TINJAUAN KONSTITUSIONAL sengketa KEWENANGAN PEMER

TINJAUAN KONSTITUSIONAL KEWENANGAN PEMERINTAH
DAERAH KABUPATEN BADUNG DALAM MENGELUARKAN
KEBIJAKAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN AKOMODASI
PARIWISATA
I Nyoman Ngurah Suwarnatha, S.H., LL.M.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional Denpasar
e-mail: ngurahsuwarnatha13@gmail.com

ABSTRACT
Badung regency government can do tourism accommodation
development control policies, because based on the principle of
decentralization, the area has the authority to make policies to regulate the
affairs of local government it self and it is stated in Article 18 paragraph (2)
and (6) of the 1945 Constitution. By taking control policy development
tourism accommodation before passing legislation Badung regency new
spatial plan, policy or decision of the government to control the development
of tourism accommodation an oversight or control a priori to avoid mistakes
or errors in the mapping area into an already crowded area with tourism
accommodation
Keywords : Principle of Decentralization, Constitution, Tourism.


A. Pendahuluan
Perkembangan kepariwisataan di Bali selama beberapa tahun terakhir
menunjukan peningkatan yang sangat signifikan. Pembangunan
kepariwisataan yang berkelanjutan dilandaskan pada keseimbangan antara

53

ketiga elemen utama, yaitu lingkungan, ekonomi, dan sosial. Keseimbangan
tersebut dicapai dengan:1
a) Menyeimbangkan pemanfaatan lingkungan dengan manfaat ekonomis
dari kepariwisataan.
b) Menyeimbangkan pemanfaatan sumberdaya lingkungan dengan
perubahan nilai sosial dan komunitas yang disebabkan oleh
penggungaan sumberdaya lingkungan, dan
c) Menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan dampak pertumbuhan
ekonomi pada nilai sosial dan komunitas.
Prinsip keseimbangan antara manfaat ekonomi, dampak pada
kehidupan sosial budaya, dan dampak pada lingkungan dalam prinsip
pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan ini juga sejalan dengan
pilihan strategis pembangunan kepariwisataan2 di Bali, yaitu empat jalur

strategi pengembangan (four-track strategies), yaitu pro poor (miskin), pro
job (tenaga kerja), pro growth (pertumbuhan), dan pro environment
(lingkungan). Dalam hal perekonomian, sektor pariwisata Bali mempunyai
peran yang besar. Sektor pariwisata merupakan penyumpang terbesar ke-5
pada devisa nasional dan memberikan kontribusi cukup signifikan kepada
Produk Domestik Bruto, penciptaan lapangan pekerjaan, upah dan gaji, dan
pajak tak langsung.3
Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan kebijakan untuk moratorium
alias penghentian sementara pembangunan hotel di tiga daerah, yaitu
Denpasar, Badung, dan Gianyar. Pemerintah Provinsi Bali menilai ditiga
daerah itu terjadi over supply hotel. Kebijakan itu dituangkan dalam Surat
Gubernur Bali Nomor 570/1665/BPM tentang Penghentian Sementara
Pendaftaran Penanaman Modal untuk Bidang Usaha Jasa Akomodasi
Pariwisata yang berlaku per 5 Januari 2011. Pembangunan hotel selanjutnya
diarahkan ke Bali utara. Keputusan itu berdasarkan kajian yang menyebutkan
1

Ike Janita Dewi, Implementasi dan Implikasi Kelembagaan Pemasaran Pariwisata yang
Bertanggungjawab (Responsible Tourism Marketing) , Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata Republik Indonesia, 2011, hlm. 11.

2
Ibid.
3
Ibid. hlm. 12.

54

pasokan kamar hotel di Bali mencapai 45.557 unit. Dari jumlah itu 85 persen
diantaranya terkonsentrasi di kawasan Bali selatan, yakni Denpasar, Badung,
dan Gianyar. Hasil kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata yang menyebutkan jika ditambah
villa dan pondok wisata, jumlah kamar yang tersedia di Bali hingga akhir
tahun 2010 sudah mencapai 55.000 unit. Pada 2009, jumlahnya sebanyak
46.014 unit kamar.4
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Badung, menempatkan
jumlah hotel terbanyak terdapat di Kecamatan Kuta dengan 81 buah hotel
berbintang dan 258 hotel melati. Diposisi kedua ditempati oleh Kecamatan
Kuta Selatan dengan 66 buah hotel berbintang dan 117 hotel melati,
sedangkan diurutan ketiga adalah Kecamatan Kuta Utara dengan 1 buah
hotel berbintang dan 261 hotel melati.5

