PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI MELALUI ZAKAT

PEMBANGUNAN SOSIAL-EKONOMI MELALUI
ZAKAT PENGHASILAN DI INDONESIA
Ahmad Asrof Fitri1
Abstrak
Kemiskinan masih menjadi persoalan serius yang dihadapi
negara Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah muslim
terbanyak di dunia, Indonesia mempunyai potensi besar
dalam hal pemberdayaan sosial dan ekonomi umat melalui
zakat. Namun, pada faktanya, potensi itu tidak sebanding
dengan realisasi pengumpulan zakat yang persentasenya
tidak lebih dari 5%. Terlepas dari perbedaan pendapat di
kalangan ulama, zakat penghasilan termasuk kategori jenis
zakat yang cukup potensial, mengingat zakat ini meliputi
seluruh bidang pekerjaan. Realisasi pembangunan sosialekonomi melalui zakat penghasilan ini dapat terwujud jika
pemerintah memberikan dukungan secara yuridis dengan
membuat undang-undang yang mensinergikan zakat dan
pajak.
Kata kunci: zakat penghasilan, pembangunan, sosial, ekonomi
PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan kronis yang dihadapi bangsa Indonesia
adalah kemiskinan. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah telah

menciptakan banyak program pengentasan kemiskinan, salah satunya
Bantuan Langsung Tunai (BLT). Akan tetapi, kenyataannya, program
tersebut belum mampu menyelesaikan problem kemiskinan secara
signifikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin
di Indonesia pada September 2013 telah mencapai 28,55 juta orang
(11,47%) atau meningkat 0,48 juta orang dibandingkan dengan
penduduk miskin pada Maret 2013 tercatat 28,07 juta orang (11,37%).
Perinciannya, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik
1

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana pada Program Studi Manajemen
Keuangan dan Perbankan Syariah IAIN Surakarta, saat ini mengajar di Pesantren
Mahasiswa Al-Muayyad Cabang Windan.

Ahmad Asrof Fitri

sebanyak 0,30 juta orang dari 10,33 juta orang pada Maret 2013
menjadi 10,63 juta orang pada September 2013. Selama periode
Maret-September 2013 itu, persentase penduduk miskin di daerah

perkotaan pada Maret 2013 sebesar 8,39%, lalu naik menjadi 8,52%
pada September 2013. Sedangkan persentase penduduk miskin di
daerah perdesaan meningkat dari 14,32% pada Maret 2013 menjadi
14,42% pada September 2013.2
Berbagai forum, mulai dari tingkat lokal hingga internasional,
tentang kemiskinan pun digelar yang intinya untuk satu tujuan, yaitu
bagaimana membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan. Salah
satu upaya penanggulangan kemiskinan adalah dengan memutus mata
rantai kemiskinan melalui pemberdayaan kelompok melalui program
pengembangan microfinance, yaitu model penyediaan jasa keuangan
bagi masyarakat yang memiliki usaha pada sektor paling kecil yang
tidak dapat mengakses bank karena berbagai keterbatasan.3
Sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, bangsa
Indonesia seharusnya mampu memanfaatkan keunggulan jumlah ini.
Sebab, semakin besar angka populasi penduduk, maka semakin besar
pula sumber daya manusia yang dapat diberdayakan, khususnya dalam
aspek ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai penelitian yang
menghitung potensi zakat di negara-negara yang mayoritas warganya
beragama Islam.
Salah satu penelitian penting tentang potensi zakat di negara

Islam dilakukan oleh Monzer Kahf. Ia menghitung potensi zakat di 8
negara Islam (Mesir, Indonesia, Pakistan, Qatar, Arab Saudi, Sudan,
Suriah, dan Turki) dengan menggunakan 3 pemahaman tentang zakat.
Pendapat pertama adalah pemahaman yang lebih sempit bahwa zakat
hanya meliputi hasil pertanian, peternakan, perdagangan, dan kas
simpanan. Pendapat kedua meliputi aset tetap, gaji, dan upah yang
ditambahkan ke dalam daftar item pada pendapat pertama. Pendapat
ketiga sifatnya lebih luas yang mencakup nilai modal aset tetap yang
ditambahkan ke daftar item dalam pendapat pertama dan kedua.
Monzer Kahf menemukan, persentase potensi rata-rata hasil zakat di
8 negara ini mencapai 1,8%, 3,9%, dan 4,3% dari Gross Domestic Product
(GDP) untuk tiga kategori pendapat secara berurutan. Tetapi, realisasi
“Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Bertambah”, Replubika, www.
republika.co.id/berita/nasional/umum/14/01/03/mysfdt-jumlah-penduduk-miskin
-indonesia-bertambah, diakses pada hari Senin (25 Agustus 2014), jam 16.12 WIB.
3 Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam: Penguatan Peran LKM
dan UKM di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 2.
2

