Tanggung Jawab Perdata Dokter Dalam Transaksi Terapeutik Antara Dokter Dengan Pasien (Studi Kasus RSUD.Dr.Djoelham Binjai)

(1)

TANGGUNG JAWAB PERDATA DOKTER DALAM

TRANSAKSI TERAPEUTIK ANTARA DOKTER

DENGAN PASIEN (STUDI KASUS RSUD. Dr.

DJOELHAM BINJAI)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi

Syarat Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

NOVA IASHA KALO

100200420

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TANGGUNG JAWAB PERDATA DOKTER DALAM

TRANSAKSI TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DENGAN

PASIEN (STUDI KASUS RSUD. Dr. DJOELHAM BINJAI)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat

Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NOVA IASHA KALO

100200420

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Perdata

H. Dr. Hasim Purba. SH. M.Hum

NIP.1966933185081001

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Sunarto Adi Wibowo, S.H.M.Hum. Zulkifli Sembiring, S.H.M.Hum. NIP. 195203301976011001 NIP.196101181988031001

PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB PERDATA DOKTER DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN (STUDI

KASUS RSUD Dr. DJOELHAM BINJAI) *) Nova Iasha Kalo

**) Sunarto Adiwibowo ***) Zulkifli Sembiring

Transaksi terapeutik adalah hubungan antara diokter dengan pasien atau penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan, dan kekhawatiran makhluk insani, berdasarkan Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 434/MEN.KES/X/1983. Hubungan yang timbul dalam transaksi terapeutik terjalin sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata sesuai dengan syarat sahnya perjanjian. Dalam hubungan antara dokter dengan pasien akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi dokter dan pasien yang akan dimintai pertanggung jawabannya. Dalam hubungan transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien tidak terbatas pada hubungan kepercayaan, tetapi hubungan tersebut telah merupakan hubungan hukum yang bersifat kontraktual yang dilindungi oleh hukum.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam transaksi terapeutik, tanggung jawab dokter terhadap pasien dalam transaksi terapeutik dan penyelesaian perkara perdata antara dokter dengan pasien dalam transaksi terapeutik.

Metode penelitian yang dipakai dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif-empiris, dimana dalam penelitian empiris dimaksudkan untuk memperoleh data primer, yaitu melakukan wawancara dengan narasumber yang terkait, sementara hukum normatif yaitu melakukan suatu kajian terhadap peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi ini.

Kata kunci : transaksi terapeutik, dokter dan pasien, hubungan hukum.

*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga Penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tinggiya penulis persembahkan kepada kedua orang tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan Skripsi yang berjudul: “Tanggung Jawab Perdata Dokter Dalam Transaksi Terapeutik Antara Dokter Dengan Pasien (Studi Kasus RSUD.Dr.Djoelham Binjai) adalah guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik tersebut, maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah mengelola dan menyelenggarakan universitas sesuai dengan visi dan misi USU.


(5)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta membina tenaga pendidik dan mahasiswa di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang administrasi umum.

5. Bapak H.OK.Saidin,S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan pelayanan kesejahteraan mahasiswa.

6. Bapak Dr.Hasim Purba, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

7. Ibu Rabiatul Syahriah, SH., M.Hum selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.


(6)

8. Bapak Dr. Sunarto Adi Wibowo SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing I. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

9. Bapak Zulkifli Sembiring SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

10. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Yang tersayang ayahanda Drs.Eziddin Kalo dan ibunda Nursal Marawati, serta ibunda Indrawati yang telah memberi kasih sayang dan dukungan kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

12. Dan yang tersayang sahabat – sahabat seperjuangan melewati suka dan duka dari semester satu sampai akhir Windy Febrina, Umar Ismail, Winda Agustina Sembiring dan Kelkeisa Putri Haloho yang telah banyak membantu penulis selama perkuliahan.

Medan, 22 April 2014 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………...i

KATA PENGANTAR………...………….ii

DAFTAR ISI………...……iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….…..….1

B. Rumusan Masalah………...7

C. Tujuan Penelitian………7

D. Manfaat Penelitian………...8

E. Metode Penelitian………...9

F. Keaslian Penelitian………..……..……11

G. Sistematika Penulisan………....12

BAB II : PERJANJIAN MENURUT HUKUM PERDATA INDONESIA A. Pengertian Perjanjian……….…..…..14

B. Asas-Asas Perjanjian……….………18

C. Jenis Perjanjian………..……....27

D. Syarat Sahnya Perjanjian………...…36

E. Saat Lahirnya Perjanjian………...…….43

F. Akibat Perjanjian………...…46


(8)

BAB III : TRANSAKSI TERAPEUTIK DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

A. Timbulnya Hubungan Hukum dalam Transaksi Terapeutik…….55

B. Pengertian Transaksi Terapeutik………...61

C. Asas-Asas Transaksi Terapeutik………...…64

D. Sifat Transaksi Terapeutik………66

E. Dasar Hukum Terjadinya Transaksi Terapeutik………..….70

F. Syarat Sahnya Transaksi Terapeutik……….73

G. Berakhirnya Transaksi Terapeutik………..………..78

H. Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter ………...79

BAB IV : TANGGUNG JAWAB PERDATA DOKTER DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN (STUDI KASUS RSUD. Dr. DJOELHAM BINJAI) A. Hubungan Hukum Dokter dengan Pasien dalam Transaksi Terapeutik……….…………86

B. Tanggung Jawab Dokter Terhadap Pasien dalam Transaksi Terapeutik……….………91

C. Penyelesaian Perkara-Perkara Perdata antara Dokter dan Pasien dalam Transaksi Terapeutik………..…………97

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan………...………..104


(9)

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB PERDATA DOKTER DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN (STUDI

KASUS RSUD Dr. DJOELHAM BINJAI) *) Nova Iasha Kalo

**) Sunarto Adiwibowo ***) Zulkifli Sembiring

Transaksi terapeutik adalah hubungan antara diokter dengan pasien atau penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan, dan kekhawatiran makhluk insani, berdasarkan Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 434/MEN.KES/X/1983. Hubungan yang timbul dalam transaksi terapeutik terjalin sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata sesuai dengan syarat sahnya perjanjian. Dalam hubungan antara dokter dengan pasien akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi dokter dan pasien yang akan dimintai pertanggung jawabannya. Dalam hubungan transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien tidak terbatas pada hubungan kepercayaan, tetapi hubungan tersebut telah merupakan hubungan hukum yang bersifat kontraktual yang dilindungi oleh hukum.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam transaksi terapeutik, tanggung jawab dokter terhadap pasien dalam transaksi terapeutik dan penyelesaian perkara perdata antara dokter dengan pasien dalam transaksi terapeutik.

Metode penelitian yang dipakai dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif-empiris, dimana dalam penelitian empiris dimaksudkan untuk memperoleh data primer, yaitu melakukan wawancara dengan narasumber yang terkait, sementara hukum normatif yaitu melakukan suatu kajian terhadap peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi ini.

Kata kunci : transaksi terapeutik, dokter dan pasien, hubungan hukum.

*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dimana hal ini merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea IV setelah perubahan kedua pada tahun 2000 yang pada intinya untuk memajukan kesejahteraan umum yang berarti meliputi pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia. Dinyatakan pula dalam Pasal 1 Undang-undang Kesehatan Nomor: 23 Tahun 1992 (selanjutnya disebut UUK) bahwa “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. ” Dalam kerangka tersebut dijelaskan bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh rakyat Indonesia melalui penyelenggaraaan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.1

Profesi dokter sejak dahulu sudah di kenal dan sudah terjalin atas hubungan kepercayaan antara pengobat dan penderita atau dengan kata lain hubungan antara pengobat dan pasien. Pada saat ini dengan semakin berkembangnya teknologi dan pengetahuan hubungan itu disebut dengan nama


(11)

transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien, yang terjalin dengan rasa saling percaya dan mempercayai.2

2

Hermein Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1988, hal 3.

