Analisis Keragaman Fenotifik 47 Aksesi Sumber Daya Genetik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Asal Kamerun

  TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

  Dalam Latiff (2000) menyatakan bahwa famili Palmae atau Aracaceae genus Elaeis ini dikelompokkan, diperkirakan berusia sama tuanya dengan famili atau tanaman berbunga yang fosilnya ditemukan pada batuan Cretaceous yang berusia kurang lebih 120 juta tahun. Banyak taksonomis tanaman yang mempercayai bahwa monokotiledon yang pertama telah bercabang keluar dari cadangan dikotiledon primitif yang merupakan nenek moyang dari semua monokotiledon. Garis perkembangan keturunan dari genus Elaeis dapat diGambarkan dalam bagian skematik seperti Gambar berikut:

  Primitive Dicots (extinct)

  Ancestral Complex of Monocots (extinct)

  Superorder Arecidae Other superorder complexes Order Arecales

  Other order complexes Family Arecaceae

  Other family complexes Sub Family Cocoideae Other subfamily complexes Genus Elais

  Other genera complexes Species

  E. guineensis

  Jacq (West Africa)

  E . oleifera (H.B.K.) Cortes (Central and South Africa) Gambar 1. Skema Perkembangan Genus Elaeis

  Genus Elaeis yang termasuk ke dalam sub famili Cocoidae, yang termasuk juga kelapa sayur, yang dipercaya berasal baik dari Afrika atau Amerika dan merupakan satu dari 240 genera famili Arecaceae yang tidak bisa terlihat pada isolasi dari genera yang lain disebabkan oleh tingginya tingkat homogenitas diantara kromosom dari tanaman palma. Spesies pertama dari genus E. guineensis dinyatakan oleh Jacquin tahun 1763. Spesies kedua merupakan E. oleifera (H.B.K) Cortes, kelapa sawit Amerika Selatan biasanya disebutkan sebagai

  

E.melanococca dan digunakan oleh Gaertner pada tahun 1897 (basionymnya mula

  • – mula disebutkan sebagai Alfonsia oleifera), oleh H.B.K. di tahun 1816). Spesies ini dibedakan dari E. guineensis oleh batangnya pertama
  • – tama tegak, segera selanjutnya menjadi terbaring, dan pertumbuhannya lambat. Daunnya berlekatan pada satu bidang dan tidak ada pembengkakan didasarnya, duri pada batang pelepah pendek dan tajam; seludang bunga betina keras, tandan buah mengerucut, dengan mesokarp yang tipis, sewaktu matang berwarna kuning pucat sampai oranye cerah. Selanjutnya ia dikelompokkan pada genus yang lain dan dirujuk sebagai Corozo oleifera oleh (H.B.K.) Bailey.

  Sumber Daya Genetik, Morfologi, dan Fisiologi Tanaman Kelapa Sawit

  Dalam Rajanaidu, et al (2000) bahwa famili Palmae (monocotyledon) dikelompokkan ke dalam enam sub famili. Sub famili Arecordeae dikelompokkan lebih jauh lagi menjadi suku dan sub suku. Genus Elaeis dan Barcella jatuh ke dalam suku Cocoeae dan sub suku Elaeidinae. Genus Elaeis terdiri atas dua spesies, yaitu E. guineenis dan E. Oleifera (2n = 32). Dilaporkan juga bahwa panjang kromosom kelapa sawit berkisar 1.00 m

  • – 3.89 m. Jumlah DNA dalam nukleus diploid dari E. guineenis diperkirakan sekitar 2 picogram yang diperoleh

  9

  dengan perhitungan satu genom berukuran sekitar 1.8 x 10 pasangan basa. Tidak ada perbedaan dalam penjang kromosom antara E. guineenis dan E. Oleifera.

  Tanaman kelapa sawit dipercaya berasal dari Afrika Barat meski demikian patut diperhitungkan Amerika Selatan sebagai awalnya. E. oleifera merupakan endemik untuk Amerika Tengah dan Selatan dan telah berhibiridisasi dengan E. guineensis.

