144314528 Permen Lh No 20 Th 2008 Juknis Spm Bid Lh Lampiran

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal dan Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, perlu menetapkan Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);

2. Undang-Undang Nomor

2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

32 Tahun

3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 150 tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 267, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup;

9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal;

10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal;

11. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/ Kota;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI DAN DAERAH KABUPATEN/KOTA.

Pasal 1

Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup yang diatur dalam Peraturan Menteri ini terdiri atas:

a. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan

b. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah

Pasal 2

Petunjuk teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib dipergunakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penerapan pencapaian standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang dilaksanakan secara bertahap.

Pasal 3

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Petunjuk Teknis Pelaksanaan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 197 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 4

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal: 28 November 2008

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

ttd

RACHMAT WITOELAR

Salinan sesuai dengan aslinya Deputi V MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,

Ilyas Asaad

Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor

: 20 Tahun 2008 Tanggal : 28 November 2008

PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.

kegiatan yang menimbulkan pencemaran air, pencemaran udara, kerusakan lahan dan/atau tanah, dan meningkatnya pengaduan masyarakat terkait adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup pada pemerintah provinsi, diperlukan pengelolaan lingkungan hidup yang optimal agar masyarakat mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh karena itu, pemerintah provinsi perlu memberikan pelayanan dasar sesuai dengan standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup.

Dengan meningkatnya

berbagai

usaha

dan/atau

Dalam rangka pencapaian penerapan standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup daerah provinsi yang terkait dengan permasalahan lingkungan hidup di daerah kabupaten/kota terutama dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan teknis dan pengawasan, jenis pelayanan bidang lingkungan hidup daerah provinsi lebih ditekankan pada penyampaian informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor

23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dengan demikian, jenis pelayanan dasar bidang lingkungan hidup daerah provinsi diprioritaskan pada:

1. Informasi status mutu air.

2. Informasi status mutu udara ambien.

3. Tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

B. TUJUAN.

Petunjuk teknis ini bertujuan untuk memberikan panduan kepada pemerintah provinsi dalam penerapan pencapaian standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup daerah provinsi secara bertahap.

C. RUANG LINGKUP.

Ruang lingkup standar pelayanan minimal daerah provinsi meliputi:

1. Pelayanan informasi status mutu air.

2. Pelayanan informasi status mutu udara ambien.

3. Pelayanan tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Masing-masing jenis pelayanan tersebut dijabarkan secara rinci yang meliputi:

1. Gambaran umum.

2. Pengertian.

3. Indikator dan cara perhitungan.

4. Sumber data.

5. Batas waktu pencapaian.

6. Langkah kegiatan.

7. Rujukan/referensi.

II. PELAYANAN INFORMASI STATUS MUTU AIR

A. GAMBARAN UMUM.

Penetapan status mutu air merupakan tahapan yang penting dalam rangka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, karena akan menjadi titik tolak untuk pelaksanaan suatu program/kegiatan selanjutnya. Status mutu air juga merupakan hak masyarakat yang harus diakomodir, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran, bahwa “setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi mengenai status mutu air dan pengelolaan kualitas air serta pengendalian pencemaran air”. Penentuan status mutu air dan rencana tindak lanjutnya disajikan pada Gambar 1.

Dari Gambar 1, diilustrasikan secara sederhana, bahwa penentuan status mutu air pada suatu sumber air dilakukan dengan cara membandingkan hasil pemantauan kualitas air dengan baku mutu air (BMA) yang diterapkan pada sumber air tersebut. Baik atau buruknya kualitas air diindikasikan oleh parameter-parameter, antara lain parameter kadar polutan yang dikandungnya. Jika kadar polutan melebihi kadar maksimum yang dibakukan dalam BMA, air tersebut dinyatakan sebagai air yang cemar. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor

82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, bahwa air dinyatakan dalam kondisi cemar, jika mutu airnya tidak memenuhi BMA dan air dinyatakan dalam kondisi baik, jika mutu airnya memenuhi BMA.

Selanjutnya Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dinyatakan bahwa jika status mutu air dalam kondisi baik atau tidak tercemar, upaya Selanjutnya Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dinyatakan bahwa jika status mutu air dalam kondisi baik atau tidak tercemar, upaya

Gambar 1. Status mutu air dan tindak lanjutnya

Penetapan status mutu air pada suatu sumber air dapat dilakukan jika tahapan-tahapan sebelumnya telah dilaksanakan yaitu penetapan kelas air dan BMA, penetapan titik pantau dan pemantauan kualitas air. Kegiatan pemantauan kualitas air di titik-titik pengambilan contoh merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Contoh hasil kegiatan pemantauan kualitas air disajikan pada Tabel 1.

Secara sederhana, penentuan status mutu air dilakukan dengan cara membandingkan hasil pemantauan kualitas air dengan BMA yang diterapkan pada sumber air tersebut, namun mengingat jumlah parameter dalam BMA tidak sedikit (lihat Tabel 1), sehingga dengan hanya membandingkan masing-masing hasil pemantauan dengan BMA akan menghasilkan status mutu yang berbeda-beda untuk tiap parameter kualitas air. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu metode yang dapat memberikan status mutu yang merupakan gabungan dari semua parameter yang dipantau sehingga menjadi satu nilai yang menggambarkan status mutu air secara keseluruhan.

Dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air telah diatur 2 (dua) metode untuk menentukan status mutu air yaitu metode storet dan metode indeks pencemaran. Pada metode storet, status mutu air, dengan menggunakan sistem klasifikasi US-EPA, dinyatakan sebagai berikut:

1. Kelas A : baik sekali, skor = 0  memenuhi baku mutu).

2. Kelas B : baik, skor antara -1 sampai dengan -10  cemar ringan).

3. Kelas C : sedang, skor antara -11 sampai dengan -30  cemar sedang).

4. Kelas D : buruk, skor ≤ -31  cemar berat).

Sedangkan metode indeks pencemaran dinyatakan bahwa nilai :

1. 0 ≤ PIj ≤ 1,0 : memenuhi baku mutu.

2. 1,0 < PIj ≤ 5,0 : cemar ringan.

3. 5,0 < PIj ≤ 10 : cemar sedang.

4. PIj > 10

: cemar berat.

Contoh hasil penetapan status mutu air yang menggunakan kedua metode tersebut disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

STATUS PENCEMARAN SUNGAI CISADANE TAHUN 2007

-70 -60 T E -50

CEMAR BERAT

CEMAR SEDANG

CEMAR RINGAN

Sebelum Cihuni Jembatan Jembatan Jembatan Bendung Bayur Kali Baru Intake

Gading

Cikokol Robinson Pasar

Gambar 2. Contoh status mutu air menggunakan metode soret

25 25 Mar 2004

15 Jun 2004

7 Sep 2004

CEMAR BERAT

21 Des 2004

CEMAR SEDANG

CEMAR RINGAN

pa be og pa pu

s ua

et

an ek

g ai

aj nu D nd ar ng ha ri PIK

ad

wu

A m le

G la

al R Pa pa Co gg ita

ta isa Ci

tu Se

H an Kw

Sa

At

ng ok n la

l,

ta

Ka

nd ta Ke

un

ba

ria

Ke Po

ba du

un

Ci bu Je

Je

Gambar 3. Contoh status mutu air menggunakan metode indeks pencemaran

Kewenangan penetapan status mutu air ada pada pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, namun karena penetapan kelas air pada sumber air skala provinsi dan penetapan baku mutu air lebih ketat berada dalam kewenangan pemerintah provinsi serta penetapan status mutu air berkaitan erat dengan penetapan kelas air dan baku mutu air tersebut, sehingga dalam standar pelayanan minimal ini, penetapan status mutu air menjadi bagian dari standar pelayanan minimal provinsi.

Tabel 1. Contoh hasil pemantauan kualitas air

HASIL PEMANTAUAN KUALITAS AIR DAS ABC PERIODE BULAN SEPTEMBER 2008

/ # #! "-/

# !"'#

7(-&/( &5& ( 9 (

B. PENGERTIAN.

Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan:

1. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, kecuali air laut dan air fosil.

2. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di bawah dan di atas permukaan air, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk dan muara.

3. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan.

4. Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan baku mutu air yang ditetapkan.

5. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.

6. Mutu air sasaran (water quality objective) adalah mutu air yang direncanakan untuk dapat diwujudkan dalam jangka waktu tertentu melalui penyelenggaraan program kerja dalam rangka pengendalian pencemaran air dan pemulihan kualitas air.

C. INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN.

1. Indikator. Jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan status mutu airnya.

2. Cara Perhitungan.

Jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan

Prosentase (%) jumlah status mutu airnya dan sumber air yang dipantau diinformasikan status mutu

kualitasnya, ditetapkan airnya. x 100% status mutu airnya dan

Jumlah sumber air yang telah diinformasikan status

ditetapkan berdasarkan hasil mutu airnya.

identifikasi provinsi.

3. Contoh Perhitungan. Misalkan: Pada tahun 2009 jumlah sumber air yang dipantau

kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan status mutu airnya kepada masyarakat sebanyak 1 (satu) sumber air, sedangkan jumlah sumber air yang telah ditetapkan berdasarkan hasil identifikasi provinsi sebanyak 5 (lima) sumber air, prosentasenya menjadi:

Prosentase (%) jumlah sumber air yang

dipantau kualitasnya, x 100%

ditetapkan status mutu =

airnya dan diinformasikan status mutu airnya.

Selanjutnya pada tahun berikutnya: Jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan status mutu airnya kepada masyarakat bertambah sebanyak 1(satu) sumber air lagi sehingga menjadi 2 (dua) sumber air, sedangkan jumlah sumber air yang telah ditetapkan berdasarkan hasil identifikasi provinsi sebanyak 5 (lima) sumber air, prosentasenya menjadi 2/5 = 40%.

D. SUMBER DATA.

1. Laporan instansi teknis terkait antara lain: instansi lingkungan hidup, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Kesehatan.