Timbulnya hubungan antara dokter dan pasien tersebut karena pasien itu mencari pertolongan kepada dokter atas sakit yang dideritanya, dari sinilah awal terjalin transaksi terapeutik antara dokter dan pasien. Hal ini membawa akibat bahwa hubungan pemberian pertolongan ini menimbulkan ciri khas yaitu karena pasien berada dalam keadaan dan posisi yag lemah dan bergantung kepada dokter, dengan kata lain keadaan pasien ini adalah masalah mengenai hidup dan mati yang di percayakan pasien kepada dokter yang di tunjuk untuk menangani, dan keadaan atau posisi dokter dikatakan lebih kuat yaitu seorang dokter menjalankan profesi kedokteran dan diharapkan dapat menghilangkan penyakit yang di derita pasien. Namun didalam kenyataan tidak demikian karena akan timbul perbedaan persepsi antara dokter dengan pasien. Dokter yang dinilai sebagai profesi yang dapat menyembuhkan dan menghilangkan semua penyakit yang diderita oleh pasien sehingga tanggung jawab keadaan pasien di serahkan seluruhnya kepada dokter, sehingga pasien terlalu mengharapkan pertolongan dari dokter. Hal yang berbeda terjadi dalam pemikiran pasien, pasien hanya menilai dan mengukur dari sudut pandang hasilnya, sedangkan dokter hanya bisa berusaha, tetapi tidak menjamin akan hasilnya, asalkan ia telah bekerja sesuai prosedur dan menurut standar profesi medis yang berlaku. Tetapi dengan adanya pekembangan pola pikir masyarakat, tingkat pendidikan dan arus informasi yang berkembang pesat maka hubungan yang demikian ini bergeser kearah hubungan yang sejajar dan seimbang, dimana


(12)

pasien juga mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan memilih dokter sendiri lalu memilih metode penyembuhan yang akan digunakan untuk kesembuhan dirinya.3

Pada dasarnya hubungan hukum antara dokter dengan pasien ini bertumpu pada dua macam hak asasi manusia dijamin dalam dokumen maupun konvensi internasional. Kedua macam hak tersebut adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) dan hak asasi atas informasi ( the right to information ). Kedua hak dasar tersebut bertolak dari hak atas keperawatan kesehatan ( the right to health care) yang merupakan hak asasi individu (individual human right). Dokumen internasional yang menjamin kedua hak tersebut adalah The Universal Declaration of Human Right tahun 1948, dan The United Nation International Convenant on Civil and Political Right tahun 1966.4

Profesi dokter dan tenaga medis lainnya merupakan satu profesi yang sangat terhormat dalam pandangan masyarakat. Karena dari profesi inilah banyak sekali digantungkan harapan hidup dan kesembuhan dari pasien serta keluarga yang sedang menderita sakit . Dahulu hubungan dokter dengan pasiennya lebih bersifat paternalistik, yaitu pasien taat dan menurut saja terhadap dokternya tanpa bertanya lagi. Pada masa kini hubungan yang demikian sudah tidak mendapat tempat lagi karena masyarakat sudah semakin pintar dan sadar atas hak-haknya untuk menentukan nasib nya sendiri, dokter atau tenaga kesehatan lainnya tersebut sebagai manusia biasa yang penuh dengan kekurangan dalam tugas kedokterannya yang penuh risiko ini tidak dapat menghindarkan diri dari kekuasaan Allah, kemungkinan pasien cacat bahkan meninggal dunia setelah ditangani dokter bisa

3

Yunanto, Pertanggung Jawaban Dokter Dalam Transaksi Terapeutik, Tesis Mkn, Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hal 7.

4


(13)

saja hal tersebut terjadi walaupun dokter telah melaksanakan tugas sesuai dengan keterampilan dan ilmu yang dimilikinya dengan sungguh-sungguh.

Pada saat ini profesi dokter sedang menjadi perhatian serius khalayak umum dan marak terdengar di mass media nasional antara lain yang menjadi perhatian adalah kasus malpraktek Dr. Ayu dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan yang terjadi tahun 2010 di RS. Dr. Kandau Manado, kasus RSU Lasinrang terlambat memberi pertolongan pada pasien sesak nafas bayi Nayla hingga tewas pada tahun 2013 dan kasus ambulance terlantarkan pasien lansia hingga tewas di Bandar Lampung pada 24 Januari 2014 menjadi perhatian serius khalayak umum , baik lewat media elektronik atau media cetak. Bahwa banyak ditemui kasus-kasus malpraktek yang dilakukan oleh dokter, dokter dinilai tidak menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai prosedur dan dokter dianggap tidak menjalankan pertolongan yang seharusnya ia lakukan kepada pasien yang mengalami malpraktek tersebut. Bahkan ternyata menurut Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan Pusat pada tahun 2013 yang dimuat dalam harian Analisa yang terbit pada tanggal 23 November 2013 oleh Yudi Pratama5

5

Yudi Pratama, Pelayanan Kesehatan di Indonesia Semakin Memburuk, Harian Analisa, 14 Desember 2013.

, tercatat kurang lebih 150 kasus malpraktek di Indonesia, walau sebagian besar tidak sampai kemeja persidangan. Pemberitaan ini menimbulkan keresahan dimasyarakat bahkan dapat menghilangkan rasa percaya masyarakat khususnya pasien kepada dokter, yang seharusnya menyembuhkan sakit para pasien atau masyarakat. Masyarakat mulai tidak percaya terhadap kinerja dokter, masyarakat mulai merasa dokter tidak mampu menyembuhkan penyakit yang diderita oleh masyarakat.


(14)

Sedangkan dokter beranggapan bahwa ia telah menjalankan prosedur kesehatan kepada pasien dengan sebaik-baiknya. Bahkan pemberitaan malpraktek tidak hanya meresahkan kecemasan dikalangan pasien atau masyarakat saja melainkan juga pada kalangan dokter dokter beranggapan profesi mereka bagaikan memakan buah simalakama, tidak menolong dinyatakan salah menurut hukum namun menolong berisiko dituntut oleh keluarga pasien jika tidak sesuai dengan harapannya.

Hubungan hukum antara dokter dengan pasien didasarkan adanya suatu perjanjian atau sering dikenal dengan transaksi terapeutik, yaitu suatu perjanjian dimana dokter berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien dari penderitaan sakitnya yang lazim disebut perjanjian inspaning verbitenis, dimana dalam hal ini yang dituntut bukan perjanjian hasil atau resultaat verbitenis

melainkan yang dituntut adalah suatu upaya yang dilakukan dokter atau usaha yang maksimal. Perjanjian yang lain karena dilandaskan oleh Undang-undang. Hubungan hukum yang demikian ini akan menghasilkan suatu hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang dapat di tuntut pemenuhannya.6

6

Syahrul Mahmud, Aspek Hukum Dalam Medical Malpractice, Varia Peradilan,IKAHI, Edisi ke-2,2007, hal 2.

Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan 434/Men.Kes/X/1983 tentang berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia bagi para dokter Indonesia menyebutkan bahwa transaksi terapeutik adalah hubungan dokter dengan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial) serta senantiasa diliputi segala macam emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani. Sebagai sebuah proses, maka dokter atau tenaga kesehatan lainnya diikat dalam sebuah kode etik yang


(15)

harus dipatuhi dan dijalankan serta dijadikan pedoman dalam menjalankan profesi kedokteranya. Pelanggaran atas disiplin ini akan ditangani oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai sebuah lembaga

independent dan bertanggung jawab pada Kode Etik Kedokteran Indonesia. MKDKI ini berwenang memberikan sanksi disiplin berupa peringatan tertulis, pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin paktek dan atau kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran. Sedangkan pelanggaran terhadap kode etik akan di tangani oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).7

Hubungan dokter dan pasien terdapat didalamnya hak dan kewajiban pasien terhadap dokter dan dokter terhadap pasien. Dokter selalu berupaya atas kesembuhan yang menjadi harapan dari terapi yang diberikan terhadap pasien, dan pasien harus mentaati semua perintah dokter yang menjadi bagian dari terapi kesembuhan. Oleh karena itu diharapkan adanya kerjasama dan saling kepercayaan antara dokter dan pasien agar terjalin hubungan yang baik dan tujuan dari pengobatan tersebut lancar serta berdampak hasil yang baik sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak dinginkan. Timbulnya rasa percaya antar dokter pasien ini walau terjalin tidak secara tertulis harus di implementasikan kepada ketertiban dokter dalam menjalankan profesinya sesuai dengan standar dan kepatuhan dari pasien atas perintah dokter lebih diterapkan untuk terjalin kerjasama dan tidak terjadi perselisihan dikemudian hari. Berdasarkan hal tersebut diatas penulis tertarik menulisnya dalam skripsi dengan judul “ Tangggung Jawab Perdata

7

Hermein Hadiati Koeswadji, (1) Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Jakarta, 1998, hal 98.


(16)

Dokter Dalam Transaksi Terapeutik Antara Dokter Dengan Pasien (Studi Kasus RSUD. Dr. Djoelham Binjai)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang trsebut diatas, berbagai persoalan yang timbul atau yang muncul, dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk hubungan antara dokter dan pasien dalam transaksi

terapeutik ?

2. Bagaimanakah Tanggung jawab dokter terhadap pasien dalam transaksi

terapeutik ?

3. Bagaimanakah penyelesaian perkara-perkara perdata yang dilakukan oleh dokter dalam transaksi terapeutik ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejauh mana bentuk hubungan hukum antara dokter dan pasien sehingga dapat diketahui apa saja hak dan kewajiban antara dokter dengan pasien.

