Sosial Dasar Bunuh Diri di Media Sosial

Sosial Dasar :
Bunuh Diri di Media Sosial (Pro)
Apakah ada korelasi langsung antara Bunuh Diri dengan
Media Sosial ?

1.
2.
3.
4.
5.

Debora Putri S.
Deardra Nurriel
Hafidh Atma N.
Joshua Agustinus P.
Khairunnisa Rahmasari

Berdasarkan Preventing Suicide : A global imperative (2014) yang dirilis oleh WHO,
bunuh diri disebabkan oleh : Kelainan mental khususnya depresi, penggunaan alkohol dan
narkoba, perasaan tidak ada harapan, kehilangan (hubungan, sosial, pekerjaan atau
keuangan), penyakit terminal dan kronis, dan sebagainya. Terlepas dari banyaknya faktor

yang mengakibatkan seseorang mencoba aksi bunuh diri, depresi merupakan leading factor
atau faktor utama yang paling umum ditemukan dalam kasus bunuh diri.
Media sosial adalah media berdasar komputer yang memfasilitasikan pembuatan dan
pembagian informasi, ide, hobi, dan bentuk ekspresi lainnya melalui komunitas virtual dan
jaringan. Jika kita telaah secara dalam, media sosial hanyalah sebatas media. Media
merupakan perantara akan sesuatu. Berdasarkan data oleh American Public Health
Association, apakah sosial media akan berpengaruh pada aksi bunuh diri merupakan alasan
individu masing-masing, dan harus diketahui alasan dasarnya. Individu yang rentan akan
pemikiran pemikiran bunuh diri dilatarbelakangi oleh alasan kesehatan mental. Sosial media
memang berpengaruh kepada peningkatan aksi bunuh diri, namun yang digarisbawahi di sini
adalah bunuh diri yang disiarkan di media sosial, bukan cyberbullying dan hate speech.
Sebenarnya, apa alasan seseorang menyiarkan aksi bunuh diri mereka di media sosial ?
Menurut Dr. Katherine Ramsland, sang profesor psikologi forensik berasal dari Pennyslvania
yang telah mempelajari kasus bunuh diri selama 13 tahun, terdapat banyak motif. Beliau
mengatakan beberapa ada yang menginginkan untuk menghukum seseorang dari video siaran
pelaku, karena media sosial dilihat oleh banyak orang, termasuk teman-teman sang pelaku
yang mungkin merupakan pelaku cyberbullying atau orang yang selama ini disekitar pelaku
bunuh diri. Sebagian juga ada yang ingin menghapus rasa kesepian dan berbagi pengalaman
terhadap penonton, dan memberi pesan terhadap orang lain. Katelyn Nicole Davis, remaja
berumur 12 tahun di Georgia yang menyiarkan aksi bunuh dirinya di Live.me, mengatakan

bahwa beliau telah dilecehkan secara seksual dan mengalami beberapa kasus depresi
sebelumnya. Jika kita elaborasi lebih dalam, kesamaan dari semua kasus pembunuhan di
media sosial, adalah bukan karena mereka ingin membuat orang lain juga membunuh diri,
maksudnya adalah, orang sehat seperti apa yang mau melakukan aksi bunuh diri disiarkan di
media sosial ? Tidak ada. Tidak ada penyebab langsung antara penyiaran aksi bunuh diri di
media sosial dan niat untuk bunuh diri jika tidak didasari oleh kelainan mental, depresi atau
faktor faktor pemicu bunuh diri lainnya.
1. Lantas, apa yang dapat diambil dari aksi bunuh diri di media sosial ?
Berdasarkan data yang dilansir oleh Independent.co.uk, riset menunjukkan dialog di
media sosial saat membicarakan tentang aksi bunuh diri berdampak positif daripada negatif.
Dari 14 studi yang dilakukan, 9 darinya melaporkan bahwa terdapat pengaruh positif dalam
percakapan dialog di forum media sosial yaitu dialog ini paling sering digunakan untuk
mencari bantuan secara empatik dan dorongan batin. Riset tersebut menunjukkan juga bahwa,
orang orang dengan disabilitas mental dan depresi, enggan untuk mencurahkan isi hatinya di
kehidupan asli, namun cenderung lebih bisa mengungkapan isi hatinya melalui media sosial
secara anonym, mengingant media sosial bisa ditonton oleh siapapun. Inilah alasan mengapa
sebagian pelaku bunuh diri menyiarkan aksinya, karena sebenarnya ingin melihat reaksi

