234501011 modul kup dtsd pajak pdf
KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF DASAR PAJAK I JAKARTA, 25 FEBRUARI – 9 MEI 2008 PUSDIKLAT PERPAJAKAN
BADAN PENDI DI KAN DAN PELATI HAN KEUANGAN DEPARTEM EN KEUANGAN REPUBLI K I NDONESI A
DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF DASAR
PAJAK I
MODUL 1 KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN MATERI:
• Pemba haruan Undang-undang Pajak • Bebera pa Istilah dalam UU KUP • NPWP /N .PKP P • Surat Pemberitahuan • Tangg al Jatuh Tempo Pembayaran/Penyetoran/Pelaporan
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERPAJAKAN
Jl. Sakti Raya No. 1, Kemanggisan, Jakarta 11480 Telepon (021) 5481155, 5481476, 5484404, 5329319
Fax (021) 5481394
DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF DASAR
PAJAK I
MODUL 2 KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN MATERI:
• Pemer iks an/Penyegelan a • Peneta pan/Ketetapan Pajak • Penag ihan Pajak • Menga ngsur/Menunda Pembayaran Pajak
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERPAJAKAN
Jl. Sakti Raya No. 1, Kemanggisan, Jakarta 11480 Telepon (021) 5481155, 5481476, 5484404, 5329319
Fax (021) 5481394
DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF DASAR
PAJAK I
MODUL 3 KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN MATERI:
• Memb etu kan, Mengurangkan atau Menghapuskan Sanksi l Administr asi, Mengurangkan/Membatalkan SKP yang
Tidak Ben ar, Keberatan, Banding dan Gugatan • Penge mb lian Kelebihan Pembayaran Pajak dan a Pemberia n Imbalan Bunga • Pembu ku n dan Pencatatan a
• Ketent ua Khusus n
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERPAJAKAN
Jl. Sakti Raya No. 1, Kemanggisan, Jakarta 11480 Telepon (021) 5481155, 5481476, 5484404, 5329319
Fax (021) 5481394
DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF DASAR
PAJAK I
MODUL 4 KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN MATERI:
• Sanksi Administrasi • Sanksi Pidana • Penyidikan Tinda k Pidana Pajak
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERPAJAKAN
Jl. Sakti Raya No. 1, Kemanggisan, Jakarta 11480 Telepon (021) 5481155, 5481476, 5484404, 5329319
Fax (021) 5481394
MODUL
KETENTUAN UMUM
DAN TATA CARA PERPAJAKAN
UNTUK DIKLAT PEMERIKSA PAJAK DJONED GUNADI M
DEPATEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERPAJAKAN
Menyatakan bahwa:
Modul ini diedit oleh Sutomo Hs SH
Tanggal Bulan Tahun
dan
telah diseminarkan intern Widyaiswara
Serta dinyatakan layak sebagai sarana belajar
Untuk Diklat Pemeriksa Pajak
KATA PENGANTAR
Modul pada dasarnya hanya berisi pokok-pokok bahasan dari suatu atau beberapa referensi yang menggambarkan apa yang menjadi tujuan umum dari suatu pembelajaran dan juga tujuan khusus dari suatu pembelajaran. Oleh karena itu peserta didik tidak mungkin dapat menguasai ilmu yang dia tekuni apabila hanya berharap dari membaca Modul saja. Kedudukan Modul adalah sebagai sekedar referensi materi pembelajaran dan juga medium dalam pembelajaran. Oleh karena pemecahan soal-soal dalam modul haruslah tetap bersandarkan kepada pengusaan materi sebagaimana dituliskan dalam referensi yang ada.
Dalam Modul ini memberikan pokok-pokok bahasan yang bersifat penting dari Pengertian Pemeriksaan Pajak, Dasar Hukum Pemeriksaan Pajak serta Produk yang daat diterbitkan dari temuan hasil pemeriksaan pajak serta ketentuan-ketentuan hukum yang melandasinya, sebagai dasar penguasaan hukum kepada Calon Pemeriksa Pajak.
Pada dasarnya di dalam menjalankan pemeriksaan pajak, maka pemeriksa Pajak adalah beracara dengan Wajib Pajak artinya, bahwa suatu pemeriksaan pajak adalah legal audit atau pemeriksaan hukum. Oleh karena tujuan dari pemeriksaan pajak juga sangat tinggi yaitu “Menguji Pemenuhan Kepatuhan Kewajiban Perpajakan” bukan sekedar mengisi kebutuhan kas negara (not just budgetair). Hal yang demikian sebagai bentuk tunututan dari pelaksanaan kewajiban perpajakan yang merupakan kewajiban kenegaran sebagaimana yang dituntut oleh undang-undang.
Penulis
(DJONED GUNADI M )
D AFTAR I SI K ATA P ENGANTAR D AFTAR I SI
I. P ENDAHULUAN 1
II. KB - 1 P ENGERTIAN U MUM P EMERIKSAAN P AJAK
A. URAIAN CONTOH 4 B. LATIHAN
19 C. RANGKUMAN 20
III.KB - 2
D ASAR H UKUM P EMERIKSAAN P AJAK
A. URAIAN CONTOH 21 B. LATIHAN
33 C. RANGKUMAN 34
IV. KB - 3 P RODUK H ASIL P EMERIKSAAN
A. URAIAN CONTOH 36 B. LATIHAN
40 C. RANGKUMAN 41
V. T ES F ORMATIF
Tes Formatif I
42 Tes Formatif II 42 Tes Formatif III 43
VI. U MPAN B ALIK
UMPAN BALIK I 45 UMPAN BALIK II 47
UMPAN BALIK III 49
D AFTAR P USTAKA
Atwi Suparman - Desain Instruksional – Jakarta - Pusat Antar Universitas – Universitas Terbuka – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan - 1997.
Bambang Sunggono – Metodologi Penelitian Hukum – Jakarta – Manajemen PT Raja Grasindo Persada – cetakan pertama 1997.
Departemen Keuangan RI – Peraturan Tindak Lanjut Perpajakan 2000 – Jakarta – Penerbit Eko Jaya – 2001.
Gunadi M Djoned – Modul Maajemen Penagihaqn Pajak – Jakarta – Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perpajakan -2004.
Gunadi M Djoned –Administrasi Pajak, Jakarta - Lembaga Pengkajian Keuangan dan Akuntansi Pemerintah (LPKAP) –Badan Pendidikan Dan Pelatihan Keuangan - 2006.
Gunadi M Djoned – Modul Tata Usaha Perpajakan – Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perpajakan – 2005.
Gunadi M Djoned – Modul Diklat Penyegaran Pemeriksa Pajak – Jakarta - Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perpajakan -2006.
Gunadi, Msc - Akuntansi Pajak (sesuai dengan UU Pajak Baru – Jakarta – Penerbit Grasindo -1999.