2


Pembangunan Sosial-Ekonomi melalui Zakat Penghasilan di Indonesia

zakat yang disalurkan masih jauh di bawah angka potensialnya, yaitu
hanya 0,02% untuk negara Mesir dan Jordania, 0,08% untuk Pakistan,
dan 0,3% untuk Sudan pada tahun 1985.4
Temuan Kahf tersebut menjadi bukti nyata bahwa zakat belum
mampu dioptimalkan untuk menjadi instrumen penting pembangunan
ekonomi umat. Padahal, pada masa keemasan Islam seperti pada masa
Umar bin Abdul Aziz, zakat menjadi “soko guru” perekonomian yang
membantu mengatasi problem kemiskinan. Oleh karena itu, tulisan ini
berusaha mengkaji prospek, pandangan ulama, beserta kemungkinan
implementasi zakat penghasilan sebagai sarana pembangunan sosialekonomi umat Islam di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Data diperoleh dengan studi kepustakaan (library research).
PEMBANGUNAN SOSIAL-EKONOMI MENURUT ISLAM
Dalam International Conference on Islamic Economics and
Finance ke-8, Mohammed R. Kroessin memaparkan, bahwa kata
“pembangunan” (dalam bahasa Arab: ‫ ) تنمية‬tidak disinggung dalam
kajian fiqih maupun aqidah, pada masa-masa keemasan Islam di abad
pertengahan. Kata ini baru dipakai pada periode modern oleh lembaga

keuangan Islam yang secara genealogis berasal dari Timur Tengah,
seperti Islamic Development Bank.5
Mengacu pada al-Qur’an, pada dasarnya konsep pembangunan
di bidang sosial dan ekonomi sudah disinggung pada QS. At-Taubah:
60, Adz-Dzariyat: 19, Al-Baqarah: 184, dan Al-Hasyr: 7, meskipun
tidak secara langsung menggunakan kata pembangunan. Di dalam ayat
ini, pembangunan sosial-ekonomi diwujudkan melalui pengentasan
kemiskinan, yang substansi aktivitasnya tidak jauh berbeda dengan
konsep pembangunan masa kini.
Menurut Khurshid, pertumbuhan ekonomi tidak bisa terlepas
dari keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan bagi setiap individu,

Monzer Kahf, “Estimation of Zakah in a Few Muslim Countries”, 1987,
dalam Muhammad Ibrahim Abdullahi, Mohd Mahyudi Mohd Yusop, Syezlin Hasan,
“Factors that Motivate Payments of Zakat on Income and Income Tax among
IIUM Staff”, dalam Mohd Mahyudi Mohd Yusop & Naziruddin Abdullah (Eds.),
Zakat and Its Poverty Alleviation Goal, (Selangor: IIUM Press, 2011), h. 9.
5 Mohammed R. Kroessin, “A Genealogy of the Islamic Development
Discourse: Underlying Assumptions and Policy Implications from a Development
Studies Perspective”, makalah 8th International Conference on Islamic Economics

and Finance, h. 3.
4

El-Hayah, Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Volume 7, Nomor 1, September 2012, ISLAMICA

3

Ahmad Asrof Fitri

dengan cara menghapus riba dan mewajibkan zakat.6 Cara ini tidak
hanya bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi, namun juga
mempererat hubungan masyarakat kelas atas dengan kaum miskin.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila Ibrahim Yusuf
berpendapat bahwa tujuan pembangunan ekonomi Islam adalah
memajukan kehidupan yang baik (al-hayat al-thayyibah) di dunia dan
berorientasi akhirat.7 Agar cita-cita ini dapat terwujud, maka manusia
perlu mendayagunakan semua fasilitas yang Allah telah siapkan di
bumi dengan cara dikelola secara baik.
Munculnya pemikiran ini kemungkinan diinisiasi oleh QS.

Hud: 61 yang berarti, “Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka
Shalih. Shalih berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan
menjadikan kamu pemakmurnya, maka mohonlah ampunan-Nya, kemudian
bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi
mengabulkan (doa hamba-Nya).”8
Para pemikir ekonomi Islam berpendapat bahwa ayat di atas
mempunyai makna yang relevan dengan konsep pembangunan
ekonomi. Makna ayat tersebut yaitu agar manusia memberdayakan
bumi yang menjadi tempat tinggalnya. Oleh karena itu, kata al-isti’mar
(memakmurkan/memberdayakan) sangat identik dengan tanmiyah
iqtishodiyah (pembangunan ekonomi).9
Di samping QS. Hud: 61, masih ada banyak ayat yang bisa
dijadikan dasar pembangunan Islam, yang secara umum menggunakan
kata al-kasbu (usaha), al-sa’yu (upaya), al-infaq (pembelanjaan harta), dan
al-dharbu fi al-ardh (bepergian di muka bumi). Empat kata tersebut
menunjukkan makna aktivitas ekonomi.10
Aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakat dalam suatu
negara secara tidak langsung akan berpengaruh pada pertumbuhan
ekonomi. Pada tahap selanjutnya, pertumbuhan ekonomi tersebut

6 Khurshid Ahmad, “Al-Tanmiyah Al-Iqtishodiyah fi Ithorin Islamiyin”,
Majalah Abhas Al-Iqtishod Al-Islamiy, No. 2, 1985.
7 Muhammad Abdul Mannan, Al-Iqtishad al-Islamiy baina al-Nazhariyat wa alTathbiq, (Al-Maktab al-Arabi al-Hadis, t.th.), h. 221.
8 Hal ini bisa dilihat dari pernyataan Asmuni Mth. yang menyatakan bahwa
mayoritas penulis ekonomi memahami konsep pembangunan ekonomi dari
beberapa ayat al-Qur’an, salah satunya QS. Hud: 61, yang berisi perintah supaya
manusia mengelola bumi. Lihat Asmuni Mth., “Konsep Pembangunan Islam”,
Jurnal Al-Mawarid Edisi X Tahun 2003, h. 131.
9 Ibid.
10 Ibid., h. 132.

