BAB II PERJANJIAN MENURUT HUKUM PERDATA INDONESIA A. Pengertian Perjanjian - Tanggung Jawab Perdata Dokter Dalam Transaksi Terapeutik Antara Dokter Dengan Pasien (Studi Kasus RSUD.Dr.Djoelham Binjai)

BAB II PERJANJIAN MENURUT HUKUM PERDATA INDONESIA A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian: Suatu hubungan

  hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau satu pihak yang membuat perjanjian, sedangakan perikatan yang lahir dari undang-undang di buat atas dasar kehendak yang saling

  

  berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak. Dalam

   bahasa Belanda perjanjian disebut juga overeenkomstenrecht.

  Dari pengertian singkat diatas dijumpai didalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain, hubungan hukum

  (rechtsbetreking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)

  atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjian/verbintenis adalah hubungan hukum rechtsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan/persoon adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam 9 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal 117. lingkungan hukum . Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai

   dalam harta benda kekeluargaan.

  Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan

   persetujuan) itu adalah sama artinya.

  Buku III KUHPerdata berjudul “Perihal Perikatan” Perkataan Perikatan

  

(verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian” sebab

  dalam buku III itu, diatur juga prihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu prihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari buku III ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan hukum perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh buku III KUHPerdata ialah: Suatu Hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan

   memenuhi tuntutan itu.

  Dalam undang-undang perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang perikatan. Hal ini karena perjanjian merupakan salah satu 11 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal 6-7. peristiwa yang melahirkan hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua pihak yang disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban (perikatan). Definisi perjanjian telah diatur dalam KUHPerdata Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

  Dengan pertimbangan agar perbuatan-perbuatan yang tidak mengandung unsur kehendak atas akibatnya tidak masuk dalam cakupan perumusan, seperti perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), perwakilan sukarela

  (zaakwarneming) dan agar perjanjian timbal balik bisa tercakup dalam perumusan

  trsebut, J. Satrio mengatakan perjanjian adalah perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau

  

  dimana satu orang lain atau lebih saling mengikatkan dirinya.” Menurut Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu

   saling berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal.

  Menurut M. Yahya Harahap mengemukakan Perjanjian atau verbintenis mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh

   prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.

  Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam 14 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hal 12. mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan

   janji itu.

  Suatu perjanjian tidak terjadi seketika atau serta merta dan perjanjian dibuat untuk dilaksanakan, oleh karena itu dalam suatu perjanjian yang dibuat selalu terdapat tahapan yaitu: 1.

  Pracontractual, yaitu perbuatan-perbuatan yang mencakup dalam negosiasi dengan kajian tentang penawaran dan penerimaan;

  2. Contractual, yaitu tentang bertemunya dua pernyataan kehendak yang saling mengikat kedua belah pihak;

3. Post-contractual, yaitu tahap pada pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-

   kewajiban yang hendak diwujudkan melalui perjanjian tersebut.

  Didalam Perjanjian terdapat unsur janji, janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Kalau orang terikat pada suatu kewajiban, yang diletakkan pada dirinya atas dasar, bahwa undang-undang menentukan demikian seperti onrechtmatigedaad tidak dapat dikatakan, bahwa ia menjanjikan hal seperti itu dan karenanya tak mungkin didasarkan atas suatu perjanjian. Dalam perjanjian orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya

   sendiri.

  17 18 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981, hal 9.

  Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika,

B. Asas-asas Perjanjian

  Didalam kamus ilmiah asas diterjemahkan sebagai pokok, dasar, dan

  

  pundamen. Sedangkan Solly Lubis menyatakan asas adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai-nilai yang disyaratkan menjadi landasan

  

  antara hubungan sesama anggota masyarakat. Adapun Paul Scholten memberikan definisi mengenai asas ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan kedalam aturan- aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hukum yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai

  

  penjabarannya. Dengan demikian maka, setiap peraturan perundang-undangan diperlukan adanya suatu asas, karena asas ini yang melandasi atau menjiwai ataupun menghidupi peraturan perundang-undangan dan dengan asas tersebut

  

  dimaksud dan tujuan peraturan menjadi jelas. Selanjutnya Sri Sumantri Martosuwigjo berpendapat bahwa asas mempunyai padanan kata dengan

  “beginsel” (Belanda) atau “principle” (Inggris) sebagai suatu kebenaran yang

  

  menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir. Asas hukum adalah dasar normatif untuk membedakan daya ikat normatif dan memaksa. Dengan demikian dalam melakukan perjanjian selain memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada juga harus memperhatikan asas-asas terdapat pada hukum perjanjian pada umumnya. 20 Pius A Partono dan M Dahlan, Al-Berr, Kamus Ilmiah Favorit, Anka, Surabaya, 1994, hal 48. 21 Solly Lubis, Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional, BPHN, Depkeh, 1995, hal 29. 22 Paul Scholten di dalam JJ. H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (alih bahasa oleh Arief Sidharta) Cipta Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hal 119-120. 23 Rooseno Harjowidigji, Presfektif Peraturan Franchise, BPHN, Jakarta, 1993, hal 12.

