LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS VEGETASI MATA
LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS VEGETASI MATA KULIAH EKOLOGI TERAPAN LOKASI : TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE-PANGARANGO KETINGGIAN HM-5 OLEH KELOMPOK II : KURNIAWATI PURWAKA PUTRI P. 052130074 GERADUS M EKOHARTOYO P. 0521300…. ARIS DWI CAHYANTO P. 0521300…. ENTIN KARTINI P. 0521300…. JERREMIAS NDOEN P. 052130904
PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR DESEMBER 2013
ABSTRAK
Kehadiran vegetasi pada suatu area akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan ekosistem. Namun pengaruhnya akan bervariasi tergantung pada struktur dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah itu. Untuk memperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan dilakukan analisis vegetasi. Tujuan praktikum lapang adalah mempelajari komposisi dan dominansi serta struktur komunitas dari masyarakat tumbuh-tumbuhan (vegetasi) yang ada di kawasan HM 5 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Metode pengamatan yang dilakukan adalah kombinasi antara metode jalur dan garis berpetak. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kerapatan populasi semua spesies untuk masing-masing tingkatan vegetasi adalah 135 pohon/hektar; 340 tiang/hektar; 25.000 semai/hektar; 120.000 individu semak herba/hektar; 18.500 individu paku- pakuan/hektar; 4.000 batang palma/hektar. Dominansi semua spesies pada areal HM
5-TNGP untuk tingkat pohon sebesar 25 m 2 /hektar; dan untuk tingkat tiang sebesar 7,19 m 2 /hektar. Spesies yang dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya
di kawasan HM 5 TNGP untuk tingkat pohon, tiang, pancang, semai, semak herba, paku-pakuan dan palma berturut-turut adalah Altingia excelsa (INP= 82,4 %); Ficus variegata (INP = 43,91 %) dan Schima walichi (INP = 39,38 %); Hedyotis diggusa (INP = 25,23 %); Ficus ribes (INP = 22,82 %); Elafostema strigosum (INP = 60,4 %); Cyathea latebrosa (INP = 93,02 %); dan Daemonorops rubra (INP = 146,67 %). Vegetasi tingkat semai menunjukkan tingkat keanekaragaman yang tinggi (H’>3). Tingkat keanekara gaman sedang (H’ = 1-3) ditunjukkan oleh vegetasi tingkat pohon, tiang, pancang, semak-herba dan paku-pakuan. Vegetasi palem memiliki tingkat keanekaragaman rendah (H’<1).
Kata kunci : Analisis Vegetasi, Dominan, Indeks Nilai Penting, Indeks Keragaman, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatNya sehingga praktikum Analisa Vegetasi pada Hutan Hujan Tropis Gede Pangarango Pada Ketingian HM-5 dapat terselesaikan dengan baik.
Praktikum ini merupakan bagian dari matakuliah Ekologi Terapan pada Sekolah Pascasarja Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Linkungan Institut Pertanian Bogor.
Pada kesepatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah membantu terselesaikanya praktikum ini diantaranya :
1. Prof. Andri ……. Sebagai koordinator matakuliah ekologi terapan sekaligus pembimbing praktikum
2. Petugas Gunung Gede Pangaranago
3. Pengenal Pohon…
4. Asisten ….
5. Teman-teman seperjuangan angkatan 2013 Pascasarjana PSL –IPB Akhir kata semoga praktikum ini demi masa depan bumi dan generasi masa depan.
Bogor,…Desember 2013
Tim
Hal Hal
3.4 Analisa Data …………………………………. 16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………. 18
4.1 Analisis Kuantitatif …………………………………. 18
4.1.1 Vegetasi Tingkat Pohon …………………………………. 18
4.1.2 Vegetasi Tingkat Tiang …………………………………. 21
4.1.3 Vegetasi Tingkat Pancang …………………………………. 23
4.1.4 Vegetasi Tingkat Semai …………………………………. 25
4.1.5 Vegetasi Semak Herba …………………………………. 27
4.1.6 Vegetasi Paku-Pakuan …………………………………. 29
4.1.7 Vegetasi Palma …………………………………. 30
4.2 Indeks Diversitas Jenis …………………………………. 31
BAB V KESIMPULAN …………………………………. 34 LAMPIRAN :
Lampiran 1. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Pohon di Hm 5- TNGP Lampiran 2. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Tiang di HM 5- TNGP. Lampiran 3. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Pancang di HM 5- TNGP. Lampiran 4. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Semai di HM 5-TNGP Lampiran 5. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Semak Herba di HM 5-TNGP Lampiran 6. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Paku-Pakuan di HM 5-TNGP Lampiran 7. Foto-foto
DAFTAR TABEL
Hal Tabel 1. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat ……………… 19 Pohon di HM 5 TNGGP. Tabel 2. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat ……………… 22 Tiang di HM 5 TNGP Tabel 3. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat ……………… 24 Pancang di HM 5 – TNGP. Tabel 4. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat ……………… 26 Semai di HM 5 –TNGP.
Tabel 5. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat ……………… 28 Semak dan Herba di HM 5 – TNGP. Tabel 6. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Paku- ……………… 29 Pakuan di HM 5 TNGGP Tabel 7. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Palmae di ……………… 30 HM 5 TNGGP Tabel 8. Indeks Diversitas Shanon dan Indeks ……………… Diversitas Shanon-Wiener pada berbagai tingkat vegetasi di HM 5 TNGP
DAFTAR GAMBAR
Hal Gambar 1. Lokasi (Bukan peta lokasi ……………… 12 Gambar 2. Kompas
……………… 13 Gambar 3. Hagameter
……………… 13 Gambar 4. Kamera
……………… 14 Gambar 5. Roll meter
……………… 14 Gambar 6. Lay Out Antara Cara Jalur dan Cara Garis ……………… 15
Berpetak Gambar 7. Vegetasi tingkat herba di HM 5 TNGP; A. ……………… 28 Herba sp1 (Sirip penyu) ; B. Strobilanthes cemua Blume
Gambar 8. Indeks Diversitas Shanon dan Indeks ……………… 32 Shanon-Wiener di HM 5 - TNGP.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan Gunung Gede Pangrango, memiliki peranan yang sangat penting dan strategis bagi kehidupan manusia dalam lingkup lokal, regional, nasional, maupun global. Kawasan tersebut menjadi daerah hulu untuk beberapa daerah aliran sungai (DAS) sehingga termasuk kawasan konservasi yang secara teori tidak dapat diubah fungsinya menjadi bentuk pemanfaatan lahan lainnya.