4

Pembangunan Sosial-Ekonomi melalui Zakat Penghasilan di Indonesia

dapat mendorong pemerataan kesejahteraan. Tolak ukur kesejahteraan
masyarakat dapat dilihat dari terpenuhinya kebutuhan yang memadai
(had al-kifayah),11 meski antara satu orang dengan orang lain memiliki
jenis kebutuhan yang berbeda.
Menurut Joni Tamkin bin Borhan, pembangunan dalam

perspektif Islam meliputi 6 aspek, antara lain pembangunan sumber
daya insani (manusia), peningkatan kuantitas produksi masyarakat,
perbaikan kualitas hidup, pembangunan yang seimbang
(desentralisasi), penggunaan teknologi modern, dan pengurangan
ketergantungan pada luar negeri.12
Untuk mencapai pembangunan yang berkualitas di segala
aspek itu, maka diperlukan pembiayaan untuk proyek pembangunan.
Mengenai sumber keuangan pembangunan dalam perspektif Islam,
Joni Tamkin berpendapat, proyek pembangunan harus bersumber
dari keuangan Islam yang terbebas dari prinsip riba. Sumber utama
pembiayaan pembangunan seperti tabungan domestik, bantuan dan
pinjaman dari luar negeri, harus bersih dari unsur ribawi.13
Karenanya, Abdurrahman Yasri Ahmad mengatakan bahwa,
Islam tidaklah menolak konsep apapun yang berhubungan dengan
pembangunan ekonomi selama tidak bertentangan dengan prinsipprinsip dasar Islam.14 Pernyataan Yasri itu mengandung makna bahwa
konsep pembangunan ekonomi menurut Islam pada dasarnya tidak
berbeda dengan konsep pembangunan konvensional asalkan konsep
itu tidak menyalahi ajaran dan nilai Islam.
POTENSI ZAKAT DI INDONESIA
Indonesia merupakan negara dengan jumlah muslim terbanyak

di dunia. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 yang dirilis
Badan Pusat Statistik, jumlah rakyat Indonesia secara keseluruhan

11

Muhammad Syauqi al-Fanjari, Al-Islam wa al-Musykilah al-Iqtishodiyah,
(Mesir: Maktabah al-Anglo al-Mishriyah, t.th.), h. 81.
12 Joni Tamkin bin Borhan, “Pemikiran Pembangunan Ekonomi
Berteraskan Islam”, Jurnal Usuludin No. 27, Universiti Malaya, 2008, h. 98-101.
13 Ibid., h. 102.
14 Abdurrahman Yasri Ahmad, Al-Alaqat al-Iqtishodiyah baina al-Buldan alIslamiyah wa Dauruha fi al-Tanmiyah al-Iqtishodiyah, (Jeddah: Dirosat Al-Iqtishodiy AlIslamiy, Markaz Abhas Al-Iqtishod Al-Islami, Jami’ah Al-Malik Abdul Aziz, 1985),
h. 5.
El-Hayah, Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Volume 7, Nomor 1, September 2012, ISLAMICA

5

Ahmad Asrof Fitri

sebanyak 237.641.326 jiwa.15 Jumlah tersebut menjadi keempat yang

terbesar di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Dari
angka tersebut, masih menurut data BPS pada tahun 2010, sebanyak
87,18% menganut agama Islam, Kristen 6,96%, Katolik 2,91%,
Hindu 1,69%, Budha 0,72%, Konghucu 0,05%, dan lainnya 0,13%.
Selain itu, ada pula kelompok yang tidak terjawab 0,06% dan tidak
ditanyakan 0,32%.16 Walau belum ada klasifikasi dan perhitungan yang
jelas mengenai jumlah kalangan aghniya’ (orang yang mapan secara
ekonomi) dan fuqara’ (kekurangan secara finansial), data di atas cukup
dapat dijadikan sebagai gambaran atas besarnya potensi negara
Indonesia dari aspek ekonomi, khususnya yang berasal dari kaum
muslimin yang menjadi mayoritas.
Menurut data Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), jumlah
harta yang masuk kategori zakat, infak, dan sedekah yang diserahkan
ke lembaga ini terus mengalami peningkatan. Rincian nominal zakat,
infak, dan sedekah yang telah diterima BAZNAS dalam kurun 20022008 adalah sebagai berikut:
Tahun Jumlah total (miliar rupiah)
2002
68,39 (USD 7,20 juta)
2003
85,28 (USD 8,98 juta)
2004
150,09 (USD 15,80 juta)
2005
295,52 (USD 31,11 juta)
2006
373,17 (USD 39,28 juta)
2007
740,00 (USD 77,89 juta)
2008
920,00 (USD 96,84 juta)
Sumber: BAZNAS (2009)

Peningkatan per tahun (%)
24,70
76,00
96,90
26,28
98,30
24,32

Data BAZNAS mulai tahun 2002 hingga 2008 di atas menjadi
bukti bahwa potensi zakat di negara Indonesia sangat besar dan akan
berkembang dari tahun ke tahun. Padahal, data itu belum mencakup
hasil pengumpulan zakat, infak, dan sedekah di berbagai lembaga amil
zakat di seluruh Indonesia.
15 Badan Pusat Statistik, “Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971,
1980, 1990, 1995, 2000, dan 2010”, www.bps.go.id, diakses pada Jumat (22 Agustus
2014), jam 10.32 WIB.
16 Ignatius
Dwiana, “Demografi Agama Menunjukkan Pluralitas
Indonesia”,
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/demografi-agamamenunjukkan-pluralitas-indonesia/, diakses pada hari Jumat (22 Agustus 2014), jam
17.13 WIB.