2. Untuk mengetahui sejauh mana pertanggung jawaban dokter kepada pasien dalam menjalankan profesi dokter sesuai dengan Kode Etik dan Undang-undang yang berlaku.

3. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian perkara perdata antara dokter dengan pasien.


(17)

D. Manfaat Penulisan 1. Secara Teoritis

Secara teoritis, memberikan sumbangan pemikiran bagi Ilmu Hukum khususnya hukum kedokteran, yang permasalahannya selalu berkembang seiring dengan perkembangan Ilmu Kedokteran itu sendiri. Dan diharapkan dapat menjembatani antara kepentingan hukum dan kepentingan pelayanan medis untuk mencapai asas keseimbangan kepentingan dokter dan kepentingan pasien yang sama-sama menjadi prioritas untuk membangun kesadaran kesehatan yang ada di masyarakat. Karena dengan adanya hubungan baik antara dokter dan pasien maka timbul rasa saling percaya dan saling mentaati hak dan kewajiban nya sendiri khususnya antara dokter dan pasien. Dengan skripsi ini masyarakat tau akan haknya jika berhubungan dengan dokter dan pelayanan kesehatan lainnya jadi masyarakat dapat memilih cara pengobatan apa dan metode pengobatan apa yang ia percayai untuk menyembuhkan sakit nya.

2. Secara Praktis

a. Bagi para penentu dan pembuat peraturan diharapkan skripsi ini dapat dijadikan salah satu masukan dalam pengambilan kebijakan dibidang pelayanan medis untuk publik atau masyarakat.

b. Bagi para dokter, skripsi ini dapat dijadikan bahan renungan dan kajian dalam memberikkan pelayanan medis yang terbaik sesuai dengan standart profesi dan etika kedokteran terhadap pasien atau masyarakat.


(18)

c. Bagi penulis, untuk menambah wawasan dan pengetahuan khususnya, hukum perdata tentang transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien dalam melakukan tindakan medis.

d. Bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat luas dalam hal transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien dalam tindakan medis.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mencapai suatu kepastian. Namun demikian menurut kebiasaan, metode dapat dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan antara lain, kesatu suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, kedua suatu teknik yang umum dalam suatu ilmu pengetahuan, ketiga cara tertentu untuk melaksnakan suatu prosedur8

Dalam pembahasan skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang digunakan penulis adalah sebagai berikut :

1. Spesifikasi penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul penulis

8


(19)

ini yaitu “ Tanggung Jawab Perdata Dokter Dalam Transaksi Terapeutik antara Dokter dengan Pasien “ Studi Kasus Rumah Sakit Umum Dr. Djoelham Binjai”. 2. Metode Pendekatan

Dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis mengingat permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah bagaimana dokter melaksanakan profesi dokternya berlandaskan kepercayaan dalam transaksi terapeutik.

3. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian untuk penelitian skripsi ini, penulis mengambil lokasi di Rumah Sakit Umum Dr. Djoelham Binjai yang terletak di Jalan. Sultan Hasanussin No.9 Binjai, Sumatera Utara.

4. Alat Pengumpul Data

Pengumpulan data-data yang diperlukan penulis yang berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui cara penelitian kepustakaan (library Research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Tujuan penelitian kepustakaan ini adalah untuk memperoleh data-data skunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. 5. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif yang berpedoman


(20)

kepada bagaimana implementasi tangung jawab dokter terhadap pasien dalam transaksi terapeutik. Analisis deskriptif artinya penulis berusaha semaksimal mungkin umtuk memaparkan data-data yang sebenarnya.

Metode deduktif artinya berdasarkan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia tentang pertanggung jawaban dokter kepada pasien dalam transaksi terpeutik dalam menjalankan profesinya sebagai dokter dalam memberikan pelayanan dan menjaga kepercayaan pasien terhadap profesi dokter untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian.

Metode induktif artinya dari data-data khusus mengenai Pertanggung jawaban perdata dokter terhadap pasien dalam transaksi terapeutik akan ditarik kesimpulan umum yang akan digunakan dalam pembahasan selanjutnya.

F. Keaslian Penulisan

Sepanjang pengetahuan penulis “ Tanggung Jawab Perdata Dokter terhadap Transaksi Terapeutik antara Dokter dengan Pasien (Studi Kasus Rumah Sakit Umum Dr. Djoelham Binjai) “ yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah di tulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara .

Topik permasalan ini sengaja dipilih oleh penulis adalah berdasarkan hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini belum pernah ada yang membuat. Kalaupun sudah ada, penulis yakin bahwasanya substansi pembahasannya adalah berbeda. Dalam skripsi ini, penulis mencoba menguraikan pembahasannya kearah


(21)

bagaimana dokter mempertanggung jawabkan tindakan medisnya terhadap pasien berdasarkan hanya dengan rasa saling percaya dalam transaksi terapeutik tersebut. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Oleh karena itu, untuk memudahkan pembahasan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab perbab yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah : BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini akan membahas tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : PERJANJIAN MENURUT SISTEM HUKUM INDONESIA

Bab ini membahas mengenai Pengertian Perjanjian, Asas-asas Perjanjian, Jenis- jenis Perjanjian, Syarat Sahnya Perjanjian, Saat Lahirnya Perjanjian, Akibat Perjanjian, Saat Berakhirnya perjanjian.

BAB III : PERJANJIAN TERAPEUTIK MENURUT HUKUM PERDATA DI INDONESIA


(22)

Bab ini membahas mengenai Timbulnya Hubungan Hukum Dalam Transaksi Terapeutik, Pengertian Transaksi Terapeutik, Asas-asas Dalam Transaksi Terapeutik, Sifat Transaksi Terapeutik, Dasar Hukum Terjadinya Transaksi Terapeutik, Syarat Sahnya Transaksi

Terapeutik, Berakhirnya Transaksi Terapeutik, Hak dan Tanggung Jawab Dokter dengan Pasien.

BAB IV : TANGGUNG JAWAB PERDATA DOKTER TERHADAP TRANSAKSI TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN (STUDI KASUS RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr.DJOELHAM BINJAI)

Bab ini membahas mengenai Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien Dalam transaksi Terapeutik, Tanggung Jawab Dokter Terhadap Pasien dalam Transaksi Terapeutik, dan Penyelesaian Perkara-perkara Perdata yang Dilakukan Oleh Dokter dalam Transaksi Terapeutik.

BAB V : PENUTUP


(23)

BAB II

PERJANJIAN MENURUT HUKUM PERDATA INDONESIA

A. Pengertian Perjanjian

Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian: Suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau satu pihak yang membuat perjanjian, sedangakan perikatan yang lahir dari undang-undang di buat atas dasar kehendak yang saling berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak.9 Dalam bahasa Belanda perjanjian disebut juga overeenkomstenrecht.10

Dari pengertian singkat diatas dijumpai didalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain, hubungan hukum

(rechtsbetreking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)

atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjian/verbintenis adalah hubungan hukum rechtsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan/persoon adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam

9

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal 117.

10

C.s.t. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, hal 10.


(24)

lingkungan hukum . Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan.11

Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.12

Buku III KUHPerdata berjudul “Perihal Perikatan” Perkataan Perikatan

(verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian” sebab dalam buku III itu, diatur juga prihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu prihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari buku III ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan hukum perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh buku III KUHPerdata ialah: Suatu Hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.13

Dalam undang-undang perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang perikatan. Hal ini karena perjanjian merupakan salah satu

11

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal 6-7.

12

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Bandung, 2002, hal 1.

13


(25)

peristiwa yang melahirkan hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua pihak yang disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban (perikatan). Definisi perjanjian telah diatur dalam KUHPerdata Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Dengan pertimbangan agar perbuatan-perbuatan yang tidak mengandung unsur kehendak atas akibatnya tidak masuk dalam cakupan perumusan, seperti perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), perwakilan sukarela

(zaakwarneming) dan agar perjanjian timbal balik bisa tercakup dalam perumusan trsebut, J. Satrio mengatakan perjanjian adalah perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau dimana satu orang lain atau lebih saling mengikatkan dirinya.”14

Menurut Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal.15

Menurut M. Yahya Harahap mengemukakan Perjanjian atau verbintenis

mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.16

Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam

14

J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hal 12.

15

Subekti, Op.cit., hal 9.

16


(26)

mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.17

Suatu perjanjian tidak terjadi seketika atau serta merta dan perjanjian dibuat untuk dilaksanakan, oleh karena itu dalam suatu perjanjian yang dibuat selalu terdapat tahapan yaitu:

1. Pracontractual, yaitu perbuatan-perbuatan yang mencakup dalam negosiasi dengan kajian tentang penawaran dan penerimaan;

2. Contractual, yaitu tentang bertemunya dua pernyataan kehendak yang saling mengikat kedua belah pihak;

3. Post-contractual, yaitu tahap pada pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang hendak diwujudkan melalui perjanjian tersebut.18

Didalam Perjanjian terdapat unsur janji, janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Kalau orang terikat pada suatu kewajiban, yang diletakkan pada dirinya atas dasar, bahwa undang-undang menentukan demikian seperti onrechtmatigedaad tidak dapat dikatakan, bahwa ia menjanjikan hal seperti itu dan karenanya tak mungkin didasarkan atas suatu perjanjian. Dalam perjanjian orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.19

17

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981, hal 9.

