Analisis Histologi Embriogenesis Somatik Dari Apikal Bud Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) var Tenera

(1)

TENERA

TESIS

Oleh

TENGKU NILAYANDA MEILVANA

117030003

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS HISTOLOGI EMBRIOGENESIS SOMATIK DARI

APIKAL BUD KELAPA SAWIT (

Elaeis guineensis

Jacq.) var.

TENERA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Magister Sains dalam Program Studi Biologi pada Sekolah

Pascasarjana Fakutas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Oleh

TENGKU NILAYANDA MEILVANA

117030003

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN

Judul Tesis : Analisis Histologi Embriogenesis Somatik Dari Apikal Bud Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) var Tenera Nama Mahasiswa : Tengku Nilayanda Meilvana

NIM : 117030003

Program Studi : Magister Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Dr. Suci Rahayu, M.Si) (Dr. Fauziyah Harahap, M.Si) NIP. 196506291992032002 NIP. 196607281991032002

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed) (Dr. Sutarman, M.Sc.) NIP.196602091992031003 NIP. 196310261991031001


(4)

ANALISIS HISTOLOGI EMBRIOGENESIS SOMATIK DARI APIKAL BUD KELAPA SAWIT (Elaeis guinensis Jacq) Var TENERA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, Oktober 2014

Tengku Nilayanda Meilvana NIM.117030003


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Tengku Nilayanda Meilvana NIM : 117030003

Program Studi : Magister Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif (Non-exlusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul :

ANALISIS HISTOLOGI EMBRIOGENESIS SOMATIK DARI APIKAL BUD KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) VAR TENERA

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini diperbuat dengan sebenarnya.

Medan, Oktober 2014

Tengku Nilayanda Meilvana NIM.117030003


(6)

Telah diuji pada

Tanggal : 12 Februari 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Suci Rahayu, M.Si

Anggota : 1. Dr. Fauziyah Harahap, M.Si

2. Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed 3. Dr. Saleha Hannum, M.Si


(7)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap berikut gelar : Tengku Nilayanda Meilvana, S.Pd Tempat dan Tanggal lahir : Medan, 09 Mei 1980

Alamat Rumah : Jl. Almunium I gg. Keluarga No 5 LK 13 Medan 20241

HP : +6282166020590 e-mail : nilayanda@gmail.com

Instansi Tempat Bekerja : SMA TAMAN SISWA MEDAN

DATA PENDIDIKAN

SD : Swasta Islam Azizi Medan Tamat : 1992 SMP : Negeri 10 Medan Tamat : 1995 SMA : SMAK Dharma Analitika Medan Tamat : 1998 Strata-1 : FMIPA UNIMED Tamat : 2005 Strata-2 : FMIPA USU Tamat : 2014


(8)

yang memberikan kesehatan dan nikmat kepada penulis sehingga hasil penelitian ini dapat diselesaikan dengan waktu yang direncanakan.

Penelitian ini berjudul Analisis Histologi Embriogenesis Somatik dari

Apikal Bud kelapa sawit (Eleais guneensis Jacq.) var. Tenera. Dengan selesainya penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara atas kesempatan untuk melanjutkan pendidikan yang diberikan kepada penulis melalui beasiswa Bapeda. Penulis juga berterima kasih yang tak terhingga kepada Ibu Dr. Suci Rahayu, M.Si selaku pembimbing I dan memberikan program dana hibah pasca dalam penelitian ini, dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan dan bimbingan, demikian juga penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibu Dr. Fauziyah Harahap, M.Si selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada penulis dalam penyusunan hasil penelitian. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed selaku penguji I dan Ketua Program Studi Magister Biologi serta ibu Dr. Saleha Hannum, M.Si selaku penguji II yang telah banyak memberikan saran dan arahan demi penyempurnaan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Program studi Magister Biologi dan kepada Dekan FMIPA Universitas Sumatera Utara Dr. Sutarman, M.Sc.

Ucapan terima kasih yang mendalam penulis ucapkan kepada ayahanda Ir. Tengku Achmad Syafei dan Ibunda Rosnawaty serta ayahanda H. Jasmin SE dan Ibu Hj. Salbiah yang telah memberikan doa, nasehat, motivasi, dalam menyelesaikan penelitian ini. Kepada keluarga, suami Taufik S.Sos dan anak-anak tercinta Zulfikar Ali dan Shabrina Izzatunisa yang selalu memberikan doa dan dukungannya dalam menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih atas segala pengorbanan baik berupa moril maupun materi, budi baik yang tidak dapat dibalas hanya Allah SWT yang dapat membalasnya.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan hasil ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan hasil ini. Kiranya hasil penelitian ini bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.


(9)

ABSTRAK

Penelitian yang berjudul “Analisis Histologi Embriogenesis Somatik dari Apikal Bud

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) var. Tenera telah dilakukan di laboratorium

Kultur Jaringan FMIPA USU dari bulan Juni sampai dengan bulan Desember 2013. Tujuan penelitian ini adalah mencari konsentrasi zat pengatur tumbuh terbaik dan posisi eksplan terbaik dari apikal bud kelapa sawit var Tenera dengan penambahan arang aktif sebanyak 2 g/L dalam medium Y3 mampu menginduksi kalus primer dan kalus embriogenik somatik. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan faktor I taraf konsentrasi 2,4-D yaitu 110 mg/L, 120 mg/L, 130 mg/L dan faktor II posisi eksplan yang berbeda yaitu apikal, median, dan basal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi 2,4-D terbaik dalam menginduksi kalus primer dan kalus embriogenik adalah konsentrasi 2,4-D 130 mg/L dan posisi eksplan terbaik dalam menginduksi kalus primer dan kalus embriogenik yang berasal dari posisi segmen basal. Dari analisis histologi ditemukan fase globular dengan karakteristik memiliki sel meristem yang menyebar, jaringan prokambial, dan protoderm terdiri dari satu lapisan yang tersusun secara teratur.

Kata kunci : Apikal bud, Elaeis guineensis Jacq, Tenera, Embriogenesis somatik, histologi embrio somatik


(10)

HISTOLOGICAL ANALYSIS OF SOMATIC EMBRYOGENESIS FROM APICAL BUD OF OIL PALM (Elaeis guineensis Jacq.) var. TENERA

ABSTRACT

A study of Histological Analysis of Somatic Embryogenesis from Apical Bud of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) var. Tenera has been conducted at Plant Tissue Culture Laboratory of FMIPA USU. The experimental design was completely randomized with three levels of 2,4-D concentrations: 110; 120; 130 mg/L and three position of explants: apical, median, and basal. The statistical analysis showed that 120 mg/L of 2,4-D significantly affected the primary and embryogenic calluses initiation. Explants from basal position gave the best presentation of callus formation (23,5%). The histological analysis showed that somatic embryos formed at globular phase with meristematic tissue, procambial tissue and 1 layer of protoderm tissue.

Keywords: apical bud, histology analysis, oil palm, somatic embryogenesis, tenera


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Hipotesis 4

1.5 Manfaat Penelitian 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1 Klasifikasi Kelapa Sawit 6

2.2 Syarat Tumbuh Kelapa Sawit 6

2.3 Morfologi Kelapa Sawit 7

2.4 Kultur Jaringan 9

2.5 Sumber Eksplan 10

2.6 Embriogenesis Somatik 10

2.7 Kalus 11

2.8 Media 12

2.9 Zat Pengatur Tumbuh 12

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat 15

3.2 Alat dan Bahan 15

3.3 Rancangan Penelitian 15

3.4 Prosedur Kerja 15

3.4.1 Pembuatan Media 16

3.4.2 Sterilisasi Eksplan 16

3.4.3 Analisis Histologi 17

3.4.3.1 Fiksasi 17

3.4.3.2 Dehidrasi 17

3.4.3.3 Infiltrasi 17

3.4.3.4 Embedding 18


(12)

3.4.3.6 Penempelan Sayatan Pada Gelas Objek 18

3.4.3.7 Penjernihan 18

3.4.3.8 Pewarnaan 19

3.5 Parameter Pengamatan 19

3.6 Analisis Data 20

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 21

4.1 Waktu Pembentukan Kalus Primer 21

4.2 Persentase Eksplan yang Membentuk Kalus (%) 22

4.3 Pengaruh Konsentrasi 2,4-D dan Posisi Eksplan pada Induksi Kalus Primer

23

4.4 Waktu Pembentukan Kalus Embriogenik 25

4.5 Persentase Kalus Embriogenik 27

4.6 Pengaruh Konsentrasi 2,4-D dan Posisi Eksplan pada Induksi Kalus Embriogenik

28

4.7 Berat Basah Kalus Embriogenik 29

4.8 Berat Kering Kalus Embriogenik 31

4.9 Morfologi Kalus Primer dan Kalus Embriogenik 33

4.10 Karakteristik Histologi Embriogenik 35

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 38

5.1 Kesimpulan 38

5.2 Saran 38

DAFTAR PUSTAKA 39


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Rancangan Plot Perlakuan Posisi Eksplan dengan Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh

15 4.1. Rata-Rata Persentase Induksi Kalus Primer Kelapa Sawit

pada Beberapa Tingkat Konsentrasi 2,4-D dan Posisi Eksplan.