Berdasarkan pada data jumlah hotel tersebut, pembangunan hotel
selanjutnya diarahkan ke kawasan Bali utara dan barat. Surat Gubernur
tersebut, sampai dengan saat ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh
Walikota dan Bupati, karena wewenang perijinan khususnya untuk
penanaman modal dalam negeri (PMDN) dikeluarkan di tingkat kabupaten
dan kota.
Peraturan perundang-undangan dapat dijadikan suatu acuan dalam
penyusunan regulasi yang berkaitan dengan pemberian izin, sehingga suatu
aturan yang dibuat oleh pemerintah dapat bersifat memaksa dan memiliki
sanksi sebagai konsekuensi, apabila peraturan yang dibuat tersebut tidak
dipatuhi. Dalam melaksanakan proses pemberian izin, pihak aparatur dan
pencari izin wajib untuk mentaati proses perizinan, sehingga terjadi ketaatan
terhadap regulasi yang diberlakukan, dan apabila dilanggar maka izin yang
telah dikeluarkan akan dicabut.
Pemerintah mempunyai otoritas untuk menerapkan suatu peraturan
perundang-undangan, yang digunakan sebagai alat kontrol
terhadap
4

Tiga

Daerah
di
Bali
Stop
Bangun
Hotel,
Tempo,
http://www.tempo.co/read/news/2011/02/07/179311681/Tiga-Daerah-di-Bali-Stop-BangunHotel, diakses tanggal 20 November 2012.
5
http://badungkab.bps.go.id, diakses tanggal 20 November 2012.

55

perilaku masyarakat. Peraturan perundang-undangan atau kaidah hukum
dapat dinyatakan berlaku dengan baik jika memenuhi tiga syarat, yakni:
pertama, secara yuridis, jika penentuan berlakunya peraturan perundangundangan dididasarkan pada kaidah hukum yang lebih tinggi. Kedua , secara
sosiologis, peraturan perundang-undangan dapat dipaksakan berlakunya oleh
penguasa meskipun tidak diterima oleh masyarakat (teori kekuasaan) atau
peraturan perundang-undangan berlaku karena diterima dan diakui oleh
masyarakat (teori pengakuan). Ketiga , secara filosofis, peraturan perundangundangan yang diberlakukan sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai

positif tertinggi. Jadi peraturan perundang-undangan mengenai kebijakan
pengendalian pembangunan akomodasi pariwisata agar dapat berlaku dengan
baik, maka peraturan tersebut harus dapat berlaku secara yuridis, sosiologis
maupun filosofis.
B. Pembahasan
Kewenangan pemerintah merupakan dasar utama bagi setiap tindakan
dan perbuatan hukum dari setiap level pemerintahan. Dengan adanya dasar
kewenangan yang sah maka setiap tindakkan dan perbuatan hukum yang
dilakukan pada setiap level pemerintahan dapat dikategorikan sebagai
tindakan dan perbuatan hukum yang sah. Sebaliknya, apabila tanpa ada dasar
kewenangan, maka setiap tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan
oleh setiap level pemerintah dapat dikategorikan sebagai tindakkan dan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat juga dikatakan sebagai
pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik.6
Kebijakan pengendalian pembangunan akomodasi pariwisata bertujuan
memperbaiki proses pemberian izin dan perencanaan penggunaan lahan yang
mendukung target pembangunan ekonomi kabupaten Badung serta
menghormati hak-hak masyarakat setempat.

6


Akil Mochtar, Kewenangan Pusat Dan Daerah Dalam Pembangunan Daerah Di Era
Otonomi, Disampaikan pada Seminar “Relations between Governments at Central and
Regional Level”, (Pontianak: Universitas Tanjungpura, 21 Juli 2010), hlm. 6.