2. Hasil pemantauan (data primer).

3. Sumber lain yang relevan.

E. BATAS WAKTU PENCAPAIAN.

1. Sampai dengan tahun 2009 : 20 %

2. Sampai dengan tahun 2010 : 40 %

3. Sampai dengan tahun 2011 : 60 %

4. Sampai dengan tahun 2012 : 80 %

5. Sampai dengan tahun 2013 : 100 %

F. LANGKAH KEGIATAN.

1. Perencanaan pemantauan kualitas air.

a. Pengumpulan data sekunder. Data sekunder berguna untuk mendukung interpretasi data primer yang telah dihasilkan. Data sekunder yang perlu dikumpulkan antara lain gambaran lokasi pemantauan (panjang, lebar, sumber air, peruntukan, batas administrasi sumber air, peta lokasi, data pemantauan sebelumnya (jika ada), kegiatan sekitar lokasi pemantauan, dan sumber pencemar.

b. Penyusunan tim pemantauan kualitas lingkungan. Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di setiap daerah provinsi harus menyusun tim teknis pemantauan yang melibatkan berbagai personil seperti pada Tabel 2 di bawah ini yang meliputi:

Tabel 2. Susunan tim teknis pemantauan kualitas lingkungan.

No.

Peranan

Uraian Pekerjaan

1 Koordinator Bertanggungjawab terhadap keseluruhan proses pelaksanaan pemantauan kualitas air

2 Personil perencana Merencanakan program pemantauan, program pemantauan dan menyusun proposal sesuai tujuan

pemantauan

3 Personil pengambil Mengambil sampel di badan air sesuai sample

tujuan pemantauan dan standar yang ditetapkan

4 Personil pengujian Melaksanakan pengujian parameter laboratorium

kualitas air sesuai standar yang ditetapkan

5 Personil pengolah Melakukan pengumpulan data hasil data dan pembuatan

analisis yang telah diverifikasi dan laporan

divalidasi oleh penyelia laboratorium, memeriksa integritas data, melakukan analisis data (membandingkan dengan kriteria mutu air kelas I sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, melakukan penghitungan status mutu air berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air, dan menginterpretasikan data sesuai tujuan pemantauan, serta menyusun laporan sesuai format yang ditentukan.

c. Penetapan sumber air. Lokasi pemantauan ditetapkan terutama untuk sumber air yang diperuntukkan untuk Air Baku Air Minum (ABAM) dengan parameter

sesuai kelas 1 (satu) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

d. Penetapan tujuan pemantauan. Pemantauan bertujuan untuk mendapatkan data kualitas air sungai yang bermanfaat bagi masing-masing daerah provinsi sebagai bahan untuk penyusunan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan air sungai.

e. Survei pendahuluan. Digunakan sebagai pertimbangan untuk penyusunan perencanaan pemantauan kualitas sumber air yang dijadikan sebagai ABAM termasuk dalam hal penentuan titik pantau yang representatif, frekuensi pengambilan contoh air yang seharusnya diambil, sumber pencemar yang berpengaruh terhadap sumber air, kemudahan akses, dan kebutuhan biaya. Survei pendahuluan ini diperlukan untuk kegiatan pemantauan pada lokasi dan titik pemantauan yang baru.

f. Disain pemantauan. 1). Identifikasi sumber air dan penetapan lokasi sumber air yang akan dipantau paling sedikit 5 (lima) lokasi sumber air. 2). Penetapan lokasi sumber air diprioritaskan pada sumber air untuk dijadikan sebagai ABAM.

3). Penetapan titik pantau paling sedikit 3 (tiga) titik yang mewakili daerah hulu, tengah dan hilir sesuai dengan SNI 6989.57:2008 Air dan Air limbah – Bagian 57: Metoda Pengambilan Contoh Air Permukaan, dan – Bagian 58: Metoda Pengambilan Contoh Air tanah. 4). Penetapan parameter pemantauan sesuai dengan kriteria mutu air kelas I berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 5). Penetapan waktu dan frekuensi pemantauan (waktu pengambilan contoh air dilakukan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun, yaitu pada musim hujan dan musim kemarau disesuaikan dengan kondisi cuaca).

2. Pelaksanaan pemantauan.

a. Pelaksanaan pengambilan contoh air. Setelah lokasi sumber air yang akan dipantau kualitasnya ditetapkan dilakukan penetapan titik pantau dengan mengacu pada Metode Pengambilan Contoh Air Permukaan, SNI 6989.57:2008 Air dan Air Limbah-Bagian 57 dan selanjutnya dilakukan pengambilan contoh air pada sumber air yang telah ditetapkan tersebut.

b. Analisis laboratorium. Pelaksanaan analisis contoh air dapat dilakukan melalui laboratorium yang kompeten dan menerapkan sistem mutu.

c. Verifikasi dan validasi data. Laboratorium harus melakukan verifikasi dan validasi data untuk menjamin mutu data hasil pengujian.

d. Analisis dan interpretasi data. Analisis dan interpretasi data hasil pengujian merupakan suatu proses pengolahan data untuk menampilkan informasi yang sesuai dengan tujuan pemantauan yang mudah dipahami oleh pengguna dan pengambil kebijakan. Data hasil pengujian yang telah dikeluarkan oleh laboratorium dan telah melalui proses verifikasi dan validasi data, harus ditabulasikan dalam bentuk tabel data.