18

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,2003, Hal. 16.

19


(27)

B. Asas-asas Perjanjian

Didalam kamus ilmiah asas diterjemahkan sebagai pokok, dasar, dan pundamen.20 Sedangkan Solly Lubis menyatakan asas adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai-nilai yang disyaratkan menjadi landasan antara hubungan sesama anggota masyarakat.21 Adapun Paul Scholten memberikan definisi mengenai asas ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan kedalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hukum yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.22 Dengan demikian maka, setiap peraturan perundang-undangan diperlukan adanya suatu asas, karena asas ini yang melandasi atau menjiwai ataupun menghidupi peraturan perundang-undangan dan dengan asas tersebut dimaksud dan tujuan peraturan menjadi jelas.23 Selanjutnya Sri Sumantri Martosuwigjo berpendapat bahwa asas mempunyai padanan kata dengan

“beginsel” (Belanda) atau “principle” (Inggris) sebagai suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir.24

20

Pius A Partono dan M Dahlan, Al-Berr, Kamus Ilmiah Favorit, Anka, Surabaya, 1994, hal 48.

Asas hukum adalah dasar normatif untuk membedakan daya ikat normatif dan memaksa. Dengan demikian dalam melakukan perjanjian selain memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada juga harus memperhatikan asas-asas terdapat pada hukum perjanjian pada umumnya.

21

Solly Lubis, Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional, BPHN, Depkeh, 1995, hal 29.

22

Paul Scholten di dalam JJ. H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (alih bahasa oleh Arief Sidharta) Cipta Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hal 119-120.

23

Rooseno Harjowidigji, Presfektif Peraturan Franchise, BPHN, Jakarta, 1993, hal 12.

24

Sri Sumantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negara. Alumni, Bandung, 1971, hal 20.


(28)

KUHPerdata menentukan dengan jelas mengenai beberapa asas-asas perjanjian, diantaranya dalam Pasal 1315 menentukan asas personalia perjanjian; Pasal 1337 menntukan asas kesusilaan dan ketertiban umum; Pasal 1338 ayat (1) menentukan asas mengikatnya perjanjian; Pasal 1338 ayat (3) menentukan asas itikad baik; Pasal 1339 menentukan asas kepatutan dan kebiasaan. Namun menurut Rutten hanya ada tiga asas yang sangat pokok dalam hukum perjanjian, yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikatnya perjanjian, dan asas kebebasan berkontrak.25

Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah: 1. Asas Konsensualisme

Asas konsesualisme adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian telah terjadi atau lahir sejak terciptanya sepakat para pihak, artinya suatu perjanjian telah ada dan mempunyai akibat hukum dengan terciptanya kata sepakat dari para pihak mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.26

25

Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1962, Hal 3.

Asas kesepakatan ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa, untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Pada saat ini ada kecendrungan mewujudkan perjanjian konsensuil dalam bentuk perjanjian tertulis baik di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pembuktian jika dalam pelaksanaannya nanti salah satu pihak melakukan pelanggaran. Menurut asas ini perjanjian sudah lahir atau terbentuk ketika para

26


(29)

pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Walaupun undang-undang telah menetapkan bahwa sahnya suatau perjanjian harus dilakukan secara tertulis (seperti perjanjian perdamaian) atau dibuat dengan akta oleh pejabat berwenang seperti akta jual beli tanah) semua ini merupakan pengecualian.

Bentuk konsensualisme adalah suatu yang dibuat secara tertulis, salah satunya dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Tanda tangan berfungsi sebagai bentuk kesepakatan dan bentuk persetujuan atas tempat, waktu dan isi perjanjian yang dibuat. Tanda tangan juga berkaitan dengan kesengajaan para pihak untuk membuat suatu perjanjian sebagai bukti atas suatu peristiwa.27 Adapun menurut A. Qirom Syamsudin, Asas konsensualisme mengandung arti bahwa dalam satu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal.28

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian tidaklah sah tanpa adanya kesepakatan dari para pihak.

2. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak menurut KUHPerdata, menurut ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerata dinyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

27

terakhir di akses 9 maret 2014, 14.01 WIB

28

A Qirom Syamsuddin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal 20.


(30)

Sumber dari asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak.

Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia menetapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, tanpa sepakat perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Menurut hukum perjanjian di Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak yang di kehendaki nya. Undang-undang yang mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 1331 KUHPerdata tersebut, Maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap. 29

Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal ataupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. asas kebebasan berkontrak

29


(31)

(contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian maka asas kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak ini adalah perwujudan kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.30

Asas kebebasan berkontrak (contracts vrijheid atau partijautonomie)

adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas ini disimpulkan juga dari Pasal 1338 aayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”Subekti mengatakan, bahwa dengan menekankan kata “semua”, maka ketentuan tersebut seolah-olah berisikan pernyataan pada masyarakat bahwa, setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam undang-undang.31

Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam- macam hak atas benda terbatas dan peraturan mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban

30

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1993, Hal 84.

31


(32)

umum dan kesusilaan.32

3. Asas Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)

Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap (optimal law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka di perbolehkan membuat ketentuan - ketentuan mereka sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Asas ini dalam hukum perjanjian di kenal dengan asas kebebasan berkontrak.

Asas mengikatnya perjanjian adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat mereka yang membuat sebagai undang-undang. Dengan demikian para pihak terikat dan harus melaksanakan perjanjian yang telah disepakati bersama, seperti hal keharusan untuk mentaati undang-undang.33 Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Dijelaskan oleh Soedikno Mertokusumo, bahwa bunyi lengkap adagium tersebut adalah Pacta sunt servanda , yang mempunyai arti bahwa kata sepakat tidak perlu dirumuskan dalam bentuk sumpah, perbuatan atau formalitas tertentu agar menjadi kewajiban yang mengikat.34

32

Ibid, hal 13.

33

J. Satrio, (1) Hukum Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku I, Citra Aditya Bhakti, Bandung,1995, hal 142.

34

Soedikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1984, hal 36.


(33)

4. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama dalam membuat perjanjian, maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepaturan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan patut dalam masyarakat.35

Kemudian menurut Munir Fuady, rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut mengidentifikasi bahwa sebenarnya itikad baik hanya disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak. Sebab unsur itikad baik dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “ causa yang legal” dari Pasal 1320 tersebut.36

5. Asas Kepercayaan

Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, membutuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan. Kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.37

35

A. Qiroom Syamsudin, Op.cit., hal 13.

36

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung 2001, hal 81.

37


(34)

6. Asas Kesetaraan

Asas ini merupakan bahwa para pihak didalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan walaupun ada perbedaan warna kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.38

Asas ini dimaksudkan agar program kemitraan dapat memberikan hubungan yang asli bagi semua pihak. Karena kemitraan pada hakikatnya adalah sebuah kerjasama bisnis untuk mendapatkan tujuan tertentu dan antara pihak yang bermitra harus memiliki kepentingan dan posisi yang sejajar dengan ketentuan ini maka antara pembuat perjanjian atau para pihak ditekankan pada adanya kesetaraan dalam posisi tawar atau posisi tawar menawar yang seimbang.39

7. Asas Unconcionability

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, unconcinability artinya bertentangan dengan hati nurani. Perjanjian-perjanjian unconscionable seringkali digambarkan sebagai perjanjian-perjanjian yang sedemikian tidak adil (unfair) sehingga dapat mengguncangakan hati nurani Pengadilan (Hakim) atau shock the conscience the court. Sebenarnya terhadap asas ini tidak mungkin diberikan arti yang tepat, yang diketahui hanyalah tujuannya yaitu untuk mencegah penindasan dan kejutan yang tidak adil.40

38

Ibid, hal 88.

39

9 Maret 2014, 17.00

Wib.

40

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Pembangunan Seimbang bagi Para PihakDalam Perjanjian Kredit BANK di Indonesia, Institut Bankir, Jakarta, 1993, hal 105.