  KUHPerdata menentukan dengan jelas mengenai beberapa asas-asas perjanjian, diantaranya dalam Pasal 1315 menentukan asas personalia perjanjian; Pasal 1337 menntukan asas kesusilaan dan ketertiban umum; Pasal 1338 ayat (1) menentukan asas mengikatnya perjanjian; Pasal 1338 ayat (3) menentukan asas itikad baik; Pasal 1339 menentukan asas kepatutan dan kebiasaan. Namun menurut Rutten hanya ada tiga asas yang sangat pokok dalam hukum perjanjian, yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikatnya perjanjian, dan asas

   kebebasan berkontrak.

  Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah: 1. Asas Konsensualisme

  Asas konsesualisme adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian telah terjadi atau lahir sejak terciptanya sepakat para pihak, artinya suatu perjanjian telah ada dan mempunyai akibat hukum dengan terciptanya kata sepakat dari para

  

  pihak mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas. Asas kesepakatan ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa, untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Pada saat ini ada kecendrungan mewujudkan perjanjian konsensuil dalam bentuk perjanjian tertulis baik di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pembuktian jika dalam pelaksanaannya nanti salah satu pihak melakukan pelanggaran. Menurut asas ini perjanjian sudah lahir atau terbentuk ketika para 25 Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Fakultas Hukum pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Walaupun undang- undang telah menetapkan bahwa sahnya suatau perjanjian harus dilakukan secara tertulis (seperti perjanjian perdamaian) atau dibuat dengan akta oleh pejabat berwenang seperti akta jual beli tanah) semua ini merupakan pengecualian.

  Bentuk konsensualisme adalah suatu yang dibuat secara tertulis, salah satunya dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Tanda tangan berfungsi sebagai bentuk kesepakatan dan bentuk persetujuan atas tempat, waktu dan isi perjanjian yang dibuat. Tanda tangan juga berkaitan dengan kesengajaan para pihak untuk

  

  membuat suatu perjanjian sebagai bukti atas suatu peristiwa. Adapun menurut

  A. Qirom Syamsudin, Asas konsensualisme mengandung arti bahwa dalam satu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa

   diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal.

  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian tidaklah sah tanpa adanya kesepakatan dari para pihak.

2. Asas Kebebasan Berkontrak

  Asas kebebasan berkontrak menurut KUHPerdata, menurut ketentuan

  Pasal 1338 ayat 1 KUHPerata dinyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 27

  ,DheanBJ, terakhir di akses 9 maret 2014, 14.01 WIB Sumber dari asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak.

  Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia menetapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, tanpa sepakat perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Menurut hukum perjanjian di Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak yang di kehendaki nya. Undang-undang yang mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 1331 KUHPerdata tersebut, Maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang

   tidak cakap.

  Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal ataupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. asas kebebasan berkontrak

  

(contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan

  “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian maka asas kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak ini adalah perwujudan

   kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.

  Asas kebebasan berkontrak (contracts vrijheid atau partijautonomie) adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas ini disimpulkan juga dari Pasal 1338 aayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”Subekti mengatakan, bahwa dengan menekankan kata “semua”, maka ketentuan tersebut seolah-olah berisikan pernyataan pada masyarakat bahwa, setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam

   undang-undang.

  Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam- macam hak atas benda terbatas dan peraturan mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban 30 Mariam Darus Badrulzaman dkk, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1993,

  

  umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap (optimal law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka di perbolehkan membuat ketentuan - ketentuan mereka sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Asas ini dalam hukum perjanjian di kenal dengan asas kebebasan berkontrak.

3. Asas Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)

  Asas mengikatnya perjanjian adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat mereka yang membuat sebagai undang-undang. Dengan demikian para pihak terikat dan harus melaksanakan perjanjian yang telah disepakati bersama, seperti hal keharusan untuk mentaati

  

  undang-undang. Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan dari

  Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Dijelaskan oleh Soedikno Mertokusumo, bahwa bunyi lengkap adagium tersebut adalah Pacta sunt servanda , yang mempunyai arti bahwa kata sepakat tidak perlu dirumuskan dalam bentuk sumpah, perbuatan atau formalitas

   tertentu agar menjadi kewajiban yang mengikat.