6

Pembangunan Sosial-Ekonomi melalui Zakat Penghasilan di Indonesia

Meski data mengenai jumlah zakat, infak, dan sedekah di atas
mengalami pertumbuhan yang continue dari tahun ke tahun, ternyata
jumlah tersebut masih jauh dari potensi zakat sebenarnya yang dapat
terkumpul. Ini berarti potensi zakat belum sepenuhnya tergali oleh
lembaga-lembaga amil zakat (LAZ). Permasalahan yang hampir sama
dan dialami oleh kebanyakan LAZ adalah adanya kesenjangan yang
cukup besar antara potensi zakat yang semestinya bisa didapatkan
dengan realisasi pengumpulan zakat.17
Untuk mengatasi problem ini, Ketua BAZNAS, Prof. Didin
Hafidhuddin menyatakan bahwa salah satu agenda penting BAZNAS
adalah memperbaiki dan meningkatkan kualitas manajemen database
pengumpulan zakat pada skala nasional, termasuk data pengumpulan
zakat dan jumlah muzakki serta mustahiq.18 Dengan perbaikan kualitas
lembaga amil zakat, kepercayaan muzakki akan semakin meningkat.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa
dan Kebudayaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tahun 2005, potensi zakat di Indonesia yang dapat terkumpul
mencapai Rp 19,3 triliun.19 Apabila dibandingkan dengan data realisasi
hasil pengumpulan zakat BAZNAS pada tahun yang sama, yakni Rp
295,52 miliar, maka nilai perbandingan antara potensi zakat dengan
realisasinya sangatlah jauh. Zakat yang terkumpul jumlahnya kurang
dari 5% dari potensi yang sebenarnya.
ZAKAT PENGHASILAN DALAM PERSPEKTIF FIQIH
Terlepas dari keyakinan bahwa zakat merupakan sarana yang
berpengaruh dalam pengentasan kemiskinan sekaligus menjembatani
ketidakmerataan penghasilan di tengah masyarakat, tetap saja muncul
penolakan-penolakan untuk membayar zakat di kalangan umat Islam
yang sudah memenuhi syarat (mampu), tidak seperti halnya penarikan
pajak yang lebih sedikit penolakannya.20 Menurut catatan sejarah, ada
17 Muhammad Firdaus, Irfan Syauqi Beik, Tonny Irawan, Bambang
Juanda, “Economic Estimation and Determinations of Zakat Potential in
Indonesia”, IRTI Working Paper Series, 9 Oktober 2012, h. 2.
18 Didin Hafidhuddin, “Urgensi Membangun LAZ yang Amanah dan
Profesional”, makalah dipresentasikan dalam pembukaan Unit Pelayanan Zakat di
Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia pada 20 Mei 2007.
19 M. T. Ridlo, Zakat Profesi dan Perusahaan, (Jakarta: Institut Manajemen
Zakat, 2007).
20 Muhamad Muda, et. al., “Factors Influencing Individual Participation in
Zakat Contribution: Exploratory Investigation”, makalah pada Seminar for Islamic
Banking & Finance 2006 (iBAF2006), 29-30 Agustus 2006, Kuala Lumpur.

El-Hayah, Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Volume 7, Nomor 1, September 2012, ISLAMICA

7

Ahmad Asrof Fitri

beberapa kalangan umat Islam yang menghindari pembayaran zakat,
yang pada beberapa kasus telah menghambat bantuan sosial bagi
masyarakat. Di antara kasus yang paling terkenal adalah kasus yang
terjadi pada masa Abu Bakar al-Shiddiq, yang setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW, menjadi khalifah. Saat itu, beberapa suku Arab
menentang dan menolak membayar zakat meskipun mereka adalah
muslim. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, setelah
percakapan panjang antara Abu Bakar dan Umar tentang para
penentang pembayaran zakat tersebut, Abu Bakar memutuskan untuk
memerangi mereka.21
Meskipun revitalisasi lembaga zakat di negara-negara Islam
pada zaman modern sudah dilakukan, masalah penolakan pembayaran
zakat ini masih tetap ada. Terlebih lagi, sebagaimana tercermin dalam
sistem fiskal mayoritas negara Islam, negara tersebut menganggap
perpajakan konvensional lebih penting dibandingkan zakat. Sistem
perpajakan berkembang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem fiskal, sementara zakat hanya menjadi instrumen lembaga sosial
kerelawanan (sukarela). Praktik yang berlangsung di negara-negara
Islam tersebut bisa jadi disebabkan oleh pengaruh kolonial atas sistem
fiskal yang berlaku di negara-negara Islam.22
Salah satu praktik zakat yang masih menjadi perdebatan di
kalangan ulama sejak zaman dahulu hingga sekarang adalah soal zakat
penghasilan. Pada dasarnya, perbedaan tersebut muncul sebab selama
Rasulullah SAW hidup tidak pernah ada persoalan tentang zakat
penghasilan. Ini ditengarai karena struktur aktivitas ekonomi yang
berjalan pada masa itu kebanyakan berasal dari hasil pertanian,
peternakan, dan jual beli barang dagangan. Sebagaimana dikisahkan
dalam kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas, orang yang
pertama kali mengumpulkan zakat penghasilan adalah Mu’awiyah bin
Abi Sufyan.23
Beberapa ulama mengemukakan pendapat bahwa tidak ada
zakat pada penghasilan (gaji). Ulama tersebut antara lain Imam Abu
Hanifah, Malik bin Anas, dan al-Syafi’i. Menurut Yusuf al-Qardawi,
21 Muhammad Ibrahim Abdullahi, Mohd Mahyudi Mohd Yusop, Syezlin
Hasan, op.cit., h. 8.
22 Nur Barizah & Abdul Rahim, “A Comparative Study of Zakah and
Modern Taxation”, KAU Journal of Islamic Economics, 2007, h. 36.
23 Yusuf Al-Qardawi, Fiqh az-Zakat: a Comparative Study: The Rules,
Regulations, and Philosophy of Zakat in The Light of The Qur’an and Sunnah, terj. Monzer
Kahf, (London: Dar al-Taqwa Ltd., 1999), h. 319.