25

4.2. Pengaruh Posisi Eksplan dan Konsentrasi 2,4-D Terhadap Persentase Induksi Kalus Embriogenik.

29


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

4.1. Hubungan Rata-Rata Saat Terbentuknya Kalus Primer Pada Posisi Eksplan Dengan Zat Pengatur Tumbuh 2,4-D

22

4.2. Hubungan Rata-Rata Saat Terbentuknya Kalus

Embriogenik Pada Posisi Eksplan Dengan Zat Pengatur Tumbuh 2,4-D

27

4.3. Histogram Berat Basah Kalus pada Posisi Segmen Basal dengan Taraf Konsentrasi 2,4-D yang Berbeda

30 4.4. Histogram Berat Kering Kalus pada Posisi Segmen Basal

dengan Taraf Konsentrasi 2,4-D yang berbeda

32

4.5. Proses Kultur Apikal Bud Kelapa Sawit 35

4.6. Analisis Histologi Embrio Somatik Dari Segmen Basal Apikal Bud Kelapa Sawit Fase Globular


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Peta Alir Penelitian L-1

2 Komposisi Medium Y3 L-2

3 Karekteristik Embrio Somatik secara Morfologi dan

Histologi L-3

4 Data Pengamatan Waktu Terbentuknya Kalus Primer (HST) L-4

5 Data Persentase Konsentrasi 2,4-D dengan Posisi Eksplan terhadap Induksi Kalus Primer

L-4

6 Data Pengamatan Waktu Terbentuknya Kalus Embriogenik L-5

7 Data Persentase Konsentrasi 2,4-D dengan Posisi Eksplan

terhadap Induksi Kalus Embriogenik L-5

8 Master Tabel SPSS Saat terbentuknya Kalus Primer L-6

9 Analisis Varian Hubungan Konsentrasi terhadap Posisi Eksplan

L-8 10 Uji Homogenitas Posisi Eksplan dengan Konsentrasi 2,4-D L-8

11 Uji Lanjut Post Hoc Induksi Kalus Primer L-9

12 Uji Lanjut Post Hoc Konsentrasi 2,4-D terhadap Induksi Kalus Primer

L-9 13 Uji Lanjut Post Hoc Posisi Eksplan terhadap Induksi Kalus

Primer

L-10 14 MasterTabel SPSS saat Terbentuknya Kalus Embriogenik L-10

15 Analisis Sidik Ragam Kalus Embriogenik L-12

16 Uji Lanjut Post Hoc Kalus Embriogenik L-12

17 Data Berat Basah Kalus L-12

18 Analisis Sidik Ragam Berat Basah Kalus L-13

19 Data Berat Kering Kalus L-13

20 Analisis Sidik Ragam Berat Kering Kalus L-13


(16)

ABSTRAK

Penelitian yang berjudul “Analisis Histologi Embriogenesis Somatik dari Apikal Bud

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) var. Tenera telah dilakukan di laboratorium

Kultur Jaringan FMIPA USU dari bulan Juni sampai dengan bulan Desember 2013. Tujuan penelitian ini adalah mencari konsentrasi zat pengatur tumbuh terbaik dan posisi eksplan terbaik dari apikal bud kelapa sawit var Tenera dengan penambahan arang aktif sebanyak 2 g/L dalam medium Y3 mampu menginduksi kalus primer dan kalus embriogenik somatik. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan faktor I taraf konsentrasi 2,4-D yaitu 110 mg/L, 120 mg/L, 130 mg/L dan faktor II posisi eksplan yang berbeda yaitu apikal, median, dan basal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi 2,4-D terbaik dalam menginduksi kalus primer dan kalus embriogenik adalah konsentrasi 2,4-D 130 mg/L dan posisi eksplan terbaik dalam menginduksi kalus primer dan kalus embriogenik yang berasal dari posisi segmen basal. Dari analisis histologi ditemukan fase globular dengan karakteristik memiliki sel meristem yang menyebar, jaringan prokambial, dan protoderm terdiri dari satu lapisan yang tersusun secara teratur.

Kata kunci : Apikal bud, Elaeis guineensis Jacq, Tenera, Embriogenesis somatik, histologi embrio somatik


(17)

HISTOLOGICAL ANALYSIS OF SOMATIC EMBRYOGENESIS FROM APICAL BUD OF OIL PALM (Elaeis guineensis Jacq.) var. TENERA

ABSTRACT

A study of Histological Analysis of Somatic Embryogenesis from Apical Bud of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) var. Tenera has been conducted at Plant Tissue Culture Laboratory of FMIPA USU. The experimental design was completely randomized with three levels of 2,4-D concentrations: 110; 120; 130 mg/L and three position of explants: apical, median, and basal. The statistical analysis showed that 120 mg/L of 2,4-D significantly affected the primary and embryogenic calluses initiation. Explants from basal position gave the best presentation of callus formation (23,5%). The histological analysis showed that somatic embryos formed at globular phase with meristematic tissue, procambial tissue and 1 layer of protoderm tissue.

Keywords: apical bud, histology analysis, oil palm, somatic embryogenesis, tenera


(18)

1.1 Latar Belakang

Kelapa sawit merupakan tanaman utama perkebunan di Indonesia disamping karet, the, coklat dan lain-lain. Kelapa sawit mempunyai masa depan yang cukup cerah saat ini. Kelapa sawit ialah suatu jenis palma yang saat ini dikenal sebagai tanaman penghasil minyak terbesar per hektar per satuan luas. Produksi minyak yang tinggi masih menjadi fokus utama dalam program pemuliaan kelapa sawit. Memenuhi kebutuhan itu semua adalah dengan pengadaan bibit bermutu, seragam dan diperoleh dalam jumlah yang banyak.

Saat ini perbanyakan tanaman dapat dilakukan melalui organogenesis dan embriogenesis dengan teknik kultur jaringan. Teknik kultur jaringan telah terbukti dapat menyediakan bibit tanaman yang akan dieksploitasi secara luas karena dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan (Purnamaningsih, 2002). Karakter unggul varietas kelapa sawit dapat dilihat dari mutu genetik (potensi hasil benih), mutu fisiologis (daya tumbuh), dan mutu morfologis (keseragaman dan higienitas benih).

Berdasarkan ketebalan cangkang buah, kelapa sawit dapat dibedakan menjadi Dura (bercangkang tebal), Pisifera (tanpa cangkang), Tenera (bercangkang tipis). Saat ini jenis kelapa sawit yang banyak ditanam secara komersil adalah jenis Tenera yang merupakan hibrida dari Dura x Pisifera (DxP). Varietas Tenera lebih disukai untuk penanaman komersil karena kandungan minyak dalam mesokarpnya lebih tinggi dari Dura. Tenera dapat menghasilkan kadar minyak per tandannya berkisar 28% sedangkan jenis Dura hanya 18% per tandannya (Kiswanto et al., 2008)

Embriogenesis somatik pada kelapa sawit menjanjikan rute regeneratif, karena jalur morphogenetik dapat meningkatkan jumlah plantlet regenerasi dibandingkan dengan organogenesis (Steinmacher et al., 2007). Untuk


(19)

mendukung program pemuliaan tanaman penggunaan embrio somatik dapat mempercepat keberhasilan dengan peluang transformasi yang lebih tinggi karena embrio somatik dapat berasal dari satu sel somatik. Embrio somatik dianggap bahan tanaman yang ideal untuk disimpan karena bila diregenerasikan dapat membentuk bibit somatik (Purnamaningsih, 2002).

Dalam kultur jaringan penambahan zat pengatur tumbuh diberikan untuk memperoleh efek pertumbuhan (Pandiangan, 2011). Pada induksi kalus embriogenik, kultur umumnya ditumbuhkan di medium yang mengandung auksin yang mempunyai aktifitas kuat. Salah satu mekanisme, auksin dapat mengatur embriogenesis melalui asidifikasi pada sitoplasma dan dinding sel (Kutschera 1994). Konsentrasi auksin yang rendah akan meningkatkan akar adventif, sedangkan auksin konsentasi tinggi akan merangsang pembentukan kalus dan menekan morfogenesis (Smith, 1992).

Ada dua mekanisme yang penting dalam pembentukan sel embryogenesis yaitu, pembelahan sel asimetrik dan pemanjangan sel kontrol (De Jong et al.1993). Pembelahan sel asimetrik berkembang oleh zat pengatur tumbuh yang mengubah polaritas sel melalui interfensi dengan gradien pH disekitar sel (Smith & Krikorian 1990). Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan 2,4

Dichlorophenoxyacetic acid merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik (Purnamaningsih, 2002). Pannetier et al., (1991) menyatakan untuk menginduksi kalus yang embriogenik pada tanaman kelapa sawit dibutuhkan konsentrasi 2,4-D 80 - 100 mg/l. Sedangkan pada penelitian Thuzar et al., (2012) eksplan dari posisi yang berbeda pada segmen apikal, median, dan basal dari regenerasi plantlet kelapa sawit dikultur pada medium N6 dengan konsentrasi 2,4

Dichlorophenoxyacetic acid 100, 120, dan 140 mg/L. Untuk menghasilkan kalus embriogenik yaitu pada konsentrasi 2,4 Dichlorophenoxyacetic acid 120 mg/L adalah yang paling efektif (62,53%) dalam menginduksi kalus embriogenik dari segmen basal 5 bulan setelah inokulasi.

Analisis histologi dilakukan pada embrio somatik untuk melihat fase globular, skutelar berbentuk hati pada jaringan prokambial dan protoderm yang memiliki sel-sel meristematik. Analisis histologi dapat juga menunjukkan apakah


(20)

struktur yang diperoleh adalah normal atau dewasa, dan bagaimana sebenarnya embrio terbentuk. jika dibandingkan dengan model referensi (ontogenesis zigotik atau sistem terkontrol dengan baik mampu secara teratur menghasilkan embrio somatik) (Schwendiman et al., 1992).