  32 33 Ibid, hal 13.

  J. Satrio, (1) Hukum Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku I, Citra Aditya Bhakti, Bandung,1995, hal 142.

  4. Asas Itikad Baik Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama dalam membuat perjanjian, maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepaturan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan patut

   dalam masyarakat.

  Kemudian menurut Munir Fuady, rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut mengidentifikasi bahwa sebenarnya itikad baik hanya disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak. Sebab unsur itikad baik dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah

   dapat dicakup oleh unsur “ causa yang legal” dari Pasal 1320 tersebut.

  5. Asas Kepercayaan Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, membutuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan. Kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya

   perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. 35 36 A. Qiroom Syamsudin, Op.cit., hal 13.

  

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya

  6. Asas Kesetaraan Asas ini merupakan bahwa para pihak didalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan walaupun ada perbedaan warna kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain

   sebagai manusia ciptaan Tuhan.

  Asas ini dimaksudkan agar program kemitraan dapat memberikan hubungan yang asli bagi semua pihak. Karena kemitraan pada hakikatnya adalah sebuah kerjasama bisnis untuk mendapatkan tujuan tertentu dan antara pihak yang bermitra harus memiliki kepentingan dan posisi yang sejajar dengan ketentuan ini maka antara pembuat perjanjian atau para pihak ditekankan pada adanya

   kesetaraan dalam posisi tawar atau posisi tawar menawar yang seimbang.

  7. Asas Unconcionability Menurut Sutan Remy Sjahdeini, unconcinability artinya bertentangan dengan hati nurani. Perjanjian-perjanjian unconscionable seringkali digambarkan sebagai perjanjian-perjanjian yang sedemikian tidak adil (unfair) sehingga dapat mengguncangakan hati nurani Pengadilan (Hakim) atau shock the conscience the

  

court. Sebenarnya terhadap asas ini tidak mungkin diberikan arti yang tepat, yang

  diketahui hanyalah tujuannya yaitu untuk mencegah penindasan dan kejutan yang

   tidak adil.

  38 39 Ibid, hal 88. , 9 Maret 2014, 17.00 Wib.

  Adapun menurut Mariam Darus Badrulzaman, unconcionalbility atau doktrin ketidakadilan adalah suatu doktrin dalam ilmu hukum kontrak yang mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan manakala dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak, sungguhpun kedua belah pihak telah menandatangani kontrak yang bersangkutan. Biasanya doktrin ketidakadilan ini mengacu pada posisi tawar menawar dalam kontrak yang sangat berat sebelah karena tidak terdapat pilihan dari para pihak yang dirugikan disertai dengan klausula dalam kontrak yang sangat tidak adil sehingga memberikan keuntungan

   yang tidak wajar bagi pihak yang lain.

8. Asas Subsidaritas

  Asas subsidaritas mengandung pengertian bahwa pengusaha menengah atau pengusaha besar merupakan salah satu faktor dalam rangka memberdayakan usaha kecil tentunya sesuai dengan ketentuan kopetensi yang dimiliki dalam mendukung mitra usahanya sehingga mampu dan dapat mengembangkan diri

   menuju kemandirian.

C. Jenis Perjajian

  Dalam hukum perjanjian dibedakan dalam beberapa bagian kelompok perbedaan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, beberapa perbedaan pembedaan dimaksud akan diuraikan dalam uraian berikut.

  1. Perjanjian Konsensuil dan Riil 41 Meriam Barus Bahrulzaman, Op.Cit., hal 52-53.

  Berdasarkan cara lahirnya perjanjian akan di bedakan atas perjanjian

  

konsensuil dan perjanjian riil. Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana

  adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan, dan timbulnya perjanjian tersebut ditentukan sejak

  

  detik tercapainya kesepakatan. Akibat hukum dan timbulnya perjanjian adalah lahirnya kewajiban bagi salah satu atau kedua belah pihak, oleh karena itu perjanjian yang bersifat konsensuil juga merupakan perjanjian “obligatoir” (baru melahirkan kewajiban), sehingga sering dikenal dengan perjanjian konsensuil

  obligatoir . Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru lahir kalau barang yang

  

  menjadi pokok prestasi telah diserahkan, artinya dengan tercapainya kesepakatan para pihak saja belum cukup untuk melahirkan perjanjian riil, sehingga untuk adanya perjanjian riil harus terpenuhi adanya dua unsur yaitu sepakat dan penyerahan benda pokok perjanjian. Contohnya pinjam meminjam, pinjam pakai dan penitipan barang. Pada umumnya, perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam Buku III KUHPerdata bersifat konsensuil obligatoir, kecuali berapa perjanjian tertentu yang bersifat riil.