Kawasan Taman Nasional ini ditutupi oleh hutan hujan tropis pegunungan dengan berbagai macam spesies seperti spesies anggrek hutan dan bahkan terdapat beberapa jenis tumbuhan yang belum dikenal namanya secara ilmiah, seperti jamur yang bercahaya. Di dalam kawasan hutan TNGP juga ditemukan “si pohon raksasa” Rasamala, “si pemburu serangga” atau kantong semar
(Nephentes spp). Disamping keunikan tumbuhannya, kawasan TNGP juga merupakan habitat dari berbagai jenis satwa liar, seperti kepik raksasa, sejenis kumbang, lebih dari 100 jenis mamalia seperti Kijang, Pelanduk, Anjing Hutan, Macan Tutul, Sigung, dll, serta sekitar 250 jenis burung. Kawasan ini juga merupakan habitat Owa Jawa, Surili, Lutung dan Elang Jawa yang populasinya hampir mendekati punah. Oleh karena itu UNESCO menetapkan kawasan Gunung Gede Pangrango sebagai cagar biosfer yang diarahkan untuk fungsi konservasi plasma nutfah, pembangunan ekonomi berkelanjutan, dan ilmu pengetahuan. Mengingat fungsi dan keberadaannya tersebut, maka dalam pengelolaan kawasan TNGP harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
Kehadiran vegetasi pada suatu area akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan ekosistem. Secara umum peranan vegetasi dalam suatu Kehadiran vegetasi pada suatu area akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan ekosistem. Secara umum peranan vegetasi dalam suatu
Berkaitan dengan kehadiran vegetasi, penting untuk menganalisa vegetasi dengan mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh- tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan, 2005). Analisis vegetasi dapat digunakan untuk mempelajari susunan dan bentuk vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuan yang meliputi mempelajari tegakan hutan yaitu tegakan tingkat pohon dan permudaannya (tingkat tiang, pancang, dan semai) dan mempelajari tegakan tumbuhan bawah yaitu jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan selain permudaan pohon, padang rumput/ilalang dan belukar. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.
Sehubungan dengan fungsi dan peranan TNGP terutama sebagai kawasan penyangga sistem DAS dan sebagai pelestari keanekaragaman hayati, maka diperlukan pengetahuan dan kemampuan untuk memahami struktur dan komposisi vegetasi yang ada di TNGP dengan menginventarisasi vegetasi yang berada didalamnya. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya kegiatan praktikum lapangan analisis vegetasi di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) untuk mengetahui berbagai tingkatan pertumbuhan di TNGP dari mulai semai, pancang, tiang hingga pohon serta vegetasi lainnya yang terdapat pada pohon seperti liana dan lainnya.
1.2 Tujuan Kegiatan Praktikum
Mempelajari komposisi dan dominansi serta struktur komunitas dari masyarakat tumbuh-tumbuhan (vegetasi) yang ada di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
1.3 Ruang Lingkup
Lokasi kegiatan pratikum adalah Taman Nasional Gunung Gede Pangarango pada ketinggian HM 5. Lingkup kegiatannya adalah pratikum analisis vegetasi untuk mempelajari komposisi dan dominansi serta struktur komunitas dari masyarakat tumbuh-tumbuhan (vegetasi) yang ada di kawasan.
1.4 Sitematika Penyajian Laporan Pratikum
Laporan ini terdiri dari 5 Bab yakni : Bab I Pendahuluan : berisi latar belakang, tujuan serta sistematika penyajian laporan praktikum. Bab II Tinjauan Pustaka : berisi uraian tentang uraian mengenai Taman
Nasional Gede Pangarango, serta teori tentang vegetasi. Bab III Metodologi : mengambarkan tentang metode pelaksanaan
pratikum yakni waktu dan lokasi, bahan dan alat, prosedur survey dan analisis data.
Bab IV Hasil dan Pembahasan : menguraikan tentang hasil analisis kuantitatif vegetasi serta Indeks Diversitas Jenis
Bab V Kesimpulan : menyajikan kesimpulan dari hasil praktikum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
2.1.1 Sejarah dan Perkembangan
Penetapan Gunung Gede Pangrango sebagai lokasi suaka alam sebenamya telah dimulai oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1889 dengan menetapkan kawasan yang ada di puncak Gunung Gede Pangrango
(Kabupaten Cianjur) sebagai kawasan hutan seluas 150 km 2 . Selanjutnya Pemerintah Indonesia mengubah status wilayah Gede Pangrango menjadi
Taman Nasional pada tahun 1980 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian tahun 1980.
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) dalam McKinnon, et al (1990) mendeskripsikan taman nasional sebagai kawasan dengan tujuan utama pengelolaannya adalah :
1. Mempertahankan contoh ekosistem dalam kondisi alaminya
2. Mempertahankan keanekaragaman ekologis dan pengaturan lingkungan
3. Melestarikan sumberdaya plasma nutfah
4. Melestarikan kondisi kawasan tangkap air
5. Menyediakan pelayanan rekreasi dan pariwisata
6. Melindungi obyek dan tempat warisan budaya, sejarah, dan purbakala
7. Melindungi keindahan alam serta tempat terbuka
8. Mendorong pemanfaatan rasional serta bekelanjutan dari kawasan merjinal dan pembangunan pedesaan. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan salah satu dari
enam cagar biosfer di Indonesia yang telah diresmikan oleh MAB UNESCO pada tahun 1977. Peresmian tersebut dilakukan bersamaan pada empat cagar biosfer, yaitu TN Gunung Gede Pangrango, TN Tanjung Putting, TN Lore Lindu, dan TN Komodo. Sebagai cagar biosfer, TNGP diarahkan untuk melayani enam cagar biosfer di Indonesia yang telah diresmikan oleh MAB UNESCO pada tahun 1977. Peresmian tersebut dilakukan bersamaan pada empat cagar biosfer, yaitu TN Gunung Gede Pangrango, TN Tanjung Putting, TN Lore Lindu, dan TN Komodo. Sebagai cagar biosfer, TNGP diarahkan untuk melayani
2.1.2 Letak Kawasan
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dengan luasan 21.975 hektar merupakan kawasan Taman Nasional yang ditutupi oleh hutan hujan tropis pegunungan. Kawasan yang berjarak ± 100 km dari Jakarta tersebut berada pada ketinggian 1200-1500 m dpl. Secara administrasi pemerintahan, kawasan TNGP berada pada 3 wilayah kabupaten di Jawa Barat, yaitu Cianjur, Bogor, dan Sukabumi.
2.1.3 Kondisi Fisik Lapangan
Kondisi hutannya relative masih sangat baik sehingga kawasan TNGGP disebut sebagai perwakilan ekosisitem hutan hujan tropis pegunungan di Pulau Jawa. Berdasarkan ketinggian, formasi hutan di kawasan TNGGP dibedakan menjadi 3 (tiga) ekosistem utama yaitu : Sub Montana (1000 – 1500 m dpl); Montana (1500 – 2400 m dpl); Sub Alpin (> 2400 m dpl).
Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango termasuk dalam tipe hutan dengan zona sub pegunungan atas. Hutan sub zona tersebut dicirikan dengan adanya lima lapisan vegetasi, tingginya kekayaan jenis, pertumbuhan tanaman yang relatif cepat, daun-daun tumbuhan yang berdaun lebar, Lingkungan hutan cenderung hangat dan lembab dengan tanah yang berhumus tebal serta tingkat persaingan yang tinggi dengan jenis-jenis pohon terutama dari kelompok FAGO-LAURACEODS. Ahli ekologi membuat klasifikasi ekosistem hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ke dalam tiga tipe vegetasi berdasarkan ketinggian, yaitu :
1. Montana Bawah/Submontana (1000-1500 mdpl) Tipe vegetasi ini dapat ditemukan saat mulai memasuki kawasan TNGP tipe hutan ini mempunyai jenis vegetasi yang merupakan campuran antara 1. Montana Bawah/Submontana (1000-1500 mdpl) Tipe vegetasi ini dapat ditemukan saat mulai memasuki kawasan TNGP tipe hutan ini mempunyai jenis vegetasi yang merupakan campuran antara
2. Montana (1.500-2.400 mdpl) Zona ini disebut juga “Hutan Pegunungan Atas”. Ekoton antara vegetasi hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas biasanya sangat jelas. Tajuk pohon di hutan pegunungan biasanya memeliki ketinggian yang sama, yaitu 20 meter.
3. Sub Alpin (2.400-3.019 mdpl) Hutan di zona sub alpin hanya terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan pohon- pohon kerdil, rapat dengan batang pohon yang kecil, dan lantai hutan dengan tumbuhan bawah yang jarang. Hanya ditemukan sedikit jenis vegetasi yang telah beradaptasi dengan lingkungan yang beriklim ekstrim, hal ini terkait kondisi tanah yang miskin hara dengan jenis tanah berbatu (litosol).
2.1.4 Geologi dan Tanah
Kondisi tanah di hutan montana dataran rendah biasanya dalam, basah, dan kaya dengan bahan-bahan organik dan partikel tanah yang subur seperti tanah liat, karena itu, pohon-pohon di hutan montana tumbuh lebih besar dan tinggi. Pada daerah yang lebih tinggi ketersediaan dan kondisi udara semakin sedikit dan menipis, dan kelembaban makin rendah, serta ketersediaan nutrisi tanah juga sedikit.Hal ini menyebabkan keanekaragaman jenis tumbuh semakin rendah dan struktur hutan sudah tidak lengkap, tidak ada pohon tinggi.
2.1.5 Iklim
Kawasan Gunung Gede Pangrango merupakan kawasan yang terbasah di pula Jawa dan sebagai konsekuensinya hutan di kawasan ini sangat kaya dengan keanekaragaman jenis flora. Bulan Desember-Maret merupakan bulan terbasah, dimana hujan turun hampir setiap hari.Tetapi antara bulan maret- september merupakan musim kering/kemarau, daun-daun kering banyak berjatuhan dan potensial untuk menyebabkan kebakaran, namun kelembaban lingkungan mikro hutan dan tanah mampu untuk menjaga agar vegetasi tetap Kawasan Gunung Gede Pangrango merupakan kawasan yang terbasah di pula Jawa dan sebagai konsekuensinya hutan di kawasan ini sangat kaya dengan keanekaragaman jenis flora. Bulan Desember-Maret merupakan bulan terbasah, dimana hujan turun hampir setiap hari.Tetapi antara bulan maret- september merupakan musim kering/kemarau, daun-daun kering banyak berjatuhan dan potensial untuk menyebabkan kebakaran, namun kelembaban lingkungan mikro hutan dan tanah mampu untuk menjaga agar vegetasi tetap
2.1.6 Keanekaragaman Flora dan Fauna
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memiliki keanekaragaman jenis baik tumbuhan maupun hewan yang sangat menarik. Di dalam kawasan TNGP, dapat dit emukan “si pohon raksasa” Rasamala, “si pemburu serangga” atau kantong semar, berjenis-jenis anggrek hutan dan bahkan ada beberapa jenis tumbuhan yang belum dikenal namanya secara ilmiah, seperti jamur yang bercahaya. Disamping keunikan tumbuhannya, kawasan TNGP juga merupakan habitat dari berbagai jenis satwa liar, seperti kepik raksasa sejenis kumbang, lebih dari 100 jenis mamalia seperti kijang, pelanduk, anjing hutan, macan tutul, sigung, dll serta 250 jenis burung. Kawasan ini juga merupakan habitat Owa Jawa, surili, lutung, dan elang jawa yang populasinya hampir mendekati punah. ( www.gedepangrango.org )
Secara umum, peranan vegetasi dalam suatu ekosistem terkait dengan pengaturan keseimbangan karbondioksida dan oksigen di udara, perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologis tanah, pengaturan tata air tanah,dan lain-lain. Meskipun secara umum kehadiran vegetasi pada suatu area memberikan dampak positif, tetapi pengaruhnya bervariasi; tergantung pada struktur dan komposisi tumbuhan yang menyusun formasi vegetasi daerah tersebut. Vegetasi atau komunitas tumbuhan merupakan salah satu komponen biotik yang menempati habitat tertentu seperti hutan, padang ilalang, semak belukar, dan lain-lain. Struktur dan komposisi vegetasi pada suatu wilayah dipengaruhi oleh komponen ekosistem lainnya yang saling berinteraksi, sehingga vegetasi yang tumbuh secara alami pada wilayah tersebut sesungguhnya merupakan pencerminan hasil interaksi berbagai faktor lingkungan dan dapat mengalami perubahan dastrik karena pengaruh anthropogenik (Sundarapandian dan Swamy, 2000)
2.2 VEGETASI
Vegetasi di definisikan sebagai mosaik komunitas tumbuhan dalam lansekap dan vegetasi alami diartikan sebagai vegetasi yang terdapat dalam lansekep yang belum dipengaruhi oleh manusia (Kuchler, 1967). Dalam mendiskripsikan suatu vegetasi haruslah dimulai dari suatu titik pandang bahwa vegetasi merupakan suatu pengelompokan tumbuh-tumbuhan yang hidup bersama terutama yang mungkin dikarakterisasi baik oleh spesies sebagai komponenya, maupun oleh kombinasi dan struktur sifat-sifatnya yang mengkarakterisasi gambaran vegetasi secara umum atau fungsional.
Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan kedalam 3 kategori yaitu (1) pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda; (2) menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal; dan (3) melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith, 1983).
Mulyana et al. (2005) mengemukakan bahwa struktur suatu vegetasi merupakan organisasi dalam ruang, tegakan, tipe vegetasi atau asosiasi tumbuhan dengan unsur utamanya adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi, dan penutupan tumbuhan. Lebih jauh, struktur vegetasi hutan dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu (1) struktur vertikal (stratifikasi berdasarkan lapisan tajuk), (2) struktur horisontal (stratifikasi berdasarkan penyebaran spasial individu suatu jenis dalam populasi), dan (3) kelimpahan jenis. Disamping ketiga komponen tersebut, masih terdapat struktur didalam satuan waktu, yaitu suksesi dan klimaks yang hanya dipusatkan pada struktur spasial yang merupakan struktur yang berhubungan dengan waktu.