Analisis dan interpretasi meliputi beberapa tahapan seperti yang tercantum dalam Gambar 4 di bawah ini:

Persiapan data

Pemeriksaan integritas data

Analisis dan interpretasi data

1. Membuat grafik garis atau batang yang menyatakan konsentrasi parameter dari hulu sampai ke hilir

2. Membandingkan dengan kriteria mutu air pada kelas air yang telah ditetapkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian

Pencemaran Air. 3. Menghitung status mutu air dengan metode indek pencemar (IP)

dan/atau metode storet sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.

Gambar 4. Alur kerja analisis dan interpretasi data

e. Penyebaran Informasi. Hasil analisis dan interpretasi data dari angka 2 huruf d diinformasikan kepada masyarakat melalui :

1). Papan pengumuman. 2). Media cetak. 3). Media elektronik.

3. Penetapan status mutu air. Data hasil analisis laboratorium dilakukan verifikasi dan validasi kemudian diolah dalam bentuk perhitungan status mutu air dengan metode storet atau indeks pencemaran sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.

G. RUJUKAN/ REFERENSI.

Peraturan perundang-undangan, pedoman/standar teknis yang terkait dengan pelayanan informasi status mutu air antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.

4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.

5. Pedoman/Standar Teknis:

a. SNI 6989.57:2008 tentang Air dan Air Limbah – Bagian 57: Metoda Pengambilan Contoh Air Permukaan.

b. SNI 6989.58:2008 tentang Air dan Air Limbah – Bagian 58: Metoda Pengambilan Contoh Air Tanah.

III. PELAYANAN INFORMASI STATUS MUTU UDARA AMBIEN

A. GAMBARAN UMUM.

Fakta empirik menunjukkan bahwa udara merupakan komponen kehidupan yang sangat penting bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya (seperti tumbuhan dan hewan). Tanpa makan dan minum manusia bisa hidup untuk beberapa hari, tetapi tanpa udara manusia hanya dapat hidup untuk beberapa menit saja. Tidak seperti air yang bisa dipilih untuk diminum, sekali udara tercemar susah untuk membersihkannya. Karena manusia tidak dapat memilih udara yang dihirup.

Kualitas udara (ambien) sangat berhubungan dengan tingkat kesehatan masyarakat dan kegiatan pembangunan. Kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tentunya akan meningkatkan penggunaan energi. Semakin banyak energi yang dibakar pada akhirnya akan meningkatkan pencemaran udara. Udara yang tercemar (tidak memenuhi baku mutu udara ambien) dapat meningkatkan berbagai jenis penyakit seperti ISPA (infeksi saluran pernapasan atas) atau bahkan dapat menyebabkan kematian apabila kadarnya di udara tidak sehat atau berbahaya untuk jangka waktu yang panjang.

Penduduk Indonesia diproyeksikan akan meningkat antara tahun 2000 dan 2025 dari sekitar 206 juta menjadi sekitar 274 juta. Pada tahun 2000 kebanyakan penduduk Indonesia masih tinggal di pedesaan, namun lambat laun jumlah penduduk yang tinggal di pedesaan semakin menurun, yang disebabkan oleh perkembangan pedesaan menjadi kota- kota baru serta urbanisasi. Apabila pada tahun 2000 jumlah penduduk perkotaan hanya berjumlah sekitar 47 juta jiwa, pada tahun 2025 jumlah penduduk perkotaan akan meningkat menjadi sekitar 187 juta jiwa atau sekitar 68% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2025. Oleh karena itu, tingkat pencemaran udara pada masa yang akan datang akan semakin meningkat khususnya di wilayah perkotaan dan industri serta wilayah permukiman.

Gambar. 5 Dampak polusi udara ambien pada kesehatan

Penjelasan gambar pencemaran udara dari sumber :

1. Pembakaran terbuka (Open Burning), contoh: pembakaran sampah, TPA (tempat pengelolaan sampah ).

2. Tranportasi, contoh: sepeda motor, mobil penumpang , bus dan truk.

3. Permukiman, contoh: pemakaian gas LPG, kompor minyak tanah, briket batu bara dan tungku bakar.

4. Industri, contoh: pencemaran udara dari cerobong pabrik industri agro, manufaktur dan industri minyak dan gas bumi.

B. PENGERTIAN.

Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan:

a. Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.

b. Status mutu udara ambien adalah tingkat kondisi mutu udara yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik dalam waktu tertentu dengan membandingkan baku mutu udara yang ditetapkan.

c. Kawasan padat lalu lintas adalah daerah di wilayah perkotaan yang memiliki tingkat kepadatan lalu lintas yang tinggi terutama pada jam-jam sibuk pagi dan sore hari.

d. Kawasan permukiman adalah daerah di wilayah perkotaan yang

memiliki tingkat perumahan untuk tempat tinggal yang tinggi.