2. Perjanjian Sepihak dan Timbal Balik

  Berdasarkan perikatan yang timbul dari suatu perjanjian, mengikat satu pihak saja ataukah mengikat kedua belah pihak, perjanjian dapat dibedakan atas perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik , yakni perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada salah satu pihak saja sedangkan pada pihak lain hanya ada hak saja, seperti: hibah, pinjam pakai, perjanjian pinjam mengganti, penitipan barang cuma-cuma. Sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban terhadap kedua belah pihak, dengan mana hak dan kewajiban itu mempunyai hubungan satu sama lainnya, seperti: perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain-

  

  lain. Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika jua dapat ditagih pembayarannya. Disamping bentuk yang paling sederhana itu terdapat berbagai macam perikatan lain yang akan diuraikan satu persatu dibawah

   ini.

  a.

  Perikatan Bersyarat (Voorwaardelijk) Perikatan bersyarat adalah perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.

  Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir,

  

  apabila kejadian yang belum tentu itu akan timbul. Suatu perjanjian yang demikian akan menggantungkan suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau menangguhkan (opschortende voorwaarde). Suatu contoh, apabila saya berjanji pada seseorang akan membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, disini dapat dikatakan bahwa jual beli itu hanya dapat terjadi, kalau saya lulus dari ujian. Kedua mungkin untuk memperjanjikan, bahwa suatu perikatan yang sudah akan berlaku, akan dibatalkan apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Disini

45 Ibid, hal. 42.

  dikatakan bahwa perikatan itu digantungkan pada suatu syarat pembatalan

   (ontbidende voorwaarde).

  b.

  Perikatan yang Digantungkan pada Suatu Ketetapan Waktu

  (Tijdsbepaling)

  Pasal 1268 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaan nya.”Suatu perikatan dikatakan sebagai perikatan dengan ketetapan waktu jika perikatan tersebut menetapkan suatu waktu dalam pelaksanaanny, tetapi penetapan waktu tersebut tidaklah menunda eksistensi perikatan itu sendiri hingga waktu yang telah ditentukan tersebut. Perikatan dengan ketetapan waktu adalah perikatan sederhana yang berlaku seketika pada saat perikatan dibentuk, dengan pengertian bahwa kewajiban debitor sudah ada semenjak perikatan dibuat, hanya saja pelaksanaan kewajiban atau prestasi tersebut baru dilakukan pada suatu

   waktu yang ditentukan dimasa yang akan datang.

  c.

  Perikatan yang Membolehkan Memilih (Alternatief) Ini adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada siberhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu

   juta rupiah.

  d.

  Perikatan Tanggung Menanggung (Hoofdelijk atau Solidair)

  48 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hal 52. 49 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Raja Grafindo

  Suatu perikatan dimana beberapa orang sama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menguntungkan, atau seebaliknya.

  Beberapa orang berhak sama-sama menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi

   perikatan yang semacam ini belakangan sedikit sekali terdapat dalam peraktek.

  e.

  Perikatan yang Dapat Dibagi atau yang Tidak Dapat Dibagi Perikatan yang dapat dibagi-bagi terdapat lebih dari satu kali pelaksanaan pokok perikatan dengan rumusan Pasal 1296 KUHPerdata dinyatakan bahwa “

  Suatu perikatan dapat dibagi-bagi atau tak dapat dibagi-bagi sekedar perikatan tersebut mengenai suatu barang yang penyerahannya atau suatu perbuatan yang pelaksanaannya dapat dibagi-bagi atau tak dapat dibagi-bagi, baik secara nyata- nyata maupun secara perhitungan.” Perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula

   dari kehendak atau dimaksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian.

  f.

  Perikatan Dengan Penetapan Hukuman (Strafbeding) Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam peraktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menjalani kewajibannya. Hukumhan ini ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan

   sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.

