ASWAJA DAN EKONOMI dan sosial
ASWAJA DAN EKONOMI
Posisi Ahlussunnah waljamaah sebagai metode gerakan, sinergitas antara analisa masalah
yang dikoneptualisasikan melalui kerangka teoritis dengan solusi yang ditawarkan, baik tawaran
strategis maupun taktis. Analisa permasalahan yang dilakukan tentunya menggunakan metode
yang tawasuth, tawazun, tasamuh, dan taadul, dengan berbagai teori dan pendekatan. Pada posisi
inilah berbagai penganut Ahlussunnah waljamaah memiliki corak yang beragam karena
perbedaan perspektif dan teoritik dalam memandang suatu fenomena. Maka, tidak heran jika
sesama kalangan sunni memiliki perbedaan dalam taktis dan tindakan parsial, bahkan dalam
solusi strategis sekali pun.
Dalam memetakan Ahlussunnah waljamaah sebagai metode gerakan dalam melakukan
gerakan ekonomi, hal yang perlu dianalisis lebih awal adalah melakukan identifikasi masalah
atas realita yang terjadi melalui analisis data dan fakta, dilanjutkan dengan perumusan kerangka
teoritis beserta kerangka praktis, baik tinjauan strategis maupun taktis.
Tentu saja, identifikasi permasalahan melalui melalui metode tawazun, baik dalam skala
makro maupun mikro sehingga pemetaan masalah tidak terjebak pada isu partikular dengan
menyembunyikan gejala global yang melatarbelakangi masalah tersebut. Misalnya, isu kenaikan
Bahan Bakar Minyak tahun 2012 tidak bisa dilepaskan dari liberalisasi minyak dunia, kebijakan
pemerintah pro-pasar, ekopolitik dan geopolitik Indonesia, beserta politik hukum yang sedang
terjadi di ranah nasional. Dalam hal inilah Ahlussunnah waljamaah mengelaborasi berbagai
kerangka teoritik dalam memahami analisa tersebut. Misalnya saja, analisis M. Foucalt tentang
wacana utama dan wacana terpinggirkan, beserta kritik nalar politik melalui relasi pengetahuan
dengan relasi kuasa berupa kebijakan ekonomi negara dalam merespon kenaikan harga minyak
dunia tersebut, metode Gramsci tentang hegemoni negara, metode karl Marx tentang
determinisme ekonomi, metode Hassan Hanafi tentang Kiri Islam, dan lain-lain.
Di antara beberapa pendekatan teoritik dalam melakukan analisa ekonomi, Menurut Nur
Sayyid, di antaranya adalah sebagai berikut.
a) Fenomena kapitalisme global yang termanifestasikan melalui keberadaan WTO, world bank
dan juga IMF, serta institusi-institusi pendukungnya.
b) Semakin menguatnya institusi-institusi ekonomi kepanjangan tangan kekuatan global tersebut
di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan tersebut memanifestasi melalui kekuatan bisnis modal
dalam negeri yang berkolaborasi dengan kekutaan ekonomi global, ataupun melalui TNC atau
MNC.
c) Liberalisasi barang dan jasa yang sangat berdampak pada regulasi barang dan jasa ekspor –
impor.[1]
Karakter umum liberalisasi ekonomi adalah memberikan kemudahan bagi keluar
masuknya barang dan jasa (termasuk valuta asing) dari luar negeri sehingga menyebabkan
kelesuan produksi dalam negeri. Hal ini dikarenakan produk domestik harus bersaing dengan
produk luar negeri, apalagi melalui kebijakan dumping dari negara asal sehingga barang impor
yang kualitasnya sama lebih murah dibandingkan dengan harga produk dari dalam negeri. Di sisi
lain, kebijakan pemerintah semakin dipersempit dalam mempengaruhi regulasi ekonomi karena
mekanisme pasar yang kuat. Sistem neo-liberal yang memosisikan pasar sebagai aktor utama
menyebabkan perekonomian rakyat kecil semakin tak berdaya dikarenakan posisi binner yang
tak seimbang antara perekonomian rakyat dengan pemilik modal yang mampu mengendlaikan
harga.