(35)

Adapun menurut Mariam Darus Badrulzaman, unconcionalbility atau doktrin ketidakadilan adalah suatu doktrin dalam ilmu hukum kontrak yang mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan manakala dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak, sungguhpun kedua belah pihak telah menandatangani kontrak yang bersangkutan. Biasanya doktrin ketidakadilan ini mengacu pada posisi tawar menawar dalam kontrak yang sangat berat sebelah karena tidak terdapat pilihan dari para pihak yang dirugikan disertai dengan klausula dalam kontrak yang sangat tidak adil sehingga memberikan keuntungan yang tidak wajar bagi pihak yang lain.41

8. Asas Subsidaritas

Asas subsidaritas mengandung pengertian bahwa pengusaha menengah atau pengusaha besar merupakan salah satu faktor dalam rangka memberdayakan usaha kecil tentunya sesuai dengan ketentuan kopetensi yang dimiliki dalam mendukung mitra usahanya sehingga mampu dan dapat mengembangkan diri menuju kemandirian.42

C. Jenis Perjajian

Dalam hukum perjanjian dibedakan dalam beberapa bagian kelompok perbedaan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, beberapa perbedaan pembedaan dimaksud akan diuraikan dalam uraian berikut.

1. Perjanjian Konsensuil dan Riil

41

Meriam Barus Bahrulzaman, Op.Cit., hal 52-53.

42

terakhir diakses 9


(36)

Berdasarkan cara lahirnya perjanjian akan di bedakan atas perjanjian

konsensuil dan perjanjian riil. Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan, dan timbulnya perjanjian tersebut ditentukan sejak detik tercapainya kesepakatan.43 Akibat hukum dan timbulnya perjanjian adalah lahirnya kewajiban bagi salah satu atau kedua belah pihak, oleh karena itu perjanjian yang bersifat konsensuil juga merupakan perjanjian “obligatoir” (baru melahirkan kewajiban), sehingga sering dikenal dengan perjanjian konsensuil obligatoir. Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru lahir kalau barang yang menjadi pokok prestasi telah diserahkan,44

2. Perjanjian Sepihak dan Timbal Balik

artinya dengan tercapainya kesepakatan para pihak saja belum cukup untuk melahirkan perjanjian riil, sehingga untuk adanya perjanjian riil harus terpenuhi adanya dua unsur yaitu sepakat dan penyerahan benda pokok perjanjian. Contohnya pinjam meminjam, pinjam pakai dan penitipan barang. Pada umumnya, perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam Buku III KUHPerdata bersifat konsensuil obligatoir, kecuali berapa perjanjian tertentu yang bersifat riil.

Berdasarkan perikatan yang timbul dari suatu perjanjian, mengikat satu pihak saja ataukah mengikat kedua belah pihak, perjanjian dapat dibedakan atas perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik , yakni perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada salah satu pihak saja sedangkan pada pihak lain hanya ada hak saja, seperti: hibah, pinjam pakai, perjanjian pinjam

43

Subekti, Op cit., hal 48.

44


(37)

mengganti, penitipan barang cuma-cuma. Sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban terhadap kedua belah pihak, dengan mana hak dan kewajiban itu mempunyai hubungan satu sama lainnya, seperti: perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain-lain.45 Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika jua dapat ditagih pembayarannya. Disamping bentuk yang paling sederhana itu terdapat berbagai macam perikatan lain yang akan diuraikan satu persatu dibawah ini.46

a. Perikatan Bersyarat (Voorwaardelijk)

Perikatan bersyarat adalah perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu itu akan timbul.47

45

Ibid, hal. 42.

Suatu perjanjian yang demikian akan menggantungkan suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau menangguhkan (opschortende voorwaarde). Suatu contoh, apabila saya berjanji pada seseorang akan membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, disini dapat dikatakan bahwa jual beli itu hanya dapat terjadi, kalau saya lulus dari ujian. Kedua mungkin untuk memperjanjikan, bahwa suatu perikatan yang sudah akan berlaku, akan dibatalkan apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Disini

46

Subekti, (1),Op.cit., hal 128.

47


(38)

dikatakan bahwa perikatan itu digantungkan pada suatu syarat pembatalan

(ontbidende voorwaarde).48

b. Perikatan yang Digantungkan pada Suatu Ketetapan Waktu

(Tijdsbepaling)

Pasal 1268 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaan nya.”Suatu perikatan dikatakan sebagai perikatan dengan ketetapan waktu jika perikatan tersebut menetapkan suatu waktu dalam pelaksanaanny, tetapi penetapan waktu tersebut tidaklah menunda eksistensi perikatan itu sendiri hingga waktu yang telah ditentukan tersebut. Perikatan dengan ketetapan waktu adalah perikatan sederhana yang berlaku seketika pada saat perikatan dibentuk, dengan pengertian bahwa kewajiban debitor sudah ada semenjak perikatan dibuat, hanya saja pelaksanaan kewajiban atau prestasi tersebut baru dilakukan pada suatu waktu yang ditentukan dimasa yang akan datang.49

c. Perikatan yang Membolehkan Memilih (Alternatief)

Ini adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada siberhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah.50

d. Perikatan Tanggung Menanggung (Hoofdelijk atau Solidair)

48

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hal 52.

49

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 145.

50


(39)

Suatu perikatan dimana beberapa orang sama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menguntungkan, atau seebaliknya. Beberapa orang berhak sama-sama menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan yang semacam ini belakangan sedikit sekali terdapat dalam peraktek.51

e. Perikatan yang Dapat Dibagi atau yang Tidak Dapat Dibagi

Perikatan yang dapat dibagi-bagi terdapat lebih dari satu kali pelaksanaan pokok perikatan dengan rumusan Pasal 1296 KUHPerdata dinyatakan bahwa “ Suatu perikatan dapat dibagi-bagi atau tak dapat dibagi-bagi sekedar perikatan tersebut mengenai suatu barang yang penyerahannya atau suatu perbuatan yang pelaksanaannya dapat dibagi-bagi atau tak dapat dibagi-bagi, baik secara nyata-nyata maupun secara perhitungan.” Perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau dimaksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian.52

f. Perikatan Dengan Penetapan Hukuman (Strafbeding)

Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam peraktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menjalani kewajibannya. Hukumhan ini ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.53

51

Subekti, Op.cit. hal 6.

52

Kartini Muljadi, Op.cit. hal 177.

53


(40)

Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata perikatan dapat dibedakan atas beberapa macam, yaitu :54

1) Menurut isi dari pada prestasinya: a) Perikatan positif dan negatif;

b) Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan; c) Perikatan alternatif;

d) Perikatan fakultatif;

e) Perikatan generik dan spesifik;

f) Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi; 2) Menurut subyeknya:

a) Perikatan tanggung menanggung; b) Perikatan pokok dan tambahan

3) Menurut mulai berlakunya dan mulai berakhirnya: a) Perikatan bersyarat;

b) Perikatan dengan ketetapan waktu; c) Perikatan dengan ancaman hukuman;

Kalau dibandingkan anatara macam-macam perikatan menurut ilmu pengetahuan dan menurut undang-undang, terdapat adanya beberapa perbedaan dimana ternyata macam-macam perikatan menurut ilmu pengetahuan hukum perdata lebih banyak jumlahnya daripada macam perikatan menurut undang-undang. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat tentang macam-macam perikatan menurut ilmu pengetahuan, yaitu:55

(1) Perikatan Positif dan Negatif

Perikatan positif adalah perikatan dimna prestasinya berupa perbuatan positif, dimana memberi sesuatu dan berbuat sesuatu. Sedangkan perikatan

54

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, Jakarta, 2006, hal 213.

55


(41)

negatif adalah perikatan yang prestasinya berupa suatu perbuatan yang negatif yaitu tidak berbuat sesuatu.56

(2) Perikatan Sepintas lalu dan Berkelanjutan

Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang perbuatan prestasinya cukup hanya dilakukan dengan satu perbuatan saja dan dalam waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai. Sedangkat perikatan berkelanjutan adalah perikatan yang prestasinya berkelanjutan untuk beberapa waktu, misalnya perikatan-perikatan yang timbul dari perjanjian sewa menyewa dan perburuhan (perjanjian kerja).57

(3) Perikatan Alternatif

Perikatan alternatif adalah perikatan dimana debitur dibebaskan untuk memenuhi satu dari dua atau lebih prestasi yang disebutkan dalam perjanjian. Namun debitur tidak boleh memaksakan kreditur untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang lain. Bahwa dengan pemenuhan salah satu prestasi tersebut perikatan berakhir.58

(4)Perikatan Fakultatif

Perikatan fakultatif adalah perikatan yang mempunyai satu objek prestasi. Dimana debitur mempunyai hak untuk mengganti dengan prestasi yang lain, Bilamana debitur tidak mungkin memenuhi prestasi yang telah ditentukan semula. Misalnya debitur diwajibkan untuk menyerahkan sejumlah beras, bilamana tidak mungkin menyerahkan sejumlah beras

56

Ibid, hal 215.

57

Subekti, (1) Op.cit. hal 136.