Calon tanaman untuk produksi benih sintetik dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu 1) tanaman yang memiliki dasar teknologi yang kuat seperti yang kualitas tinggi embrio somatik saat ini dapat diproduksi, dan 2) tanaman dengan kuat dasar komersial (Redenbaugh et al., 1987). Kelapa sawit memenuhi dua kategori diatas, karena tinggi kualitas minyak sawit dari embriogenesis somatik yang telah berhasil dilakukan (de Touchet el al, 1991., Teixeira et al, 1993., 1995, Aberlenc-Bertossi et al., 1999) dan memiliki dasar komersial yang kuat. Berdasarkan latar belakang diatas penelitian ini menyajikan analisis histologi dari pembentukan dan perkembangan embrio somatik dari eksplan apikal bud kelapa sawit jenis Tenera.

1.2Perumusan Masalah

Karakteristik biologis dari kelapa sawit tidak memungkinkan perbanyakan vegetatif dengan cara hortikultura konvensional. Tingginya permintaan pasar akan bibit kelapa sawit yang bermutu, seragam dan diperoleh dalam jumlah yang banyak, maka salah satu cara untuk perbanyakan kelapa sawit adalah melalui embriogenesis somatik. Kloning kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq ) dilakukan dengan menginduksi embriogenesis somatik pada kalus yang berasal dari berbagai sumber jaringan. Apikal bud digunakan sebagai sumber eksplan karena bersifat meristematis, dimana sel-sel disegmen ini secara aktif membelah, sehingga memiliki potensi lebih besar dan bersifat embriogenik (Thuzar et al., 2012).

Teknik kultur jaringan menggunakan jaringan meristem biasanya dimanfaatkan untuk mendapatkan tanaman bebas virus. Menurut Schwabe (1984), bebasnya jaringan meristem dari infeksi virus disebabkan oleh sedikitnya vakuola yang dimiliki oleh sel-sel meristem, disamping terganggunya lintasan vascular didalam jaringan tersebut. Bajaj (1990) dalam Zulkarnain (2011) mengatakan bahwa kultur meristem menghindari terjadinya aberasi kromosom


(21)

dan perubahan-perubahan pada tingkat inti dan ploidi yang disebabkan oleh periode subkultur yang panjang. Hal itu dikarenakan sel-sel meristem secara genetik bersifat stabil.

Perlu dilakukannya analisis histologi pada embrio somatik untuk melihat fase globular, skutellar berbentuk hati pada jaringan prokambial dan protoderm yang memiliki sel-sel meristematik dengan pendekatan ini, fenomena sitologi yang terjadi selama eksplan kultur dan pembentukan kalus dan embrio mampu berkecambah dapat diselidiki. Penelitian ini, akan mengamati gambaran histologi eksplan apikal bud dalam menghasilkan kalus yang embriogenik dengan perlakuan zat pengatur tumbuh 2,4 Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D).

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Mengetahui konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4 Dichlorophenxyacetic acid (2,4-D) yang optimal dalam menginduksi kalus yang berasal dari eksplan apikal bud kelapa sawit jenis Tenera.

2) Mengetahui pertumbuhan terbaik apikal bud kelapa sawit jenis Tenera pada posisi eksplan yang berbeda untuk inisiasi kalus embriogenik.

3) Mengamati secara histologi kalus embriogenik pada apikal bud kelapa kelapa sawit jenis Tenera.

1.4 Hipotesis Penelitian

1) Zat pengatur tumbuh 2,4 Dichlorophenxyacetic acid (2,4-D) pada konsentrasi 130 mg/L efektif dalam menginduksi kalus yang berasal dari eksplan apikal bud kelapa sawit jenis Tenera.

2) Posisi eksplan daerah basal berpengaruh terhadap pertumbuhan terbaik untuk inisiasi kalus embriogenik.

3) Gambaran histologi kalus embriogenik dari eksplan apikal bud kelapa sawit jenis Tenera.


(22)

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat berupa :

1) Memberikan informasi tentang konsentrasi 2,4 Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) yang sesuai bagi eksplan apikal bud dalam proses regenerasi tanaman kelapa sawit jenis Tenera.

2) Memberikan informasi tentang posisi eksplan apikal bud sebagai sumber eksplan dalam proses regenerasi tanaman kelapa sawit jenis Tenera.

3) Memberikan informasi tentang gambaran histologi kalus embriogenik dari eksplan apikal bud kelapa sawit jenis Tenera.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq).

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) asal kata Elaeis dari kata Elaion (yunani) yang artinya minyak sedangkan Guineensis berasal dari kata Guinea (nama pantai barat Afrika, tempat pertama sekali kelapa sawit ditemukan), dan Jacq berasal dari nama penemunya Jacquin (botani Amerika). Genus Elaeis, yang termasuk family

Arecaceae, yang hanya terdiri dari 2 species tropikal. Elaeis guineensis Jacq.

berasal dari Afrika dan Elaeis oleifera berasal dari Amerika Latin. Hanya Elaeis guineensis yang memiliki daya tarik ekonomi yang tinggi, karena tingginya kandungan minyak, yang dihasilkan dari bagian mesokarp (minyak sawit) dan kernel minyak sawit (Cochard et al.,2009).

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) diketahui berasal dari Afrika. Secara morfologi kelapa sawit dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yakni Dura (bercangkang tebal), Pisifera (tanpa cangkang), Tenera (bercangkang tipis). Masing-masing tipe memiliki karekteristik buah yang berbeda, yang dijadikan sebagai basis dalam pemuliaan kelapa sawit.

2.2 Syarat Tumbuh Kelapa Sawit

Kelapa sawit adalah tanaman hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini sangat peka terhadap kondisi lingkungan dan perlakuan yang diberikan. Agar dapat mencapai produksi maksimal, kelapa sawit membutuhkan syarat tumbuh yang specifik. Kondisi iklim dan tanah merupakan faktor utama disamping faktor genetis.

Tanah yang baik untuk pertumbuhan Kelapa sawit ialah tanah gembur, subur, datar, berdrainase baik dan yang memiliki lapisan top soil yang dalam (80 cm) karena merupakan media yang baik bagi perkembangan akar sehingga penyerapan hara cukup tinggi, tekstur ringan berpasir 20 – 60%, berdebu 10 –


(24)

40%, tanah liat 20 – 50%. pH tanah sangat terkait dengan ketersediaan hara dalam tanah, pH optimum untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 5 – 5,5. Jenis tanah yang cocok untuk kelapa sawit adalah jenis tanah podsolik, latosol, hidromorfik kelabu, regosol, andosol, organosol, dan aluvial. Tanah tuf vulkanik muda yang berasal dari gunung berapi berstruktur remah, kosistensi lepas (teguh), kaya humus dan unsur hara sangat baik untuk kelapa sawit seperti tanah di Aceh, Sumatera Utara bagian Timur, dan Malaysia Barat.

Kelapa sawit tumbuh subur pada daerah beriklim tropis basah antara 120

LU – 120 LS pada ketinggian 0 – 500 m dpl. Beberapa unsur yang penting dan saling mempengaruhi adalah curah hujan, suhu, kelembapan udara, sinar matahari, dan kecepatan angin. Curah hujan optimum adalah 2000 – 2500 mm/thn, tidak memiliki defisit air. Temperatur optimum adalah 24 – 28 0 C, kelembaban sekitar 80% dan intensitas penyinaran matahari sekitar 5 – 7 jam/hari. Kecepatan angin 5

– 6 km/jam sangat baik untuk membantu proses penyerbukan. (Kiswanto et al., 2008).

2.3Morfologi Kelapa Sawit

1. Kecambah

Jika mendapat air yang cukup, daging biji (endoscarp) akan mengembang (swelling) kemudian lembaga akan berkecambah (germinating). Daging biji mengandung persediaan makanan yang diperkirakan mencukupi sampai akar mampu mencari makanan dan daun mampu melakukan fotosintesis. Biji kelapa sawit dikelilingi oleh kulit biji (cangkang) yang sangat keras sehingga lembaga dan daging biji sangat sulit mendapat air untuk mengembang dan selanjutnya berkecambah.

Benih kelapa sawit sangat sulit berkecambah dan tidak dapat tumbuh serempak, hal ini disebabkan karena benih kelapa sawit mempunyai sifat domansi akibat endokarpnya yang tebal dan keras, bukan disebabkan oleh embrionya yang dorman. Selain itu menurut penelitian Nurmailah (1999), pada tempurung benih kelapa sawit mengandung lignin yang cukup tinggi


(25)

yaitu 65 - 70%. Hal ini yang mengakibatkan biji kelapa sawit sangat lambat berkecambah.

2. Akar

Kelapa sawit adalah tanaman monokotil yang tentunya berakar serabut. Struktur akar terdiri dari akar primer yang tumbuh vertikal ke bawah, merupakan perkembangan lanjut dari radicula. Anatomi akar terdiri dari induk akar (tap-root), single fibre root dan lateral root. Yang berhubungan langsung dengan makan adalah lateral root sedangkan yang berhubungan dengan pembuluh adalah tap root. Selain sebagai pencari makanan akar juga berfungsi sebagai alat respirasi.

3. Batang

Batang kelapa sawit tumbuh vertikal ke atas (fototrofi) dibungkus oleh pangkal pelepah daun. Batang berbentuk silinderis dengan diameter 0.5 m pada tanaman dewasa. Meristem pucuk, terletak dekat ujung batang , dimana pertumbuhan batang sedikit membesar. Aktivitas meristem pucuk hanya memberikan sedikit kontribusi terhadap jaringan batang karena fungsi utamanya menghasilkan daun dan inflorescent bunga.