Hardi - Pemeriksaan Pajak – Jakarta- Penerbit Kharisma – 2003. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983- Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakanyang telah mngalami perubahan terakhir melalu Undang- undang Nomor 28 Tahun 2007.
P ENDAHULUAN P ENGERTIAN
Dalam perpajakan yang menganut self assessemnt system, maka pemeriksaan pajak bukanlah suatu bentuk keharusan di dalam pelaksanaan sistem perpajakan. Kewajiban perpajakan yang merupakan manifestasi kewajiban kenegaraan sepenuhnya di percayakan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) KUP yang menyatakan bahwa “ setiap Wakib Pajak waib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan adanya surat ketetapan pajak, sedangkan tugas aparat pajak adalah melakukan pelayanan, pengawasan dan pembinaan.
Kebijaksanaan pemeriksaan pajak haruslah dilaksanakan dengan mempertim- bangkan beberapa persyaratan yang antara lain:
a. tujuan dari dilakukannya pemeriksaan pajak harus jelas;
b. subyek yang akan diperiksa;
c. obyek yang diperiksa;
d. dasar hukum dari pemeriksaan pajak yang akan dilakukan;
e. tata cara pemeriksaan dilakukan; dan
f. produk dan dasar hukum dari produk hasil pemeriksaan; Sepanjang menyangkut tujuan pemeriksaan pajak maka ketentuan undang-undang mengatakan antara lain:
a. untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
b. untuk tujuan lain; Pengertian menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan adalah meliputi:
a. kepatuhan material, yaitu tata cara menghitung pajak; dan
b. kepatuhan formal yaitu melaksanakan kewajiban pembayaran/ penyetoran pajak dan pelaporan pajak yang telah dihitung dan atau disetor.
Hal yang demikian ini karena kewajiban menghitung sendiri pajak yang terutang, kemudian membayar atau menyetor dan melaporkan tersebut harus dilaksanakan
Dgm 1 Dgm 1
F AKTA YANG TERJADI
Suatu kenyataan yang ironis adalah bahwa sekalipun pemeriksaan pajak bukan suatu keharusan, namun utang pajak atau tunggakan pajak sebagai hasil pemeriksaan mengkristal sedemikian besarnya sehingga menjadi tidak tertagih dan bahkan kemungkinan sebagian telah terjadi daluwarsa (konon sampai jumlah 50%), dan apabila menimbulkan sengketa pajak maka sebagian besar dari sengketa tersebut dimenangkan Wajib Pajak. Wajar timbul pertanyaan disini apa yang salah dengan pemeriksaan pajak, apalagi penerbitan SKPKB atau SKPKBT adalah merupakan sekedar koreksi rekonsiliasi pajak yang bukan merupakan perbuatan tindak pidana pajak (redaksi “dapat” dalam Pasal 13 ayat (1) KUP yang berarti bersifat falcutatif atau pilihan). Fakta yang demikian ini perlu adanya keberanian introspeksi diri pada tubuh pemeriksa pajak, mendalami dan memahami ketentuan peraturan perundang- undangan serta menjalankan tugas kewajiban dengan baik (amanah).
Pemeriksa pajak adalah pejabat yang bekerja melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan, apakah itu dilakukan secara individu maupun secara tim kerja, oleh karena itu harus bersifat independent. Pengertian independent di sini adalah bahwa pemeriksaan harus dilakukan sejalan dengan kemauan peraturan perundang-undangan yang ada, lain tidak. Di sini pemeriksa pajak di dalam menjalankan tugas pemeriksaan adalah beracara dengan Wajib Pajak, sehingga segala sesuatunya harus di tinggalkan kecuali bagaimana ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan menghendaki. Sebagai pelaksana hukum pemeriksa pajak memiliki kekuasaan yang sangat dahsyat, yaitu bahwa pajak terutang yang ditetapkannya akan di tagih dengan membawa nama “Tuhan Yang Maha Esa” dan itupun tidak cukup, masih ditambah dengan sumpah yaitu “Demi Keadilan.” Bagi Aparat Negara Republik Indonesia yang dasar negaranya adalah diawali dengan Ke Tuhanan Yang Maha Esa, menjadikan bulu kuduk kita bergidik apabila benar-benar
Dgm 2 Dgm 2
T UJUAN I NSTRUKSIOANAL U MUM
Sebagai tujuan instruksional umum di sini adalah bahwa setelah membaca dan mengikuti pendidikan ini peserta didik mampu menjelaskan dan melaksanakan tugas- tugas pemeriksaan pajak dengan baik dan benar.
T UJUAN I NSTRUKSIONAL K HUSUS
Dan sebagai instruksional khusus adalah bahwa peserta didik setelah mengikuti pendidikan dan membaca Modul ini dapat:
1. menjelaskan dasar hukum dari pemeriksaan pajak;
2. menjelaskan tujuan dari pemeriksaan pajak;
3. menjelaskan subyek, obyek dari pemeriksaan pajak;
4. melaksanakan kewajiban melakukan pemeriksaan pajak;
5. menjelaskan dan memenuhi hak-hak Wajib Pajak di dalam pemeriksaan pajak;
6. menjelaskan dasar hukum dari suatu produk pemeriksaan pajak;
7. menghadapi kasus sengketa pajak, sebagai yang mewakili kepentingan Direktur Jenderal Pajak;
8. menjalankan tata cara pemeriksaan pajak dengan baik dan benar.
Dgm 3
II. KB. 1
P ENGERTIAN U MUM P EMERIKSAAN P AJAK
A. U RAIAN C ONTOH
UMUM
Hukum formal perpajakan adalah hukum yang membawa ketentuan material perpajakan menjadi suatu kenyataan dengan baik dan benar. Jadi apalah artinya suatu ketentuan material yang baik, manakala ketentuan formal tidak di susun dengan baik atau apalah artinya ketentuan formal yang baik apabila didalam pelaksanaannya terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan, maka dapat dipastikan akan terjadi carut marut di dalam pelaksanaan hukum dimaksud. Misalnya pemeriksaan pajak adalah suatu bentuk “kewenangan” yang diberikan oleh Undang-undang kepada Direktur Jenderal Pajak berdasarkan asas self assessment system. Namun apa artinya pengertian “kewenangan” tersebut apabila didalam pelaksanaan cenderung berubah menjadi “hak” atau “keharusan” atau menurut “selera Direktur Jenderal Pajak”.