8

Pembangunan Sosial-Ekonomi melalui Zakat Penghasilan di Indonesia

pandangan para ulama ini berasal dari pemahaman bahwa zakat
penghasilan tidak sesuai dengan salah satu syarat zakat: mencapai satu
haul. Pandangan ini juga diutarakan oleh Abu Bakar al-Shiddiq dan
ummul mukminin Aisyah.24
Walaupun begitu, al-Qardawi menyampaikan pendapat yang
berbeda yang mendukung pembayaran zakat penghasilan. Pendapat
ini berasal dari sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah bin
Mas’ud dan Mu’awiyah. Juga diikuti oleh beberapa tabi’in seperti
Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan, dan al-Zuhri.25 Di masa sekarang,
beberapa ulama berpandangan bahwa gaji juga perlu dizakati. Yusuf
al-Qardawi menukil ucapan al-Ghazali:
“Kesimpulannya adalah, siapa pun yang memiliki penghasilan yang
senilai dengan hasil zakat pertanian, maka dia menjadi subjek (pembayar)
pajak, terlepas dari modal yang dikeluarkan dan permasalahan yang berkaitan.
Konsekuensinya, dokter, pengacara, serta tenaga profesional dan karyawan juga
termasuk subjek zakat…”26
Menurut al-Ghazali, pendapatnya didasarkan atas beberapa
alasan, antara lain: Pertama, dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 267,
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.” Bagi al-Ghazali, ayat
ini menunjukkan kewajiban berzakat bagi semua pekerja secara
umum, termasuk dari penghasilan atau gaji. Kedua, sangat tidak logis
apabila Islam mewajibkan zakat bagi petani yang miskin dan
membebaskan pemilik bangunan yang pemasukannya bisa berkali-kali
lipat lebih besar daripada penghasilan petani, atau para dokter yang
penghasilan tiap harinya setara dengan pendapatan petani selama
setahun penuh.27 Pendapat ini diikuti pula oleh mayoritas ulama di
masa sekarang, termasuk Dewan Fatwa Nasional Malaysia.28
Adapun mengenai nisab (syarat jumlah minimum atau ambang
batas) gaji yang dapat dikategorikan sebagai harta wajib zakat adalah
setara 522 kg beras dengan harga normal. Sebagai contoh, jika harga
normal beras di pasaran sebesar Rp 6.500,00 per kilogram, maka nisab
24

Ibid., h. 317.
Ibid.
26 Ibid., h. 325.
27 Ibid., h. 325-326.
28 Muhammad Ibrahim Abdullahi, Mohd Mahyudi Mohd Yusop, Syezlin
Hasan, “Factors that Motivate Payments of Zakat on Income and Income Tax
among IIUM Staff”, dalam Mohd Mahyudi Mohd Yusop & Naziruddin Abdullah
(Eds.), Zakat and Its Poverty Alleviation Goal, (Selangor: IIUM Press, 2011), h. 12.
25

El-Hayah, Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Volume 7, Nomor 1, September 2012, ISLAMICA

9

Ahmad Asrof Fitri

penghasilan yang wajib dizakati adalah Rp 3.393.000,00. Dengan kata
lain, jika penghasilan seseorang lebih dari Rp 3.393.000,00, maka dia
wajib mengeluarkan zakat penghasilan dengan waktu pembayaran
zakat (haul) yaitu setiap kali menerima penghasilan (gaji).29
PEMBANGUNAN SOSIAL-EKONOMI MELALUI ZAKAT
PENGHASILAN
Sebelum membahas mengenai implementasi pembangunan
sosial dari perspektif ekonomi Islam, persoalan tujuan pembangunan
ini penting untuk dibahas lebih dahulu. Menurut teori konvensional,
ada 2 tujuan pembangunan. Pertama, memperbaiki pendapatan riil
individu. Kedua, menegakkan keadilan distribusi pendapatan.30
Sebagai perbandingan, sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, menurut Ibrahim Yusuf, tujuan pembangunan ekonomi
menurut Islam adalah memajukan kehidupan yang baik (al-hayat althayyibah). Pada dasarnya, teori konvensional dan teori Islam versi
Ibrahim ini dapat dipadukan menjadi sebuah pemikiran baru di mana
teori konvensional tadi dipandang sebagai wasilah (perantara),
sementara teori Ibrahim Yusuf menjadi ghayah (tujuan akhir). Artinya,
dengan memperbaiki pendapatan riil individu dan menegakkan
distribusi pendapatan, maka kehidupan yang baik (al-hayat al-thayyibah)
akan bisa tercapai.
Dalam realitanya, untuk mengetahui apakah taraf hidup
seseorang sudah mencapai tingkatan baik atau tidak, maka diperlukan
sebuah tolak ukur. Dalam hal ini, kita dapat mengacu pada teori had
al-kifayah. Tetapi, permasalahan tidak selesai di sini. Sebab, teori ini
masih bersifat umum dan subjektif, sehingga berpotensi
memunculkan perbedaan pendapat mengenai batasan kecukupan
seseorang. Oleh karena itu, dibutuhkan batasan yang dapat terukur.
Menurut konsep maqashid syari’ah al-Syatibi, tingkat kebutuhan
manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu dharuriyat
(kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyat
(kebutuhan tersier).31 Apabila dihubungkan dengan teori had al-kifayah,
29 Perhitungan zakat penghasilan dapat dilakukan dengan mudah lewat
program kalkulator zakat yang disediakan di berbagai situs lembaga amil zakat, salah
satunya Lembaga Amil Zakat Dompet Dhuafa. Buka: http://zakat.or.id/layananzakat/kalkulator-zakat/#sthash.q8owPKsV.dpbs
30 Asmuni Mth., op.cit., h. 133.
31 Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah, (Kairo: Musthafa
Muhammad, t.th.), Jilid 2, h. 25.