  Menurut Latiff (2000) pelepah kelapa sawit terdiri dari helaian daun, yang memiliki lamina dan tulang daun, rakis dimana helaian daunnya melekat, pangkal daun dan seludang pelepah. Hanya sisa dari seludang pelepah yang tampak secara kasat mata; pada pelepah yang sedang berkembang seludang berbentuk tabung, menyelubungi sepenuhnya, namun sejalan dengan berkembangnya pembungkusan oleh seludang akan terhenti, seludang yang berserat akan memisah dan pecah, meninggalkan bentuk sebarisan duri dikedua pinggiran pelepah yang merupakan awal dari seludang berserat tersebut. Helaian daun panjang, berkisar dari 55 cm sampai dengan 65 cm dan sering juga berukuran 100 cm dan sempit dengan lebar berkisar 2.5 cm sampai dengan 4.0 cm dan tulang daun di laminanya. Kutikulanya tebal, dan memiliki ketahanan yang tinggi terhadap difusi uap air. Stomata hanya terletak di bawah permukaan daun. Helaian daun tersusun bergantian dalam dua bidang. Duri pendek sering dijumpai pada dasar pelepah dan juga pada spikelet bunga. Mahkota terdiri dari 40

  • – 50 pelepah yang terbuka dan dalam kerucut pusat yang lebih lanjut terdapat 40
  • – 50 dalam berbagai tingkat perkembangan. Dua selubung rudimenter, terkadang tiga dihasilkan oleh bibit sebelum pelepah pertama keluar dari mahkota, dan satu pelepah dihasilkan per bulan sampai bibit berusia enam bulan; saat beberapa pelepah sempurna dan berbentuk runcing, selanjutnya helaian daun terbawah tulang daunnnya akan berbelah pada kurang
lebih setengah panjangnya; berikutnya pelepah akan berpecah ditulang daun, membentuk anak daun yang masih bergabung pada ujung daun; selanjutnya pelepeah memiliki anak daun yang seluruhnya bebas. Jumlah pelepah yang dihasilkan setahun meningkat sebesar 30

  • – 40 pada umur 3 – 4 tahun dan akhirnya akan menurun menjadi 18 – 25 daun.

  Berdasarkan hasil penelitiannya Maizura et al (2006) menemukan bahwa hasil analisa keragaman dari plasma nutfah lainnya yang berasal dari Nigeria, Congo DR, Tanzania, Angola, Senegal, Sierra Leone dan Guinea menunjukkan bahwa populasi liar ini memiliki alel asing yang tidak dimiliki oleh populasi Deli Dura. Ada lima alel yang hilang dalam populasi ini dan diasumsikan bahwa hal ini terjadi akibat pengurangan oleh seleksi (selection drift) dalam proses pemuliaan. Hal ini merupakan penjelasan yang masuk akal untuk fenomena yang terjadi dalam kelapa sawit. Seleksi yang intensif telah dilakukan dalam populasi kelapa sawit selama bertahun

  • – tahun. Bahan tanaman ini hanya membawa sekumpulan alel saja yang hadir di generasi tetuanya. Beberapa alel hilang disebabkan oleh proses seleksi dalam proses program pemuliaan tanaman kelapa sawit. Secara umum untuk semua peubah keragaman genetik yang dihitung, koleksi sumber daya genetik yang diamati menunjukkan tingkat polimorfik yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi Deli Dura. Berdasarkan hasil penelitian ini, polimorfisme kelapa sawit dari Nigeria memiliki nilai tertinggi 67.2%, diikuti dengan Kamerun 65.5%, Kongo DR 62.1%, Tanzania 62.1%, Angola 56.9%, dan Madagaskar 46.6%. Pola yang sama juga muncul pada negara – negara yang berlokasi di bagian barat dari daerah penyebaran kelapa sawit. Kecuali untuk Ghana, tingkat polimorfisme tertinggi diamati pada populasi dari
Sierra Leone, diikuti oleh Guinea dan Senegal (masing

  • – masing 51.7 dan 55.2%) dan yang terakhir Gambia.

  Otitoju dan Onwurah (2010) menyebutkan bahwa produktivitas tanaman merupakan suatu proses yang unik yang sangat tergantung pada jumlah klorofil yang ada di dalam kloroplas. Klorofil merupakan pigmen yang memberikannya karakter warna hijau, yang memainkan peranan yang unik dalam fisiologis, produktivitas, dan ekonomi dari tanaman hijau termasuk Elaeis guineensis. Adapun jumlah klorofil dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi dan cekaman lingkungan seperti kekeringan, salinitas, polusi, minyak dan lain sebagainya.

  Hal ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Breure (2003) bahwa magnesium merupakan komponen penting dari klorofil, sehingga kekurangannya dapat menyebabkan pengurangan fotosintesis. Kekurangan Mg biasa ditemukan

  • – pada tanaman kelapa sawit dan pemberian pemupukan biasanya efektif. Akhir akhir ini ditemukan bahwa hasil analisa regresi berganda indukan dura dan pisifera bertanggung jawab terhadap 80% keragaman produksi dari turunan Teneranya pada lingkungan dengan jenis tanah vulkanik muda. Dengan demikian seleksi untuk kadar Mg cenderung merupakan pendekatan yang memungkinkan pada lingkungan yang sulit untuk menaikkan kadar Mg daun melalui pemberian pemupukan mineral.