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagai hukum formal dibidang perpajakan adalah merupakan lex specialis diantara hukum-hukum formal yang ada (KUH Pidana dan KUH Perdata), tetapi merupakan lex generalis dari ketentuan- ketentuan pelaksanaan yang ada, atau penulis sebut sebagai instrumen-instrumen didalam rangka melaksanakan KUP. Adapun instrumen-instrumen didalam melaksanakan Ketentuan Umum Dan tata Cara Perpajakan tersebut antara lain adalah:
a. Tata Usaha Perpajakan
b. Pemeriksaan Pajak dan Penyidikan Pajak;
c. Penagihan Pajak (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 yang dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000);
Dgm 4 Dgm 4
Setiap lembaga atau badan atau unit kerja atau profesi mengenal istilah pemeriksaan, misalnya seorang dokter melakukan pemeriksaan terhadap pasiennya, kemudian polisi atau jaksa melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, kemudian Inspektorat Jenderal suatu Departemen melakukan pemeriksaan atas suatu instansi pemerintah, kemudian Akuntan Publik melakukan pemeriksaan terhadap Laporan Keuangan dari suatu perusahaan atau dapat juga Direktorat Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak. Semua kegiatan profesional tersebut melakukan pemeriksaan, yang membedakan diantaranya adalah:
1. Pelaku dari yang menjalankan pemeriksaan tersebut ;
2. Alasan dilakukannya pemeriksaan;
3. Tujuan dari pada pemeriksaan tersebut dilakukan ;
4. Subyek dan obyek yang diperiksa ;
5. Tata Cara pemeriksaan dilakukan ; dan
6. Tidak lanjut dari pada pemeriksaan tersebut; Boleh jadi obyek yang diperiksa yang dilakukan oleh Akuntan Publik sama dengan pemeriksa pajak yakni Laporan Keuangan akan tetapi oleh karena alasan dan tujuan serta tindak lanjut dari pemeriksaan itu sendiri adalah berbeda, maka tata cara pemeriksaan pun dengan sendirinya berbeda.
Pengertian pemeriksaan pajak didalam Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan diatur dalam Pasal 1 angka 25 UU Nomor 28 Tahun 2007 , sebagai perubahan Pasal 1 angka 24 UU Nomor 16 Tahun 2000, sebagai perubahan dari Pasal
1 huruf s UU Nomor 9 Tahun 1994, dan sebagai perubahan dari Pasal 1 huruf s UU Nomor 6 Tahun 1983, sebagai berikut:
“Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, alat keterangan, dan/ atau bukti yang dilaksanakan secara obyektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/ atau untuk tujuan lain
Dgm 5 Dgm 5
Pengertian pemeriksaan ini telah tiga kali perubahan Undang-Undang selalu mengalami perubahan dan perubahan yang terakhir yang menonjol adalah tambahan redaksi ‘…yang dilaksanakan secara obyektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan…. .” Wajar suatu pertanyaan timbul yaitu, apakah perubahan-perubahan tersebut diikuti dengan perubahan kebijaksanaan pemeriksaan, tindakan pemeriksaan, tata cara pemeriksaan, bahkan sampai keperangai pemeriksa? Dengan sendirinya seharusnya mempengaruhi, akan tetapi jawaban yang sebenarnya saya serahkan kepada para pengambil kebijaksanaan dan pelaku pemeriksaan pajak.
Yang perlu kita kaji disini adalah beberapa pengertian yang terkandung dalam pengertian umum pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 KUP tersebut, yang antara lain:
1. Redaksi “ mencari – mengumpulkan - mengolah data “ yang diganti atau dirubah dengan “menghimpun dan mengolah data,” kegiatan ini dilakukan dengan tehnik pemeriksaan yang meliputi mengevaluasi – menganalisa – mentrasir angka- angka – menguji kebenaran pisik – menjustifikasi – merekonsiliasi – mengecek – verifikasi – vouching atau mengecek keaslian dan keabsahan suatu dokumen. Yang dengan sendirinya dilakukan secara acak terhadap obyek data yang dikehendaki.
2. Kemudian redaksi berikutnya “…… dan atau alat keterangan lainnya ……” dan/ atau mengandung maksud dapat salah satu ataupun kedua-duanya. Apabila alat keterangan lainnya tersebut perlu diperhatikan maka dilakukan proses pengujian keterkaitan (cross chek ) dalam rangka memanfaatkan informasi pihak ketiga atas alat keterangan lain tersebut dan konfirmasi baik atas alat keterangan lainnya ataupun atas data temuan dalam pemeriksaan.
3. Redaksi “ …. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan………,” pengertian kewajiban perpajakan adalah meliputi:
a. kewajiban material yakni menghitung besarnya pajak, dan
b. kewajiban formal yakni membayar atau menyetor dan melaporkan penghitungan dan pembayaran/ penyetoran tersebut.
Pengertian ini penting bagi pemeriksa pajak sebab pada biasanya Wajib Pajak berlindung kepada kewajiban perpajakan tersebut hanya pada kewajiban formal saja. Dan manakala pemeriksa pajak tersebut terkecoh ataupun tidak dapat menjawab alasan yang dikemukakan Wajib Pajak, maka dirinya dapat dipastikan timbul rasa kurang percaya diri dan gamang didalam menjalankan tugasnya, apalagi diperparah dengan pimpinan pemeriksa yang tidak pernah melakukan diskusi awal terhadap obyek yang akan diperiksa. Oleh karena itu perlu kiranya pemeriksa di dalam penyusunan rencana pemeriksaan mencari dugaan-dugaan adanya pelanggaran material dengan menyusun analisa zeitvergleif atau dari tahun
Dgm 6 Dgm 6
4. Redaksi “…………kepatuhan pemenuhan kewajiban ………,” pengertian pemenuhan ini mengandung arti suatu bentuk derajat pemenuhan atau tingkatan pemenuhan dari kewajiban perpajakan tersebut dan derajat ini yang menentukan usulan dari laporan hasil pemeriksaan. Sayangnya derajat-derajat pemenuhan kewajiban perpajakan ini belum pernah diatur didalam kebijaksanaan pemeriksaan pajak kecuali Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 04/ PJ.5/ ’86 tanggal 25 April ’86 yang menyatakan bahwa sebagai Bukti Permulaan Tindak Pidana Perpajakan adalah antara lain:
a. Wajib Pajak dengan sengaja tidak mendaftarkan diri;
b. Wajib Pajak dengan sengaja menyalah gunakan atau menggunakan dengan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT);
d. Wajib Pajak dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
e. Wajib Pajak dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, catatan, atau dokumen lain yang palsu atau yang dipalsukan seolah-olah benar;
f. Wajib Pajak dengan sengaja tidak bersedia memperlihatkan atau meminjam kan pembukuan, catatanatau dokumen lainnya;
g. Wajib Pajak dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