51 Subekti, Op.cit. hal 6.

  Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata perikatan dapat dibedakan atas beberapa macam, yaitu :

  2) Menurut subyeknya:

  

  c) Perikatan dengan ancaman hukuman; Kalau dibandingkan anatara macam-macam perikatan menurut ilmu pengetahuan dan menurut undang-undang, terdapat adanya beberapa perbedaan dimana ternyata macam-macam perikatan menurut ilmu pengetahuan hukum perdata lebih banyak jumlahnya daripada macam perikatan menurut undang-undang. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat tentang macam-macam perikatan menurut ilmu pengetahuan, yaitu:

  b) Perikatan dengan ketetapan waktu;

  a) Perikatan bersyarat;

  b) Perikatan pokok dan tambahan 3) Menurut mulai berlakunya dan mulai berakhirnya:

  a) Perikatan tanggung menanggung;

  f) Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi;

  

  e) Perikatan generik dan spesifik;

  d) Perikatan fakultatif;

  c) Perikatan alternatif;

  b) Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan;

  a) Perikatan positif dan negatif;

  1) Menurut isi dari pada prestasinya:

  (1) Perikatan Positif dan Negatif Perikatan positif adalah perikatan dimna prestasinya berupa perbuatan positif, dimana memberi sesuatu dan berbuat sesuatu. Sedangkan perikatan 54 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, negatif adalah perikatan yang prestasinya berupa suatu perbuatan yang

   negatif yaitu tidak berbuat sesuatu.

  (2) Perikatan Sepintas lalu dan Berkelanjutan Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang perbuatan prestasinya cukup hanya dilakukan dengan satu perbuatan saja dan dalam waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai. Sedangkat perikatan berkelanjutan adalah perikatan yang prestasinya berkelanjutan untuk beberapa waktu, misalnya perikatan-perikatan yang timbul dari perjanjian sewa menyewa dan

   perburuhan (perjanjian kerja).

  (3) Perikatan Alternatif Perikatan alternatif adalah perikatan dimana debitur dibebaskan untuk memenuhi satu dari dua atau lebih prestasi yang disebutkan dalam perjanjian. Namun debitur tidak boleh memaksakan kreditur untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang lain.

  Bahwa dengan pemenuhan salah satu prestasi tersebut perikatan

   berakhir.

  (4) Perikatan Fakultatif Perikatan fakultatif adalah perikatan yang mempunyai satu objek prestasi.

  Dimana debitur mempunyai hak untuk mengganti dengan prestasi yang lain, Bilamana debitur tidak mungkin memenuhi prestasi yang telah ditentukan semula. Misalnya debitur diwajibkan untuk menyerahkan 56 sejumlah beras, bilamana tidak mungkin menyerahkan sejumlah beras Ibid, hal 215. maka diganti dengan sejumlah uang. Dengan demikian penyerahan uang merupakan pengganti dari sejumlah beras, berarti debitur telah memenuhi

   prestasi dengan sempurna.

  (5) Perikatan Generik dan Spesifik Perikatan generik adalah dimana obyeknya hanya ditentukan jenis dan jumlah barang yang harus diserahkan debitur kepada kreditur, misalnya penyerahan beras sebanyak 10 ton ( bagaimana kualitas tidak disebutkan).

  Sedangkan perikatan spesifik merupakan perikatan dimana obyeknya ditentukan secara terinci sehingga tampak ciri khususnya. Misalnya debitur diwajibkan menyerahkan beras sebanyak 10 ton dari cianjur

   kualitas ekspor nomor satu.

  (6) Perikatan yang Dapat Dibagi danTtidak Dapat Dibagi Perikatan yang dapat dibagi adalah perikatan dimana prestasinya dapat dibagi, pembagian nama tidak boleh mengurangi hakikat prestasi itu.

  Sedangkan perikatan yang tidak dapat dibagi adalah perikatan dimana prestasinya tidak dapat dibagi. Soal dapat atau tidak dapat dibagi tergantung dari jenis barang yang tersangkut jenis barang didalamnya dan dapat pula disimpulkan dari maksudnya perikatan untuk menyerahkan 10

   ton beras. Karena sifat beras menjadi obyek perikatan yang dapat dibagi.

  (7) Perikatan Tanggung Renteng

  Perikatan tanggung menanggung dimana debitur dan/atau kreditur terdiri 59 beberapa orang. Jika debiturnya yang beberapa orang (dan ini yang paling J.Satrio, (1) Op.cit. hal 132. lazim), tiap-tiap debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh prestasi. Sedangkan jika kredirurnya yang beberapa orang, tiap-tiap kreditur berhak menuntut pemenuhan seluruh prestasi. Dengan dipenuhinya seluruh prestasi oleh salah seorang debitur kepada kreditur. Perikatan menjadi

   hapus.

  (8) Perikatan Pokok dan Tambahan

  Perikatan pokok dan tambahan adalah perikatan antara kreditur dan debitur yang berdiri sendiri tanpa bergantung kepada adanya perikatan yang lain, misalnya perjanjian peminjaman uang. Sedangkan perikatan tambahan adalah peikatan antara debitur dan kreditur yang diadakan sebagai perikatan tambahan daripada perikatan pokok, misalnya perjanjian gadai dan hipotik. Perikatan tambahan ini tidak berdiri sendiri melainkan bergantung kepaa perjanjian pokok. Sehingga apabila perikatan pokok

   berakhir, maka perikatan tambahan juga berakhir.