  Analisis Keragaman Fenotifik Kelapa Sawit

  Dalam Purwantoro et al (2005) kekerabatan secara fenotipe merupakan kekerabatan yang didasarkan pada analisis sejumlah penampilan fenotipe dari suatu organisme. Hubungan kekerabatan antara dua individu atau populasi dapat diukur berdasarkan kesamaan sejumlah karakter dengan asumsi bahwa karakter- karakter berbeda disebabkan oleh adanya perbedaan susunan genetik. Gen merupakan potongan DNA yang hasil aktivitasnya (ekspresinya) dapat diamati melalui perubahan karakter morfologi yang dapat diakibatkan oleh pengaruh lingkungan. Hubungan kekerabatan tersebut dapat dipelajari dengan menggunakan penanda sebagai alat untuk melakukan karakterisasi genetik pada tanaman kelapa sawit karakter dari pelepah kelapa sawit seperti pengukuran karakter daun (panjang pelepah, jumlah pelepah, tebal dan lain

  • – lain), nisbah kelamin dan lainnya.

  Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Purba et al, 2000 bahwa induk dalam populasi Deli terkelompok secara erat, yang mencerminkan dasar genetik yang sempit. Keragaman fenotifik antar induk dalam populasi ini mungkin disebabkan oleh tingginya heterozigositas dari empat tetuanya. Adanya kemiripan antara Kamerun dan populasi Deli cukup mengejutkan, disebabkan Populasi Deli dipercaya berasal dari bagian lain Afrika. Bahan tanaman “Kamerun” diintroduksi ke Indonesia oleh perusahaan perkebunan Jerman pada tahun tiga puluhan. Diduga bahan tanaman itu berasal dari Kamerun disebabkan negara ini dijajah oleh Jerman pada waktu tersebut.

  Bakoume (2011) menyebutkan bahwa bervariasinya keragaman alel berdasarkan nilai absolut dari nilai Ae (jumlah alel efektif) dalam daerah penyebaran populasi kelapa sawit Afrika kemungkinan besar disebabkan oleh pergeseran genetic (genetic shift), seleksi alam dan campur tangan manusia yang beragam dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Pengaruh jangka panjang dari pergeseran genetik adalah mengurangi keragaman dalam suatu populasi; hal ini menyebabkan hilangnya suatu alel dari populasi tersebut. Bertahannya tipe buah kelapa sawit tertentu dalam hutan alaminya ditentukan oleh seleksi alam.

  Kebanyakan bunga betina dari pisifera secara nyata akan mengalami busuk secara dini sementara beberapa buah masak yang dihasilkan membusuk sebelum benih

  • – berkembang menjadi bibit. Hal ini merupakan seleksi yang tetap terhadap gen gen pisifera. Merupakan suatu keistimewaan tersendiri pada seleksi alam bahwa kebanyakan populasi liar hutan kelapa sawit didominasi oleh jenis Dura. Hal ini diasumsikan terjadi karena cangkang yang tebal dari buah Dura memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap gangguan binatang maupun manusia, dan kekeringan. Proporsi jenis Tenera biasanya beragam secara luas dan diasumsikan sebagai suatu ukuran jumlah seleksi yang telah berlangsung pada daerah tersebut baik yang disengaja maupun tidak disengaja oleh manusia. Praktek ini mampu merubah frekuensi dari ekspresi berbagai tipe buah yang mempengaruhi kelangsungan dari gen
  • – gen tertentu. Sehingga beberapa gen yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan bisa saja tereliminasi dari populasi tertentu. Pola distribusi secara geografis juga merefleksikan pengaruh dari seleksi manusia dalam lingkungan khusus sama halnya dengan perkembangan suatu jenis tanaman pada lokasi yang berbeda. Nilai rerata dan jumlah alel per lokus efektif yang nyata rendah pada bahan genetik Deli (ma
  • – masing 76% dan 79% untuk nilai rerata A dan Ae pada penelitian ini) sejalan dengan sempitnya keragaman
dasar alelik dari populasi ini yang diturunkan hanya dari empat tanaman kelapa sawit yang diintroduksi pada tahun 1848 di Bogor, Indonesia. Rendahnya nilai ini juga menggambarkan seleksi yang berlangsung bertahun

  • – tahun yang mengarah pada tersingkirnya alel – alel tertentu.