Dari ketentuan tersebut dimuka, maka apabila pemeriksa pajak menemukan kasus sebagaimana tersebut butir (d) sampai dengan butir (g) maka pemeriksaan dihentikan dan dibuat laporan untuk dilakukan penyidikan tindak pidana pajak, dan penyidik pajaklah yang akan menentukan jenis dari tindak pidana tersebut. Kemudian timbul pertanyaan disini adalah bagaimana hal dengan butir a sampai dengan c. Pengertian dari butir c yakni “Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan,” mengandung pengertian bahwa Wajib Pajak yang dimaksud kemungkinan sudah memiliki NPWP dan atau NPPKP atau kemungkinan Wajib Pajak yang dimaksud belum memiliki NPWP dan atau NPPKP, oleh karena itu undang-undang pajak mengadakan “lembaga NPWP dan atau NPPKP jabatan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) KUP. Jadi didalam pengertiannya Pasal 2 ayat (4) adalah NPWP dan atau NPPKP transitoris, artinya :
a. tidak mungkin diterbitkan surat ketetapan pajak dan atau Surat Tagihan Pajak
apabila Wajib Pajak dimaksud belum memiliki NPWP dan atau NPPKP;
b. NPWP dan atau NPPKP jabatan adalah administrasi transitoris, yang kemungkinan dapat dibawa ke penyidikan tindak pidana pajak apabila pada
Dgm 7 Dgm 7
Berdasarkan uraian tersebut dimuka, maka setiap penerbitan NPWP dan atau NPPKP jabatan haruslah disertai dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Tagihan Pajak, yang bersifat transitoris artinya sebagai pengganti perhitungan kerugian pendapatan negara, karena undang-undang telah mengatakan bahwa mereka adalah Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan kewajiban pajak subyektip dan kewajiban pajak obyektip. Kemudian dari pada itu haruslah dibedakan kapan seseorang menjadi Wajib Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan dengan yang tidak menyelenggarakan pembu- kuan, hal ini dikarenakan bagi mereka yang tidak menjalankan pembukuan tidak dikenal istilah rugi usaha, sedangkan yang menyelenggarakan pembukuan dikenal istilah rugi usaha;
5. Redaksi “….. dan untuk tujuan lain…….,” menurut memori penjelasan dari Pasal 29 KUP pengertian untuk tujuan lain dijelaskan sebagai antara lain :
a. menetapkan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penghasilan Pasal 21;
b. mengukuhkan atau mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
6. Redaksi “…berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan” mengandung maksud bahwa pelaksanaan pemeriksaan dari awal sampai dengan akhir, baik bagi Wajib Pajak ataupun Pemeriksa Pajak harus dijalankan berlandas kan rambu-rambu peraturan perundang-undangan perpajakan.
KEWAJIBAN PEMBUKUAN SEBAGAI OBYEK PEMERIKSAAN
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka bahwa pada dasarnya pemeriksaan adalah Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak, sedangkan dasar dari pengisian Surat Pemberitahuan adalah pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak. Disini perlu kiranya para pemeriksa pajak memahami dengan benar akan kewajiban pembukuan sebagaimana dimaksud oleh peraturan perundang-undangan. Pengertian umum pembukuan menurut undang-undang pajak adalah sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 26 yang KUP sebagai berikut:
“ Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan atau
Dgm 8 Dgm 8
Dari pengertian umum pembukuan sebagaimana tersebut dimuka, maka yang perlu dipahami oleh para pemeriksa pajak adalah bahwa:
a. Undang-undang pajak menyatakan bahwa pengertian peredaran tidak sama dengan penyerahan, demikian juga pengertian pembelian adalah tidak sama dengan perolehan. Disini undang-undang menghendaki pembukuan untuk penyerahan barang atau jasa kena pajak bagi Wajib Pajak yang sekaligus sebagai Pengusaha Kena Pajak haruslah dibuat tersendiri terpisah dari buku pembelian atau penjualan umum. Pencocokan antara buku penyerahan dengan buku penjualan, demikian juga buku perolehan dengan buku pembelian adalah bersifat rekonsiliasi bukan equalisasi;
b. Kemudian dari pada itu pengertian pencatatan harus dimengerti bukan hanya sebagai pencatatan secara manual, akan tetapi juga sistem pembukuan dengan komputer sebagamana dijelaskan didalam memori penjelasan Pasal 28 ayat (1) KUP tentang kewajiban pembukuan;
c. Namun demikian pengertian pembukuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
1 angka 26 tersebut janganlah sepenuhnya menjadi pegangan pemeriksa pajak, sebab bagian kalimat terakhir dari ketentuan tersebut cukup menyesatkan yakni anak kalimat yang berbunyi “…………… laporan keuangan berupa neraca dan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir”. Dengan sendirinya yang benar adalah setiap Tahun Buku berakhir. Oleh karena itu janganlah sampai terjadi pemeriksa pajak menyalahkan pembukuan Wajib Pajak yang ditutup bukan pada akhir Tahun Pajak, sebab apabila ini sampai terjadi akan menimbulkan performen Direktorat Jenderal Pajak yang buruk dimata Wajib Pajak.
Kemudian dari pada itu ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang kewajiban pembukuan (Pasal 28 KUP) yang perlu penulis berikan catatan atau peringatan agar para pemeriksa pajak sangat berhati-hati didalam memahami ketentuan tersebut, yakni antara lain :
a. Pasal 28 ayat (7) yang berbunyi: “ Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta,
kewajiban, modal, penghasilan, atau biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.”
Dari redaksi tersebut Pasal 28 ayat (7) KUP, penulis tidak tahu apakah suatu bentuk kesalahan teks undang-undang atau memang demikian maksud sipembuat undang-undang. Apabila ini suatu kesalahan teks dari undang-undang maka tidak pantas penulis memberikan komentar sebab undang-undang di sahkan oleh yang terhormat para anggota DPR (uneg-uneg hati ini penulis lontarkan demikian pula untuk pengertian umum Pasal 1 angka 26 KUP). Kemudian dari pada itu apabila ini memang maksud si pembuat undang-undang, menurut penulis rasa-rasanya
Dgm 9 Dgm 9
b. Pasal 28 ayat (12) KUP. Penulis sangat menyayangkan revisi ayat (12) dengan dihapusnya redaksi “Pedo-
man penyelenggaraan pembukuan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak”
mengapa penulis menyayangkan? sebab penulis adalah salah satu orang yang mendorong untuk ditimbulkannya ketentuan ini yang mana di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 belum diatur. Maksud dari ketentuan ayat (12) yang dihapus itu adalah untuk mengatur pembukuan dengan sistem komputer, dimana Wajib Pajak wajib melaporkannya ke Direktur Jenderal Pajak berikut disertai dengan “dokumentasi programnya,” serta programmer nya . Konon ceritanya sekarang ini banyak perusahaan-perusahaan besar asing yang program pembukuannya disusun dinegara asal dengan bahasa asal negara mereka, adapun yang disusun di Indonesia hanyalah menyangkut sistem kepegawaian dan Pajak Penghasilan Pasal 21. Lepas ini benar atau tidak, yang jelas seorang pemeriksa pajak haruslah ekstra hati-hati dalam melakukan pemeriksaan perusahaan dimana pembukuannya di lakukan dengan sistem komputer. Memang Pasal 28 ayat (12) KUP tersebut yang menyangkut “Pedoman Pembukuan” sampai dengan dihapuskannya ketentuan tersebut belum pernah diterbitkan.