56

1. Kewenangan Pemerintah Daerah Mengendalikan Pembangunan
Akomodasi Pariwisata ditinjau dari Aspek Konstitusi
Kewenangan pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah Provinsi
sebagai daerah otonom memiliki kewenangan dalam bidang pemerintahan
yang bersifat lintas Kabupaten/Kota.7
Menurut Liang Gie, otonomi daerah adalah wewenang untuk
menyelenggarakan kepentingan sekelompok penduduk yang berdiam dalam
suatu leingkungan wilayah tertentu yang mencakup mengatur, mengurus,
mengendalikan dan mengembangkan berbagai hal yang perlu bagi kehidupan
penduduk. Sehingga otonomi daerah merupakan hak penduduk yang tinggal
dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan
mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati peraturan
perundang-undangan yang berlaku.8 UUD 1945 setelah amandemen telah

melahirkan konsep otonomi daerah, yang memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan, hal ini diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945.
Pengertian desentralisasi sebagai konsep mempunyai beberapa bentuk,
di antaranya 9:
a. Dekonsentrasi, yaitu redistribusi tanggung jawab administratif dalam
khirarki pemerintah pusat melalui pengalihan beban kerja dari
pemerintah pusat ke pejabatnya sendiri di daerah.
b. Delegasi, yaitu pelimpahan pembuatan keputusan dan manajemen
untuk kepentingan khusus di bawah tanggung jawab pemerintah
pusat.
c. Devolusi, yaitu kemampuan unit pemerintah daerah yang mandiri,
independen dan otonom, dimana pemerintah pusat melepaskan
fungsi-fungsi tertentu serta pengawasannya.
7

Deddy Supriady Batakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), 2004, hlm. 50
8

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah , (Jakarta:
Grasindo, 2007), hlm.30.
9
Edi Santoso dan et. al., Otonomi Daerah : Cappacity Building dan Penguatan Demokrasi
Local, (Semarang : Puskodak Undip, 2003), hlm. 134.

57

d. Transfer of function, yaitu sebagai kelanjutan dari devolusi,
pemerintah memberikan dan mentransfer fungsi dan tugas-tugasnya
kepada masyarakat dan lembaga non pemerintah lainnya.
Berdasarkan ketentuan Undang Undang Dasar 1945, khususnya Pasal

18 ayat (2), kepada Pemerintah Daerah diberi wewenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri rumah tangganya menurut asas otonomi dan tugas
perbantuan.
Kewenangan pemerintah yang diserahkan kepada daerah sebagai
bentuk pelaksanaan asas desentralisasi menciptakan daerah-daerah otonom.
Dengan demikian substansi otonomi daerah adalah kewenangan
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom sebagai wujud asas

desentralisasi dalam lingkup negara kesatuan.10
Secara konstitusional, berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD
1945, pemerintah daerah memiliki hak untuk menetapkan peraturan daerah
(Perda) dan peraturan-peraturan lainnya dalam rangka melaksanakan otonomi
dan tugas pembantuan. Peraturan-peraturan lain yang dimaksudkan dapat
berupa peraturan Gubernur atau Bupati atau Walikota, dan keputusan
Gubernur atau Bupati atau Walikota.
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Pemerintah
Daerah yang memiliki hak otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur
(rules making) dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri. Mengatur merupakan perbuatan menciptakan norma hukum
yang dituangkan dalam peraturan daerah. Pelimpahan wewenang dari
Pemerintahan Pusat kepada Pemerintahan Daerah meliputi kewenangan di
bidang pemerintahan. Fungsi pembentukan kebijakan (policy making
function) dilaksanakan oleh DPRD, sedangkan fungsi pelaksana kebijakan
(policy executing function) dilaksanakan oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
Otonomi daerah memiliki makna, bahwa daerah dapat membuat
perundang-undangan sendiri (peraturan daerah) serta menjalankan

10


Akil Mochtar, Op. Cit., hlm. 3.

58

pemerintahan sendiri. Rakyat dalam suatu daerah otonom memiliki hak
mengatur dan menjalankan rumah tangga daerah itu sendiri. 11
Berdasarkan asas desentralisasi, daerah memiliki kewenangan membuat
kebijakan daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri.
Kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan dalam bidang
pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.
Prinsip pemberian hak Otonomi oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah
Kabupaten/Kota dalam konstitusi Indonesia adalah untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat serta untuk menampung aspirasi dan keinginan
masyarakat yang dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh pemerintah daerah
dalam mengambil kebijakan daerah yang nantinya dapat langsung dijalankan
oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian akan
menimbulkan kedekatan hubungan antara rakyat dengan pemerintah.