  (9) Perikatan Bersyarat

  Perikatan bersyarat adalah perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya digantungkan pada suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi. Apabi;la suatu perikatan yang lahirnya digantungkan kepada peristiwa itu dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Misalnya, A berjanjia akan memberikan buku-bukunya kepada B apabila ia lulus ujian. Sedangkan apabila suatu perikatan yang sudah ada yang berakhirnya digantungkan

   kepada peristiwa itu dinamakan perikatan dengan syarat batal.

  (10) Perikatan Dengan Ketetapan Waktu

  Perikatan denga ketetapan waktu adalah perikatan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai pada suatu waktu ditentukan yang pelaksanaannya pasti akan tiba, meskipun mungkin belum dapat dipastikan kapan waktu yang dimaksudkan akan tiba. Misalnya A berjanji akan memberikan semua buku-bukunya kepada B pada tanggal 1 januari tahun depan (waktunya ditentukan). Perikatan dengan ketentuan waktu yang tidak dapat ditentukan waktunya misalnya dalam perjanjian asuransi kematian

   (matinya orang pasti tapi tidak dapat dipastikan kapan waktu nya).

  (11) Perikatan dengan Ancaman Hukuman

  Pasal 1304 KUHPerdata member definisi perikatan dengan ancaman hukuman sebagai suatu perikatan yang menempatkan seseorang, sebagai jaminan pelaksanaan suatu perikatan yang menempatkan seseorang, sebagai jaminan pelaksanaan suatu perikatan, diwajibkan untuk melakukan sesuatu, manakala perikatan tersebut tidak dipenuhi olehnya. Dengan rumusan tersebut, KUHPerdata tidak membatasi jenis hukuman yang dapat dikenakan, melainkan hanya dengan menyatakan bahwa debitor yang lalai dapat dikenakan, melainkan hanya dengan menyatakan bahwa debitor yang lalai dapat dikenakan kewajiban untuk melakukan sesuatu.

   D. Syarat Sahnya Perjanjian

  Setiap orang yang melakukan perjanjian selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki atau yang dianggap dikehendaki.

  Agar maksud itu tercapai bila perlu pelaksanaanya dapat di laksanakan melalui pengadilan, maka perjanjian harus dibuat perjanjian yang memenuhi syarat sahnya perjanjian. Melalui pasal 1320 KUHPerdata, pembuat undang-undang telah menetapkan syarat-syarat pokok yang harus dipenuhi agar perjanjian perjanjian yang mereka adakan menjadi perjanjian yang sah, yakni:

   1.

  Sepakat mereka yang mengikatkan diri, 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian, 3. Suatu hal tertentu, 4. Suatu sebab yang halal,

  Ad.1. Kata sepakat merupakan dasar lahirnya suatu perjanjian. Suatu perjanjian dianggap lahir atau terjadi pada saat dicapainya kata sepakat antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Sepakat atau consensus mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup sebuah perjanjian dan kehendak pihak yang satu sesuai secara timbal balik dengan pihak yang lainnya. Pernyataan kehendak tersebut tidak harus dinyatakan secara tegas dengan kata-kata, tetapi dapat juga dilakukan dengan perbuatan atau sikap yang mencerminkan adanya kehendak untuk mengadakan perjanjian. Pertanyaannya kehendak yang menghasilkan kesepakatan dapat dibedakan antara pernyataan kehendak untuk menawarkan dan pernyataan

  

  kehendak untuk melakukan penerimaan. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendang masing- masing, yang di lahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun secara

   diam-diam.

  Ad.2. Syarat kedua untuk sah perjanjian adalah cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu perundang-

  

  undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika isi undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Dan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa menurut undang-undang pada asasnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjnjian. Dengan kata lain orang yang tidak cakap, tidak memenuhi syarat untuk membuat suatu perjanjian.Adapun orang yang tidak cakap menurut Pasal 1330 KUHPerdata dinyatakan bahwa adapun orang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 68 Ratih Kusuma Wardani, Tinjauan Yuridis Persetujuan Tindakan Medis (Informend

  Consent) di RSUP. Dr. Kariadi Semarang, Tesis Mkn, Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hal 37. a. Orang-orang belum dewasa,

  b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan,

  c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang – undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Peraturan ini telah dicabut dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 dan Undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ad.3. Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian adalah adanya suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu harus ditafsirkan bahwa obyek perjanjian harus

  “tertentu”. Sekalipun masing-masing obyek tidak harus individual tertentu, menurut Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata dinyatakan bahwa semua jumlahnya boleh tertentu asal kemudian hari dapat ditentukan. Tetapi jika pada saat perjanjian ditutup obyek sama sekali tidak tertentu atau tidak ada adalah tidak boleh. Jadi dimaksud dengan “suatu sebab tertentu” adalah paling tidak macam atau jenis benda dalam perjanjian sudah ditentukan pada saat lahirnya

   perjanjian.