c. Dalam kaitannya dengan Pasal 28 ayat (5) KUP yakni pembukuan dengan stelsel kas, yang perlu penulis ingatkan adalah bahwa pengertian stelsel kas menurut undang-undang pajak adalah tidak sama dengan stelsel kas menurut Akutansi.
d. Kemudian perlu pula saya mengingatkan disini bahwa bagaimanapun undang-
undang pajak mengatur pembukuan, tetapi sepanjang menyangkut badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas maka undang-undang pajak juga harus memperhatikan pembukuan yang sebagaimana diatur dalam UU.No.1 Tahun 1995 tentang “Undang-Undang Perseroan Terbatas”. Adapun ketentuan-ketentuan yang perlu diperhatikan adalah meliputi :
• Pasal 43 UU.PT, tentang mencatat dan menyimpan daftar pemegang saham, kepemilikan saham direksi dan komisaris beserta keluarganya pada perseroan
tersebut dan pada perseroan lain serta tanggal perolehannya, dan perubahan kepemilikan saham.
• Pasal 57 dan 58 UU.PT, tentang penyusunan Laporan Keuangan;
• Pasal 61 dan Pasal 62, tentang penyisihan laba sebagai cadangan, batasan jumlah cadangan, syarat penggunaan cadangan, pengaturan tentang dividen.
Satu hal penting yang selama ini belum dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam kaitannya dengan UU.PT adalah bahwa Rekonsiliasi Pajak haruslah didasarkan kepada Laporan Keuangan yang telah ditanda tangani oleh semua direksi dan komisaris, telah diaudit oleh Akuntan Publik dan disahkan didalam Rapat Umum Pemegang Saham. Jadi pada hakekatnya apabila Wajib Pajak
Dgm 10
Perseroan Terbatas tidak mengajukan permohonan perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan maka haruslah melakukan perbaikan Surat Pemberitahuan.
PERSYARATAN SEORANG PEMERIKSA PAJAK
Pengertian persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang pemeriksa pajak adalah suatu kemampuan yang dituntut didalam menjalankan tugas, dan ini dapat dibagi dua bagian yakni:
1. Persyaratan formal, yakni persyaratan pendidikan yang harus dimiliki oleh seorang pemeriksa pajak, baik pendidikan formal yang diperoleh dari bangku sekolah atau perguruan tinggi dan juga pendidikan keahlian yang diperoleh dari pendidikan dan pelatihan kedinasan ; dan
2. Persyaratan dalam kemampuan meningkatkan ketrampilan pemeriksaan pajak dalam setiap kali menjalankan praktek pemeriksaan pajak. Ketrampilan itu harus mampu ditingkatkan setiap kali praktek sejalan dengan perkembangan tata niaga, ekonomi, sosiologi masyarakatnya, hukum serta tehnologi dalam bertata niaga. Oleh karena itu ketidak mampuan pemeriksa didalam meningkatkan ketrampilan setiap kali didalam praktek pemeriksaannya dapat dipastikan dirinya akan tertinggal dan yang pada akhirnya akan merugikan tim kerja yang ada karena dirinya akan menjadi beban rekannya dan tidak dapat menjadi mitra kerja rekannya apalagi menjadi motor penggerak tim. Dengan sendirinya upaya mening katkan ketrampilan didalam praktek tersebut hanya akan dapat dilakukan dengan baik bagi pemeriksa pajak yang telah memenuhi persyaratan formal, tanpa memiliki kemampuan formal atau kemampuan dasar sangat sulit kiranya seorang pemeriksa pajak akan menjadi pemeriksa yang dapat berkembang.
Beberapa kemampuan dasar yang harus dimiliki dan selalu diupaya kembangkan oleh seorang pemeriksa antara lain adalah:
a. Penguasaan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksa pajak adalah pelaksana hukum yang kemungkinan didalam menjalankan tugasnya menerbitkan/ mengusulkan produk hukum berupa surat ketetapan pajak atau dalam istilah hukum sering disebut sebagai bischikking (Surat Keputusan). Kemudian Surat ketetapan pajak sebagai bischikking bukan mustahil akan menimbulkan sengketa dengan Wajib Pajak yang dapat
Dgm 11 Dgm 11
digugat oleh Wajib Pajak ? baca Modul penulis tentang KUP atau Modul tentang “Peradilan Pajak.”)
b. Penguasaan Pengetahuan Pembukuan.
Pengertian penghasilan sebagai obyek pajak didapat dari hasil penyusunan Laporan Keuangan, yaitu Neraca dan Daftar Laba/ Rugi yang didalam pemindahannya ke Surat Pemberitahuan dilakukan melalui rekonsiliasi pajak, yaitu pemindahan dari laba komersial ke laba material (laba menurut undang-undang pajak).
c. Penguasaan Tehnik lobbying:
Sebagaimana diketahui bahwa pemeriksaan pajak sering dikenal sebagai pekerjaan yang bersifat “an art” atau seni memeriksa, mengapa demikian ? Hal yang demikian ini terjadi karena pengertian utang pajak yang sangat spesifik lain halnya dengan utang perdata pada umumnya. Di dalam utang perdata, timbulnya utang karena adanya perikatan antara kreditur yang menyerahkan uang sebagai utangan dengan debitur yang menerima uang utangan sekaligus menyerahkan jaminan dan kewajiban mengangsur utang tersebut berikut dengan pembayaran bunganya. Disini kedua-duanya memperoleh keuntungan dari perikatan yang terjadi, itupun penagihan atas utang dan atau bunganya kadang-kadang mengalami kesulitan. Berbeda halnya dengan pajak terutang yang timbul karena adanya taatbestand yakni suatu keadaan, peristiwa dan perbuatan yang menurut undang-undang pajak terutang pajak. Wajib Pajak yang menurut undang-undang sebagai yang memiliki pajak yang terutang tidak menerima timbal balik langsung dari pembayaran pajaknya, jadi bukan mustahil didalam penagihannya akan sangat mengalami kesulitan. Kemampuan lobbi ini sangat bermanfaat dalam:
c.1. meyakinkan Wajib Pajak bahwa pemeriksa pajak didalam menjalankan pemeriksaannya dilakukan dengan fairly;
c.2. meyakinkan Wajib Pajak bahwa tidak ada gunanya menunda-nunda pembayaran pajak yang pada akhirnya hanya akan merugikan diri
Dgm 12 Dgm 12
c.3. dengan demikian akan mempercepat pemasukan uang pajak ke kas negara;
Kemudian dari pada itu dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 9 ayat (3) KUP dimana besarnya utang pajak dalam suatu surat ketetapan pajak yang harus dilunasi dalam jangka waktu sebulan sejak tanggal diterbitkannya surat ketetapan pajak, maka sebenarnya jangka waktu sebulan sejak diterbitkannya surat ketetapan pajak tersebut adalah bukan merupakan tanggung jawab unit kerja penagihan oleh karena belum menjadi tunggakan pajak dan juga belum dapat dilakukan tindakan penagihan pajak. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) KUP tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab pemeriksa untuk:
• meminta kepada Wajib Pajak membayar jumlah pajak yang terutang sebagai hasil pemeriksaan yang telah dilakukan ;
• memberikan data-data penanggung pajak dan obyek sita kepada pihak unit Penagihan apabila sampai dengan tanggal jatuh tempo tetap tidak dibayar.