Dari akumulasi berbagai persoalan tersebut, terdapat beberapa garis besar catatan atas
realitas sosial-ekonomi;
a) Tidak adanya keberpihakan negara kepada rakyat. Ini bisa ditengarai dengan keberpihakan
yang begitu besar terhadap kekutan-kekuatan modal internasional yang pada satu segi berimbas
pada marjinalisasi besar-besaran terhadap kepentingan umat.
b) Tidak terwujudnya keadilan ekonomi secara luas. Arus investasi yang mendorong laju
industrialisasi pada satu segi memang positif dalam hal mampu menyerap tenaga kerja dalam
negeri. Namun pada segi yang lain menempatkan pekrja pada sebagi pihak yang sangat
dirugikan.
c) Pemberian reward kepada pekerja tidak bisa menjawab kebutuhan yang ditanggung oleh
pekerja. Standarisasi UMR sangat mungkin dimanipulasi oleh perusahaan dan segi tertentu
mengkebiri hak-hak pekerja. Ini terjadi karenahanya didasarkan pada nilai nominal dan bukan
kontribusi dalam prosesproduksi.
d) Tidak adanya perlindungan hukum terhadap pekerja. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya
kasus PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan.
e) Perlunya masyaraakat dilibatkan dalam pembicaraan mengenai hal-hal penting berkaitan
dengan pembuatan rencana kebijakn investasi dan kebijakan- kebijakan lain yang berhubungan
secara langsung dengan hajat hidup orang banyak.[2]
Dalam melakukan relevansinya, Ahlussunnah waljamaah sebagai manhajul harokah pun
melakukan elaborasi atas rujukan-rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh dan kaidah fiqih). Hal
ini mengingat kondisi global dan lokal yang saling terintegrasi, sehingga posisi hukum syara
dituntut untuk melakukan kerja dalam mengantisipasi hal tersebut. Sinergitas antara Ahlussunnah
waljamaah sebagai metode berfikir dan metode gerakan akan mampu memberi jawaban atas
tantangan ekonomi global beserta implikasinya bagi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.
Posisi hukum syariat sebagai inspirasi dan jalan keselamatan dunia-akhirat dituntut untuk
memposisikan ekonomi nasional berada pada jalan yang lebih adil dengan spirit pembebasan dari
kesewenang-wenangan, daripada rezim kapitalisasi yang tiran terhadap ekonomi kaum
mustadzafin (kaum tertindas).
Posisi Ahlussunnah waljamaah sebagai metode gerakan, sinergitas antara analisa masalah
yang dikoneptualisasikan melalui kerangka teoritis dengan solusi yang ditawarkan, baik tawaran
strategis maupun taktis. Analisa permasalahan yang dilakukan tentunya menggunakan metode
yang tawasuth, tawazun, tasamuh, dan taadul, dengan berbagai teori dan pendekatan. Pada posisi
inilah berbagai penganut Ahlussunnah waljamaah memiliki corak yang beragam karena
perbedaan perspektif dan teoritik dalam memandang suatu fenomena. Maka, tidak heran jika
sesama kalangan sunni memiliki perbedaan dalam taktis dan tindakan parsial, bahkan dalam
solusi strategis sekali pun.
Dalam memetakan Ahlussunnah waljamaah sebagai metode gerakan dalam melakukan
gerakan ekonomi, hal yang perlu dianalisis lebih awal adalah melakukan identifikasi masalah
atas realita yang terjadi melalui analisis data dan fakta, dilanjutkan dengan perumusan kerangka
teoritis beserta kerangka praktis, baik tinjauan strategis maupun taktis.
Tentu saja, identifikasi permasalahan melalui melalui metode tawazun, baik dalam skala
makro maupun mikro sehingga pemetaan masalah tidak terjebak pada isu partikular dengan
menyembunyikan gejala global yang melatarbelakangi masalah tersebut. Misalnya, isu kenaikan
Bahan Bakar Minyak tahun 2012 tidak bisa dilepaskan dari liberalisasi minyak dunia, kebijakan
pemerintah pro-pasar, ekopolitik dan geopolitik Indonesia, beserta politik hukum yang sedang
terjadi di ranah nasional. Dalam hal inilah Ahlussunnah waljamaah mengelaborasi berbagai
kerangka teoritik dalam memahami analisa tersebut. Misalnya saja, analisis M. Foucalt tentang
wacana utama dan wacana terpinggirkan, beserta kritik nalar politik melalui relasi pengetahuan
dengan relasi kuasa berupa kebijakan ekonomi negara dalam merespon kenaikan harga minyak
dunia tersebut, metode Gramsci tentang hegemoni negara, metode karl Marx tentang
determinisme ekonomi, metode Hassan Hanafi tentang Kiri Islam, dan lain-lain.