58


(42)

maka diganti dengan sejumlah uang. Dengan demikian penyerahan uang merupakan pengganti dari sejumlah beras, berarti debitur telah memenuhi prestasi dengan sempurna.59

(5)Perikatan Generik dan Spesifik

Perikatan generik adalah dimana obyeknya hanya ditentukan jenis dan jumlah barang yang harus diserahkan debitur kepada kreditur, misalnya penyerahan beras sebanyak 10 ton ( bagaimana kualitas tidak disebutkan). Sedangkan perikatan spesifik merupakan perikatan dimana obyeknya ditentukan secara terinci sehingga tampak ciri khususnya. Misalnya debitur diwajibkan menyerahkan beras sebanyak 10 ton dari cianjur kualitas ekspor nomor satu.60

(6)Perikatan yang Dapat Dibagi danTtidak Dapat Dibagi

Perikatan yang dapat dibagi adalah perikatan dimana prestasinya dapat dibagi, pembagian nama tidak boleh mengurangi hakikat prestasi itu. Sedangkan perikatan yang tidak dapat dibagi adalah perikatan dimana prestasinya tidak dapat dibagi. Soal dapat atau tidak dapat dibagi tergantung dari jenis barang yang tersangkut jenis barang didalamnya dan dapat pula disimpulkan dari maksudnya perikatan untuk menyerahkan 10 ton beras. Karena sifat beras menjadi obyek perikatan yang dapat dibagi.61 (7) Perikatan Tanggung Renteng

Perikatan tanggung menanggung dimana debitur dan/atau kreditur terdiri beberapa orang. Jika debiturnya yang beberapa orang (dan ini yang paling

59

J.Satrio, (1) Op.cit. hal 132.

60

Subekti, (2) Op.cit. hal 152.

61


(43)

lazim), tiap-tiap debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh prestasi. Sedangkan jika kredirurnya yang beberapa orang, tiap-tiap kreditur berhak menuntut pemenuhan seluruh prestasi. Dengan dipenuhinya seluruh prestasi oleh salah seorang debitur kepada kreditur. Perikatan menjadi hapus.62

(8) Perikatan Pokok dan Tambahan

Perikatan pokok dan tambahan adalah perikatan antara kreditur dan debitur yang berdiri sendiri tanpa bergantung kepada adanya perikatan yang lain, misalnya perjanjian peminjaman uang. Sedangkan perikatan tambahan adalah peikatan antara debitur dan kreditur yang diadakan sebagai perikatan tambahan daripada perikatan pokok, misalnya perjanjian gadai dan hipotik. Perikatan tambahan ini tidak berdiri sendiri melainkan bergantung kepaa perjanjian pokok. Sehingga apabila perikatan pokok berakhir, maka perikatan tambahan juga berakhir.63

(9) Perikatan Bersyarat

Perikatan bersyarat adalah perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya digantungkan pada suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi. Apabi;la suatu perikatan yang lahirnya digantungkan kepada peristiwa itu dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Misalnya, A berjanjia akan memberikan buku-bukunya kepada B apabila ia lulus ujian. Sedangkan

62

Abdulkadir Muhammad, Op.cit. hal 166.

63


(44)

apabila suatu perikatan yang sudah ada yang berakhirnya digantungkan kepada peristiwa itu dinamakan perikatan dengan syarat batal.64

(10) Perikatan Dengan Ketetapan Waktu

Perikatan denga ketetapan waktu adalah perikatan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai pada suatu waktu ditentukan yang pelaksanaannya pasti akan tiba, meskipun mungkin belum dapat dipastikan kapan waktu yang dimaksudkan akan tiba. Misalnya A berjanji akan memberikan semua buku-bukunya kepada B pada tanggal 1 januari tahun depan (waktunya ditentukan). Perikatan dengan ketentuan waktu yang tidak dapat ditentukan waktunya misalnya dalam perjanjian asuransi kematian (matinya orang pasti tapi tidak dapat dipastikan kapan waktu nya).65

(11)Perikatan dengan Ancaman Hukuman

Pasal 1304 KUHPerdata member definisi perikatan dengan ancaman hukuman sebagai suatu perikatan yang menempatkan seseorang, sebagai jaminan pelaksanaan suatu perikatan yang menempatkan seseorang, sebagai jaminan pelaksanaan suatu perikatan, diwajibkan untuk melakukan sesuatu, manakala perikatan tersebut tidak dipenuhi olehnya. Dengan rumusan tersebut, KUHPerdata tidak membatasi jenis hukuman yang dapat dikenakan, melainkan hanya dengan menyatakan bahwa debitor yang lalai

64

Subekti, Op.cit. hal 45.

65


(45)

dapat dikenakan, melainkan hanya dengan menyatakan bahwa debitor yang lalai dapat dikenakan kewajiban untuk melakukan sesuatu.66

D. Syarat Sahnya Perjanjian

Setiap orang yang melakukan perjanjian selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki atau yang dianggap dikehendaki. Agar maksud itu tercapai bila perlu pelaksanaanya dapat di laksanakan melalui pengadilan, maka perjanjian harus dibuat perjanjian yang memenuhi syarat sahnya perjanjian. Melalui pasal 1320 KUHPerdata, pembuat undang-undang telah menetapkan syarat-syarat pokok yang harus dipenuhi agar perjanjian perjanjian yang mereka adakan menjadi perjanjian yang sah, yakni:67

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri, 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian, 3. Suatu hal tertentu,

4. Suatu sebab yang halal,

Ad.1. Kata sepakat merupakan dasar lahirnya suatu perjanjian. Suatu perjanjian dianggap lahir atau terjadi pada saat dicapainya kata sepakat antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Sepakat atau consensus mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup sebuah perjanjian dan kehendak pihak yang satu sesuai secara timbal balik dengan pihak yang lainnya. Pernyataan kehendak tersebut tidak harus

66

Kartini Muljadi, Op.cit. hal183.

67


(46)

dinyatakan secara tegas dengan kata-kata, tetapi dapat juga dilakukan dengan perbuatan atau sikap yang mencerminkan adanya kehendak untuk mengadakan perjanjian. Pertanyaannya kehendak yang menghasilkan kesepakatan dapat dibedakan antara pernyataan kehendak untuk menawarkan dan pernyataan kehendak untuk melakukan penerimaan.68 Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendang masing-masing, yang di lahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam.69

Ad.2. Syarat kedua untuk sah perjanjian adalah cakap (bekwaam)

merupakan syarat umum untuk melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.70

68

Ratih Kusuma Wardani, Tinjauan Yuridis Persetujuan Tindakan Medis (Informend Consent) diRSUP. Dr. Kariadi Semarang, Tesis Mkn, Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hal 37.

Menurut Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika isi undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Dan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa menurut undang-undang pada asasnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjnjian. Dengan kata lain orang yang tidak cakap, tidak memenuhi syarat untuk membuat suatu perjanjian.Adapun orang yang tidak cakap menurut Pasal 1330 KUHPerdata dinyatakan bahwa adapun orang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:

69

Riduan Syahrani, Op.cit., hal 206.

70


(47)

a. Orang-orang belum dewasa,

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan,

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang – undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Peraturan ini telah dicabut dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 dan Undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Ad.3. Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian adalah adanya suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu harus ditafsirkan bahwa obyek perjanjian harus “tertentu”. Sekalipun masing-masing obyek tidak harus individual tertentu, menurut Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata dinyatakan bahwa semua jumlahnya boleh tertentu asal kemudian hari dapat ditentukan. Tetapi jika pada saat perjanjian ditutup obyek sama sekali tidak tertentu atau tidak ada adalah tidak boleh. Jadi dimaksud dengan “suatu sebab tertentu” adalah paling tidak macam atau jenis benda dalam perjanjian sudah ditentukan pada saat lahirnya perjanjian.71

Ad.4. Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah adanya suatu “sebab

(latin: causa) yang halal (geoorloofde arzaak). KUHPerdata tidak memberikan rumusan mengenai apa yang dimaksud “suatu sebab yang halal”. Hanya dalam Pasal 1337 KUH Perdata dinyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang apabila, dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.”. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

71


(48)

untuk sahnya suatu perjanjian causa nya harus diperbolehkan, dan sebaliknya

causa yang tidak diperbolehkan adalah apabila dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Menurut pendapat Hamaker dan Hotman serta Hoge Raad dalam Arrestnya tanggal 17 November 1922, yang dimaksud dengan causa perjanjian adalah tujuan perjanjian, yakni apa yang menjadi tujuan bersama para pihak dalam membuat perjanjian. Dengan demikian maka yang dimaksud dengan sebab atau causa yang halal adalah bahwa tujuan perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum.72

Dikatakan bertentangan dengan undanng-undang apabila tujuan para pihak mengadakan perjanjian secara jelas melanggar ketentuan undang-undang, dan dikatakan bertentangan dengan kesusilaan adalah apabila tujuan para pihak mengadakan perjanjian bertentangan dengan nilai-nilai positif yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan yang dikatakan melawan ketertiban umum adalah apabila tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian bertentangan dengan hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum yakni kedamaian, ketentraman dan keamanan hidup bemasyarakat.73

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orang-oarang nya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian., sedangkan dua syarat yang terakhir, dinamakan syarat-syarat obyektif, karena mengenai obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Tidak terpenuhinya syarat-syarat tersebut atau salah satu syarat dari syarat tersebut adalah perjanjian tidak sah atau

72

Ibid, hal. 60-72.