  Ad.4. Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah adanya suatu “sebab

  

(latin: causa) yang halal (geoorloofde arzaak). KUHPerdata tidak memberikan

  rumusan mengenai apa yang dimaksud “suatu sebab yang halal”. Hanya dalam

  Pasal 1337 KUH Perdata dinyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang apabila, dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.”. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian causa nya harus diperbolehkan, dan sebaliknya

  

causa yang tidak diperbolehkan adalah apabila dilarang oleh undang-undang atau

bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

  Menurut pendapat Hamaker dan Hotman serta Hoge Raad dalam Arrestnya tanggal 17 November 1922, yang dimaksud dengan causa perjanjian adalah tujuan perjanjian, yakni apa yang menjadi tujuan bersama para pihak dalam membuat perjanjian. Dengan demikian maka yang dimaksud dengan sebab atau causa yang halal adalah bahwa tujuan perjanjian tidak bertentangan dengan

   undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum.

  Dikatakan bertentangan dengan undanng-undang apabila tujuan para pihak mengadakan perjanjian secara jelas melanggar ketentuan undang-undang, dan dikatakan bertentangan dengan kesusilaan adalah apabila tujuan para pihak mengadakan perjanjian bertentangan dengan nilai-nilai positif yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan yang dikatakan melawan ketertiban umum adalah apabila tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian bertentangan dengan hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum yakni kedamaian, ketentraman dan

   keamanan hidup bemasyarakat.

  Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orang-oarang nya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian., sedangkan dua syarat yang terakhir, dinamakan syarat-syarat obyektif, karena mengenai obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Tidak terpenuhinya syarat-syarat tersebut atau salah satu syarat dari syarat tersebut adalah perjanjian tidak sah atau batal. Dalam hal syarat obyektif tidak terpenuhi, perjanjian adalah batal demi hukum: artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan dari suatu perjanjian dan tidak pernah ada perikatan,. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Sedangkan dalam hal syarat subyektif tidak terpenuhi dalam Pasal 1446 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, atau orang- orang yang berada dibawah pengampuan adalah batal demi hukum dan atas tuntutan yang diajukan oleh atau dan pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya.” Perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu oleh hukum dianggap ada sampai salah satu pihak yang tidak cakap atau yang memberikan

   sepakat secara tidak bebas meminta pembatalan.

  Perjanjian dapat dibatalkan jika terjadi karena hal-hal sebagai berikut: 1)

  Kelalaian Dikatakan lalai melaksanakan kewajibannya dalam sebuah perjanjian, apabila debitur tersebut dinyatakan lalai dengan suatu surat perintah atau akta.

  Dalam Pasal 1238 KUHPerdata dinyatakan bahwa “ Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

  Surat perintah atau akta tersebut menyatakan secara tegas, bahwa debitur telah lalai melaksanakan kewajibannya. Selain dengan surat perintah atau akta, lalainya debitur melaksanakan kewajiban perjanjian juga dapat terjadi secara hukum dengan lewatnya waktu, yaitu sampai batas waktu yang ditentukan dalam perjanjian ternyata debitur tidak juga melaksanakan kewajibannya, maka ia

   dinyatakan lalai.

  2) Adanya Paksaan

  Dalam sebuah perjanjian dikatakan dapat dibatalkan apabila dalam pembuatan perjanjian tersebut terdapat ancaman, hal tersebut terkait dengan syarat pertama yaitu sepakat dari para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut. Dalam Pasal 1321 KUHPerdata dinyatakan bahwa “ Tiada sepakat yang sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau karena penipuan.” Mengenai apa yang dimaksud dengan paksaan itu sendiri dapat dilihat dalam Pasal 1324 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga member kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar pada waktu dekat. Dalam mempertimbangkan hal tersebut harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan.” Dan dalam Pasal 1325 KUHPerdata dinyatakan bahwa Paksaan menjadikan suatu perjanjian batal, bukan hanya dilakukan pada salah satu pihak yang membuat perjanjian, melainkan juga dilakukan terhadap suami atau istri atau 75 Mariam Darus Badrulzaman, (1) Kompilasi Hukum Perikatan,Citra Aditya Bhakti, keluarganya dalam garis keatas maupun kebawah. (KUHPerdata Pasal 290 dst, Pasal 1323, Pasal 1449).