4. Daun

Daun kelapa sawit memiliki pangkal pelepah daun (petiole/axil) adalah tempat duduknya helaian daun (leaf let), terdiri dari rachis (basis folli), tangkai daun (petiole/petioles), duri (spine), helaian anak daun (lamina), ujung daun (apex folli), tulang daun (vein), tepi daun (margo folli), dan daging daun (intervenium). Fungsi utama daun adalah untuk fotosintesis dan alat respirasi. Daun sawit normal berwarna hijau tua.

5. Bunga

Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu (monoecius), artinya terdapat bunga jantan dan bunga betina pada satu pohon tetapi tidak pada tandan yang sama. Jenis kelamin bunga dapat dikenali setelah bunga menonjol di antara ketiak pelepah daun, sebelum seludang bunga terbuka. Cirri-ciri bunga jantan adalah berbentuk ramping (lonjong) memanjang, ujung kelopak bunga agak meruncing, dan diameter bunga lebih kecil


(26)

daripada bunga betina. Sedangkan bunga betina berbentuk bundar (oval), ujung kelopak bunga agak rata dan diameter bunga lebih besar. Perbedaan bentuk bunga sangat penting untuk diketahui dalam melakukan penyerbukan buatan (assisted pollination).

6. Buah

Anatomi buah kelapa sawit terdiri dari :

a. Kulit buah licin dan keras (epikarp atau kutikula),

b. Daging buah (mesokarp) yang terbentuk dari serabut-serabut (fibre) dan minyak,

c. Kulit biji (cangkang); tempurung berwarna hitam dan keras (endocarp),

d. Daging biji (endosperm) berwarna putih yang mengandung minyak, e. Lembaga (embrio).

Berdasarkan ketebalan cangkang buah, kelapa sawit dapat dibedakan menjadi Dura (bercangkang tebal), Pisifera (tanpa cangkang), Tenera (bercangkang tipis). Saat ini jenis kelapa sawit yang banyak ditanam adalah jenis Tenera yang merupakan hibrida dari Dura x Pisifera (DxP).

2.4Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah suatu teknik atau metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman, seperti protoplasma, sel, kelompok sel, jaringan dan organ kemudian menumbuhkan bagian tersebut pada media buatan yang mengandung kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam kultur jaringan ditentukan oleh sejumlah faktor antara lain :

a. Faktor genetik tanaman.

b. Nutrient, seprti makro dan mikro nutrient, air, gula, dan asam amino. c. Faktor fisik, seperti cahaya, temperature, dan pH.

d. Beberapa substansi organik seperti zat pengatur tumbuh, vitamin, senyawa organik dan anorganik.


(27)

e. Kandungan oksigen.

Manfaat utama dari tehnik kutur jaringan adalah perbanyakan klon atau perbanyakan massal dari tanaman yang sifat genetiknya identik satu sama lain.

2.5Sumber Eksplan

Penggunaan eksplan yang bersifat meristematik umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi. Sifat-sifat genetik jaringan meristem yang stabil, memungkinkan bagi dihasilkannya tanaman baru dengan sifat-sifat genetik yang identik dengan induknya. Stabilitas meristem ini ditentukan oleh sejumlah faktor diantaranya sel-sel meristem memiki mekanisme penggandaan DNA yang lebih efisien daripada sel-sel pada jaringan yang belum terorganisasi (misalnya kalus) sehingga kemungkinan terjadinya mutasi sangat kecil (Stafford, 1991). Eksplan yang digunakan dapat berupa aksis embrio zigotik muda dan dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil maupun hipokotil (Purnamaningsih, 2002). Ujung tunas dan ujung meristem adalah bagian paling popular sebagai sumber eksplan untuk inisiais kultur jaringan (Ahloowali, 2002).

2.6 Embriogenesis Somatik

Embriogenesis somatik adalah proses perkembangan dimana sel-sel somatik melalui proses restruktur untuk menghasilkan sel-sel embriogenik. Sel-sel ini kemudian melalui serangkaian perubahan biokimia dan morfologi yang menghasilkan pembentukan embrio somatik atau non-zigotik yang dapat berperan dalam regenerasi tanaman. Embriogenesis somatik mewakili lintasan perkembangan yang unik, termasuk sejumlah karakteristik dediferensiasi sel, aktivasi pembelahan sel, reprogram proses fisiologi sel, metabolisme dan pola ekspresi gen (Yang & Zhang, 2010). Embriogenesis somatik adalah proses perkembangan dimana sel-sel somatik berkembang menjadi struktur yang menyerupai embrio zigotik melalui serangkaian tahap karekteristik embriologis tanpa fusi gamet (Jimenez et al., 2001).

Teknik embrio somatik merupakan teknik perbanyakan secara in vitro dengan dasar menggunakan kalus somatik embriogenesis hasil seleksi ketat. Dari


(28)

seleksi ini didapatkan kalus yang berpotensi berkembang menjadi planlet. Keutamaan penggunaan embriogenesis somatik menguntungkan untuk dibudidayakan massa, program perbaikan genetik dan produksi pada sintetis bibit (Hartman et al., 1997) dalam Zulkarnain (2011).

Embriogenesis somatik adalah proses yang menakjubkan karena struktur bipolar pengolahan pucuk dan akar menyerupai embrio zigotik, adalah dihasilkan dari sel somatik (Mariani et al., 1998). Suatu keuntungan yang nyata dari embriogenesis somatik adalah embrio-embrio somatik yang dihasilkan bersifat bipolar, yakni memiliki ujung-ujung akar dan pucuk yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman lengkap (Zulkarnain, 2011).

2.7Kalus

Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus. Secara in vivo, kalus pada umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi mikroorganisme seperti

Agrobacterium tumefaciens, gigitan atau tusukan serangga dan nematoda.

Tujuan kultur kalus adalah untuk memperoleh dari eksplan yang diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali. Kalus diharapkan dapat memperbanyak dirinya (massa sel) secara terus menerus. Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman tetapi organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon dan batang muda merupakan bagian yang mudah untuk dediferensiasi dan menghasilkan kalus.

Suatu sifat yang diamati dalam jaringan yang membentuk kalus adalah bahwa pembelahan sel tidak terjadi pada semua sel dalam jaringan asal tetapi hanya sel dilapisan perifer yang membelah terus menerus sedangkan sel yang berada ditengah tetap quiescent. Faktor-faktor yang menyebabkan inisiasi pembelahan sel hanya terbatas dilapisan luar dari jaringan kalus, adalah :

a. Ketersediaan oksigen yang lebih tinggi b. Keluarnya gas CO2


(29)

d. Penghambat yang bersifat folatik lebih cepat menguap e. Cahaya

Kalus embriogenik mengandung bagian sel-sel meristimatik yang dilokasikan pada permukaan kalus. Pada bagian kalus yang meristimatik akan cepat membentuk embrio somatik ke tahap globular (Kysely & Jacobsen, 1990). Perkembangan embrio somatik pada tanaman dikotil melalui tahap globular, hati (heart-shaped), torpedo, dan kotiledon (Jurgens et al., 1991), sedangkan pada tanaman monokotil melalui tahap globular, hati skutelar dan kotiledon.

Kalus yang berbentuk lunak/lembut, granular dan jaringan translucent dimana tidak mempunyai potensial embriogenik, jaringan ini ditentukan sebagai kalus non embriogenik dan tidak dapat beregenerasi menjadi plantlet baru. (Low

et al.,2008). Kalus embriogenik dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung butir pati (Purnamaningsih, 2002).

2.8 Media

Kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kultur in vitro yang optimal bervariasi antar spesies ataupun antar varietas. Bahkan, jaringan yang berasal dari bagian tanaman yang berbeda pun akan berbeda kebutuhan nutrisinya (Zulkarnaian, 2011). Eeuwens (1976) melaporkan bahwa medium Eeuwens (Y3) lebih baik daripada media murashige-skoog (MS) pada inisiasi kalus tanaman kelapa (Cocos nucifera). Modifikasi medium Eeuwens (Y3) paling sesuai untuk regenerasi langsung maupun embriogenesis somatik dari Elaeis guineensis Jacq

“Dura” (Muniran et al., 2008). Eeuwens (1976) menyatakan bahwa media Y3

lebih baik dari pada media MS untuk inisiasi kalus pada kelapa Media Eeuwens (Y3) mengandung natrium dan iodin yang tinggi, tetapi mengandung amonium, nitrogen dan nitrat yang rendah dibanding media murashige-skoog (MS).

2.9 Zat Pengatur Tumbuh 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid ( 2,4-D )

Tanaman tingkat tinggi secara endogen menghasilkan fitohormon, senyawa ini berperan merangsang dan meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan sel,


(30)

jaringan, dan organ tanaman menuju arah diferensiasi tertentu (Pierik, 1997). Senyawa-senyawa lain yang memiliki karekteristik yang sama dengan hormon, tetapi diproduksi secara eksogen, dikenal dengan nama zat pengatur tumbuh. Kultur jaringan merupakan manipulasi pertumbuhan suatu tumbuhan dalam kondisi yang terkontrol dengan baik dan penambahan zat pengatur tumbuh seperti auksin serta sitokinin berperan penting dalam manipulasi ini. Kebanyakan eksplan menghasilkan sejumlah (endogenus) auksin dan sitokinin.