Dalam ilmu vegetasi telah dikembangkan berbagai metode untuk menganalisis dan juga sintesis sehingga akan membantu dan mendiskripsikan suatu vegetasi sesuai dengan kemajuan dalam bidang-bidang pengetahuan. Untuk mempelajari komposisi vegetasi dapat dilakukan dengan Metode Berpetak (Teknik sampling kuadrat : petak tunggal atau ganda, Metode Jalur, Metode Garis Berpetak) dan Metode Tanpa Petak (Metode berpasangan acak,
Titik pusat kwadran, Metode titik sentuh, Metode garis sentuh, Metode Bitterlich) (Kusuma, 1997).
Selanjutnya, Indriyanto (2006) mengatakan bahwa berdasarkan analisis vegetasi dapat ditentukan beberapa besaran yang dapat memberikan gambaran tentang keseluruhan kondisi kawasan pengamatan, yaitu :
1. Kerapatan (K) dan Kerapatan Relatif (KR) Kerapatan adalah perbandingan jumlah individu suatu jenis terhadap luas petak contoh yang digunakan. Berdasarkan kerapatan suatu individu dapat ditentukan pula Kerapatan Relatif masing-masing jenis individu, yaitu kerapatan individu suatu jenis dibanding dengan kerapatan seluruh jenis yang ditemukan.
2. Frekuensi (F) dan Frekuensi Relatif (RF) Frekuensi adalah jumlah petak yang berisi suatu spesies dibandingkan dengan jumlah seluruh petak contoh. Berdasarkan frekuensi suatu individu dapat ditentukan pula Frekuensi Relatif masing-masing jenis individu suatu jenis dibanding dengan frekuensi seluruh jenis.
3. Luas Penutupan atau dominansi (D) dan Dominansi Relatif (DR) Luas penutupan atau dominansi (coverage) adalah proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Luas penutupan dapat dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk atau luas bidang dasar (basal area). Sedangkan luas penutupan atau dominansi relatif merupakan perbandingan antara dominansi jenis yang lain.
Indeks nilai penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi atau penguasaan spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan (Gopal dan Bhardwaj (1979) dalam Indriyanto (2006). Berdasarkan Soerianegara dan Indrawan (2005), jumlah nilai maksimal INP pada tingkat pohon dewasa adalah 300% yaitu jumlah parameter KR, FR, dan DR. Sedangkan jumlah nilai maksimal INP pada tingkat permudaan adalah 200% yaitu jumlah parameter KR dan FR.
Indeks-indeks lainnya yang dapat menggambarkan kondisi suatu kawasan, antara lain : Perbandingan Nilai Penting (Summed Dominance Ratio), Indeks Dominansi (Index of Dominance), Indeks Keanekaragaman (Index of Difersity) yang biasa ditentukan dengan Indeks Shannon dan/atau Indeks Mmargalef (Indriyanto, 2006).
Stratifikasi atau pelapisan tajuk merupakan susunan tetumbuhan secara vertikal di dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Pada tipe ekosistem hutan hujan tropis stratifikasi biasanya tersusun secara lengkap terdiri dari lima strata (storey). Tiap lapisan di dalam stratifikasi disebut stratum atau strata. Menurut Soerianegara dan Indrawan (2005), stratifikasi yang terbentuk di dalam masyarakat tumbuhan disebabkan oleh dua hal, yaitu :
1. Persaingan Persaingan terjadi akibat adanya kompetisi yang berlangsung di dalam suatu masyarakat tumbuhan antar spesies pohon yang ada. Akibat kompetisi ini akan muncul pohon yang mampu bersaing, memiliki pertumbuhan yang kuat dan menjadi spesies yang dominan atau lebih berkuasa dari individu lain. Individu pohon-pohon dominan yang terbentuk tersebut akan mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan. Contoh spesies tersebut antara lain jenis Shorea spp. Yang dominan di hutan- hutan pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera yang menyusun stratum teratas (A) sehingga membentuk kelompok hutan Dipterocarpaceae.
2. Semi toleransi spesies Sifat toleransi spesies ini sangat dipengaruhi oleh intensitas matahari. Spesies-spesies pohon yang intoleran mendapatkan kesempatan ruang tumbuh dengan radiasi matahari penuh, sehingga proses pertumbuhannya akan lebih cepat dan menjadi lebih tinggi.jenis individu intoleran tidak tahan berada dibawah naungan, karena menyebabkan pertumbuhannya menjadi lambat bahkan dapat mengakibatkan kematian. Pada individu pohon dengan sifat toleran akan bertahan di bawah naungan jenis intoleran.
Stratifikasi yang ada dalam hutan tropis adalah sebagai berikut :
a. Stratum A : Lapisan teratas, terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi totalnya lebih dari 30 meter. Umunya tajuk diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus dengan batang bebas cabang yang tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini pada masa mudanya, tingkat semai hingga pancang memerlukan naungan sekedarnya, tetapi untuk pertumbuhan selanjutnya perlu cahaya yang cukup banyak.
b. Stratum B : Terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi antara 20-30 meter, tajuk umumnya kontinyu, batang bercabang banyak dengan batang bebas cabang tidak terlalu tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini kurang memerlukan cahaya dan tahan naungan.
c. Stratum C : terdiri dari pohon dengan tinggi 4-20 meter, tajuk kontinyu, pohon rendah dan banyak bercabang.
d. Stratum D : Lapisan perdu dan semak dengan tinggi 1-4 meter
e. Stratum E : tumbuh-tumbuhan penutup tanah dengan tinggi antara 0-1 meter.
Selanjutnya dikatakan pula bahwa tidak semua hutan tropika mempunyai ketiga strata (strata A, B, dan C) utama diatas (Soerianegara dan Indrawan, 2005).
BAB III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Lokasi
Kegiatan analisis vegetasi dilakukan pada hari Minggu, tanggal 15 Desember 2013, yang bertempat di HM 5 Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Taman Nasional Gunung Gede Pangrango secara
0 0 geografis terletak antara 106 0 51’-107 02’ BT dan 6 41 LS. Denah lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. …………kalau mau ditambah…Pak eko
punya peta lokasi dll ??
Gambar 1. Lokasi (Bukan peta lokasi)
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan untuk pengamatan dan pengukuran adalah vegetasi yang ada di lokasi yang meliputi semai, pancang, tiang, pohon, semak herba, paku-pakuan dan palem.