10

Pembangunan Sosial-Ekonomi melalui Zakat Penghasilan di Indonesia

maka seseorang dapat dikatakan sudah mencapai batas kecukupan jika
kebutuhan primernya bisa terpenuhi.
Kebutuhan primer tersebut meliputi makanan, rumah, dan
pakaian, atau yang dikenal dengan istilah pangan, papan, dan sandang.
Selain itu, juga ditambah dengan akses pendidikan dan kesehatan yang
mudah diperoleh. Kelima kebutuhan ini merupakan hal mendasar
yang harus dipenuhi manusia agar dapat hidup layak dan sejahtera.
Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa didapatkan, taraf hidupnya
sudah bisa dianggap cukup baik dan berada di atas garis kemiskinan.
Dalam ilmu ekonomi konvensional, cara yang biasa digunakan
untuk mengetahui taraf hidup atau tingkat kesejahteraan warga negara
adalah dengan menghitung pendapatan per kapita. Caranya, Gross
National Product (GNP) selama satu tahun dibagi dengan jumlah
penduduk suatu negara pada tahun tersebut. Akan tetapi, cara tersebut
dipandang kurang relevan karena tidak dapat merepresentasikan
pemerataan kesejahteraan rakyat.
Ketimpangan pendapatan yang mengindikasikan kurangnya
pemerataan kesejahteraan bisa dilihat dari koefisien gini atau ukuran
ketimpangan distribusi. Koefisien gini dinyatakan dalam bentuk rasio
yang nilainya antara 0 dan 1. Nilai 0 menunjukkan pemerataan yang
sempurna, sedangkan angka 1 menunjukkan tidak adanya pemerataan
atau ketimpangan tertinggi.32
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2008
hingga 2013, secara umum indeks gini di negara Indonesia terus
mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, indeks gini berada pada
angka 0,35, sedangkan di tahun 2013 angkanya mencapai 0,41.33 Ini
menunjukkan bahwa pemerataan kesejahteraan warga semakin turun
dari tahun ke tahun.
Mengacu pada data tersebut, pendapat Khurshid Ahmad yang
menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak dapat dinilai dari
pendapatan per kapita, sangat relevan. Sebab, perhitungan pendapatan
per kapita juga menyertakan variabel jumlah penghasilan konglomerat
berpenghasilan tinggi yang nilainya dapat melampaui gaji ratusan atau
bahkan ribuan orang. Oleh sebab itu, tolak ukur yang digunakan oleh
Khurshid dalam menilai taraf hidup warga adalah penghasilan riil tiap
Badan Pusat Statistik, “Koefisien Gini”, www.bps.go.id, diakses pada
hari Jumat (22 Agustus 2014), jam 22.47 WIB.
33 Badan Pusat Statistik, “Gini Ratio Menurut Provinsi Tahun 1996, 1999,
2002, 2005, 2007-2013”, www.bps.go.id, diakses pada hari Jumat (22 Agustus 2014),
jam 22.37 WIB.
32

El-Hayah, Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Volume 7, Nomor 1, September 2012, ISLAMICA