Berdasarkan kebutuhan zat pengatur tumbuh untuk membentuk kalus, jaringan tanaman digolongkan dalam empat kelompok: a) Jaringan tanaman yang membutuhkan hanya auksin selain gula dan garam-garam mineral untuk dapat membentuk kalus umbi artichoke. b) Jaringan yang memerlukan auksin dan sitokinin selain gula dan garam mineral. c) Jaringan yang tidak perlu auksin dan sitokinin, hanya gula dan garam mineral seperti jaringan kambium d) Jaringan yang hanya membutuhkan sitokinin, gula dan garam mineral seperti parenkim dan xylem akar turnip.

Didalam teknik kultur jaringan, kehadiran zat pengatur tumbuh sangat nyata pengaruhnya (Zulkarnain, 2011). Pierik (1997) menyatakan bahwa pada umumnya auksin meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel, dan pembentukan akar adventif. Auksin berpengaruh pula untuk menghambat pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, namun kehadirannya dalam medium kultur dibutuhkan untuk meningkatkan embriogenesis somatik pada kultur suspensi sel. Konsentrasi auksin yang rendah akan meningkatkan akar adventif, sedangkan auksin konsentasi tinggi akan merangsang pembentukan kalus dan menekan morfogenesis (Smith, 1992). Pada induksi kalus embriogenik, kultur umumnya ditumbuhkan di medium yang mengandung auksin yang mempunyai aktifitas kuat. Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan 2,4 Dichlorophenoxyacetic acid merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik (Purnamaningsih, 2002).


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara, Medan. Waktu penelitian dimulai bulan Juni hingga bulan Desember 2013.

3.2 Bahan dan Alat

Eksplan yang dipakai adalah dari bagian apikal bud kelapa sawit Elaeis guineensis Jacq. Var. Tenera yang berumur 8 bulan. Bibit kelapa sawit berasal dari hasil zigotik di PPKS MARIHAT. Bahan kimia yang digunakan adalah komponen penyusun media Eeuwens (Y3) , zat pengatur tumbuh 2,4 Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). Larutan HCl 0,1 N dan NaOH 0,1 N digunakan untuk mendapatkan pH 6. Untuk sterilisasi digunakan alkohol 70%, Fungisida, Tween 20, Betadine, larutan Natrium hipoklorit 1,0% dan 0,5%. Peralatan yang digunakan adalah autoklaf, laminar air flow,cawan petri, lampu spiritus, gelas piala, pipet, pinset, tangkai skalpel dan pisau skalpel untuk keperluan penanaman eksplan ke media.

3.3Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktorial, yaitu:

Faktor 1 : Penambahan ZPT 2,4-D

A1 : Konsentrasi 110 mg/L

A2 : Konsentrasi 120 mg/L


(32)

Faktor 2 : Posisi Sumber Eksplan A : Apeks

M : Median B : Basal

Sehingga diperoleh kombinasi 9 perlakuan untuk masing-masing kelompok percobaan dengan masing-masing ulangan sebanyak 8 kali (Tabel 3.1). Rincian kombinasi perlakuan sebagai berikut:

A1A A1M A1B

A2A A2M A2B

A3A A3M A3B

Tabel 3.1. Rancangan Plot Perlakuan Posisi Eksplan dengan Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh.

2,4 D Posisi Ulangan

Konsentrasi Eksplan 1 2 3 4 5 6 7 8

110 mg/L

A A1A A1A A1A A1A A1A A1A A A A1A

M A1M A1M A1M A1M A1M A1M A1M A1M

B A1B A1B A1B A1B A1B A1B A1B A1B

120 mg/L

A A2A A2A A2A A2A A2A A2A A2A A2A

M A2M A2M A2M A2M A2M A2M A2M A2M

B A2B A2B A2B A2B A2B A2B A2B A2B

130 mg/L

A A3A A3A A3A A3A A3A A3A A3A A3A

M A3M A3M A3M A3M A3M A3M A3M A3M

B A3B A3B A3B A3B A3B A3A A3B A3B

3.4 Prosedur Kerja

Material tanaman (apikal bud) diambil dari bibit kelapa sawit dengan menggunakan pisau . Pada saat pengambilan sumber eksplan. Dilakukan pada beberapa titik pertumbuhan dan diberi angka pemetaan yaitu 1) apikal bud ujung (Apex), 2) apikal bud tengah (middle), dan 3) apikal bud pangkal (Basal) dengan jumlah ulangan 8. Ukuran eksplan 1-2 cm.


(33)

3.4.1 Pembuatan media

Media yang digunakan adalah media Eeuwens (Y3), dimana masing-masing unsur hara makro, mikro, vitamin dan zat pengatur tumbuh (komposisi lengkap media Eeuwens (Y3) dapat dilihat pada Lampiran 2. Semua larutan stok media yang akan dibuat dimasukkan kedalam labu takar, dilarutkan dengan penambahan aquadest sebanyak 1 L, dan diberi penambahan zat pengatur tumbuh, selanjutnya penambahan 30 g/L gula. Setelah semua unsur-unsur larut kemudian dikalibrasi pada pH 6 dipanaskan sampai hampir mendidih selanjutnya diberi penambahan bacto agar sebanyak 7 g/L aduk larutan selama 2-3 menit sampai medium tampak bening, setelah itu diberi penambahan arang aktif sebanyak 2 g/L aduk larutan hingga merata, tahap berikutnya larutan dimasukkan kedalam botol kultur masing-masing sebanyak 10 ml, selanjutnya media disterilisasi menggunakan autoklaf 1210C selama 15 menit. Setelah suhu media sama dengan suhu kamar maka simpanlah media didalam ruangan stok. Pembuatan media dilakukan satu minggu sebelum penanaman eksplan. (Eewuen, 1976)

3.4.2 Sterilisasi Eksplan

Sterilisasi eksplan menggunakan metode Zulkarnain (2009) yang dimodifikasi. Eksplan berupa apical bud kelapa sawit dibersihkan dengan air mengalir dan direndam dalam detergen selama + 10 menit, kemudian dibilas dengan akuades steril hingga bersih. Eksplan dishaker dalam larutan fungisida 0,2% yang diberi 200 µL tween 80® selama 30 menit. Selanjutnya dibilas dengan akuades steril. Eksplan direndam dalam larutan antibiotik (Betadine®) selama 10

menit dan dibilas dengan akuades steril. Bahan tanaman dimasukkan ke dalam larutan Na-hipoklorit 1,0% selama 5 menit dan dibilas dengan akuades steril. Tahap selanjutnya bahan tanaman direndam dalam larutan HgCl2 0,1% selama 30

menit, dan dibilas tiga kali dengan akuades steril masing-masing 5 menit. Eksplan steril dikeringkan di atas cawan petri steril yang berisi kertas saring. Eksplan siap ditanam.


(34)

3.4.3 Analisis Histologi

Kalus embriogenik yang terbentuk selanjutnya dilakukan analisis histologi dengan menggunakan metode paraffin yang terdiri dari:

3.4.3.1 Fiksasi

Fiksasi dilakukan dengan cara setiap sampel direndam dalam larutan Formalin 40%, Alkohol 70%, asam asetat glacial dengan perbandingan 1 : 8 : 1 (FAA) dengan komposisi 10 ml formalin, 80 ml alkohol, dan 10 ml asam asetat glacial dalam setiap 100 ml larutan direndam minimal selama 24 jam dan diletakkan dalam vaccum pump. Tujuan perendaman dengan FAA adalah untuk mematikan sel pada sampel secara cepat akan tetapi seolah-olah sampel seperti kondisi masih segar (masih hidup).

3.4.3.2 Dehidrasi

Tujuan dehidrasi untuk menghilangkan air yang ada dalam jaringan tanaman, dilanjutkan dengan penghilangan alkohol. Dehidrasi dilakukan dengan merendam sampel secara bertahap melalui seri alkohol bertingkat dari alkohol 70% kemudian alkohol 95% ( sampel masih didalam vaccum) lalu alkohol absolute kemudian sampel dimasukkan kedalam campuran alkohol dan xylol dengan perbandingan 3:1, 1:1, 1:3 secara berturut-turut kemudian sampel dimasukkan ke dalam larutan xylol I dan xylol II. Masing-masing tahap dehidrasi dilakukan selama minimal 3 jam.

3.4.3.2 Infiltrasi

Infiltasi adalah memasukan parafin secara perlahan-lahan kedalam rongga-rongga yang kosong dalam jaringan tanaman agar tidak terjadi kerusakan sampel pada saat penyayatan. Pada tahap ini, sampel yang telah direndam dalam xylol diberi serbuk parafin secara perlahan-lahan sampai jenuh. Bahan yang digunakan adalah xilol dan parafin yang sudah cair dengan perbandingan 3 : 1; 2 : 2; 1 : 3; 1 : 3 (vol/vol); berturut-turut sebanyak tiga kali selama 3 jam dan 0 : 4 (vol/vol) selama 24 jam. Proses ini dilakukan dalam tabung gelas didalam oven pada suhu


(35)

550C setelah kegiatan tersebut selesai, semua parafin diganti dengan parafin murni pada suhu 600C. perendaman dengan perafin murni dilakukan minimal selama satu hari.

3.4.3.4 Embedding

Embedding adalah penanaman sampel yang sudah diproses sebelumnya kedalam blok parafin untuk mempermudah penyayatan. Penanaman dilakukan pada kotak dari cetakan kertas. Sampel yang sudah difiksasi dimasukkan kedalam cetakan yang telah berisi parafin cair dengan menggunakan pinset. Setelah parafin mengeras sampel dikeluarkan dari cetakan.