Peralatan yang digunakan selama pelaksanaan penelitian antara lain GPS, kompas, roll meter, meteran jahit, Christen-meter/haga, meteran, tambang, kamera, patok, kamera dan alat tulis menulis. Untuk lebih jelasnya beberapa peralatan yang digunakan disajikan pada Gambar 2 sampai dengan
Gambar 2. Kompas
Gambar 3. Hagameter
Gambar 4. Kamera
Gambar 5. Roll meter
3.3 Prosedur Kegiatan Analisa Vegetasi
1. Analisis vegetasi dilakukan di dalam plot-plot pengamatan di kawasan Taman Nasinola Gunung Gede Pangrango dengan menggunakan metoda Kombinasi antara cara jalur dan cara garis berpetak pada unit contoh yang berbentuk jalur sepanjang 100 m, dengan arah tegak lurus kontur berdasarkan derajat (azimut) yang diukur dengan menggunakan kompas. Dasar pertimbangan menggunakan metode tersebut adalah representative dan cukup akurat untuk melakukan teknik sampling analisa vegetasi serta dapat mewakili populasi yang berada di dalam areal hutan yang diamati. Di dalam plot pengamatan pohon dibuat petak-petak berbentuk bujur sangkar yang lebih kecil untuk tumbuhan yang lebih kecil dan permudaan (Gambar 6).
Gambar 6. Lay Out Antara Cara Jalur dan Cara Garis Berpetak
Keterangan :
Petak A = Petak ukur untuk Semai (2 x 2 m2) Petak B = Petak ukur untuk Pancang (5 x 5 m2) Petak C = Petak ukur untuk Tiang (10 x 10 m2) Petak D = Petak ukur untuk Pohon (20 x 20 m2)
2. Setelah menentukan titik awal pengamatan untuk membuat jalur, kemudian menarik tambang atau tali sepanjang 100 m untuk menentukan panjang jalur, serta 20 meter untuk menentukan lebar jalur. Pemasangan patok untuk pembuatan petak-petak pengamatan.
3. Membuat petak pertama berukuran 20 x 20 meter. Di dalam petak tersebut, buatkan juga sub petak berukuran 10 x 10 meter, sub-sub petak berukuran 5 x 5 meter, serta petak 2 x 2 meter yang digunakan untuk pengamatan anakan.
4. Pengukuran bisa dimulai dari petak 20 x 20 untuk pohon (diameter ≥ 20 cm), 10 x 10 untuk tiang (diameter 10-<20 cm), 5 x 5 untuk pancang (diameter <10 cm, tinggi > 1.5 m), epifit, liana, tumbuhan bawah, serta 2 x
2 meter untuk semai (anakan pohon yang baru tumbuh hingga anakan pohon yang mempunyai tinggi hingga 1,5 m).
5. Data yang dicatat dalam pengamatan vegetasi pada seluruh tingkat pertumbuhan parameter yang diukur pada setiap petak contoh, meliputi:
Jenis, jumlah, tinggi bebas cabang, tinggi total dan diameter tingkat pohon.
Jenis, jumlah, tinggi bebas cabang, tinggi total dan diameter tingkat tiang.
Jenis dan jumlah tingkat pancang Jenis dan jumlah tingkat semai liana, epifit, parasit dan tumbuhan
bawah yaitu tumbuhan selain permudaan pohon misalnya rumput, herba dan semak belukar.
3.4 Analisa Data
Data vegetasi hutan yang terkumpul selanjutnya dianalisis dan dihitung nilai-nilai : kerapatan, kerapatan relative, frekwensi, frekuensi relative, dominansi, dominansi relatif dan indeks nilai penting dari masing-masing jenis, dengan .menggunakan rumus-rumus sebagai berikut :
Kerapatan Jumlah individu suatu jenis
(batang/ha)
Luas Seluruh Petak
Kerapatan Nisbi
Kerapatan suatu jenis
X 100 % (%)
Kerapatan seluruh jenis
Basal Area suatu jenis
Dominansi (m2/ha) =
Luas seluruh petak
Dominansi Nisbi
Dominansi suatu jenis
X 100 % (%)
Dominansi seluruh jenis
Jumlah petak terisi suatu jenis
Frekuensi
Jumlah seluruh petak
Frekuensi suatu jenis
Frekuensi Nisbi (%) =
X 100 %
Frekuensi seluruh jenis
Indeks Nilai
KN + FN + DoN
Penting
Khusus untuk tingkat pancang, semai dan tumbuhan bawah, Indeks Nilai Penting (INP) cukup dihitung berdasarkan rumus :
Indeks Nilai Penting (INP) = KN + FN
Keanekaragaman Hayati Pengolahan selanjutnya adalah menghitung Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener dan Indeks Shannon (Shannon Index of Diversity). Untuk menghitung Indeks Keanekaragaman Shannon (Shannon Index of Diversity) digunakan rumus sebagai berikut (Pileou, 1969; Magurran, 1988):
(H’) = - Σ [ pi Log pi] dimana pi = ni / N Keterangan:
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon (Shannon Index of Diversity) ni = Indeks Nilai Penting suatu jenis N = Jumlah Indeks Nilai Penting dari seluruh jenis
Sedangkan untuk menghitung Indeks Keanekaragaman Shannon- Wiener digunakan rumus sebagai berikut:
H’) = - Σ [ pi Log pi] dimana pi = ni / N
Keterangan: H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
ni = Kerapatan spesies ke-i N = Jumlah total spesies yang ditemukan
Kategori penilaian untuk keanekaragaman jenis adalah : H’ < 1 : Keanekaragaman rendah, penyebaran rendah, kestabilan
komunitas rendah
1 <H’<3 : Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, kestabilan komunitas sedang H’>3 : Keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi, kestabilan komunitas tinggi
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kuantitatif
Hutan merupakan komponen habitat terpenting bagi kehidupan, oleh karenanya kondisi masyarakat tumbuh-tumbuhan (vegetasi) di dalam hutan baik komposisi spesies, dominansi spesies, kerapatan maupun keadaan penutupan tajuknya perlu dianalisis.
Analisis kuantitatif yang dilakukan terhadap vegetasi di dalam plot pengamatan meliputi penghitungan Indeks Nilai Penting (INP). Untuk penghitungan INP tersebut terlebih dahulu menghitung kerapatan, frekuensi, dan dominansi untuk setiap jenis pada tiap tingkat vegetasi. Nilai dominansi dapat ditentukan untuk tiap jenis pada tingkat vegetasi yang memiliki data untuk pengukuran Luas Bidang Dasar (LBDS) sehingga untuk analisis dominansi hanya dapat dilakukan pada vegetasi tingkat pohon dan tiang.
Hasil analisis kuantitatif vegetasi tingkat pohon dan permudaannya (tingkat tiang, pancang, dan semai) serta vegetasi semak herba, paku, palma dan rotan di HM 5 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) adalah sebagai berikut :
4.1.1 Vegetasi Tingkat Pohon
Pengukuran pohon adalah pengukuran tumbuhan berdiameter lebih dari
20 cm yang dilakukan pada petak ukur (plot) berukuran 20 x 20 meter. Data yang diambil pada pengamatan vegetasi tingkat pohon meliputi diameter batang, tinggi pohon, spesies/jenis pohon, dan jumlah individu tiap spesies. Hasil pengamatan vegetasi tingkat pohon disajikan pada Lampiran 1.