e. Kawasan Industri adalah kawasan yang merupakan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan e. Kawasan Industri adalah kawasan yang merupakan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan

Contoh: kawasan industri Pulo Gadung di Jakarta, KIM di Medan, Rungkut di Surabaya, KIMA di Makassar. Apabila di daerah tidak mempunyai kawasan industri, pengukuran bisa dilakukan pada daerah sekitar industri yang berpotensi mencemari udara di sekitarnya.

f. Kualitas udara ambien yang dipantau adalah partikulat atau total suspended particulate (TSP) dan CO untuk lokasi padat lalu lintas , PM10

(partikel dengan diameter di bawah 10 mikron) dan SO 2 untuk kawasan

industri dan O 3 dan PM untuk lokasi permukiman.

g. Kualitas udara ambien yang diinformasikan adalah kualitas udara ambien pada saat dilakukan pengukuran parameter kunci di setiap lokasi pemantauan (permukiman, padat lalu lintas dan industri) dan diinformasikan mutu udara ambiennya dalam satu tahun.

C. INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN.

a. Indikator: Jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan diinformasikan mutu udara ambiennya.

b. Cara Perhitungan:

Jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara

Prosentase (%)

ambiennya di lokasi/kawasan

jumlah

padat lalu lintas, kawasan

kabupaten/kota permukiman, dan kawasan yang dipantau

industri dalam 1 (satu) tahun kualitas udara

dan diinformasikan mutu

ambiennya dan

udara ambiennya

X 100 % diinformasikan

Jumlah kabupaten/kota

mutu udara

yang ada di wilayah provinsi

ambiennya

c. Contoh Perhitungan: Misalkan: Pada tahun 2009 jumlah kabupaten/kota yang dipantau

kualitas udara ambien dan diinformasikan mutu udara ambiennya di lokasi/kawasan padat lalulintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri sebanyak 5 (lima) kabupaten/kota, sedangkan jumlah kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi sebanyak 25 kabupaten/kota, sehingga prosentasenya:

Prosentase (%) jumlah 5

kabupaten/kota yang X 100%

= = 20% dipantau kualitas udara

ambiennya dan

Selanjutnya pada tahun berikutnya: jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan diinformasikan mutu udara ambiennya di lokasi/kawasan padat lalulintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri bertambah sebanyak 5 (lima) kabupaten/kota sehingga menjadi 10 (sepuluh) kabupaten/kota, sedangkan jumlah kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi sebanyak 25 kabupaten/kota, sehingga prosentasenya menjadi 10/25 = 40%.

D. SUMBER DATA.

1. Hasil pemantauan kualitas udara ambien yang dipantau oleh pemerintah provinsi

2. Laporan tahunan hasil pemantauan kualitas udara ambien dari pemerintah kabupaten/kota (instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian dan Perdagangan).

Tabel 3. Contoh pelaporan udara ambien sekitar industri .

Kualitas Udara Ambien

Tanggal 19 januari 2008

Lokasi 4 Lokasi 5

SO2

µg/Nm 3 28.19 12.01 0.69 ttd 0.21

Partikulat 3 µg/Nm

57.26 5.21 ttd

ttd ttd

Penjelasan: Lokasi 1 : lingkungan pabrik utara. Lokasi 2 : lingkungan pabrik selatan. Lokasi 3 : lingkungan pabrik barat.

Lokasi 4 : lingkungan pabrik timur. Lokasi 5 : lingkungan dalam pabrik (dekat cerobong).

Tabel 4. Contoh pelaporan udara ambien sekitar permukiman.

Kualitas Udara Ambien

Tanggal 19 januari 2008 Parameter

Lokasi 4 Lokasi 5

O3 (Ozon)

µg/Nm 3 28.19 12.01 0.69 ttd 0.21

Partikulat

µg/Nm 3 57.26 5.21 ttd

ttd ttd

Penjelasan: Lokasi 1 : lingkungan permukiman utara. Lokasi 2 : lingkungan permukiman selatan. Lokasi 3 : lingkungan permukiman barat. Lokasi 4 : lingkungan permukiman timur. Lokasi 5 : lingkungan dalam permukiman (tengah).

Tabel 5. Contoh pelaporan udara ambien daerah transportasi :

Kualitas Udara Ambien

Tanggal 19 januari 2008

Lokasi 4 Lokasi 5

µg/Nm 3

57.26 5.21 ttd

ttd ttd

Penjelasan: Lokasi 1 : daerah padat lalu lintas utara. Lokasi 2 : daerah padat lalu lintas selatan. Lokasi 3 : daerah padat lalu lintas barat. Lokasi 4 : daerah padat lalu lintas timur. Lokasi 5 : daerah padat lalu lintas tengah.