3.4.3.5 Penyayatan

Penyayatan dilakukan dengan menggunakan mikrotom manual. Blok parafin yang sudah jadi dipasang pada pemegang yang terdapat pada mesin mikrotom putar. Sisi horizontal dari permukaan parafin dibuat sejajar dengan pisau penyayat. Pemegang dapat diatur dengan skrup sedemikian rupa sehingga ketebalan sayatan sesuai dengan yang dikehendaki. Sayatan yang baik apabila menghasilkan bentuk pita tipis yang lurus dan tidak terputus-putus.

3.4.3.6 Penempelan Sayatan Pada Objek Gelas

Sayatan yang baik ditempelkan pada objek gelas menggunakan zat perekat putih telur Meyer (putih telur ditambah air dan gliserin dalam volume yang sama dan Kristal thinol). Setelah penempelan dilakukan, objek gelas diletakkan pada hot plate dengan suhu 400C agar sayatan melekat dengan baik, dan sebagian

parafin yang mengisi jaringan akan mencair untuk mempercepat proses penjernihan.

3.4.3.7 Penjernihan

Penjernihan bertujuan untuk menghilangkan parafin dari jaringan dengan cara memasukkan preparat kedalam xilol, xilol - alkohol, alkohol - air (hidrasi),


(36)

dengan perbandingan 100% xilol, 1 : 1 xilol-alkohol, dan alkohol secara bertahap 100%, 95%, 70%, 50%, 30% dan aquades selama 3 menit.

3.4.3.8 Pewarnaan

Pewarnaan bertujuan agar bagian-bagian tertentu dari sel atau jaringan menjadi lebih jelas sehingga mudah untuk diamati. Tahapan pewarnaan meliputi preparat yang sudah jernih dimasukkan ke dalam larutan pewarna Safranin 1% selama 12 jam. Selanjutnya preparat dicuci dengan aquadest sampai warna benar-benar hilang. Dehidrasi pada 30%, 50%, 70%, dan 95% ,etanol 2-5 menit / langkah. Kemudian preparat dimasukkan kedalam larutan etanol 95% ditambah larutan Fast Green 2% selama 30 detik, bilas dengan etanol 100% sebanyak dua kali masing-masing selama 2 menit. Selanjutnya preparat didalam larutan karbol xilol atau campuran metal salisilat dan xilol ( 1:1 ) selama 5 detik untuk melepaskan sisa-sisa air yang menempel pada preparat. Kemudian bilas dengan xilol 100% sebanyak dua kali. Selanjutnya preparat ditutup dengan entellan atau Canada balsm dan diamati dengan mikroskop.

3.5 Parameter yang diamati

Pada penelitian ini parameter yang akan diamati adalah sebagai berikut : 1. Saat terbentuk kalus primer ( hari setelah tanam / HST)

2. Persentase kultur membentuk kalus primer

Keterangan : a = jumlah eksplan yang menghasilkan kalus dimedium padat

b = jumlah seluruh eksplan

3. Saat terbentuknya kalus embriogenik ( hari setelah tanam / HST ) 4. Persentase kalus embriogenik

Keterangan : a = jumlah seluruh kalus embriogenik yang terbentuk b = jumlah seluruh eksplan


(37)

6. Berat kering kultur (gram)

7. Bagian dari apikal bud yang paling baik sebagai sumber kalus. 8. Morfologi kalus :

a) Embrionik : berwarna kuning, padat, nodular terdiri dari embrio berwarna putih susu

b) Non embrionik : berwarna kuning kecoklatan, granular dan halus 9. Analisa histologi kalus

a) Kalus nodular padat

b) Sel-sel meristem yang berkembang c) Karakteristik sel embriogenik

3.6 Analisis Data

Data yang telah diperoleh, dianalisis secara analisis deskriptif dan analisis inferensial ANOVA ( analisis sidik ragam) dengan menggunakan SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 19. Apabila ada perbedaan yang nyata (p<0,05) maka dilanjutkan dengan uji DUNCAN.

Analisi data menggunakan rumus dibawah ini :

Yijk = μ + αi + βj + ( αβ ) ij + Ԑ

ijk

i = 1,2.3 ( faktor posisi eksplan yang berbeda )

j = 1,2,3 ( faktor taraf kosentrasi zat pengatur tumbuh yang berbeda ) k = ulangan

Yijk = respon tanaman yang diamati

μ = nilai tengah umum

αi = pengaruh taraf ke i dari faktor posisi eksplan yang berbeda

βj = pengaruh taraf ke j dari faktor taraf konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berbeda

(αβ) ij = pengaruh interaksi taraf ke i dari faktor posisi ekplan yang berbeda dan taraf ke j dari faktor taraf konsentrasi yang berbeda

Ԑijk = pengaruh sisa galat percobaan taraf ke i dari faktor posisi eksplan yang berbeda dan percobaan taraf ke j dari faktor taraf konsentrasi yang berbeda pada ulangan ke k


(38)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Waktu Pembentukan Kalus Primer

Pada penelitian ini eksplan apikal bud dari berberapa segmen posisi yaitu apikal, median dan basal dengan zat pengatur tumbuh 2,4-D dan penambahan arang aktif sebanyak 2 gr/L dalam medium Y3 mampu menginduksi kalus primer. Arang aktif digunakan karena memiliki pengaruh yang positif dalam meminimalkan oksidasi dan adsorpsi senyawa toxin fenolik yang dilepaskan oleh eksplan, dan sehingga mampu meningkatkan induksi kalus embriogenik dan embryogenesis somatik (Thuxar et al., 2012).

Data pengamatan saat terbentuknya kalus dapat dilihat pada Lampiran 4. Dari hasil pengamatan posisi segmen basal pada konsentrasi 2,4-D 130 mg/L menunjukkan pertumbuhan kalusnya di hari ke 57 setelah inokulasi, sementara dikonsentrasi yang sama tetapi pada posisi segmen median (130 mg/L 2,4-D) pertumbuhan kalus dimulai pada hari ke 65, sedangkan di posisi segmen apikal (130 mg/L 2,4-D) di hari ke 73. Pada konsentrasi 2,4-D 120 mg/L posisi segmen basal lebih dahulu tumbuh kalus pada hari ke 67 dibandingkan pada segmen median(120 mg/L 2,4-D) yang tumbuh pada hari ke 82 dan segmen apikal (120 mg/L 2,4-D) tumbuh kalus pada hari ke 86 setelah inokulasi. Sementara pada konsentrasi 2,4-D 110 mg/L pertumbuhan kalus pada posisi segmen basal di hari ke 71, pada posisi segmen median (110 mg/L 2,4-D) pertumbuhan kalus terjadi di hari ke 96 dan pada posisi apikal (110 mg/L 2,4-D) tidak menunjukkan pertumbuhan kalus. Dibutuhkan waktu dan zat pengatur tumbuh dalam menginduksi kalus. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi 2,4-D 130 mg/L pada posisi segmen basal lebih cepat dalam mempengaruhi waktu terbentuknya


(39)

kalus primer. Hubungan rata-rata saat terbentuknya kalus pada posisi eksplan dengan pengaruh zat pengatur tumbuh dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Hubungan Rata-Rata Saat Terbentuknya Kalus Primer Pada Posisi Eksplan Dengan Zat Pengatur Tumbuh 2,4-D

Perkembangan pembentukan kalus primer pada eksplan apikal bud terlihat tidak merata antar posisi eksplan. Pada posisi segmen basal terlihat lebih cepat membentuk kalus dibandingkan pada segmen median dan segmen apikal. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa zat pengatur tumbuh yang diberikan pada tiap-tiap posisi eksplan yang berbeda mempengaruhi terhadap saat terbentuknya kalus. Zat pengatur tumbuh juga menstimulasi pembelahan dan perkembangan sel, kadang-kadang jaringan atau eksplan dapat memproduksi zat pengatur tumbuh sendiri (endogen), tetapi biasanya zat pengatur tumbuh harus ditambahkan dari luar ke medium kultur jaringan untuk pertumbuhan dan perkembangan dari kultur (Beyl, 2005). Efek dari zat pengatur tumbuh sangat tergantung pada jenis dan kosentrasi yang digunakan dan jaringan target (Beyl, 2005). Auksin berperan pada proses perkembangan tanaman, merangsang pemanjangan dan pembesaran sel, dominan apikal, induksi akar dan embrio somatik (Beyl, 2005).


(40)

Dari persentase eksplan membentuk kalus adalah sebesar 23,61% yaitu sebanyak 17 botol dari 72 botol, dimana pembentukan kalus rata-rata terjadi pada

minggu ke 8 setelah penanaman / pengkulturan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa zat pengatur tumbuh 2,4-D yang diberikan mempengaruhi lama waktu / kecepatan terbentuknya kalus. Dengan adanya rangsangan dan zat pengatur tumbuh endogen atau eksogen menyebabkan metabolisme sel menjadi aktif sehingga terbentuk kalus.

Berdasarkan data pengamatan terhadap saat terbentuknya kalus dari setiap posisi segmen eksplan terlihat pada Lampiran 4. Pada posisi segmen basal eksplan, hasil penelitian menunjukkan persentase induksi kalus primer tertinggi dengan nilai rata-rata sebesar 23,5% jika dibandingkan pada segmen median dan apikal dengan persentase berturut-turut sebesar 5,9% dan 3,9%. Hasil menunjukkan perbedaan persentase sangat jauh, hal tersebut dikarenakan pada segmen basal terdiri dari jaringan meristem dimana pada jaringan ini selalu mengalami pembelahan secara terus menerus untuk menambah jumlah sel. Bagian meristem biasanya terletak pada bagian dalam dan terlindung oleh pelepah yang telah tua pada ujung batang. Umumnya bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif dan mempunyai daya generasi lebih tinggi, sel-selnya masih aktif membelah diri dan relatif lebih bersih (Yusnita2003). Pertumbuhan kalus dicerminkan oleh pertambahan berat basah dan berat kering kalus. Rata-rata bobot basah kalus dan bobot kering kalus tertinggi pada perlakuan 130mg/l 2,4-D pada posisi segmen basal.