orang disekitar dan mencoba mencari pertolongan terakhir. Media sosial digunakan sebagai
last defence untuk mencurahkan kata-kata terakhir pelaku bunuh diri. Bagaimana jika

audiens/penonton tidak memberikan bantuan apapun, melainkan melakukan bullying dan
mendukung aksi bunuh diri sang pelaku ? Media sosial seperti Facebook, Biggs, dan
Instagram sudah menggunakan teknologi algoritma canggih yang memungkinkan
penggunanya saat sedang live untuk mendeteksi segala aksi aksi bunuh diri dan percakapan
yang berpotensi suicidal. Tidak hanya media sosial, aplikasi seperti Google Now, dan Siri
juga telah mengeluarkan teknologi terbarunya yang memungkinkan pengguna untuk
mencegah segala aksi bunuh diri dengan cara mendeteksi suara, aktivitas dan perlakuan sang
pengguna.
2. Secara emosional, apakah aksi bunuh diri dapat dijustifikasi ?
Kembali ke topik awal, hak untuk mati tidak ditemukan di pasal manapun sebenarnya.
Namun, seperti yang sudah dikutip, hak untuk hidup merupakan sebatas hak, bukan
kewajiban. Saat itu bertentangan dengan hak orang lain, hal itulah yang menjadi masalah,
namun kita sendiri yang paling tahu kondisi diri kita. Insting dasar manusia, yaitu melakukan
sesuatu sebagai counter-action atau reaksi terhadap sesuatu yang buruk, yaitu melakukan hal
yang tidak disadari atau mungkin disadari namun menurutnya, mengakhiri hidup merupakan
hal terakhir yang paling mendasar yang dapat manusia lakukan. Kita jelas tidak
menginginkan kondisi seseorang yang tidak stabil untuk melakukan kriminal dan kejahatan
kepada orang disekitar, bukan ? Dalam skenario terburuk, seperti penyakit kronis yang
semakin parah atau kesakitan yang luar biasa, dan beban ekonomi yang berat, mengapa aksi
bunuh diri tidak dapat dibenarkan ? Kita selalu menganggap bahwa aksi bunuh diri sangatlah

tidak bermoral, karena pada dasarnya manusia menyimpulkan bahwa mukjizat akan datang
atau segala hal akan kunjung membaik atau mungkin Tuhan yang akan menjawab, namun
secara realitas, ini bukan kasusnya. Kenyataannya, orang orang ini merasakan kesakitan yang
luar biasa.
Berdasarkan mind.org.uk, jika kita melihat dari perspektif psikologi, terdapat keadaan
yang jauh dari mata kita, dimana perasaan yang sebagian besar dari kita belum pernah
merasakan dan mungkin tidak akan merasakannya. Perasaan yang belum pernah kita rasakan
inilah yang membuat kita menganggap bahwa bunuh diri itu salah. Kita berpikir bahwa
kemanusiaan harus menang diatas apapun. Namun kita sendiri belum merasakan keadaan
dimana kita berada di posisi terbawah kita, yang manusia tidak dapat mengatur itu lagi.
Sebagian orang memilih untuk menyakiti diri mereka sendiri sebagai bentuk mekanisme
perlindungan, dimana mereka percaya bahwa mereka dapat mengatur kesakitan merea lagi
atau melihat masalah itu menjadi masalah yang kecil atau untuk membuat mereka lupa atas
kemarahan internal diri mereka sebagai luapan emosi. Kita harus dapat melihat dari
perspektif lain, yaitu perspektif sang pelaku, bahwa terdapat sebagian dari kita, yang benarbenar memilih untuk mengakhiri hidupnya, dan memilih reaksi spontan yang sang pelaku
tidak ada waktu tersisa untuk menyesali perbuatannya.
Orang yang melakukan aksi bunuh diri berpikir bahwa dunia menjadi tempat yang
lebih baik tanpa mereka. Bagi kita, bunuh diri merupakan aksi yang dapat mengurangi nilai
kemanusiaan. Pada dasarnya, justifikasi merupakan salah satu bentuk dari pengaturan emosi.
Hidup individu lain bukan urusan kita, jadi segala penghakiman dan komentar kita terhadap

orang lain tidak berpengaruh. Jika kita ingin mencegah orang yang kita sayangi untuk bunuh
diri, kita harus hadir dengan mereka, dengarkan segala curahan hatinya, dan ingatkan bahwa
mereka penting bagi kita. Namun selain itu, hidup orang lain bukan kita yang mengatur.
Karena pada akhirnya kita juga akan mengakhiri hidup kita, hanyalah masalah waktu
sekarang atau nanti.