11

Ahmad Asrof Fitri

individu, bukan pendapatan per kapita. Tolak ukur ini dapat dipakai
untuk menilai taraf hidup (kesejahteraan materi) masyarakat.
Karena pembangunan sosial dalam perspektif ekonomi Islam
tidak hanya mencakup peningkatan taraf hidup (materi) melainkan
juga spiritual, maka diperlukan satu tolak ukur lagi untuk mengetahui
kualitas religiositas umat. Seorang muslim dapat dikatakan telah
berislam secara sempurna ketika dia mau menjalankan seluruh rukun
Islam. Dari lima rukun Islam tersebut, yang dapat digunakan sebagai
tolak ukur keimanan dan kesejahteraan hidup seseorang adalah zakat.
Orang yang mau membayar zakat berarti dia termasuk orang
yang mampu secara finansial dan juga memiliki kesadaran untuk
menjalankan ajaran agama Islam. Pada konteks ini, jenis zakat yang
digunakan sebagai acuan yaitu zakat penghasilan karena zakat inilah
yang secara rutin diberikan setiap kali seseorang memperoleh gaji atau
penghasilan.
Pembayaran zakat penghasilan di atas perlu digalakkan secara
massif oleh pemerintah sebagai penunjang ekonomi, dengan beberapa
kebijakan perundang-undangan yang bisa mensinergikan zakat dengan
pajak. Oleh karena itu, penulis mengajukan beberapa opsi pendapat:
Pertama, terkait Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 162/PMK.
011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena
Pajak yang mulai berlaku semenjak 1 Januari 2013 bahwa pemerintah
menaikkan batasan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP),
dari Rp 15,8 juta menjadi Rp 24,3 juta per tahun. Konsekuensi dari
aturan ini, setiap warga negara Indonesia yang jumlah penghasilannya
tidak lebih dari Rp 24,3 juta per tahun tidak akan dikenakan pajak.
Secara lengkap, ketentuan mengenai jumlah PTKP adalah sebagai
berikut:34
1. Untuk diri wajib pajak orang pribadi: Rp 24.300.000,00
2. Tambahan untuk wajib pajak kawin: Rp 2.025.000,00
3. Tambahan untuk penghasilan istri yang digabung dengan
penghasilan suami: Rp 24.300.000,00
4. Tambahan untuk anggota keluarga (maksimal 3 orang): @ Rp
2.025.000,00.
34

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak,
“PTKP Baru Berlaku Mulai Tanggal 1 Januari 2013”, www.pajak.go.id/ blogentry/kp2kptrenggalek/ptkp-baru-berlaku-mulai-tgl-01-januari-2013, diakses pada
Senin (25 Agustus 2014), jam 07.58 WIB.
12

Pembangunan Sosial-Ekonomi melalui Zakat Penghasilan di Indonesia

Dengan tetap mengacu pada nisab (uang yang setara dengan
522 kg beras) yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pemerintah bisa
mengenakan zakat penghasilan bagi warga negara dengan ketentuan
PTKP sebagai berikut: jumlah total penghasilan (gaji) suami dan istri
selama 1 tahun adalah Rp 50.625.000,00 (hasil penjumlahan dari Rp
24.300.000,00 + Rp 2.025.000,00 + Rp 24.300.000,00). Jika dihitung
per bulan, maka gaji suami-istri tersebut yaitu Rp 4.218.750,00 (sudah
melewati nisab Rp 3.393.000,00), sehingga keduanya wajib membayar
zakat penghasilan tiap bulan.35 Dengan kata lain, selama gaji suamiistri per bulan lebih dari Rp 3.393.000,00, maka keduanya terkena
kewajiban mengeluarkan zakat.
Kedua, bagi warga yang sudah tergolong kategori wajib pajak,
maka pemerintah dapat mengenakan pembayaran zakat penghasilan
dengan tetap berpedoman pada ketentuan nisab seperti yang telah
disampaikan sebelumnya.
Namun, perlu dipahami, kedua gagasan ini baru bisa terealisasi
apabila pemerintah mau menciptakan undang-undang yang memiliki
kekuatan hukum. Dengan kata lain, pembangunan sosial-ekonomi
yang bersumber dari zakat penghasilan tidak akan dapat terwujud
tanpa adanya legitimasi dari pihak pemerintah.
KESIMPULAN
1. Potensi zakat di Indonesia cukup besar, dan terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Tapi, terdapat kesenjangan
yang besar antara potensi zakat yang semestinya bisa didapat
dengan realisasi pengumpulan zakat (kurang dari 5%).
2. Meski terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, jumhur
ulama berpendapat bahwa penghasilan wajib dikeluarkan
zakatnya. Para sahabat, tabi’in, dan ulama yang berpendapat
demikian adalah Abdullah bin Mas’ud, Mu’awiyah, Umar bin
Abdul Aziz, al-Hasan, dan al-Zuhri. Mayoritas ulama di masa
sekarang juga sepakat dengan wajibnya zakat penghasilan.
3. Untuk merealisasikan pembangunan sosial-ekonomi melalui
zakat penghasilan, maka pemerintah perlu membuat undangundang yang mensinergikan zakat dengan pajak.

35

Dengan asumsi harga beras normal di pasaran adalah Rp 6.500,00.
El-Hayah, Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Volume 7, Nomor 1, September 2012, ISLAMICA