  Menurut Rajanaidu et al (2000) diketahui secara umum bahwa sempitnya cadangan gen merupakan tantangan utama untuk kemajuan seleksi pada tanaman kelapa sawit. Keadaan ini memberikan dorongan untuk mencari bahan genetik kelapa sawit dari lingkungan alaminya. Setelah perang dunia kedua bahan genetik kelapa sawit di Kongo diambil dari beberapa lokasi. Antara 1961

  • – 1965, pemulia dari NIFOR (Nigerian Institute for Oil Palm Research) mengumpulkan koleksi bahan genetik kelapa sawit dari pasar lokal dan melalui kepala desa. Bahan tanaman ini kemudian berada di NIFOR. Tujuh puluh dua turunan persilangan terbuka diamati dan tanaman yang terunggul diintroduksi ke dalam program pemuliaan. Blaak (1967) mengambil bahan tanaman di Dataran Tinggi Bamenda di Kamerun dan beberapa diantaranya ditanam di Lobe, Kamerun dan sebagian lainnya disebarkan ke berbagai tempat. Di Pantai Gading, pekerja kelapa sawit Perancis secara sistematis mengamati kelapa sawit liar dan tanaman terpilih dilakukan pengujian keturunan untuk nilai pemuliaannya. Yang paling akhir

  Institute de Reseherches pour les Huiles et Oleagineux (IRHO) memilih 38 tanaman di Pobe dan Dahomey dan empat pohon di Bingerville Pantai Gading.

  Dan ini membentuk persediaan dasar genetik mereka. Program sumber genetik meliputi lima langkah utama, adalah masing

  • – masing:
Koleksi Plasma Nutfah Karakterisasi

  Evaluasi Pemanfaatan

  Konservasi Menurut Soedomo (2006) salah satu cara untuk memperluas keragaman genetik adalah dengan melakukan introduksi tanaman. Namun tidak semua sumber genetik hasil introduksi dapat berkembang dengan baik di Indonesia, sehingga diperlukan adanya persilangan

  • – persilangan dengan jenis lokal. Potensi genetik dari varietas
  • – varietas ini belum teridentifikasi, oleh sebab itu sebelum kita menggunakan sumber genetik tersebut sebagai tertua persilangan perlu dievaluasi terlebih dahulu.

  Maizura (2006) menyatakan bahwa di Malaysia sumber daya genetik kelapa sawit tetap dipertahankan diluar lingkungan aslinya pada kebun koleksi telah dikarakterisasi dengan dengan menggunakan beberapa tipe penanda. Usaha pertama yang dilakukan dipusatkan pada sifat

  • – sifat morfologis. Beberapa tanaman dari plasma nutfah ini menunjukkan produksi yang lebih tinggi, pertumbuhan tinggi yang lambat, nilai bilangan iodine yang tinggi, kandungan kernel yang tinggi dan vitamin E yang tinggi.

  Karakterisasi dan kuantitifikasi dari keragaman genetik sejak dahulu merupakan tujuan utama dalam program pemuliaan tanaman kelapa sawit.

  Ketersedian informasi keragaman genetik diantara aksesi kelapa sawit penting untuk penggunaan yang masuk akal dari sumber genetik. Lebih dalam lagi, analisis keragaman genetik baik dalam maupun diantara bahan tanaman elit merupakan ketertarikan mendasar bagi para pemulia sebab hal ini memberikan masukan bagi pengamatan plasma nutfah dan berguna untuk menduga potensi kemajuan genetik (Zulhermana et al, 2010).

  Peubah “asal-usul geografis” telah digunakan secara luas oleh pemulia tanaman kelapa sawit, menjadi kriteria yang penting untuk seleksi populasi saat pembedaan berdasarkan agro morfologi. Dalam skema Seleksi Berulang Timbal Balik (SBB), pemisahan populasi berdasarkan asal geografisnya mampu mengeksploitasi sumber keragaman genetik yang lebih besar dari koleksi plasma nutfah. Penggunaan “asal geografis” sebagai sumber keragaman genetik dari bahan tanaman kelapa sawit sering digunakan sebagai salah satu cara terbaik untuk menilai plasma nutfah kelapa sawit baru sebelum diintroduksikan ke dalam skema SBB. Penanda molekuler merupakan alat terkini yang digunakan dalam pembedaan populasi jika teknologi ini tersedia. Namun demikian, pada tahap awal penerapan pembedaan berdasarkan “asal geografis” sebagai kriteria untuk pemisahan populasi dapat digunakan sementara biaya untuk memperoleh dan mengeksploitasi dan sering kali fasilitas untuk penanda molekuler belum ada (Allou et al, 2009)