3. Data statistik kabupaten/kota atau data dari status lingkungan hidup daerah (SLHD).

4. Hasil pemantauan kualitas udara ambien dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup

5. Sumber lain yang relevan .

E. BATAS WAKTU PENCAPAIAN.

1. Sampai dengan tahun 2009 : 20 %

2. Sampai dengan tahun 2010 : 40%.

3. Sampai dengan tahun 2011 : 60 %

4. Sampai dengan tahun 2012 : 80%

5. Sampai dengan tahun 2013 : 100%

F. LANGKAH KEGIATAN.

1. Melakukan inventarisasi hasil laporan kualitas udara ambien dari kabupaten/kota dari berbagai sumber.

2. Melakukan inventarisasi laboratorium pengukuran udara yang ada di wilayahnya. Apabila daerah belum memiliki laboratorium yang bisa melakukan pengukuran udara ambien, daerah bisa melakukan kerjasama dengan laboratorium daerah lain atau dengan pihak ketiga.

3. Melakukan survei pendahuluan atau mengumpulkan data pada kawasan padat lalu lintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri di setiap kabupaten/kota.

4. Menetapkan 3 (tiga) lokasi pemantauan pada setiap kabupaten/kota.

5. Menetapkan kabupaten/kota yang akan dipantau berdasarkan skala prioritas sesuai dengan kemampuan daerah dalam rangka memenuhi pencapaian standar pelayanan minimal.

6. Melakukan pengumpulan data melalui pengambilan dan pemeriksaan contoh udara pada setiap lokasi pemantauan tersebut. Ditetapkan minimal 1 (satu) titik pantau pada setiap lokasi pemantauan yang diambil

2 (dua) kali dalam setahun. Adapun parameter kunci yang diperiksa TSP atau PM10, CO, SO2, dan O3 (kawasan padat lalu lintas: TSP dan CO, 2 (dua) kali dalam setahun. Adapun parameter kunci yang diperiksa TSP atau PM10, CO, SO2, dan O3 (kawasan padat lalu lintas: TSP dan CO,

Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak. Alat ukur udara ambien pada Gambar 6.

Gambar 6 . Peralatan pengukur udara ambien (TSP, O3, dan SOx).

7. Hasil pemantauan kualitas udara dari masing-masing lokasi dianalisis untuk menetapkan status mutu udara ambien dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

8. Penyusunan laporan dan penyampaian informasi dilakukan dengan melibatkan pihak laboratorium dan unit/instansi terkait di daerah.

G. RUJUKAN/REFERENSI.

Peraturan perundang-undangan dan pedoman yang terkait dengan pelayanan informasi status mutu udara ambien antara lain:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

2. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1999 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara.

3. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 205 Tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak.

4. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 107/BAPEDAL/ II/1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara.

5. Pedoman Pemantauan Kualitas Udara Jalan Raya Kementerian Negara Lingkungan Hidup Tahun 2007.

IV. PELAYANAN TINDAK LANJUT PENGADUAN MASYARAKAT AKIBAT ADANYA DUGAAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP.

A. GAMBARAN UMUM

Meningkatnya pembangunan di berbagai sektor telah mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kondisi tersebut dan didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mendapatkan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, menyebabkan makin meningkatnya pengaduan masyarakat akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Hal ini terbukti dari meningkatnya jumlah pengaduan masyarakat yang masuk ke instansi lingkungan hidup provinsi meningkat setiap tahunnya rata-rata 10% (Tahun 2005-2008).

Salah satu upaya pemerintah untuk menyikapi kondisi tersebut dengan peningkatan efektivitas pengelolaan pengaduan masyarakat. Berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan telah mengatur dasar hukum upaya pemerintah tersebut. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan hak kepada setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut juga mengatur, bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pelaksanaan peran tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan cara menyampaikan informasi dan/atau laporan. Hak setiap orang untuk melaporkan adanya potensi maupun keadaan telah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan juga diatur dalam peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang melipui:

1. Pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun.

2. Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa.

3. Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan.

4. Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Dalam rangka menjamin hak dan peran setiap orang, instansi lingkungan hidup provinsi wajib mengelola pengaduan masyarakat. Tanggung jawab pengelolaan ini sebagai bentuk pelayanan tindak lanjut terhadap pengaduan tersebut. Tanggung jawab pemerintah provinsi untuk menerima laporan telah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan kewajiban untuk segera menindaklanjuti laporan tersebut dimandatkan oleh berbagai ketentuan peraturan perundangan-undangan yang meliputi:

1. Pasal 56 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun.

2. Pasal 17 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa.

3. Pasal 39 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Lahan.

4. Pasal 27 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan pelaksanaannya telah ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup. Berdasarkan peraturan ini setiap orang yang mengetahui, menduga dan/atau menderita kerugian akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat menyampaikan pengaduannya secara tertulis atau lisan kepada gubernur atau kepala instansi lingkungan hidup provinsi.

Untuk meningkatkan efektivitas waktu pengelolaan pengaduan masyarakat, instansi lingkungan hidup provinsi melalui gubernur atau kepala instansi yang bersangkutan dapat membentuk pos pengaduan lingkungan. Pos pengaduan ini berfungsi sebagai unit kerja yang mengkoordinir pengelolaan pengaduan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, bagi instansi yang belum memiliki unit kerja struktural yang bertanggung jawab untuk mengelola pengaduan. Sedangkan bagi instansi yang telah memiliki unit kerja struktural dimaksud akan berperan untuk meningkatkan koordinasi kerja antar unit kerja yang terlibat dalam pengelolaan pengaduan masyarakat.