Mengapa demikian? karena kedua masalah tersebut dimuka adalah: * selain sulit dilakukan oleh jurusita pajak juga kadangkala berada diluar
jangkauan para jurusita pajak; * sebagai bentuk pertanggungjawaban dari jalannya pemeriksaan itu sendiri;
d. Penguasaan tehnik wawancara, interogasi dan investigasi.
Walaupun yang diperiksa adalah Laporan Keuangan sebagai dasar pengisian Surat Pemberitahuan, akan tetapi bukan berarti pemeriksaan pajak dilakukan sebagaimana yang dilakukan oleh seorang Akuntan Publik dalam memeriksa Laporan Keuangan kliennya. Seorang pemeriksa pajak harus menentukan scope pemeriksaan yang berlandaskan kepada dugaan dimana kemungkinan tax fraude terjadi, kemudian mencari data serta membuktikan dari temuannya. Semua proses pelaksanaan pemeriksaan ini dilakukan melalui kemampuan menentukan critikal point dari obyek pemeriksaan serta kemampuan tehnik berwawancara atau interviu, interogasi ataupun kadang-kadang dengan investigasi untuk mencari bukti-bukti bahwa apa yang diduga ataupun yang diperkirakan adalah benar adanya. Kemudian dari pada itu dalam melakukan
Dgm 13 Dgm 13
d.1. Asas praduga tidak bersalah
Didalam pemeriksaan pajak pada dasarnya yang diperiksa adalah Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak, oleh karena itu sebenarnya terminologi “pemeriksaan terhadap Wajib Pajak” adalah terminologi yang salah tetapi sudah kaprah (menjadi kebiasaan). Kemudian dari pada itu didalam rumah tangga perusahaan maka pembukuan dan penyusunan Laporan Keuangan dilakukan oleh karyawan perusahaan, oleh karena itu cara yang paling baik didalam pelaksanaan pemeriksaan adalah dengan cara mengajak direksi perusahaan atau wakilnya atau penanggung pajak untuk bersama-sama meneliti atau melihat kembali apa yang telah dilakukan dengan pembukuannya. Dengan cara yang demikian ini akan mudah diketemukan data atau alat keterangan yang maksimal sehingga dapat dipakai dasar menentukan apakah yang tejadi hanya kesalahan penulisan dalam pencatatan biasa atau perbedaan pengertian hukum atas suatu transaksi, atau penghindaran pajak ataupun upaya penyelundupan pajak. Cara melibatkan direksi perusahaan atau wakilnya atau penanggung pajak didalam pemeriksaan hanya akan dapat dilakukan dengan optimal apabila pelaksanaan pemeriksaan tersebut dilandasi dengan praduga tidak bersalah. Tingkah laku, tindak tanduk serta ucapan yang dilandasi pemikiran “dugaan ada kesalahan, maka dilakukan pemeriksaan ” hanya akan menimbulkan perlawanan dari pihak yang diperiksa, dan
Dgm 14 Dgm 14
d.2.Asas persamaan dimuka hukum (equility before the law).
Tujuan diadakan hukum adalah agar dapat diwujudkannya yang namanya keadilan, kemudian apabila kita bicara tentang keadilan maka pengertian keadilan didalam pajak tidak sama dengan pengertian keadilan pada umumnya khususnya didalam hukum pidana ataupun perdata. Keadilan didalam pajak adalah bagaimana mengalihkan beban pembiayaan publik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kepada beban individu Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpaja- kan yang berlandaskan filosofi self assessment dengan tidak lebih atau kurang disatu pihak, dan dipihak lain keadilan juga tergambarkan pula dari bagaimana penggunaan penerimaan uang pajak tersebut bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adanya pengertian keadilan sebagaimana yang dimaksud menimbulkan bentuk-bentuk sanksi administrasi yang bermacam-macam dari mulai bunga, denda kenaikan dan bahkan sanksi pidana sesuai dengan kesalahan atau pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan Wajib Pajak didalam melaksanakan self assessment, demikian pula seharusnya diatur sanksi yang dapat diberikan kepada pejabat pajak. Akan tetapi diadakan pula pasal-pasal yang bersifat transitoris demi kepentingan kas negara, misalnya Pasal 2 ayat (4) KUP, Pasal 8 ayat (3) KUP dan Pasal 44B KUP. Dari sistematika pasal-pasal
Dgm 15 Dgm 15
d.3.Asas Hak didampingi Ahli Hukum (Tax Legal), Konsultan Pajak atau Akuntan Publik.
Pada dasarnya ada kemungkinan Wajib Pajak didalam menyusun Laporan Keuangan ataupun didalam menyusun rekonsiliasi pajak didampingi atau dilakukan oleh pihak lain, atau Laporan Keuangan yang telah disusun telah diaudit oleh pihak lain yakni kantor Akuntan Publik dan kantor Akuntan Publikpun telah memberikan opininya, sehingga wajar apabila didalam pemeriksaan pajak Wajib Pajak dapat/ meminta didampingi oleh pihak-pihak terkait yang diperlukannya. Justru seharusnya bagi Wajib Pajak-Wajib Pajak tertentu yang tidak mampu menggunakan jasa tax legal maka sebaiknya Direktorat Jenderal Pajak membantu menyiapkan tenaga bantuan hukum tersebut.
d.4.Asas Obyek Yang Diperiksa.
Yang diperiksa adalah Surat Pemberitahuan Wajib Pajak, oleh karena itu dari mulai pemilihan didalam penggunaan wewenang pemeriksaan, perencanaan, sampai dengan proses pemeriksaan haruslah bertumpu kepada pos-pos yang ada didalam Surat Pemberitahuan. Ketidak lengkapan atau kekurang lengkapan Wajib Pajak didalam mengisi dan melaporkan Surat Pemberitahuan yang dikarenakan tidak atau kurang lengkapnya formulir isian Surat Pemberitahuan tidak dapat dipersalahkan dan ditanyakan kepada Wajib Pajak. Hal ini sejalan dengan pengertian
Dgm 16 Dgm 16
d.5. Asas Ketentuan Material.