13

Ahmad Asrof Fitri

DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi, Muhammad Ibrahim, Mohd Mahyudi Mohd Yusop,
Syezlin Hasan, “Factors that Motivate Payments of Zakat on
Income and Income Tax among IIUM Staff”, dalam Mohd
Mahyudi Mohd Yusop & Naziruddin Abdullah (Eds.), Zakat
and Its Poverty Alleviation Goal, Selangor: IIUM Press, 2011.
Ahmad, Abdurrahman Yasri, Al-Alaqat Al-Iqtishodiyah baina Al-Buldan
Al-Islamiyah wa Dauruha fi Al-Tanmiyah Al-Iqtishodiyah, Jeddah:
Dirosat Al-Iqtishodiy Al-Islamiy, Markaz Abhas Al-Iqtishod
Al-Islami, Jami’ah Al-Malik Abdul Aziz, 1985.
Ahmad, Khurshid, Al-Tanmiyah Al-Iqtishodiyah fi Ithorin Islamiyin,
Majalah Abhas Al-Iqtishod Al-Islamiy, No. 2, 1985.
Amalia, Euis, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam: Penguatan Peran
LKM dan UKM di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Badan Pusat Statistik, “Gini Ratio Menurut Provinsi Tahun 1996,
1999, 2002, 2005, 2007-2013”, www.bps.go.id, diakses pada
hari Jumat (22 Agustus 2014), jam 22.37 WIB.
______________, “Koefisien Gini”, www.bps.go.id, diakses pada
hari Jumat (22 Agustus 2014), jam 22.47 WIB.
______________, “Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971,
1980, 1990, 1995, 2000, dan 2010”, www.bps.go.id, diakses
pada Jumat (22 Agustus 2014), jam 10.32 WIB.
Barizah, Nur & Abdul Rahim, “A Comparative Study of Zakah and
Modern Taxation”, KAU Journal of Islamic Economics, 2007.
Borhan, Joni Tamkin bin, “Pemikiran Pembangunan Ekonomi
Berteraskan Islam”, Jurnal Usuludin No. 27, Universiti Malaya,
2008.
Dwiana, Ignatius, “Demografi Agama Menunjukkan Pluralitas
Indonesia”, http://www.satuharapan.com/read-detail/read/
demografi-agama-menunjukkan-pluralitas-indonesia/, diakses
pada hari Jumat (22 Agustus 2014), jam 17.13 WIB.
Fanjari, Muhammad Syauqi al-, Al-Islam wa al-Musykilah al-Iqtishodiyah,
Mesir: Maktabah al-Anglo al-Mishriyah, t.th.
Firdaus, Muhammad, Irfan Syauqi Beik, Tonny Irawan, Bambang
Juanda, “Economic Estimation and Determinations of Zakat
Potential in Indonesia”, IRTI Working Paper Series, 9 Oktober
2012.
14

Pembangunan Sosial-Ekonomi melalui Zakat Penghasilan di Indonesia

Hafidhuddin, Didin, “Urgensi Membangun LAZ yang Amanah dan
Profesional”, makalah dipresentasikan dalam pembukaan Unit
Pelayanan Zakat di Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia
pada 20 Mei 2007.
Kahf, Monzer, “Estimation of Zakah in a Few Muslim Countries”,
1987, dalam Muhammad Ibrahim Abdullahi, Mohd Mahyudi
Mohd Yusop, Syezlin Hasan, “Factors that Motivate
Payments of Zakat on Income and Income Tax among IIUM
Staff”, dalam Mohd Mahyudi Mohd Yusop & Naziruddin
Abdullah (Eds.), Zakat and Its Poverty Alleviation Goal, Selangor:
IIUM Press, 2011.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pajak, “PTKP Baru Berlaku Mulai Tanggal 1 Januari 2013”,
www.pajak.go.id/
blog-entry/kp2kptrenggalek/ptkp-baruberlaku-mulai-tgl-01-januari-2013, diakses pada Senin (25
Agustus 2014), jam 07.58 WIB.
Kroessin, Mohammed R., “A Genealogy of the Islamic Development
Discourse: Underlying Assumptions and Policy Implications
from a Development Studies Perspective”, makalah 8th
International Conference on Islamic Economics and Finance.
Mannan, Muhammad Abdul, Al-Iqtishad al-Islamiy baina al-Nazhariyat
wa al-Tathbiq, Al-Maktab al-Arabi al-Hadis, t.th.
Mth., Asmuni, “Konsep Pembangunan Islam”, Jurnal Al-Mawarid
Edisi X Tahun 2003.
Muda, Muhamad, et. al., “Factors Influencing Individual Participation
in Zakat Contribution: Exploratory Investigation”, makalah
pada Seminar for Islamic Banking & Finance 2006 (iBAF
2006), 29-30 Agustus 2006, Kuala Lumpur.
Qardawi, Yusuf al-, Fiqh az-Zakat: a Comparative Study: The Rules,
Regulations, and Philosophy of Zakat in The Light of The Qur’an and
Sunnah, terj. Monzer Kahf, London: Dar al-Taqwa Ltd., 1999.
Replubika, www.republika.co.id/ berita/nasional/umum/14/01/03/
mysfdt-jumlah-penduduk-miskin-indonesia-bertambah diakses
tanggal 20 Mei 2014.
Ridlo, M. T., Zakat Profesi dan Perusahaan, Jakarta: Institut Manajemen
Zakat, 2007.
Syatibi, Abu Ishaq al-, Al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah, Jilid 2, Kairo:
Musthafa Muhammad, t.th.

El-Hayah, Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Volume 7, Nomor 1, September 2012, ISLAMICA

15

Dokumen yang terkait

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

KOMPETENSI SOSIAL PADA REMAJA YANG MENGIKUTI EKSTRAKURIKULER PASKIBRA DAN TIDAK MENGIKUTI EKSTRAKURIKULER PASKIBRA

5 114 59

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN SEPEDA MOTOR HONDA MELALUI PENDEKATAN BOSTON CONSULTING GROUP PADA PT. MPM MOTOR DI JEMBER

7 89 18

EFEKTIVITAS PENGAJARAN BAHASA INGGRIS MELALUI MEDIA LAGU BAGI SISWA PROGRAM EARLY LEARNERS DI EF ENGLISH FIRST NUSANTARA JEMBER

10 152 10

HUBUNGAN ANTARA KONDISI EKONOMI WARGA BELAJAR KEJAR PAKET C DENGAN AKTIVITAS BELAJAR DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PELAJARAN 2010/2011

1 100 15