Pengaduan masyarakat tentang kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang wajib dikelola oleh instansi lingkungan hidup provinsi meliputi:

1. Usaha dan/atau kegiatan yang lokasi dan/atau dampaknya bersifat lintas kabupaten/kota.

2. Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan terjadi di wilayah 4-12 mil laut.

3. Usaha dan/atau kegiatan yang penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup oleh komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup provinsi.

4. Usaha dan/atau kegiatan yang izin usaha dan/atau izin lingkungannya diberikan oleh pejabat provinsi.

B. PENGERTIAN.

Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan:

1. Pengaduan adalah pemberitahuan secara tertulis dan/atau lisan mengenai

dan/atau perusakan lingkungan hidup kepada instansi lingkungan hidup provinsi.

2. Pengelolaan pengaduan adalah upaya terpadu untuk menerima, menelaah, mengklasifikasi, memverifikasi dan mengajukan usulan tindak lanjut hasil verifikasi serta menginformasikan proses dan hasil pengelolaan kepada pengadu.

3. Mengklasifikasi

mengelompokkan pengaduan berdasarkan aspek pencemaran dan/atau perusakan lingkungan serta aspek kewenangan dari instansi penerima pengaduan.

pengaduan

adalah

4. Verifikasi pengaduan adalah kegiatan untuk memeriksa kebenaran pengaduan.

5. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Pencemaran lingkungan hidup mencakup pencemaran air, laut, tanah, dan udara termasuk dalam hal ini yang berbentuk debu, kebauan, getaran dan kebisingan.

6. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Perusakan lingkungan hidup mencakup perusakan tanah, lahan dan hutan.

C. INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN.

1. Indikator Jumlah pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindak lanjuti.

Jumlah pengaduan

Cara Perhitungan masyarakat akibat adanya

dugaan pencemaran

Prosentase (%)

dan/atau perusakan jumlah pengaduan lingkungan hidup yang

masyarakat akibat ditindak lanjuti.

adanya dugaan x 100% pencemaran

Jumlah pengaduan yang diterima instansi

dan/atau perusakan lingkungan hidup

lingkungan hidup provinsi

yang ditindak lanjuti.

dalam 1 (satu) tahun.

3. Contoh Perhitungan: Misalkan : Pada tahun 2009 instansi lingkungan hidup provinsi

menerima 50 (lima puluh) pengaduan. Dari 50 (lima puluh) pengaduan, 30 (tiga puluh) pengaduan telah ditindaklanjuti, sehingga prosentase pengaduan yang ditindaklanjuti sebesar

Prosentase (%) jumlah pengaduan

30 masyarakat akibat

adanya dugaan pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan hidup yang ditindak lanjuti

D. SUMBER DATA.

Data didapat dari berbagai sumber, baik secara lisan maupun tertulis antara lain:

1. Masyarakat.

2. Lembaga swadaya masyarakat.

3. Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

4. Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.

5. Instansi terkait di tingkat pusat, provinsi atau kabupaten/kota.

6. Media cetak dan elektronik.

E. BATAS WAKTU PENCAPAIAN.

1. Sampai dengan tahun 2009 : 60%

2. Sampai dengan tahun 2010 : 70%

3. Sampai dengan tahun 2011 : 80%

4. Sampai dengan tahun 2012 : 90%

5. Sampai dengan tahun 2013 : 100%

F. LANGKAH KEGIATAN.

Instansi lingkungan hidup provinsi paling lama jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pengaduan dari masyarakat melakukan pengelolaan pengaduan dengan tahapan:

1. Mencatat pengaduan dalam buku pengaduan.

2. Menelaah dan mengklasifikasikan pengaduan. Telaahan dan kalsifikasi pengaduan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya pengaduan. Dalam rangka telaahan dan klasifikasi

dapat dilakukan koordinasi dengan instansi/pihak terkait. Berdasarkan hasil telaahan dan klasifikasi pengaduan dapat dikategorikan: dapat dilakukan koordinasi dengan instansi/pihak terkait. Berdasarkan hasil telaahan dan klasifikasi pengaduan dapat dikategorikan:

b. Termasuk dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, namun bukan merupakan kewenangan instansi lingkungan hidup provinsi segera diserahkan kepada Kementerian Negara Lingkungan Hidup atau kepada instansi lingkungan hidup kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.

c. Termasuk dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dan merupakan kewenangan instansi lingkungan hidup provinsi, segera dilakukan verifikasi lapangan paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak selesainya telaahan dan klasifikasi.

3. Melakukan verifikasi pengaduan. Pelaksanaan verifikasi harus diselesaikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Apabila dalam jangka waktu tersebut pelaksanaan kegiatan verifikasi belum selesai dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Verifikasi dilakukan dengan berpedoman pada:

a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan.

b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas.

c. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 58 Tahun 2002 tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Provinsi/Kabupaten/Kota.

d. Pedoman Verifikasi Pengaduan.