2. Kewenangan Pemerintah Daerah Mengendalikan Pembangunan
Akomodasi Pariwisata ditinjau dari Aspek Otonomi Daerah
Untuk melaksanakan konsep otonomi daerah, maka negara kesatuan RI
dibagi atas beberapa daerah otonom, yaitu daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten dan Kota. Di dalam daerah otonom tersebut mempunyai sistem
pemerintahan, yang hanya terdiri dari badan eksekutif (Kepala Daerah) dan
badan legislatif (DPRD). Sedangkan badan yudikatif tetap tersentral menjadi
wewenang pemerintah pusat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah berwenang mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Asas otonomi dan tugas pembantuan adalah pelaksanaan urusan
pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh
11

Ibid.

59

pemerintahan daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh pemerintah
provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dari
pemerintah kabupaten/kota ke desa.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah memiliki kewenangan
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Daya saing daerah adalah merupakan kombinasi antara faktor kondisi
ekonomi daerah, kualitas kelembagaan publik daerah, sumber daya manusia,
dan teknologi, yang secara keseluruhan membangun kemampuan daerah
untuk bersaing dengan daerah lain.
Urusan pemerintah adalah urusan pemerintahan yang mutlak menjadi
kewenangannya dan urusan bidang lainnya yaitu bagian-bagian urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya Pemerintah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah hanya berwenang atas
beberapa urusan pemerintahan yang bukan termasuk urusan pemerintahan
pusat. Di antara urusan yang menjadi wewenang pemerintah pusat adalah
Politik luar negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan fiskal
nasional, dan Agama. Sehingga pemerintahan daerah hanya berwenang
melaksanakan urusan pemerintahan di bidang eksekutif dan legislatif di
daerah.
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pemerintah provinsi tidak hanya melaksanakan
kewenangan berdasarkan pada asas desentralisasi politik atau devolusi,
akan tetapi juga melaksakan kewenangan berdasarkan pada asas
60

dekonsentrasi. Sedangkan pemerintah kabupaten atau kota hanya
melaksanakan kewenangan berdasarkan pada asas desentralisasi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah, terdiri dari urusan wajib dan pilihan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten
merupakan urusan yang berskala kabupaten meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
Kewenangan pemerintah daerah dalam kaitannya dengan urusan wajib
pemerintah daerah dalam hal pengaturan wilayah yang terkait dengan
penanaman modal akomodasi pariwisata adalah perencanaan dan
pengendalian pembangunan, pengendalian lingkungan hidup dan pelayanan
administrasi penanaman modal.

61

Urusan pemerintahan kabupaten yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan pemerintahan yang secara nyata
adalah urusan pemerintahan yang sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi yang dimiliki antara lain pertambangan, perikanan, pertanian,
perkebunan, kehutanan, dan pariwisata.
Berdasarkan ketentuan Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dalam menyelenggarakan otonomi, daerah
mempunyai kewajiban:
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan
kerukunan
b. nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
d. mengembangkan kehidupan demokrasi;
e. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
f. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
g. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
h. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
i. mengembangkan sistem jaminan sosial;
j. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
k. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
l. melestarikan lingkungan hidup;
m. mengelola administrasi kependudukan;
n. melestarikan nilai sosial budaya;
o. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai
dengan kewenangannya; dan
p. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

62

Pembagian urusan ini menunjukkan bahwa pada UU No. 32 Tahun
2004, menganut paham General Competence atau open end arrangement.
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1) Ultra vires doctrine yaitu
pemerintah pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan kepada daerah
otonom dengan merinci sartu persatu. Daerah otonom hanya boleh
menyelenggarakan wewenang yang diserahkan tersebut. Sisa kewenangan
dari kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom secara terperinci
tersebut tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. 2) open end
arrangement atau General Competence yaitu daerah otonom boleh
menyelenggarakan semua urusan diluar yang dimiliki pemerintah pusat.
Artinya pemerintah pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan kepada
daerah untuk menyelenggarakan kewenangan berdasarkan kebutuhan dan
inisiatifnya sendiri diluar kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat.12
Sebagaimana dikemukakan Hanif Nurcholis:13
“Cara penyerahan General Competence inilah yang dianut UU No. 32
Tahun 2004. Kewenangan pemerintah pusat adalah: Politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,
dan agama.”
Menurut Rondinelli dan Cheema, urusan pemerintahan yang telah
diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah bila dikaitkan
dengan teori desentralisasi adalah14 “the transfer of planning, decisionmaking, or administrative autority from central government to its field
organisation, local adminstrative units, semi autonomous and parastatal
organisation, local government, or non-governmant organisations”.
Berdasarkan teori ini, pemerintah daerahlah yang merencanakan secara
mandiri apa yang hendak dilaksanakan terhadap urusan yang telah
diserahkan.
12