Sedangkan hasil perhitungan kerapatan, kerapatan relatif, frekwensi, frekwensi relatif, dominasi, dominasi relatif, dan indeks nilai penting disajikan pada Tabel
1. Hasil analisis (Tabel 1) menunjukkan bahwa nilai kerapatan dari 16 spesies yang terdapat di HM 5 TNGP cukup bervariasi. Nilai kerapatan suatu spesies menunjukkan jumlah individu spesies bersangkutan pada satuan luas tertentu, sehingga nilai kerapatan yang dihasilkan dalam kegiatan ini merupakan gambaran mengenai jumlah jenis bersangkutan yang ada di HM 5 TNGP atau lebih luasnya untuk zona sub-montana hutan di TNGP. Total kerapatan pohon dari 16 spesies tersebut adalah 135 pohon/hektar dengan nilai kerapatan tertinggi sebesar 25 pohon/hektar dan kerapatan relative 18,5 % dicapai oleh spesies A. excelsa (rasamala) dan M. glauca (manglid). Selanjutnya diikuti oleh spesies F. fistulosa (kondang beunying), M. rehizinoides (manggong) dan C. tunggurrut (tunggeureut) dengan nilai kerapatan masing- masing sebesar 10 pohon/hektar dan kerapatan relatif sebesar 7,4 %. Sedangkan 11 spesies lainnya menunjukkan nilai kerapatan jenis terendah yaitu masing-masing sebesar 5 pohon/hektar dengan kerapatan relatif sebesar 3,70 %.
Tabel 1. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat Pohon di HM 5 TNGGP.
NAMA JENIS
D DR INP Latin
KR F FR
Lokal
Sloanea sigun
1 5 3,7 0,2 4,2 0,3 1,1 8,9 Alaeocarpus ganitrus
beleketebe
1 5 3,7 0,2 4,2 0,2 0,7 8,6 Engelhardia spicata
ganitri
1 5 3,7 0,2 4,2 0,3 1,2 9,0 Solanum verbascifolium L
kihujan
1 5 3,7 0,2 4,2 0,2 0,7 8,6 Perumnopytis amara
kijogo/teter
1 5 3,7 0,2 4,2 0,5 1,9 9,8 Podocarpus neriifolius
Ki Merak
Ficus Fistulosa Reinw.
beunying
Macaranga rehizinoides manggong
2 10 7,4 0,4 8,3 1,3 5,3 21,1 Manglietica glauca
5 25 18,5 0,8 16,7 2,2 8,8 44,0 Ostodes paniculata (BL) muncang cina
manglid
NAMA JENIS
D DR INP Latin
KR F FR
Lokal
Lithocarpus elegans
1 5 3,7 0,2 4,2 1,6 6,4 14,2 (BL) Horsus
pasang batu
5 25 18,5 0,6 12,5 12,9 51,4 82,4 Castanopsis acuminatissima
Altingia excelsa
rasamala
1 5 3,7 0,2 4,2 0,3 1,2 9,1 Castanopsis argentea
riung anak
1 5 3,7 0,2 4,2 1,0 4,1 11,9 Castanopsis tunggurrut tunggerek
saninten
2 10 7,4 0,4 8,3 2,5 10,0 25,7 Ficus ribes Reinw.
Keterangan : n
= Jumlah vegetasi
FR
= Frekuensi relatif (%)
K = Kerapatan (pohon/hektar)
D = Dominansi (m 2 /hektar)
KR = Kerapatan relatif (%)
DR
= Dominansi relatif (%)
F = Frekuensi
INP
= Indeks Nilai Penting (%)
Perbedaan nilai kerapatan masing-masing spesies tersebut disebabkan adanya perbedaan kemampuan reproduksi, penyebaran dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Akan tetapi nilai kerapatan tersebut hanya dapat memberikan informasi tentang kehadiran tumbuhan tertentu dalam suatu plot dan belum dapat memberikan gambaran tentang bagaimana distribusi dan pola penyebarannya. Gambaran mengenai distribusi individu pada suatu jenis tertentu dapat dilihat dari nilai frekuensinya.
Nilai frekuensi tertinggi (Tabel 1) ditemukan pada spesies M. glauca (manglid) yaitu sebesar 0,8 yang berarti dari total 5 plot yang diamati di lokasi penelitian, 4 plot di antaranya terdapat jenis M. glauca (manglid). Spesies lain dengan nilai frekuensi yang relatif tinggi adalah A. excelsa (rasamala) yaitu sebesar 0,6 atau ditemukan pada 3 plot dari 5 sampel plot yang diamati. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik habitat di HM 5 - TNGP cukup sesuai dengan karakteristik spesies M. glauca (manglid) dan A. excelsa (rasamala), sehingga kedua spesies tersebut mampu beradaptasi dengan baik yang tercermin dari tingkat kerapatannya serta tersebar pada hampir seluruh lokasi penelitian.
Nilai dominasi setiap spesies yang terdapat di HM 5 – TNGP juga sangat bervariasi. Dominansi terendah sebesar 0,2 m 2 /hektar ditemukan pada spesies
A. ganitrus (ganitri), S. verbascifolium (kijogo) dan F. ribes (walen), sedangkan A. ganitrus (ganitri), S. verbascifolium (kijogo) dan F. ribes (walen), sedangkan
tingkat kerapatan dan ukuran rata-rata diameter batang dari masing-masing spesies. Spesies A. excelsa (rasamala) menunjukkan nilai dominansi tertinggi disebabkan ukuran diameter batangnya yang besar disamping nilai kerapatan yang tinggi. Sedangkan spesies M. glauca walaupun nilai kerapatannya sama dengan spesies rasamala, tetapi memiliki rata-rata diameter batang setinggi dada spesies M. glauca (manglid) relative lebih rendah dibanding spesies A. excelsa (rasamala).
Indeks nilai penting (INP) merupakan hasil penjumlahan nilai relatif ketiga parameter (kerapatan, frekuensi dan dominasi) yang telah diukur sebelumnya. Menurut Sundarapandian dan Swamy (2000), Indeks Nilai Penting (INP) merupakan salah satu parameter yang dapat memberikan gambaran tentang peranan spesies yang bersangkutan dalam komunitasnya atau pada lokasi penelitian. Dalam penelitian ini diketahui bahwa spesies A. excelsa (rasamala) merupakan spesies yang mendominasi di areal HM 5 – TNGP karena memiliki nilai INP tertinggi yaitu sebesar 82,4 %. Hal ini menunjukkan bahwa spesies A. excelsa (rasamala) merupakan jenis yang dominan dalam ekosistem HM 5 - TNGP. Keberhasilan spesies A. excelsa untuk hidup serta mampu mendominasi di di wilayah tersebut menunjukkan kemampuan adaptasi yang cukup tinggi dengan kondisi lingkungan pada seluruh wilayah penelitian. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Kreb (1994) yang menyebutkan bahwa keberhasilan setiap jenis untuk mengokupasi suatu area dipengaruhi oleh kemampuannya beradaptasi secara optimal terhadap seluruh faktor lingkungan fisik (temperatur, cahaya, struktur tanah, kelembapan, dan sebagainya), faktor biotik (interaksi antar jenis, kompetisi, parasitisme, dan lain- lain), serta faktor kimia yang meliputi ketersediaan air, oksigen, pH, nutrisi dalam tanah dan lainnya yang saling berinteraksi.