73


(49)

batal. Dalam hal syarat obyektif tidak terpenuhi, perjanjian adalah batal demi hukum: artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan dari suatu perjanjian dan tidak pernah ada perikatan,. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Sedangkan dalam hal syarat subyektif tidak terpenuhi dalam Pasal 1446 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, atau orang-orang yang berada dibawah pengampuan adalah batal demi hukum dan atas tuntutan yang diajukan oleh atau dan pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya.” Perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu oleh hukum dianggap ada sampai salah satu pihak yang tidak cakap atau yang memberikan sepakat secara tidak bebas meminta pembatalan.74

Perjanjian dapat dibatalkan jika terjadi karena hal-hal sebagai berikut: 1) Kelalaian

Dikatakan lalai melaksanakan kewajibannya dalam sebuah perjanjian, apabila debitur tersebut dinyatakan lalai dengan suatu surat perintah atau akta. Dalam Pasal 1238 KUHPerdata dinyatakan bahwa “ Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

74


(50)

Surat perintah atau akta tersebut menyatakan secara tegas, bahwa debitur telah lalai melaksanakan kewajibannya. Selain dengan surat perintah atau akta, lalainya debitur melaksanakan kewajiban perjanjian juga dapat terjadi secara hukum dengan lewatnya waktu, yaitu sampai batas waktu yang ditentukan dalam perjanjian ternyata debitur tidak juga melaksanakan kewajibannya, maka ia dinyatakan lalai.75

2) Adanya Paksaan

Dalam sebuah perjanjian dikatakan dapat dibatalkan apabila dalam pembuatan perjanjian tersebut terdapat ancaman, hal tersebut terkait dengan syarat pertama yaitu sepakat dari para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut. Dalam Pasal 1321 KUHPerdata dinyatakan bahwa “ Tiada sepakat yang sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau karena penipuan.” Mengenai apa yang dimaksud dengan paksaan itu sendiri dapat dilihat dalam Pasal 1324 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga member kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar pada waktu dekat. Dalam mempertimbangkan hal tersebut harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan.” Dan dalam Pasal 1325 KUHPerdata dinyatakan bahwa Paksaan menjadikan suatu perjanjian batal, bukan hanya dilakukan pada salah satu pihak yang membuat perjanjian, melainkan juga dilakukan terhadap suami atau istri atau

75

Mariam Darus Badrulzaman, (1) Kompilasi Hukum Perikatan,Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2001, hal 63.


(51)

keluarganya dalam garis keatas maupun kebawah. (KUHPerdata Pasal 290 dst, Pasal 1323, Pasal 1449).

Menurut Elly Erawati dan Herlieno Budino, paksaan dalam KuhPerdata adalah paksaan secara kejiwaan atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi dimana seseorang secara melawan hukum mengancam orang lain dengan ancaman yang terlarang menurut hukum sehingga orang yang berada dibawah ancaman tersebut berada dibawah ketakutan dan akhirnya memberikan persetujuannya dengan tidak secara bebas.76

3) Adanya Penipuan

Maka jika terdapat unsur paksaan dalam kesepakatan perjanjian maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Suatu perjanjian harus disertai dengan itikad baik goodfaith, (vide Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Apabila salah satu pihak mempunyai niat buruk atau salah satu pihak mempunyai itikad buruk, maka pihak yang bersangkutan sejak awal ada niat buruk untuk melakukan penipuan dalam suatu perjanjian, sehingga tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian . Artinya perjanjian yang mengandung unsur penipuan yang dilakukan dan diniatkan oleh salah satu pihak, atau mungkin kedua belah pihak dalam konteks sebaliknya, tentu tidak memenuhi syarat sah perjanjian. Namun penipuan tersebut harus dapat dibuktikan unsur penipuannya dan dapat dibuktikan secara jelas bentuk penipuannya.. Dengan kata lain bilamana secara umum sepakat tersebut tidak terpenuhi dengan adanya penipuan, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (voidable). Namun karena syarat yang diabaikan adalah syarat subyektif yakni unsur sepakat, maka apabila salah satu

76

Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian,


(52)

pihak tidak berkenaan dengan perjanjian yang mengandung unsur penipuan dimaksud, pihak lainnya dapat membatalkan. Maksudnya pihak yang merasa dirinya dirugikan atas penipuan tersebut dapat melakukan upaya pembatalan, dan tidak batal dengan sendirinya (null and void).77

Perjanjian tersebut dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat yang termuat dalam pasal 1320 KUHPerdata dan dalam pelaksanaannya memperhatikan pasal 1338 KUHPerdata yag mengandung asas pokok hukum perjanjian.

E. Saat Lahirnya Perjanjian

Menurut ajaran yang paling tua, haruslah dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih tak dapatlah lahirnya suatu perjanjian.

Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.78 Terdapat beberapa teori mengenai waktu kapan terjadinya kesepakatan:79

1. Teori pernyataan (Uitingstheorie)

77

Abdulkadir Muhammad, Op.cit. hal 102.

78

Subekti, Op.cit., hal 26.

79


(53)

Menurut teori ini, perjanjian telah ada pada saat telah ditulis surat jawaban penerimaan/akseptasi. Pasa saat ini kehendak dari orang yang menawarkan dengan akseptor saling bertemu.

2. Teori Pengiriman (Verzendtheorie)

Teori ini menyatakan bahwa saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya perjanjian. Tanggal cap pos dapat digunakan sebagai dasar, sebab sejak saat surat tersebut dikirimkan, akseptor tidak mempunyai kekuasaan lagi atas surat tersebut.

3. Teori Pengetahuan (Vememingsthorie)

Dalam teori ini disebutkan bahwa perjanjian timbul pasa saat jawaban akseptasi diketahui oleh orang yang menawarkan.

4. Teori Penerimaan (Ontavangstheorie)

Saat diterimanya jawaban menjadi patokan saat lahirnya kesepakatan Teori ini tidak mempersalahkan apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka, namun yang terpenting adalah surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat. Selanjutnya oleh Pitlo ditambahkan lagi teori yang lain yakni:80 5. Teori Pengetahuan yang Obyektif (Geobjectiveer Devemrmingsteorie)

Kesepakatan lahir saat yang menawarkan secara obyektif mengetahuai atau menurut akal sehat dapat menganggap bahwa akseptor telah mengetahui atau telah membaca surat penawaran.

6. Teori Kepercayaan (Vertrouwenstheorie)

Kesepakatan dianggap telah terjadi pada saat akseptor percaya bahwa tawarannya itu betul yang dimaksud.Apabila disimpulkan dari pasal 1320 KUHPerdata, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian, maka dapat diketahui bahwa hukum perjanjian yang dianut dari BW adalah asas konsensualisme. Artinya bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan kata sepakat saja, dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya consensus dimaksud. Pada detik tersebut sudah jadi dan mengikat, dan bukan pada detik-detik sesudah atau sebelum tercapainya consensus. Kehendak ini haruslah dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan didalam hati tidak mungkin diketahui oleh pihak lain dank arena nya tidak mungkin melahirkan perjanjian.

80

Purwahid Patrik, (1) Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 57.


(1)

pendapat dokter lain. Akhirnya ia mendapatkan hasil bahwa ia hanya kekurangan kalsium pada tulang dan tidak di temukan infeksi dalam pinggangnya.155

Terdapat kesalahan diagnosa terhadap perempuan ini, jika tindakan medis dengan penyedotan cairan pada pinggang nya dilakukan dan berakibat buruk maka dokter dapat dimintai pertanggung jawaban hukum. Namun karena perempuan tersebut beralih dokter maka perempuan tersebut tidak lagi menjadi tanggung jawab dokter RSUD.Dr. Djoelham binjai tersebut.

Kasus 3:

Seorang ibu umur 34 tahun yang melahirkan cesar tanpa adanya persetujuan dari pihak keluarga terlebih dahulu melalui surat izin operasi yang disebut SIO. Pihak RSUD. Dr. Djoelham Binjai memberikan surat permohonan izin operasi tersebut setelah selesai melakukan tindak operasi tersebut.156

Kejadian ini dapat dikategorikan pada perbuatan melawan hukum, Jika terjadi hal buruk terhadap ibu tersebut maka dokter dikatakan salah pada tidakan medisnya karena tidak melalui persetujuan pihak keluarga ibu tersebut. Beruntungnya sang Ibu dan anak tersebut selamat sehingga tidak terjadi sengketa terhadap dokter dan pasien.