Andi Kasmawati, Implikasi Hukum Kebijakan Desentralisasi dalam Hubungan
Kewenangan antartingkat Pemerintahan Negara Kesatuan , Jurnal Hukum, No. 4 Vol 17
Oktober 2010 (Yogyakarta: UII, 2010), hlm. 556.
13
Ibid.
14
Ibid., hlm. 560.

63

3. Kewenangan Pemerintah Daerah Mengendalikan Pembangunan
Akomodasi Pariwisata ditinjau dari Aspek Penataan Ruang
Orientasi penataan ruang, berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah dalam rangka mewujudkan
ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: (a).
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
(b). terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan (c).
terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Pelaksanaan penataan ruang dilakukan melalui tiga kegiatan yakni,15
(i) perencanaan tata ruang, (ii) pemanfaatan ruang, dan (iii) pengendalian
pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan
rencana umum dan rencana rinci tata ruang. Rencana umum tata ruang
berjenjang dari atas ke bawah adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Nasional, RTRW Provinsi, dan RTRW kabupaten serta kota. Sedangkan,
rencana rinci tata ruang terdiri atas (i) rencana tata ruang pulau/kepulauan
dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional, (ii) rencana tata ruang
kawasan strategis provinsi, dan (iii) rencana detail tata ruang kabupaten/kota
dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota. Berdasarkan
ketentuan Pasal 14 ayat (4) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, hubungan antara rencana umum tata ruang dengan rencana rinci tata
ruang adalah, rencana rinci tata ruang disusun sebagai perangkat operasional
dari rencana umum tata ruang. Untuk rencana rinci rencana tata ruang
kawasan strategis provinsi dan rencana rinci rencana detail tata ruang
kabupaten/kota dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota
akan disusun jika, pertama, rencana umum belum dapat dijadikan
landasan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kedua,
15

Maria S. Sumardjono, dkk., Final Report kajian Kritis Undang-Undang Terkait Penataan
Ruang & Sumber Daya Alam, (Jakarta: Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian
Negara Lingkungan Hidup Bekerjasama dengan ESP2 – DANIDA, 2009), hlm. 63.

64

rencana umum tata ruang mencakup wilayah perencanaan yang luas dan
skala peta dalam rencana umum tersebut memerlukan perincian sebelum
dioperasionalkan. Sedangkan, rencana detail tata ruang dijadikan landasan
pengaturan zonasi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, rencana tata ruang yang telah ditetapkan dapat ditinjau
kembali. Hasil dari peninjauan kembali rencana tata ruang berupa
rekomendasi tetap memberlakukan rencana tata ruang lama atau merevisi
rencana tata ruang lama.16 Ketentuan inilah yang dapat dijadikan dasar atau
payung hukum bagi pemerintah kabupaten Badung dalam melakukan
revisi Perda RTRW Kabupaten Badung untuk meninjau kembali wilayah
yang dapat atau masih dapat didirikan akomodasi pariwisata.
Ruang terbuka hijau dalam RTRW Kabupaten terdiri dari ruang
terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Proporsi ruang terbuka
hijau dalam kota minimal 30% dari luas wilayah kota dan proporsi ruang
terbuka hijau publik paling sedikit 20% dari keseluruhan wilayah kota.17
Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam
rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan
tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya
alam lain. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui (i)
penetapan peraturan zonasi, (ii) perijinan, (iii) pemberian insentif dan
disinsentif, serta (iv) pengenaan sanksi. Peraturan zonasi sendiri disusun
berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang.
Ketentuan perijinan yang berkaitan dengan pengendalian pemanfaatan ruang
dikeluarkan oleh pemerintah. Ijin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan
dan/atau dengan tidak melalui prosedur yang benar akan batal demi hukum.
Di titik lain, ijin yang sebelumnya telah didapatkan, namun tidak berlaku lagi
akibat perubahan RTRW akan mendapatkan ganti kerugian dari
pemerintah pusat atau Pemda. Dalam pengawasan penataan ruang
16

Maria S. Sumardjono, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Pertanahan ,
(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
RI, 2009), hlm. 63.
17
Maria S. Sumardjono, Op. Cit., hlm. 64.