4.1.2 Vegetasi Tingkat Tiang
Pengukuran tiang adalah pengukuran tumbuhan dengan diameter antara 10-20 cm yang dilakukan pada petak sub-kuadran berukuran 10 x 10 m. Sama Pengukuran tiang adalah pengukuran tumbuhan dengan diameter antara 10-20 cm yang dilakukan pada petak sub-kuadran berukuran 10 x 10 m. Sama
Tabel 2. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat Tiang di HM 5 TNGP
NAMA JENIS
D DR INP Latin
Alaeocarpus ganitrus
1 20 5,9 0,2 7,14 0,37 5,11 18,13 Aleurites fordii
ganitri
1 20 5,9 0,2 7,14 0,55 7,71 20,74 Leptospermum palescen
kemiri cina
ki tanduk
kileho
Saurauia bracteosa
1 20 5,9 0,2 7,14 0,21 2,87 15,90 Turpenia montana BL
leutik
1 20 5,9 0,2 7,14 0,46 6,46 19,49 Turpenia sphaerocarpa
Ki Bancet
Kirangkong 1 20 5,9 0,2 7,14 0,46 6,46 19,49 Hassk
kondang
Ficus Fistulosa Reinw.
beunying
2 40 11,8 0,2 7,14 0,52 7,26 26,16 Schima walichi
Villebrunea rubescens
Nangsi
2 40 11,8 0,4 14.29 0,96 13,33 39,38 Altingia excelsa
puspa
1 20 5,9 0,2 7,14 0,54 7,45 20,48 Castanopsis acuminatissima
rasamala
1 20 5,9 0,2 7,14 0,61 8,52 21,54 Castanopsis argentea
riung anak
1 20 5,9 0,2 7,14 0,29 4,10 17,12 Toona sureni
Keterangan : n
= Jumlah vegetasi
FR
= Frekuensi relatif (%)
K = Kerapatan (tiang/hektar)
D = Dominansi (m 2 /hektar)
KR = Kerapatan relatif (%)
DR
= Dominansi relatif (%)
F = Frekuensi
INP
= Indeks Nilai Penting (%)
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui terdapat 13 spesies tingkat tiang yang berhasil diidentifikasi di HM 5-TNGP dengan total kerapatan sebesar 340 tiang/hektar (Tabel 2). Nilai kerapatan tertinggi dicapai oleh spesies F. fistulosa (kondang beunying) yaitu sebesar 60 tiang/hektar (17,65%). Akan tetapi nilai frekuensi tiang tertinggi justru ditunjukkan oleh spesies S. walichi (puspa) yaitu sebesar 0,4 yang berarti bahwa spesies S. walichi (puspa) ditemukan di 2 plot Berdasarkan hasil pengamatan diketahui terdapat 13 spesies tingkat tiang yang berhasil diidentifikasi di HM 5-TNGP dengan total kerapatan sebesar 340 tiang/hektar (Tabel 2). Nilai kerapatan tertinggi dicapai oleh spesies F. fistulosa (kondang beunying) yaitu sebesar 60 tiang/hektar (17,65%). Akan tetapi nilai frekuensi tiang tertinggi justru ditunjukkan oleh spesies S. walichi (puspa) yaitu sebesar 0,4 yang berarti bahwa spesies S. walichi (puspa) ditemukan di 2 plot
Nilai dominansi tertinggi untuk tingkat tiang ditunjukkan oleh spesies F. fistulosa (kondang beunying) yaitu sebesar 1.38 m 2 /hektar (19,12 %). Hal ini
disebabkan oleh total luas bidang dasar (LBDS) yang lebih besar dibandingkan dengan nilai LBDS spesies-spesies lain. Selain itu juga dipengaruhi oleh nilai
kerapatan spesies F. fistulosa (kondang beunying) yang relatif tinggi (60 tiang/hektar), sehingga kedua parameter ini juga cukup berpengaruh terhadap nilai dominansi yang dihasilkan.
Kehadiran suatu spesies pada daerah tertentu menunjukkan kemampuan spesies tersebut untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat, sehingga jenis yang mendominasi suatu areal dapat dinyatakan sebagai jenis yang memiliki kemampuan adaptasi dan toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan. Secara kuantitatif, jenis vegetasi yang dominan dalam suatu komunitas ini diantaranya dapat diukur dengan parameter Nilai Indeks Nilai Penting (INP).
Dalam pengamatan kali ini, spesies yang menunjukkan INP tertinggi untuk tingkat tiang adalah F. fistulosa (kondang beunying) yaitu sebesar 43,91 %. Nilai INP spesies tersebut mendapatkan sumbangan terbesar dari nilai dominansi dan kerapatannya yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan spesies lainnya. Berdasarkan nilai INP tersebut diketahui bahwa F. fistulosa merupakan spesies yang dominan dalam ekosistem HM -5 TNGP untuk tingkat tiang. Spesies tiang lainnya yang juga cukup dominan adalah S. walichii (puspa) dengan nilai INP sebesar 39,38 %. Nilai INP tersebut mendapatkan sumbangan terbesar dari nilai frekuensinya yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan spesies lainnya, disamping nilai kerapatan dan dominansinya.
4.1.3 Vegetasi Tingkat Pancang
Pancang adalah regenerasi pohon dengan ukuran lebih tinggi dari 1,5 meter serta diameter batang kurang dari 10 cm. Ukuran petak yang digunakan untuk pengukuran pancang adalah 5 x 5 meter. Tidak seperti pada tingkat tiang Pancang adalah regenerasi pohon dengan ukuran lebih tinggi dari 1,5 meter serta diameter batang kurang dari 10 cm. Ukuran petak yang digunakan untuk pengukuran pancang adalah 5 x 5 meter. Tidak seperti pada tingkat tiang
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui terdapat 20 spesies tingkat pancang yang berhasil diidentifikasi di HM 5-TNGP dengan total kerapatan pohon sebesar 4.160 pancang/hektar (Tabel 3). Nilai kerapatan tertinggi dicapai oleh spesies H. diggusa (ki kopi leutik) dan F. fistulosa (kondang beunying/hijau) yaitu masing-masing sebesar 560 pancang/hektar (13,5%). Nilai frekuensi tertinggi hanya ditunjukkan oleh spesies H. diggusa (ki kopi leutik) yaitu sebesar 0,8 yang berarti bahwa spesies tersebut relative lebih tersebar dibandingkan spesies lainnya karena ditemukan di 4 plot dari 5 sampel plot yang diamati. Spesies lainnya yang juga menunjukkan nilai frekuensi relatif besar adalah V. rubescens (nangsi) yaitu sebesar 0,6. Sedangkan spesies F. fistulosa (kondang beunying/hijau) cenderung kurang tersebar luas karena hanya ditemukan di 2 plot saja dengan nilai frekuensi yang dihasilkan sebesar 0,4.