Pemeriksaan pajak bukan untuk memasalahkan legal atau tidaknya suatu penghasilan, dari tindak susila ataupun dari tindak asusila, dari mana sumber penghasilan tersebut datangnya, serta tidak memasalahkan bagaimana tatacara penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. Peraturan perundang-undangan Pajak Penghasilan menganut “world wide income” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan sebagai berikut: “penghasilan sebagai obyek pajak penghasilan adalah tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik dari dalam Indonesia atau dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan alam bentuk apapun, termasuk huruf a sampai dengan huruh p“. (selain yang tersebut dalam Pasal 4 ayat (3) PPh – catatan penulis) Jadi disini undang-undang pajak didalam menentukan besarnya penghasilan ataupun biaya tidak terikat dengan asas legalitas atau formal, akan tetapi asas material atau fakta yang sesungguhnya. Misalnya pembebanan pengeluaran bukannya hanya tergantung dari bukti pengeluaran semata akan tetapi apakah pengeluaran yang dimaksud ada hubungannya dengan untuk mendapatkan, menagih atau mempertahankan penghasilan apa tidak. Demikian pula misalnya dalam memandang penghasilan, tidak cukup berdasarkan apa yang tercatat dalam dokumen, akan tetapi fakta yang sebenarnya bagaimana? Misalnya disini adalah, seorang pemeriksa pajak didalam melakukan pemeriksaan menemukan dokumen dengan nilai
Dgm 17
pekerjaan atau peredaran sebesar Rp.100 Milyar – kemudian setelah dilakukan koreksi disana sini diperoleh laba usaha sebesar Rp.40 Milyar atau laba usaha sebesar 40 % (empat puluh persen), suatu hal yang tidak masuk diakal apabila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang sejenis dan ini adalah suatu hal yang tidak mungkin, tetapi fakta temuan adalah demikian! Pertanyaannya adalah mengapa dapat demikian? Hal yang demikian ini dapat terjadi karena nilai Rp.100 Milyar tersebut adalah nilai yang di mark up sebesar misalnya 30 % (tiga puluh persen) atau Rp.30 Milyar yang mana oleh Wajib Pajak jumlah dimaksud harus dibebankan dalam perusahaan dengan cara dibagi-bagi (suatu pembebanan biaya gelap yang tidak mudah), dengan demikian laba yang sebenarnya hanyalah Rp.10 Milyar. Dalam kasus yang demikian ini apabila pemeriksa pajak tetap kokoh pada temuannya yakni Laba Rp.40 Milyar maka Pajak Penghasilan yang harus dibayar kira-kira Rp.12 Milyar atau lebih besar Rp.2 Milyar dari pada laba perusahaan yang sebenarnya dan jumlah di maksud harus dibayar dengan pengurangan modal perusahaan, suatu hal yang sebenarnya sama-sama tidak diharapkan baik oleh Wajib Pajak ataupun negara sebagai penerima pembayaran pajak. Cara yang terbaik disini adalah tetap mengenakan laba sesuai temuan minus mark up, dan pengakuan mark up dari Wajib Pajak digunakan untuk memeriksa siapa yang melakukan mark up dengan tidak memasalahkan tindak pidana umumnya, karena sejumlah uang mark up tersebut adalah “penghasilan” sebagai obyek pajak penghasilan.
d.6. Asas didalam pelaksanaan penyegelan.
Pemeriksaan pajak adalah bukan penyidikan pajak, sehingga tindakan- tindakan sebagaimana penyidik biasa dilakukan didalam pemeriksaan tidak boleh dilakukan, misalnya menyita barang dan melakukan penggeledahan. Segala tindakan pemeriksa haruslah seizin dan sepengetahuan Wajib Pajak, misalnya melihat dan meminjam buku-buku. Didalam undang-undang pajak tindakan yang diizinkan pemeriksa selain melihat dan meminjam buku adalah melakukan penyegelan ruangan atau tempat yang diperkirakan sebagai tempat penyimpanan buku-buku atau
Dgm 18 Dgm 18
e. Memiliki Karakter Sebagai Pemeriksa Pajak.
Pengertian karakter adalah tabiat – watak – sifat kejiwaan – akhlak atau budi pekerti yang membedakan antara seseorang dengan seseorang yang lain. Pengembangan karakter ketingkat yang lebih tinggi akan menjadi lebih mudah apabila pemeriksa pajak memiliki kemampuan dasar pemeriksaan pajak. Jadi karakter sebagai pemeriksa pajak ini akan berkembang sejalan dengan ketrampilan didalam pemeriksaan pajak. Beberapa karakter yang baik bagi pemeriksa pajak antara lain adalah:
e.1. rasa ingin tahu tetapi bukannya sok tahu;
e.2. tidak memiliki sifat sok mengguruhi, sok kuasa, sok pejabat, dan dimabuk dengan kebanggaan-kebanggaan semu;
e.3. tidak mau menang sendiri dan merasa dirinya yang paling benar;
e.4. tegas tetapi tidak sok kuasa ;
e.5. sebagai pelaksana hukum yang baik ; dan
e.6. menghayati tugas, dan bukan mengkhianati tugas.
B. L ATIHAN
Setelah saudara membaca Modul ini dan mengikuti penjelasan yang diberikan serat diskusi yang telah diselenggarakan maka saudara diminta untuk menyelesaikan soal latihan sebagai tersebut dibawa ini:
1. Jelaskan apa tujuan dari suatu pemeriksaan pajak di adakan?
2. Jelaskan pengertian dari menghimpun dan mengolah data atau alat keterangan?
3. Jelaskan apa yang menjadi obyek pemeriksaan pajak?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pembukuan sebagai obyek pemeriksaan pajak?
5. Jelaskan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemeriksa pajak?
6. Bagaimana pembukuan stelsel kas menurut undang-undang pajak dilakukan?
Dgm 19
7. Jelaskan pengertian dari asas equility?
8. Jelaskan perbedaan pemeriksaan dalam sistem self assessment dengan sistem official assessment ?
C. R ANGKUMAN
Sebagai rangkuman dari Pengertian Umum Pemeriksaan Pajak kami berikan sebagai berikut:
1. Setiap profesional didalam menjalankan tugas-tugas kesehariannya mengenal istilah pemeriksaan yang masing-masing memiliki pengertian yang berbeda;
2. Yang menjadi obyek dari pemeriksaan pajak adalah Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak;
3. Tujuan dari pemeriksaan pajak adalah bukan untuk menerbitkan surat ketetapan pajak, namun lebih tinggi dari itu yaitu, menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perjakan yang dilaskanakan oleh Wajib Pajak;
4. Pemeriksaan Pajak harus dilakukan oleh aparatur pajak yang memenuhi persyaratan –persyaratan minimal yaitu persyaratan formal dan persyaratan dalam kemampuan meningkatkan atau mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga dapat menjadi pemeriksa pajak yang benar-benar profesional;
5. Pemeriksa Pajak haruslah aparat fungsional pemeriksa pajak yang memiliki karakter menonjol didalam menjalankan tugasnya;
Dgm 20
III. KB. 2
D ASAR H UKUM P EMERIKSAAN P AJAK
A. U RAIAN C ONTOH KETENTUAN YANG MENGATUR
Pengertian dasar hukum pemeriksaan pajak adalah suatu landasan hukum yang di tunjuk dalam ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan suatu kewenangan atau keharusan pemeriksaan pajak didalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan. Adapun ketentuan yang mengatur yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum pemeriksaan pajak adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat (1) KUP sebagai berikut :
“ Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemebuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.”
kemudian diayat (2) nya berbunyi:
“Untuk keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus memiliki tanda
pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.”