65

dilakukan serangkaian tindakan yang terdiri atas pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan. Pengawasan tersebut dilaksanakan oleh pemerintah serta Pemda
menurut kewenangannya masing-masing. Di samping itu, peran serta
masyarakat harus diintensifkan dalam pengawasan itu.18
Perlunya Kabupaten Badung untuk segera memiliki Perda RTRW
untuk memperjelas pemetaan wilayah yang dapat menjadi acuan bagi
pemerintah dalam melakukan pengawasan dan kontrol dalam hal
pertumbuhan sarana akomodasi pariwisata.
4. Kewenangan Pemerintah Daerah Mengendalikan Pembangunan
Akomodasi Pariwisata ditinjau dari Aspek Kepariwisataan
Berdasarkan ketentuan UU No 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan, penyelenggaraan kepariwisataan di Indonesia didasarkan
pada asas yang sejalan dan sejiwa dengan etos dan prinsip Pembangunan
Kepariwisataan yang berkelanjutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU No
10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, asas penyelenggaraan
kepariwisataan di Indonesia adalah manfaat, kekeluargaan, adil dan merata,
keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan,
demokratis, kesetaraan, dan kesatuan. Selain itu, dimensi pembangunan
kepariwisataan yang berbasis prinsip keberlanjutan juga tergambarkan
dengan jelas pada Pasal 3 UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
di mana tujuan kepariwisataan adalah untuk: meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan,
mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber
daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa
cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, dan mempererat
persahabatan antar bangsa. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No 10
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, mengenai melestarikan alam
dan lingkungan, merupakan salah satu dasar yang dapat digunakan
oleh pemerintah daerah dalam mengerem laju pertumbuhan sarana
akomodasi pariwisata khususnya dalam hal
pembangunan atau
18

Ibid., hlm. 64.

66

pendirian hotel, karena jumlah hotel berbintang maupun non bintang di
wilayah Kabupaten Badung khususnya Kuta dan Kuta Selatan sudah lebih
dari cukup jika dibandingkan antara luas ketersedian lahan untuk
pembangunan hotel dengan lahan ruang terbuka hijau yang dapat difungsikan
sebagai penetral polusi udara dan resapan air hujan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 UU No 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan, kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk
melindungi hak wisatawan, menciptakan iklim yang kondusif untuk
perkembangan usaha pariwisata, memelihara, mengembangkan, dan
melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata, dan mengawasi
dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah
dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.
Dengan melihat ketentuan Pasal 23 UU No 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk
melakukan kontrol atau pengawasan terhadap pengaruh negatif
pertumbuhan laju pembangunan akomodasi pariwisata, sehingga
pemerintah dapat menekan dampak negatif dari investasi pembangunan
akomodasi pariwisata bagi masyarakat sekitar wilayah tersebut dan
dampak negatif dari persaingan para investor atau pemilik akomodasi
pariwisata.
Ditinjau dari segi saat atau waktu dilaksanakannya suatu kontrol atau
pengawasan, dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu kontrol apriori
dan kontrol aposteriori. Kontrol apriori adalah pengawasan yang
dilakukan sebelum dilakukan tindakan atau dikeluarkannya suatu keputusan
atau ketetapan pemerintah atau peraturan lainnya yang menjadi wewenang
pemerintah. Kontrol aposteriori adalah pengawasan yang dilakukan
sesudah dikeluarkan suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau sesudah
terjadinya tindakan pemerintah.19
Dengan mengambil kebijakan pengendalian pembangunan
akomodasi pariwisata sebelum disahkannya Perda RTRW Kabupaten
Badung yang baru, maka
kebijakan atau keputusan pemerintah
Ni’matul Huda, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika ,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 243.