4.3 Pengaruh Konsentrasi 2,4-D dan Posisi Eksplan pada Induksi Kalus Primer

Dari hasil pengamatan interaksi antara tingkat konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D terhadap posisi eksplan dapat dilihat pada Lampiran . Dari hasil pengamatan pembentukan kalus primer pada tingkat konsentrasi 2,4-D 130 mg/L memberikan hasil tertinggi terhadap induksi kalus primer dengan nilai persentaserata-rata sebesar 15,7%, ini jauh berbeda jika dibandingkan pada tingkat


(41)

konsentrasi 2,4-D 120 mg/L dan 2,4-D 110 mg/L dengan nilai persentase rata-rata sebesar 11,8% dan 5,9% dalam menginduksi kalus primer.

Dari Analisis sidik ragam dapat dijelaskan bahwa tingkat konsentrasi zat pengatur tumbuh mempengaruhi secara nyata terhadap terbentuknya kalus primer yaitu dengan nilai sig. 0.006 < 0.001 atau p < 0.001 dengan nilai F hitung 3.991. Sehingga terdapat interaksi antara konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D (faktor A) dengan posisi eksplan (faktor B) terhadap terbentuknya kalus primer.

Berdasarkan hasil uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) saat terbentuknya induksi kalus primer terhadap konsentrasi 2,4-D diperoleh hasil yaitu pada konsentrasi 2,4-D 120 mg/L dan 130 mg/L memberikan pengaruh yang sama terhadap induksi kalus primer, tetapi konsentrasi 2,4-D 110 mg/L berbeda nyata dengan konsentrasi 120 mg/l dan 130 mg/L. Pada konsentrasi 2,4-D 110 mg/L memberikan pengaruh yang paling kecil terhadap induksi kalus primer. Sedangkan, konsentrasi 2,4-D 130 mg/L memberikan pengaruh paling baik untuk induksi kalus primer. Hal ini sesuai dengan pernyataan Zulkarnaen (2011) yang menyatakan didalam teknik kultur jaringan, kehadiran zat pengatur tumbuh sangat nyata pengaruhnya. Bahkan, Pierik (1997) menyatakan bahwa sangat sulit untuk menerapkan teknik kutur jaringan pada upaya perpanyakan tanaman tanpa melibatkan zat pengatur tumbuh. Kontribusi 2,4-D secara signifikan mempercepat dalam menginduksi kalus dan kalus embriogenik pada kelapa sawit (Abdullah et al., 2005, Eeuwens et al., 2002). Terlebih lagi, 2,4-D mempunyai dua efek dalam kultur in vitro dengan bertindak secara langsung sebagai auksin dan sebagai faktor tekanan (Feher et al., 2003).

Berdasarkan hasil Uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) saat terbentuknya induksi kalus primer terhadap posisi eksplan diperoleh hasil yaitu posisi segmen apikal dan segmen median memberikan pengaruh yang sama terhadap induksi kalus primer, tetapi posisi segmen basal memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap segmen median dan segmen apikal. Daerah basal memberikan pengaruh yang paling baik terhadap induksi kalus primer. Hal ini disebabkan pada segmen basal terdiri dari jaringan meristem dimana padajaringaini selalu mengalami pembelahan secara terus menerus untuk


(42)

menambah jumlah sel. Bagian meristem biasanya terletak pada bagian dalam pada ujung batang dan ujung akar. Hal yang sama pada penelitian Thuzhar et al., (2012) menyatakan segmen basal terdiri dari meristem apikal dan jaringan daun termuda, sel-sel disegmen ini secara aktif membelah, sehingga mereka memiliki potensi yang lebih besar untuk memperoleh kemampuan embriogenik. Penggunaan jaringan meristem dalam kultur jaringan sering digunakan untuk mendapatkan tanaman yang bebas virus, bebasnya jaringan meristem dari infeksi virus disebabkan sedikitnya vakuola yang dimiliki oleh sel-sel meristem (Zulkarnain, 2011). Sifat-sifat genetik jaringan meristem yang stabil, memungkinkan dihasilkannya tanaman baru dengan sifat-sifat genetik yang identik dengan induknya, alasan inilah yang membuat kultur jaringan meristem penting dalam upaya perbanyakan tanaman secara in vitro.

Tabel 4.1. Rata-Rata Persentase Induksi Kalus Primer Kelapa Sawit pada Beberapa Tingkat Konsentrasi 2,4-D dan Posisi Eksplan.

Konsentrasi 2,4-D

Induksi Kalus Primer (%)

Rata-Rata

Basal Median Apikal

110 mg/L 11,7 5,9 0,0 5,9a

120 mg/L 23,5 5,9 5,9 11,8b

130 mg/L 35,3 5,9 5,9 15,7b

Rata-Rata 23,5b 5,9a 3,9a

F (A: 2,4-D) 9,70*

F (B: Segmen) 8,22*

F (A x B) 3,99*

Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji p< 0,05 (DMRT). * = berbeda nyata

4.4 Waktu Pembentukan Kalus Embriogenik

Perbanyakan tanaman kelapa sawit dengan kultur jaringan meliputi beberapa tahap, yaitu inisiasi kalus embriogenik (EC), proliferasi dari kalus embriogenik (EG), dan pembentukan tunas dan akar. Inisiasi kalus embriogenik yang berlangsung kira-kira tiga bulan, kemudian disubkultur agar terjadi proliferasi dari kalus embriogenik tersebut. Setelah terjadi proliferasi embriogenik, dilanjutkan dengan pembentukan embrioid yang membutuhkan waktu kira-kira dua bulan


(43)

yang selanjutnya disubkultur pada media padat untuk pembentukan tunas dan perakaran sehingga terbentuk plantlet (Wong et al., 1999).

Terdapat dua macam kalus yang terbentuk dalam kultur in vitro suatu tanaman, yaitu (1) kalus embriogenik dan (2) kalus non embriogenik. Kalus embriogenik adalah kalus yang mempunyai potensi untuk beregenerasi menjadi tanaman melalui organogenesis atau embriogenesis. Sedangkan kalus non embriogenik adalah kalus yang mempunyai kemampuan sedikit atau tidak mempunyai kemampuan untuk beregenerasi menjadi tanaman. Kalus embriogenik yang mempunyai struktur kompak, tidak tembus cahaya dan pertumbuhan relatif lambat merupakan tipe yang dikehendaki dalam seleksi in vitro tanaman. Kemampuan regenerasi kalus umumnya menurun sesuai lamanya jaringan dikulturkan, namun beberapa kultur kalus kemampuan regenerasinya dapat bertahan dalam jangka waktu relatif panjang. Kalus embriogenik dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung butir pati (Purnamaningsih, 2002).

Data pengamatan saat terbentuknya kalus embriogenik dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil pengamatan posisi basal pada konsentrasi 2,4-D 130 mg/L menunjukkan pertumbuhan kalus embriogenik di hari ke 107 setelah inokulasi, sementara dikonsentrasi yang sama tetapi pada posisi median tumbuhnya kalus embriogenik dimulai pada hari ke 115, sedangkan di posisi segmen apikal tidak mengalami pertumbuhan kalus embriogenik. Pada konsentrasi 2,4-D 120 mg/L posisi segmen basal lebih dahulu tumbuh kalus embriognik pada hari ke 118 dibandingkan pada segmen median yang tumbuh pada hari ke 138 setelah inokulasi dan apikal tidak tumbuh kalus embriogenik. Sementara pada konsentrasi 2,4-D 110 mg/L pertumbuhan kalus pada posisi basal di hari ke 128 setelah inokulasi. Pada posisi segmen apikal tidak menunjukkan pertumbuhan kalus dimungkinkan akibat rusaknya meristem sewaktu diisolasi atau dikarenakan perbedaan kemampuan jaringan menyerap unsur hara dan zat pengatur tumbuh dalam media inisiasi. Hubungan rata-rata saat terbentuknya kalus embriogenik pada posisi eksplan terhadap pengaruh zat pengatur tumbuh dapat dilihat pada Gambar 4.2.


(44)

Gambar 4.2. Hubungan Rata-Rata Saat Terbentuknya Kalus Embriogenik Pada Posisi Eksplan Dengan Zat Pengatur Tumbuh 2,4-D

Embrio somatik terbentuk dari perkembangan kalus primer segmen basal yang sebelumnya telah mengalami subkultur sebanyak 3 kali dengan menggunakan medium Y3 yang sama. Kasi dan Sumaryono., (2008) menyatakan proliferasi pada kalus embriogenik sangat baik dilakukan pada interval waktu 4 minggu, hampir seluruh kalus embriogenik berkembang menjadi embrio somatik setelah terjadi tiga kali subkultur dengan menggunakan medium inisiasi kalus embriogenik yang sama.

4.5 Persentase Kalus Embriogenik (%)

Dari data pengamatan terhadap saat terbentuknya kalus embriogenik pada Lampiran 7. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, persentase kultur yang membentuk kalus embriogenik adalah sebesar 18,05% yaitu sebanyak 13 botol dari 72 botol. Pengamatan perkembangan pembentukan kalus embriogenik pada eksplan apikal bud pada segmen basal dan segmen median terlihat membentuk kalus embriogenik dibandingkan pada segmen apikal yang tidak membentuk kalus embriogenik. Pada posisi eksplan, hasil penelitian menunjukkan induksi kalus embriogenik tertinggi sebesar 38,5% dari posisi segmen basal


(45)

eksplan apikal bud, sedangkan pada posisi segmen median sebesar 7,7% (Lampiran 7). Hal ini dapat disebabkan pada segmen basal dan median merupakan bagian yang meristematis.