Pembahasan ketentuan yang mengatur:
1. Redaksi “…berwenang…”, mengandung maksud suatu kekuasaan yang dijalankan dengan penuh tanggung jawab, dan bukan dengan cara sewenang- wenang akan tetapi yang harus terkait dengan tujuan dari pada pemeriksaan itu sendiri yakni “menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan”. Oleh karena itu penentuan siapa yang harus diperiksa dan tata cara pemeriksaan, haruslah selalu dilakukan menurut ketentu-an peraturan perundang-undangan perpajakan.
Masalahnya sekarang adalah timbul pertanyaan antara lain : 1.1.bagimana undang-undang mengatur “pengertian berwenang” tersebut? dan
bagaimana yang terjadi sebagai pelaksanaan dilapangan ? 1.2.bagaimana penerapan pengertian “kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan” tersebut menurut undang-undang dan bagimana penerapannya dilapangan ?
1.3.Apakah yang dimaksud dengan “ pemeriksaan harus dalam rangka
melaksanakan peraturan perundang-undangan ?“
Marilah kita coba menjawab beberapa pertanyaan yang timbul dari pengertian Pasal 29 ayat (1) KUP sebagaimana huruf (a) sampai dengan huruf (c) tersebut.
1.1 Didalam ketentuan formal perpajakan atau yang dikenal dengan KUP tidak di jelaskan dengan rinci pengertian “berwenang” dari Pasal 29 ayat (1) tersebut baik didalam batang tubuhnya ataupun didalam memori penjelasannya. Akan tetapi apabila kita kaji dengan seksama dari sistematika pasal-pasal yang terkandung dalam Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan maka dapatlah kita ketahui bahwa pengertian berwenang tersebut meliputi antara lain :
a. Kewenangan yang diartikan harus dilakukan pemeriksaan
Pengertian ini menyangkut Surat Pemberitahuan Lebih Bayar baik Lebih Bayar karena adanya klaim dari Wajaib Pajak (Pasal 17B KUP) ataupun Lebih Bayar tanpa adanya klaim dari Wajib Pajak (Pasal 17). Dengan sendirinya didalam pengkajian akan timbul pertanyaan mengapa Surat Pemberitahuan Lebih bayar harus dilakukan pemeriksaan, khususnya Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan? Sebagai jawabannya adalah bahwa di dalam Pajak Penghasilan sistem perpajakan yang berlandaskan kepada asas self assessment si pembuat undang-undang memandang bahwa Surat Pemberitahuan Lebih Bayar adalah suatu hal yang hampir- hampir tidak mungkin terjadi kecuali adanya force mayeur yang tak dapat dihindari, mengapa demikian ?
Dua hal yang mendasari alasan ini adalah : Pertama, pembayaran didalam tahun berjalan (PPh Pasal 25) yang harus dilakuan Wajib Pajak dalam undang-undang pajak hanya memperhitungkan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan tahun lalu disatu pihak sedangkan dipihak lain setiap rumah tangga usaha ataupun
setiap Wajib Pajak selalu berusaha dan atau berharap penghasilan tahun ini akan menjadi lebih besar dari pada tahun lalu. Oleh karena itu didalam perhitungan menentukan besarnya pembayaran masa tahun ini (PPh Pasal 25), besarnya pemotongan pajak dan atau pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga tahun yang lalu bersifat netral artinya dikurangkan terlebih dahulu dari pajak penghasilan yang akan dijadikan dasar perhitungan penentuan besarnya PPh.Pasal 25 tahun ini. Kedua, apabila Wajib Pajak dalam tahun ini menurut perkiraannya akan nyata-nyata mengalami penurunan usaha maka dia dapat menempuh dua jalan yakni menggunakan fasilitas Pasal 25 ayat (6) huruf f PPh yang mengatur tentang tata cara mengajukan permohonan penurunan pembayaran PPh. Ps.25 yang telah ditentukan, dan atau menggunakan ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf e KUP, yakni mengajukan keberatan terhadap pemotongan dan atau pemungutan yang dilakukan pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan uraian tersebut dimuka, maka pengkajian terhadap Surat Pemberitahuan Lebih Bayar Pajak Penghasilan haruslah bertumpu kepada dua hal pula yakni pertama apakah perangkat undang-undang dalam menjamin hak-hak Wajib Pajak sudah dijalankan dengan baik atau belum ? atau apakah terjadi fluktuasi perekonomian nasional/ internasional yang mendadak sehingga menyebabkan usaha Wajib Pajak merugi ? Demikian pula dengan Pajak Pertambahan Nilai, yang pengenaannya terbatas kepada adanya Pertambahan Nilai dari arus barang atau jasa dalam perniagaan, maka tidaklah masuk akal terjadi penurunan nilai dalam arus barang didalam tata niaga. Restitusi disini hanya pantas terjadi dalam kasus Pajak Keluarannya dibebaskan dari pengenaan PPN atau dikenakan PPN dengan Tarip 0 % ( nol persen) misalnya kegiatan ekspor.
b. Pemeriksaan Dengan Pilihan, ini dilakukan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang menyatakan Kurang Bayar, Nihil, atau Rugi dengan tidak disertai kalim Lebih Bayar, ataupun Wajib Pajak yang telah menerima Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Mengapa demikian? karena ada kemungkinan didalam melaksanakan self assessment Wajib Pajak ini telah melakukan dengan baik, oleh karena itu b. Pemeriksaan Dengan Pilihan, ini dilakukan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang menyatakan Kurang Bayar, Nihil, atau Rugi dengan tidak disertai kalim Lebih Bayar, ataupun Wajib Pajak yang telah menerima Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Mengapa demikian? karena ada kemungkinan didalam melaksanakan self assessment Wajib Pajak ini telah melakukan dengan baik, oleh karena itu
Kemudian dari pada itu Direktur Jenderal Pajak sebagai pimpinan yang melaksanakan undang-undang melalui Surat Edarannya Nomor SE-03/ PJ.7/ ’01 Tanggal 06 Juni –’01 mengatur tentang pemeriksaan pajak menerbitkan kebijaksanaan yang antara lain sebagai berikut :