19

67

untuk melakukan pengendalian pembangunan akomodasi pariwisata
merupakan tindakan pengawasan atau kontrol apriori untuk menghindari
kekeliruan atau kesalahan dalam memetakan wilayah yang menjadi kawasan
yang sudah padat dengan akomodasi pariwisata.
Perizinan pada usaha kepariwisataan (izin teknis) bisa digunakan
sebagai sarana untuk memastikan kepatuhan pada peraturan terutama yang
berkaitan dengan isu perlindungan lingkungan hidup (dalam bentuk
AMDAL), keamanan dan keselamatan. Perencanaan Peruntukkan Lahan dan
Pengendalian Pembangunan yang diwujudkan dalam Rencana Tata Ruang
dan Wilayah (RTRW) bisa menjadi alat pengendalian (berkaitan dengan
penerapan daya dukung) dan penyebaran pembangunan destinasi wisata di
destinasi/kawasan pariwisata yang akan dikembangkan.
Pertumbuhan hotel selalu dikaitkan dengan indikator pertumbuhan
pariwisata. Dalam menciptakan pembangunan pariwisata berkelanjutan yang
paling penting adalah perlunya perubahan pola pikir mengenai pembangunan
pariwisata Bali, khususnya Kabupaten Badung. Indikator-indikator
keberhasilan pertumbuhan pariwisata, bukan hanya dilihat dari jumlah
kedatangan dan perjalaan wisatawan, tetapi juga dilihat dari peningkatan taraf
hidup masyarakat di wilayah tersebut. Dalam pemberian ijin pembangunan
hotel, idealnya berpihak pada sejauh mana pembangunan hotel dapat
memberikan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat setempat serta mampu
memberikan manfaat bagi pelestarian budaya dan lingkungan secara merata
dan berkelanjutan, tetapi kenyataannya manfaat ekonomi yang diperoleh dari
sektor pariwisata masih kerap dibarengi oleh berbagai masalah sosial-budaya
dan juga lingkungan.

68

C. Kesimpulan dan Saran
Prinsip pemberian hak Otonomi oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah
Kabupaten/Kota dalam Konstitusi Indonesia adalah untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat serta untuk menampung aspirasi dan keinginan
masyarakat yang dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh pemerintah daerah
dalam mengambil kebijakan daerah yang nantinya dapat langsung dijalankan
oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota.
Pemerintah Daerah Kabupaten Badung dapat melakukan kebijakan
pengendalian pembangunan akomodasi pariwisata, karena berdasarkan asas
desentralisasi, daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri dan hal ini dituangkan dalam
Pasal 18 ayat (2) dan (6) UUD 1945. Dengan mengambil kebijakan
pengendalian pembangunan akomodasi pariwisata sebelum disahkannya
Perda RTRW Kabupaten Badung yang baru, maka kebijakan atau keputusan
pemerintah untuk melakukan pengendalian pembangunan akomodasi
pariwisata merupakan tindakan pengawasan atau kontrol apriori untuk
menghindari kekeliruan atau kesalahan dalam memetakan wilayah yang
menjadi kawasan yang sudah padat dengan akomodasi pariwisata.

69

DAFTAR PUSTAKA
Huda, Ni’matul, 2005, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan
dan Problematika , Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://badungkab.bps.go.id, diakses tanggal 20 November 2012.
Kasmawati, Andi, 2010, Implikasi Hukum Kebijakan Desentralisasi dalam
Hubungan Kewenangan antartingkat Pemerintahan Negara
Kesatuan, Jurnal Hukum, No. 4 Vol 17 Oktober 2010, Yogyakarta:
UII.
Mochtar, Akil, 2010, Kewenangan Pusat Dan Daerah Dalam Pembangunan
Daerah Di Era Otonomi, Disampaikan pada Seminar “Relations
between Governments at Central and Regional Level ”, Pontianak:
Universitas Tanjungpura, 21 Juli 2010.
Nurcholis, Hanif, 2007, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi
Daerah, Jakarta: Grasindo.
S. Sumardjono, Maria, dkk., 2009, Final Report kajian Kritis UndangUndang Terkait Penataan Ruang & Sumber Daya Alam, Jakarta:
Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan
Hidup Bekerjasama dengan ESP2 – DANIDA.
S. Sumardjono, Maria, 2009, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional
Bidang Pertanahan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Santoso, Edi dan et. al., 2003, Otonomi Daerah : Cappacity Building dan
Penguatan Demokrasi Local, Semarang : Puskodak Undip.
Supriady Batakusumah, Deddy dan Solihin, Dadang, 2004, Otonomi
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.

70