan perilaku, maupun portofolio lainnya.
Dengan demikian penilaian yang dilakukan mencakup penilaian hasil dan
juga penilaian proses. Pengembangan instrumen penilaian didasarkan pada
indikator-indikator yang dijabarkan dan kecakapan dasar.
3. Bentuk-Bentuk Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus:
1) Pendidikan Segresi
Sistem pendidikan dimana anak berkelainan terpisah dari sistem
pendidikan anak normal. Penyelengggaraan sistem pendidikan segregasi
dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan
untuk anak normal.

Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak
berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk

sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar
Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk
anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak
tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras),
dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB,
SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka
sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem
pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan
kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan
evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek
perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan
pergaulan yang terbatas.
Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan sistem
segregasi, yaitu:
a.) Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua.
Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan
sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan
diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada
awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai

dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja), sehingga ada SLB untuk
tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita
(SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLBE). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat
lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi.
Selain, ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula SLB
yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu
SLB untuk anak tunarungu dan tunagrahita; SLB-ABCD, yaitu SLB untuk
anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Hal ini terjadi

karena jumlah anak yang ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah
terbatas.
b.) Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa
yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Sekolah Luar Biasa Berasrama
merupakan bentuk sekolah luar biasa yangdilengkapi dengan fasilitas
asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal diasrama. Pengelolaan asrama
menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB
tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit
asrama.
Pada SLB berasrama, terdapat kesinambungan program pembelajaran
antara yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan
tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama
merupakanpilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari
luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
c.) Kelas jauh/Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk
memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang
tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Pengelenggaraan kelasjauh/kelas
kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan
wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar. Anak berkebutuhan
khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah
yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten.
Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung ini. Dalam
penyelenggaraan kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB
terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dariguru
SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant
teacher). Kegiatan administrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.
d.) Sekolah Dasar Luar Biasa

Dalam

rangka

menuntaskan

kesempatan

belajar

bagi

anak

berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II menyelenggarakan
Sekolah Dasar LuarBiasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang
terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB
terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. SDLB
keberadaannya hampir mirip dengan SLB, akan tetapi SDLB sesuai adalah
sekolah

yang

diperuntukkan

dan

untuk

menampung

anak-anak

berkebutuhan khusus usia sekolah dasar dari berbagai jenis dan tingkat
kekhususan yang dialaminya. Mereka belajar di kelas masing-masing yang
disesuaikan dengan jenis kekhususannya, akan tetapi mereka bersosialisasi
secara bersama-sama dalam satu naungan sekolah. SDLB pada hakikatnya
adalah SD Negeri Inpres biasa tetapi diperuntukkan bagi anak usia wajib
belajar yang memerlukan pendidikan khusus. Dilihat dari keragaman anak
di SDLB dengan berbagai jenis kekhususannya tersebut, maka SDLB
sebenarnya termasuk sekolah terpadu, akan tetapi terpadu secara fisik
bukan terpadu secara akademik.
2) Pendidikan Terpadu/Integrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk
belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum.
Dengan demikian, melalui sistem integrasi anak berkebutuhan khusus
bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap.
Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu,
yaitu sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada
suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat
bersifat menyeluruh, sebagaian, atau keterpaduan dalam rangka sosialisasi.
Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986). Ketiga bentuk tersebut
adalah:
a. Bentuk Kelas Biasa

Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar di
kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh
karena itu sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau
guru

bidang

studi

semaksimal

mungkin

dengan

memperhatikan

petunjukpetunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di
kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut keterpaduan penuh.
Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa
ini tidak berbeda dengan yang digunakan pada sekolah umum. Tetapi untuk
beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan anak.
Misalnya, anak tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika,
menulis, membacaperlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak
tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa Indonesia (lisan)
perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak.
b. Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa
dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus
untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak
berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal. Pelayanan khusus
tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing
khusus (GPK), dengan menggunakan pendekatan individu dan metode
peragaan yang sesuai. Untuk keperluan tersebut, di ruang bimbingan
khusus dilengkapi dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan
bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang bimbingan
khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas.
Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.
c. Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti
pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus
pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu.
Keterpaduan ini disebut juga keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan
yang bersifat sosialisasi.

Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi
sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara
penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian
yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik
dan sosial, yang artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk
kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga
sosialisasi pada waktu jam-jam istirahatatau acara lain yang diadakan oleh
sekolah.
3) Bentuk kelas Inklusi
Pendidikan inklusi merupakan suatu strategi untuk mempromosikan
pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah yang
responsif terhadap keberagaman karakteristik dan kebutuhan anak. Di
samping itu, pendidikan inklusif didasarkan pada hak asasi, model sosial,
dan sistem yang disesuaikan pada anak dan bukan anak yang menyesuaikan
pada sistem. Selanjutnya, pendidikan inklusi dapat dipandang sebagai
pergerakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, dan prinsipprinsip utama yang berkaitan dengan anak, pendidikan, keberagaman, dan
diskriminasi, proses partisipasi dan sumber-sumber yang tersedia (Stubbs,
2002:9).
Beberapa dokumen internasional yang penting dan mendasari
pendidikan inklusi yang telah disepakati oleh banyak negara termasuk
Indonesia antara lain, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948,
Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, Deklarasi Dunia tentang
Pendidikan untuk Semua tahun 1990, Peraturan Standar tentang Persamaan
Kesempatan bagi para Penyandang Cacat tahun 1993, Pernyataan
Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus
tahun 1994, Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia tahun 2000 dan yang
lainnya.
Secara

konseptual,

dengan

diterapkannya

pendidikan

inklusi

memungkinkan ABK bersekolah di sekolah manapun sesuai dengan
keinginannya. Akan tetapi kenyataannya belum banyak sekolah di
Indonesia yang siap menerima ABK dengan berbagai alasan baik alasan

teknis maupun nonteknis. Tidak ada peralatan khusus, guru tidak memiliki
pengetahuan dan keterampilan mengajar ABK, hadirnya ABK dapat
mengganggu proses belajar-mengajar dan sebagainya sering menjadi alasan
untuk tidak menerima ABK.
BAB 3
Penutup
Kesimpulan:
Adapun kesimpulan dari makalah tersebut adalah :
1. Pendidikan khusus adalah pengajaran yang dirancang untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan murid-murid khusus.
2. Pendidikan Khusus sebagai layanan (services) yang dilakukan untuk
menghilangkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang spesifik
(akibat disabilitas dan keberbakatan)

agar kebutuhan belajar akibat dari

hambatan itu dapat dipenuhi.
3. Pendidikan khusus harus mempersiapkan anak berkebutuhan khusus dengan
memberikan skills maupun kompetensi agar mereka dapat membaur dengan
lingkungan masyarakat.
4. Tanggung jawab dalam mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus adalah
tanggung jawab yang harus dipikul bersama, baik oleh guru, orangtua,
maupun seluruh masyarakat.
5. Fungsi Pendidikan Khusus:
 Fungsi Preventif: upaya mencegah agar hambatan yang dialami oleh
seorang individu tidak meluas, bahkan hambatan tsb dihilangkan.
 Fungsi kompesasi: upaya/tindakan untuk menganti atau mengalihkan
fungsi yang rusak atau hilang dengan fungsi yang lain.
 Fungsi

intervensi:

membangun

kompetensi/kecakapan

yang

seharusnya dimiliki oleh individu yang mengalami hambatan.
6. Pendidikan Khusus sebagai Ilmu Sebuah ilmu pengetahuan harus memiliki
tiga syarat:
1) Ontologi:
 Objek formal : individu yang mengalami hamabatan belajar dan
hambatan perkembangan

 Objek material: indivdidu
2) Epistimologi: bagaimana pendidikan khusus dapat diketahui: metode
riset dalam pendidikan khusus
3) Aksiologi: Pendididikan khusus digunakan untuk melayani pendidikan
anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan
agar mereka dapat berkembang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Iswari, Mega. Kecakapan Hidup bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat
Ketenagaan,2007.

J, David Smith. Konsep dan Penerapan Pembelajaran Sekolah Inklusif, Bandung:
Nuansa Cendekia, 2013.

Choiri. A.S. & Yusuf. M. , Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Secara Inklusif,
Surakarta: Yuma Pustaka, 2009.

Tarmansyah. Inklusi Pendidikan Untuk Semua, Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan,2007.