Nilai Indeks Nilai Penting (INP) menunjukkan bahwa spesies H. diggusa (ki kopi leutik) merupakan spesies yang mendominasi untuk tingkat pancang di HM 5 – TNGP dengan nilai INP sebesar 25,53 %. Spesies lainnya yang juga cenderung cukup dominan adalah F. fistulosa (kondang beunying/hijau) dengan nilai INP sebesar 19,34 %.
Tabel 3. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat Pancang di HM 5 – TNGP.
NAMA JENIS
F FR INP Latin
KR
Lokal
2 160 3,85 0,4 5,88 9,73 Alaeocarpus ganitrus
Ficus cuspidata Reinw.
darangdang
1 80 1,92 0,2 2,94 4,86 Ardisia marginata BL
ganitri
2 160 3,85 0,4 5,88 9,73 Turpenia montana BL
ki ajag
1 80 1,92 0,2 2,94 4,86 Dichroa sylvanica Reinw.
ki bancet
kicarang
NAMA JENIS
F FR INP Latin
KR
Lokal
Solanum verbascifolium L ki jogo/teter
5 400 9,62 0,4 5,88 15,50 Hedyotis diggusa Wild.
7 560 13,5 0,8 11,76 25,23 Mussaenda frodosa
ki kopi leutik
2 160 3,85 0,4 5,88 9,73 Mycetica modiflora
ki labang
ki leho bodas
kondang
Ficus Fistulosa Reinw.
beunying
Syzygium picnatum Merr.
3 240 5,77 0,4 5,88 11,65 Macaranga rehizinoides
kopo
1 80 1,92 0,2 2.94 4,86 Villebrunea rubescens
5 400 9,62 0,4 5,88 15,50 Lithocarpus elegans (BL) Horsus
Trevesia sundaica
cucuk
3 240 5,77 0,4 5,88 11,65 Castanopsis acuminatissima
pasang batu
1 80 1,92 0,2 2,94 4,86 Schefflera lutescens (BL)
riung anak
1 80 1,92 0,2 2,94 4,86 Pygeum latifolium Mig.
romo giling
2 160 3,85 0,4 5,88 9,73 Captanopsis tunggurut
salam hutan
1 80 1,92 0,2 2,94 4,86 Talauma condollei
n = Jumlah vegetasi
F = Frekuensi K
KR= Kerapatan relatif (%);
= Kerapatan (pancang/hektar) FR= Frekuensi relatif (%); INP = Indeks Nilai Penting (%)
4.1.4 Vegetasi Tingkat Semai
Semai adalah regenerasi pohon dengan ukuran lebih rendah dari 1,5 meter. Ukuran petak yang digunakan untuk pengukuran semai adalah 2 x 2 meter. Sebagaimana pancang, tahap pertumbuhan semai hanya dihitung jumlah individu tiap spesies dan jumlah spesies. Hasil pengamatan vegetasi tingkat pohon disajikan pada Lampiran 4. Hasil analisis kuantitatif untuk vegetasi tingkat semai di HM 5 TNGP disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat Semai di HM 5 –TNGP.
NAMA JENIS
F FR INP Latin
KR
Lokal
Smilax odoratissima BL
4 0,2 2,94 6,94 Smilax macrocarpa BL
canar kecil
4 0,2 2,94 6,94 Alaeocarpus ganitrus
canar
4 0,4 5,88 9,88 Ardisia marginata Bl
ganitri
2 0,2 2,94 4,94 Dichroa sylvanica Reinw.
ki ajag
4 0,4 5,88 9,8 Engelhardia spicata
ki carang
2 0,2 2,94 4,94 Schefflera aromatica
ki hujan
4 0,4 5,88 9,88 Hypobathrum frutescens
ki jangkorang
(BL)
2 0,2 2,94 4,94 Saurauia bracteosa
ki kopi
5 2.500 10 0,2 2,94 12,94 Saurauia nudiflora
ki leho
ki leho badak
ki leho
2 0,2 2,94 4,94 Perumnopytis amara
Saurauia cauliflora DC
beureum
2 0,2 2,94 4,94 Mussaenda frodosa
ki merak
Mussaenda frodosa
2 0,2 2,94 4,94 Podocarpus neriifolius D. Don
bodas
2 0,2 2,94 4,94 Macropanax dispermum BL
ki putri
2 0,2 2,94 4,9 Ficus Fistulosa Reinw.
ki racun
6 0,2 2,94 8,94 Syzygium picnatum Merr.
kondang hijau
kopo hutan
Trevesia sundaica
6 0,4 5,88 11,88 Lithocarpus elegans
cucuk
2 0,2 2,94 4,94 Schima walichi
pasang batu
2 0,2 2,94 4,94 Pygeum latifolium Mig.
puspa
2 0,2 2,94 4,94 Castanopsis argentea
salam hutan
2 0,2 2,94 4,9 Schima noronhae
saninten
2 0,2 2,94 4,94 Talauma condollei
tehtehan
8 0,4 5,88 13,88 Ficus ribes Reinw.
Keterangan : n
= Jumlah vegetasi
INP
= Indeks Nilai Penting (%)
K = Kerapatan (semai/hektar)
F = Frekuensi
KR = Kerapatan relatif (%)
FR
= Frekuensi relatif (%)
Dari hasil pengamatan terdapat 26 spesies yang berhasil diidentifikasi di HM 5-TNGP dengan total kerapatan mencapai 25.000 semai/hektar (Tabel 4). Nilai kerapatan semai tertinggi (3.500 semai/hektar atau 14 %) dicapai oleh spesies F. ribes (walen). Selain nilai kerapatannya, F. ribes (walen) juga menunjukkan nilai frekuensi terbesar yangmana spesies tersebut ditemukan di
3 plot dari 5 plot sampel yang diamati. Berdasarkan nilai kerapatan dan frekuensi tertinggi yang dihasilkan spesies F. ribes (walen) tersebut, menggambarkan kemampuan adaptasi dari spesies teresebut yang lebih baik dibandingkan spesies-spesies lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik habitat di HM 5 - TNGP cukup sesuai dengan karakteristik spesies
F. ribes (walen) untuk tingkat semai.
4.1.5 Vegetasi Semak Herba