Di antara beberapa pendekatan teoritik dalam melakukan analisa ekonomi, Menurut Nur
Sayyid, di antaranya adalah sebagai berikut.
a) Fenomena kapitalisme global yang termanifestasikan melalui keberadaan WTO, world bank
dan juga IMF, serta institusi-institusi pendukungnya.
b) Semakin menguatnya institusi-institusi ekonomi kepanjangan tangan kekuatan global tersebut
di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan tersebut memanifestasi melalui kekuatan bisnis modal
dalam negeri yang berkolaborasi dengan kekutaan ekonomi global, ataupun melalui TNC atau
MNC.
c) Liberalisasi barang dan jasa yang sangat berdampak pada regulasi barang dan jasa ekspor –
impor.[1]
Karakter umum liberalisasi ekonomi adalah memberikan kemudahan bagi keluar
masuknya barang dan jasa (termasuk valuta asing) dari luar negeri sehingga menyebabkan
kelesuan produksi dalam negeri. Hal ini dikarenakan produk domestik harus bersaing dengan
produk luar negeri, apalagi melalui kebijakan dumping dari negara asal sehingga barang impor
yang kualitasnya sama lebih murah dibandingkan dengan harga produk dari dalam negeri. Di sisi
lain, kebijakan pemerintah semakin dipersempit dalam mempengaruhi regulasi ekonomi karena
mekanisme pasar yang kuat. Sistem neo-liberal yang memosisikan pasar sebagai aktor utama
menyebabkan perekonomian rakyat kecil semakin tak berdaya dikarenakan posisi binner yang
tak seimbang antara perekonomian rakyat dengan pemilik modal yang mampu mengendlaikan
harga.
Dari akumulasi berbagai persoalan tersebut, terdapat beberapa garis besar catatan atas
realitas sosial-ekonomi;
a) Tidak adanya keberpihakan negara kepada rakyat. Ini bisa ditengarai dengan keberpihakan
yang begitu besar terhadap kekutan-kekuatan modal internasional yang pada satu segi berimbas
pada marjinalisasi besar-besaran terhadap kepentingan umat.
b) Tidak terwujudnya keadilan ekonomi secara luas. Arus investasi yang mendorong laju
industrialisasi pada satu segi memang positif dalam hal mampu menyerap tenaga kerja dalam
negeri. Namun pada segi yang lain menempatkan pekrja pada sebagi pihak yang sangat
dirugikan.
c) Pemberian reward kepada pekerja tidak bisa menjawab kebutuhan yang ditanggung oleh
pekerja. Standarisasi UMR sangat mungkin dimanipulasi oleh perusahaan dan segi tertentu
mengkebiri hak-hak pekerja. Ini terjadi karenahanya didasarkan pada nilai nominal dan bukan
kontribusi dalam prosesproduksi.
d) Tidak adanya perlindungan hukum terhadap pekerja. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya
kasus PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan.
e) Perlunya masyaraakat dilibatkan dalam pembicaraan mengenai hal-hal penting berkaitan
dengan pembuatan rencana kebijakn investasi dan kebijakan- kebijakan lain yang berhubungan
secara langsung dengan hajat hidup orang banyak.[2]
Dalam melakukan relevansinya, Ahlussunnah waljamaah sebagai manhajul harokah pun
melakukan elaborasi atas rujukan-rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh dan kaidah fiqih). Hal
ini mengingat kondisi global dan lokal yang saling terintegrasi, sehingga posisi hukum syara
dituntut untuk melakukan kerja dalam mengantisipasi hal tersebut. Sinergitas antara Ahlussunnah
waljamaah sebagai metode berfikir dan metode gerakan akan mampu memberi jawaban atas
tantangan ekonomi global beserta implikasinya bagi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.
Posisi hukum syariat sebagai inspirasi dan jalan keselamatan dunia-akhirat dituntut untuk
memposisikan ekonomi nasional berada pada jalan yang lebih adil dengan spirit pembebasan dari
kesewenang-wenangan, daripada rezim kapitalisasi yang tiran terhadap ekonomi kaum
mustadzafin (kaum tertindas).