Dari kasus diatas penyelesaian perkara di RSUD Dr. Djoelham diselesaikan dengan cara kekeluargaan dan dengan cara damai tanpa menimbulkan sengketa yang berkepanjangan. Pengaduan atau komplen pasien bahkan belum pernah ada kasus perkara antara dokter dengan pasien yang sampai pada proses persidangan. Hal ini patut dibanggakan karena dengan tidak ada nya

155

Wawancara Pasien, pada tanggal 19 Maret 2014, di Jl.Gunung Rinjani No.1A Binjai. 156


(2)

komplen dari masyarakat membuktikan profesionalitas profesi yang ada di RSUD. Dr. Djoelham Binjai. Semoga ini dapat terus dipertahankan oleh pihak rumah sakit dan dapat dijadikan contoh bagi rumah sakit yang lainnya.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan diatas, penulis berkesimpulan:

1. Hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam transaksi terapeutik dapat terjadi karena adanya perjanjian dan keadaan gawat darurat. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien menimbulkan hak dan kewajiban para pihak, dalam hal ini informend consent memegang peranan penting dalam pelaksanaan hubungan hukum tersebut. Karena dengan adanya akta persetujuan medis tersebut akan memperjelas hubungan hukum yang terjalin antar dokter dengan pasien

2. Tanggung jawab dokter dalam transaksi terapeutik muncul karena adanya kelalaian atau malperaktek oleh dokter yang mengakibatkan kerugian bagi pasien, sehingga pasien meminta pertanggung jawaban dan ganti rugi atas derita yang dialaminya. Pada perakteknya apabila dokter melakukan sebuah kelalaian dan malpraktek, maka pertanggung jawaban yang


(3)

dilakukan dokter dapat berbagai macam bentuk sesuai dengan keputusan Mahkamah Etik Kedokteran. Sanksi dapat berbentuk permohonan maaf lisan maupun tulisan,ganti rugi biaya pengobatan pasien yang dirugikan, sanksi administratif dan sanksi terberat bagi dokter pencabutan izin peraktek kedokteran.

3. Penyelesaian perkara-perkara perdata antara dokter dengan pasien dalam transaksi terapeutik, diprioritaskan secara kekeluargaan diluar pengadilan. Jarang sekali pasien yang menggugat dokter secara perdata maupun pidana. Jika terjadi komplen dari pasien mengenai terapi dokter ataupun pelayanan medis lainnya pada perakteknya pasien memilih diam ataupun menyelesaikan perkara tersebut langsung dengan dokter dengan cara berdamai secara kekeluargaan. Namun jika pasien merasa tidak puat atas penyelesaian sengketa antara dokter dan pasien dapat menggugat dokter keranah pengadilan agar mendapat kepastian hukum.

B. SARAN

1. Dokter dan Rumah sakit harus membuat akta perjanjian atau komitmen yang tegas kepada pasien tentang tindakan medis dan risiko yang akan terjadi terhadap pasien.

2. Dokter dan tenaga kesehatan harus memberikan informend consent kepada pasien dan menjelaskan dengan rinci apa yangmenjadi tanggung jawab dokter dan mana yang menjadi risiko dari tindakan medis. Agar jika terjadi sengketa mudah untuk dilakukan pembuktian.


(4)

3. Penyelesaian perkara antara dokter dengan pasien baiknya dilakukan dengan cara kekeluargaan. Agar tetap terjaga hubungan baik dan rasa saling percaya antara dokter dengan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU - BUKU

Ady, Sunarto Wibowo, Hukum Transaksi Terapeutik di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan: 2009

Ameln , Fred, Kapita Selekta Kedokteran di Dunia Internasional, Makalah dalam Sinopsium Hukum Kedokteran, Medical Law, Jakarta: 1983.

---, Hukum Kesehatan Suatu Pengantar, Makalah dalam Sinopsium Hukum Kedokteran, BPHN Dep.Kes IDI, Jakarta: 1983.

Bruggink, JJ, Refleksi Tentang Hukum, Cipta Aditya Bhakti, Bandung: 1996. Darus, Mariam Badrulzaman, Perjanjian Kredit BANK, Alumni, Bandung: 1993. ---, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti,

Bandung: 2001.

Erawati, Elly dan Herlin Budino, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, Alumni, Bandung:2001.

Fuady, Munir, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bhakti, Bandung: 1999.

---, Hukum Kredit Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bhakti, Bandung: 2001.

---, Sumpah Hipocrates, Aspek Hukum Malperaktek Dokter, Citra Aditya Bhakti, Bandung: 2005.

Guwandi, J, Tindakan Medis dan Tanggung Jawab Produk Medis, Fakultas Kedokteran Unniversitas Indonesia, Jakarta: 1993.

---, Dokter Pasien Hukum, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 2003.

Hadiati, Hermein Koeswadji, Hukum Kedokteran di Dunia Internasional, dalam Sinopsium Hukum Kedokteran, Medical Law, Jakarta: 1983.

---, Hukum Kedokteran, Citra Aditya Bhakti. Bandung: 1988.

---, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Jakarta: 1998.

Hadiyanto, Bantuk Tartojo, Aspek Hukum Pada Pelayanan Kesehatan, Pencegahan Malperaktek, IDI Jateng, BP. UNDIP, Semarang:2005.


(5)

Hanafiah, Jusuf, dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta: 2008.

Harjowidgji, Rooseno, Prespektif Peraturan Franchise, BPHN, Jakarta: 1993. Hs, Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta: 2003.

Kansil, C.S.T, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Pedata, Pradnya Paramita, Jakarta: 2006.

Komalawati, Veronica, Peran informend Consent dalam Transaksi Terapeutik, Citra Aditya Bhakti, Baandung: 2002.

Kusuma, Endang Astuti, Hubungan Hukum antara Dokter dengan Pasien dalam Upaya Pelayanan Medis, UNDIP, Semarang: 2003.

Kusuma, Ratih Wardhani, Tinjauan Yuridis Persetujuan Tindakan Medis

(Informend Consent) di RSUP Dr. Kariadi, Tesis Mkn, Universitas

Diponegoro, Semarang: 2009.

Lubis, Solly, Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional, BPHN, Depkeh, Jakarta:1995.

Lumenta, Benyamin, Pasien, Citra Peran dan Perilaku, Liberty, Yogyakarta:1989.

Mahmud, Syahrul, Aspek Huum dalam Medical Malpractice Varia Peradilan, IKAHI, Jakarta: 2007.

Merto, Soedikno Kusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta: 1984.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung: 2000.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003.

Prokodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung: 1981. Patrik, Purwahid, Asas Itikad Baik danKepatutan dalam Perjanjian, Fakultas

Hukum Universitas Diponegoro, Semarang: 1962.

---, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung: 1994. Pius, A Partono, . Dahlan dan Al Berr, Kamus Ilmiah Favorit, Anka, Surabaya:

1994.

Qirom, A Syamsuddin, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberti, Yogyakarta: 1985.

Remy, Sutan Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Pembangunan Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir, Jakarta: 1993.

Rahman, Hasanuddin, Legal Drafting, Citra Aditya Bhakti, Bandung:2002.

Satrio, J, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku I, Citra Aditya Bhakti, Bandung: 1995.

---, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung: 1996. ---, Hukum Perikatan Buku II, Citra Aditya Bhakti, Bandung: 1998. Soeharnoko, Hukum Perjanjian, Prenda Media, Jakarta: 2004.

Soekanto, dan Herkuntanto, Pengantar Hukum Kesehatan, Remaja Karya, Bandung: 1987.


(6)

---, Segi-Segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, Mandar Maju, Bandung: 1990.

Sofwan, Dahlan, Hukum Kesehatan Rambu-Rambu dalam Profesi Dokter, Universitas Diponegoro, Semarang: 1999.

Subekti, R, Pembinaan Hukum Nasional, Intermasa, Bandung: 1982. ---, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung: 1986. ---, Hukum Perjanjian, Intermasa, Bandung: 2002.

Sumantri, Sri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Alunmi, Bandung: 1971. Syahriani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung:

2006.

Widjaja Gunawan, Hapusnya Perikarikatan, Grafindo Persada, Jakarta: 2003. Yahya, Muhammad Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung:

1986.

Yunanto, Pertanggung Jawaban Dokter dalam Transaksi Terapeutik, Tesis Mkn, Universitas Diponegoro, Semarang:2009.

PERATURAN-PERATURAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Keputusan Menteri Kesehatan R.I Nomor: 434/Men.Kes/SK/X/1983 Tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan R.I Nomor: 585/Men.Kes/Per.IX/1989 Tentang

Persetujuan Tindakan Medis.

Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.

Undang-Undang Nomor: 29 Tahun 2004 Tentang Peraktek Kedokteran. Undang-Undang Nomor.44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.

INTERNET