Berdasarkan hasil verifikasi, tim/petugas verifikasi wajib membuat laporan verifikasi, termasuk mengajukan usulan penanganan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak selesainya verifikasi kepada pejabat yang menugaskan verifikasi.

4. Usulan tindak lanjut. Pejabat yang berwenang di instansi lingkungan hidup provinsi harus memberikan keputusan menolak atau menerima usulan tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usulan. Usulan tindak lanjut penanganan dapat berupa pembinaan teknis atau penegakan hukum (administrasi, perdata dan pidana) sesuai dengan hasil verifikasi. Apabila menyetujui usulan tindak lanjut penanganan tim/petugas verifikasi, selanjutnya ditindaklanjuti atau diajukan atau diteruskan kepada pejabat yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Usulan 4. Usulan tindak lanjut. Pejabat yang berwenang di instansi lingkungan hidup provinsi harus memberikan keputusan menolak atau menerima usulan tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usulan. Usulan tindak lanjut penanganan dapat berupa pembinaan teknis atau penegakan hukum (administrasi, perdata dan pidana) sesuai dengan hasil verifikasi. Apabila menyetujui usulan tindak lanjut penanganan tim/petugas verifikasi, selanjutnya ditindaklanjuti atau diajukan atau diteruskan kepada pejabat yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Usulan

Jenis usulan tindak lanjut penanganan berdasarkan hasil verifikasi meliputi:

a. Diteruskan kepada instansi teknis yang berwenang apabila bukan merupakan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

b. Dilakukan pembinaan teknis dan pemantauan, apabila tidak terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

c. Dikenakan sanksi administrasi (oleh pejabat yang berwenang), apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, tetapi tidak mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

d. Dikenakan sanksi administrasi dan/atau penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan atau di luar pengadilan, apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, dan mengakibatkan

dan/atau perusakan lingkungan hidup, dan telah menimbulkan kerugian bagi orang atau lingkungan hidup.

terjadinya

pencemaran

e. Dilakukan sanksi administrasi dan/atau penegakan hukum pidana, apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau ada indikasi tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

f. Direkomendasikan kepada pejabat yang berwenang untuk menetapkan atau meninjau kembali kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah, apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup karena belum adanya atau kesalahan kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah.

Mekanisme pengelolaan pengaduan sebagaimana dijelaskan di atas tertuang dalam bagan alir Gambar 7.

Pengaduan secara

Instansi lingkungan hidup

tertulis atau lisan provinsi.

7 hr

Instansi terkait di

Telaahan dan klasifikasi pengaduan

provinsi

7 hr 7 hr

Bukan pengaduan

Pengaduan kasus

Pengaduan kasus lingkungan hidup

kasus lingkungan

lingkungan hidup,

hidup.

bukan kewenangan

14 hr

provinsi 30hr +30 hr Verifikasi

30 hr + 30 hr

Instansi

teknis yang Kementerian

Instansi

Usulan penanganan oleh tim 7 hr

berwenang

Negara

lingkungan hidup

Lingkungan

kabupaten/kota 7 hr

Hidup

Usulan penanganan

Atasan pengawas/

Arah tindak

Menolak pejabat yang

pemberi perintah

lanjut

berwenang

Gambar 7. Mekanisme pengelolaan pengaduan kasus lingkungan hidup

G. RUJUKAN/REFERENSI.

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayanan tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan antara lain:

1. Undang-Undang: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2. Peraturan Pemerintah:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

3. Peraturan/Keputusan Menteri:

a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah.

b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas.

Dokumen yang terkait

PERHITUNGAN KEKUATAN KOMPONEN MESIN PENGGILING DAN PENYARING BAHAN TAPIOKA DENGAN KAPASITAS 20 KG/JAM

0 48 1

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENGGUNAAN HANDPHONE QWERTY DI KALANGAN MAHASISWA (Studi pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2008 Pengguna Handphone Qwerty)

0 37 44

Evaluasi Kebijakan Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 6 Tahun 2008 Bab IV Dan Bab VI (Studi Kasus PKL Jl. Untung Suropati)

0 50 15

IMPLEMENTASI METODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENTS TEAM ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPS POKOK BAHASAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT PADA SISWA KELAS IVB SEMESTER 2 SDN SUMBERJATI 01 JEMBER TAHUN PELAJARAN 20

1 28 19

INTENSI ORANG TUA DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK MENIKAHKAN ANAK PEREMPUAN DI BAWAH USIA 20 TAHUN DI KECAMATAN PAKEM KABUPATEN BONDOWOSO

10 104 107

Konstruksi realitas pada media cetak: analisis framing pemberitaan insiden Monas di Koran Tempo dan Republika edisi Juni 2008

2 42 116

Asas Motivasi kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Mensosialisasikan hasil Perhitungan Suara Pada Pemilihan Gubernur Jawa Barat Tahun 2008 Melalui Website

1 54 171

Senang Belajar Ilmu Pengetahuan Alam Kelas 1 S Rositawaty Aris Muharam 2008

0 27 147

un bahasa inggris dear big 16 17 ragunan 20 22

4 72 17