  Menurut Elly Erawati dan Herlieno Budino, paksaan dalam KuhPerdata adalah paksaan secara kejiwaan atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi dimana seseorang secara melawan hukum mengancam orang lain dengan ancaman yang terlarang menurut hukum sehingga orang yang berada dibawah ancaman tersebut berada dibawah ketakutan dan akhirnya memberikan persetujuannya dengan tidak

  

  secara bebas. Maka jika terdapat unsur paksaan dalam kesepakatan perjanjian maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

  3) Adanya Penipuan

  Suatu perjanjian harus disertai dengan itikad baik goodfaith, (vide Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Apabila salah satu pihak mempunyai niat buruk atau salah satu pihak mempunyai itikad buruk, maka pihak yang bersangkutan sejak awal ada niat buruk untuk melakukan penipuan dalam suatu perjanjian, sehingga tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian . Artinya perjanjian yang mengandung unsur penipuan yang dilakukan dan diniatkan oleh salah satu pihak, atau mungkin kedua belah pihak dalam konteks sebaliknya, tentu tidak memenuhi syarat sah perjanjian. Namun penipuan tersebut harus dapat dibuktikan unsur penipuannya dan dapat dibuktikan secara jelas bentuk penipuannya.. Dengan kata lain bilamana secara umum sepakat tersebut tidak terpenuhi dengan adanya penipuan, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (voidable). Namun karena syarat yang diabaikan adalah syarat subyektif yakni unsur sepakat, maka apabila salah satu pihak tidak berkenaan dengan perjanjian yang mengandung unsur penipuan dimaksud, pihak lainnya dapat membatalkan. Maksudnya pihak yang merasa dirinya dirugikan atas penipuan tersebut dapat melakukan upaya pembatalan, dan

   tidak batal dengan sendirinya (null and void).

  Perjanjian tersebut dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat yang termuat dalam pasal 1320 KUHPerdata dan dalam pelaksanaannya memperhatikan pasal 1338 KUHPerdata yag mengandung asas pokok hukum perjanjian.

E. Saat Lahirnya Perjanjian

  Menurut ajaran yang paling tua, haruslah dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih tak dapatlah lahirnya suatu perjanjian.

  Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak

   sejurusan tetapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.

   Terdapat beberapa teori mengenai waktu kapan terjadinya kesepakatan: 1.

  Teori pernyataan (Uitingstheorie) 77 Abdulkadir Muhammad, Op.cit. hal 102.

  Menurut teori ini, perjanjian telah ada pada saat telah ditulis surat jawaban penerimaan/akseptasi. Pasa saat ini kehendak dari orang yang menawarkan dengan akseptor saling bertemu.

Dokumen yang terkait

Analisis Pasal 1338 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Pacta Sunt Servanda) Dalam Perjanjian Antara Dokter Dengan Pasien

2 74 96

Tanggung Jawab Perdata Dokter Dalam Transaksi Terapeutik Antara Dokter Dengan Pasien (Studi Kasus RSUD.Dr.Djoelham Binjai)

16 135 117

Tanggung Jawab Dokter Dalam Malpraktek Kedokteran Menurut Hukum Perdata

1 56 5

Hubungan Hukum Dokter dan Pasien Serta Tanggung Jawab Dokter Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan 

1 1 20

Analisis Pasal 1338 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Pacta Sunt Servanda) Dalam Perjanjian Antara Dokter Dengan Pasien

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Pasal 1338 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Pacta Sunt Servanda) Dalam Perjanjian Antara Dokter Dengan Pasien

0 0 12

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Pelayanan Kesehatan Pasien Kurang Mampu Antara Pihak Rumah Sakit Umum Dengan Pasien

0 0 24

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAMAI DALAM HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Dan Perjanjian Damai - Efektifitas Perjanjian Damai Dalam Pengadilan (Akta Van Dading) Terhadap Perbuatan Melawan Hukum Dan Wanprestasi Dalam Penegakan Hukum Perdata (Studi

0 0 25

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIANPERIKATAN - Tanggung Jawab Dokter Akibat Terjadinya Kesalahan Medis Dari Sudut Hukum Perdata (Studi Pada Ikatan Dokter Indonesia Cabang Asahan)

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang - Tanggung Jawab Dokter Akibat Terjadinya Kesalahan Medis Dari Sudut Hukum Perdata (Studi Pada Ikatan Dokter Indonesia Cabang Asahan)

0 0 13