Secara histologi segmen basal bersifat meristem yang tandai dengan ruang antar sel lebih rapat, mempunyai inti yang jelas, menyerap warna kuat dapat dilihat pada Gambar 4.6 a. Dibutuhkan konsentrasi yang tepat untuk segmen apikal dikarenakan perbedaan kemampuan jaringan menyerap unsur hara dan zat pengatur tumbuh dalam media inisiasi. sehingga kalus yang dihasilkan tidak embriogenik yang ditandai dengan tekstur kalus yang cenderung kompak (Ibrahim

et al., 2010). Pembentukan kalus merupakan salah satu indikator adanya pertumbuhan dalam kultur in vitro, lama atau tidaknya eksplan membentuk kalus tergantung dari bagian tanaman yang dipakai sebagai eksplan serta komposisi media induksi yang digunakan (Lizawati, 2012). Pada kultur jaringan, sumber dan umur eksplan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan kemampuan kalus menghasilkan embrio somatik (Stone et al., 2002).

4.6 Pengaruh Konsentrasi 2,4-D Terhadap Induksi Kalus Embriogenik

Induksi kalus embriogenik yang dipengaruhi zat pengatur tumbuh 2,4 D yang diuji pada konsentrasi 110 mg/ L pada medium Y3 menghasilkan 5,1% dalam menginduksi kalus embriogenik, untuk konsentrasi 120 mg/L 2,4-D menghasilkan 12,8% dan respon terbaik pada konsentrasi 130 mg/L 2,4-D menghasilkan 15,4% dalam menginduksi kalus embriogenik yang berasal dari segmen basal eksplan apikal bud kelapa sawit jenis Tenera.

Berdasarkan analisis sidik ragam dapat dijelaskan bahwa tingkat konsentrasi zat pengatur tumbuh mempengaruhi secara nyata terhadap terbentuknya kalus embriogenik yaitu dengan nilai sig. 0.000 < 0.001 atau p < 0.001 dengan nilai F hitung 11.261. Pada induksi kalus embriogenik, kultur umumnya ditumbuhkan di medium yang mengandung auksin yang mempunyai aktifitas kuat. Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan 2,4

Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik (Purnamaningsih, 2002). Untuk menginisiasi kalus


(46)

embriogenik yang di proliferasi menjadi embrio somatik diperlukan zat pengatur tumbuh 2,4-D. Berdasarkan hasil uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) saat terbentuknya kalus embriogenik terhadap konsentrasi 2,4-D diperoleh hasil yaitu konsentrasi 120 mg/L dan 130 mg/L memberikan pengaruh yang sama terhadap induksi kalus embriogenik, tetapi berpengaruh berbeda nyata dengan konsentrasi 2,4-D 110 mg/L. Pada konsentrasi 2,4-D 120 mg/L dan 130 mg/L memberikan pengaruh paling baik terhadap induksi kalus embriogenik. Sedangkan pada konsentrasi 2,4-D 110 mg/L memberikan pengaruh paling kecil terhadap induksi kalus embriogenik.

Tabel 4.2. Pengaruh Posisi Eksplan dan Konsentrasi 2,4-D Terhadap Persentase Induksi Kalus Embriogenik.

Konsentrasi 2,4-D

Induksi Kalus Embriogenik (%)

Rata-Rata

Basal Median Apikal

110 mg/L 15,4 0,0 0,0 5,1a

120 mg/L 30,8 7,7 0,0 12,8b

130 mg/L 38,5 7,7 0,0 15,4b

Rata-Rata 28,2c 5,1b 0,0a

Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji p< 0,05 (DMRT)

4.7 Berat Basah Kalus Embriogenik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat basah kultur kalus embriogenik menunjukkan respon yang beragam. Data pengamatan berat basah kalus dapat dilihat pada Lampiran 17 dapat dilihat bahwa perlakuan zat pengatur tumbuh 2,4-D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap berat basah kalus embriogenik. Untuk hasil uji rata-rata berat basah kalus embriogenik dengan kombinasi zat pengatur tumbuh 2,4-D yang berbeda konsentrasi dapat dilihat dari Gambar 4.3.


(47)

Gambar 4.3. Histogram Berat Basah Kalus pada Posisi Segmen Basal dengan Taraf Konsentrasi 2,4-D yang Berbeda

Dari Gambar diatas dapat dilihat bahwa perlakuan posisi segmen basal dengan konsentrasi 2,4-D 130 mg/L memberikan hasil tertinggi dengan nilai rata-rata berat basah kalus sebesar 0,148 g sedangkan perlakuan posisi segmen basal dengan konsentrasi 2,4-D 110 mg/L memberikan hasil terendah dengan nilai rata-rata berat basah kalus sebesar 0,04 g. Hasil pengamatan tersebut dapat dilihat pada hasil uji analisis sidik ragam pada Lampiran 18.

Berdasarkan analisis sidik ragam dapat dijelaskan bahwa tingkat konsentrasi 2,4-D berpengaruh nyata terhadap berat basah kalus yaitu dengan nilai sig .000 < 0.001 atau p < 0.001 dengan nilai F hitung 96,452. Pada konsentrasi 2,4-D 130 mg/L memberikan hasil tertinggi terhadap berat basah kultur kalus embriogenik hal ini disebabkan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang sesuai dan tepat dalam memacu pembesaran dan perbanyakan sel sehingga berat kultur menjadi meningkat. Selain itu tekanan turgor menyebabkan pemanjangan dan pembesaran sel. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan peningkatan berat basah kalus, sebab respon setiap sel (berupa tekanan turgor) terhadap kondisi cairan di sekitar sel berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Maretzki


(48)

(1974) dalam Suskendriyati (2003), bahwa respon pertumbuhan sel terhadap penambahan karbohidrat berbeda-beda untuk setiap spesies.

Berdasarkan hasil uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada berat basah kalus terhadap konsentrasi 2,4-D diperoleh hasil yaitu pada konsentrasi 2,4-D 110 mg/L dan 120 mg/L memberikan pengaruh yang sama terhadap berat basah kalus, tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsentrasi 2,4-D 130 mg/L. Pada konsentrasi 2,4-D 110 mg/L memberikan pengaruh paling kecil terhadap berat basah kalus dibandingkan dengan konsentrasi 2,4-D 130 mg/L memberikan pengaruh paling baik terhadap berat basah kalus.

4.8 Berat Kering Kalus Embriogenik

Indikator pertumbuhan kalus selain ditentukan dengan peningkatan berat basah juga dapat dilihat pada berat kering kalus. Berat kering kalus merupakan indikator pertumbuhan yang lebih representatif dibandingkan dengan berat basah kalus. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), berat basah atau berat segar sulit digunakan sebagai indikator petumbuhan karena berat basah masih dipengaruhi oleh kandungan air dalam sel. Kandungan air sel dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang tidak selalu konstan sehingga kandungan air dalam sel, jaringan atau keseluruhan tubuh tanaman berubah sesuai dengan kondisi lingkungan dan umur sel itu sendiri. Berat kering kalus yang digunakan adalah berat kering konstan. Untuk mendapatkan berat kering yang konstan, kalus dikeringkan dalam oven dengan suhu 800C dan ditimbang setiap hari selama tiga hari berturut-turut

sampai diperoleh berat yang konstan. Pengeringan kalus bertujuan untuk menghentikan aktivitas metabolisme sel dengan segera (Sitompul dan Guritno, 1995).

Data pengamatan berat kering kalus dapat dilihat pada Lampiran 19. Untuk hasil uji rata-rata penambahan berat kering kalus embriogenik pada setiap perlakuan dengan kombinasi zat pengatur tumbuh 2,4-D yang berbeda konsensentrasi dapat dilihat dari Gambar 4.4


(49)

Gambar 4.4. Histogram Berat Kering Kalus pada Posisi Segmen Basal dengan Taraf Konsentrasi 2,4-D yang berbeda

Dari Gambar 4.1.4 diatas dapat dilihat bahwa perlakuan posisi segmen basal dengan konsentrasi 2,4-D 130 mg/L memberikan hasil tertinggi dengan nilai rata-rata berat kering kalus sebesar 0,014 g sedangkan perlakuan posisi segmen basal dengan konsentrasi 2,4-D 110 mg/L memberikan hasil terendah dengan berat kering kalus sebesar 0,007 g. Hal ini disebabkan oleh kemampuan kalus dalam menyerap dan menyimpan air. Berat basah dipengaruhi kandungan air dalam kalus, sedangkan berat kering merupakan berat konstan yang sudah tidak dipengaruhi kandungan air. Kalus yang memiliki berat basah tinggi tapi berat kering rendah disebabkan kalus mampu menyerap dan menyimpan air dalam jumlah banyak, sehingga ketika dikeringkan banyak air yang hilang dan menyebabkan berat kering kalus rendah. Pada berat basah kalus yang rendah tapi berat keringnya tinggi disebabkan kalus hanya mampu menyerap dan menyimpan air sedikit, sehingga ketika dikeringkan air yang hilang hanya sedikit dan diperoleh berat kering yang tinggi Kemampuan kalus dalam menyerap dan menyimpan air dipengaruhi oleh tekstur kalus (Irmawati,2007). Menurut Abidin (1990) sel yang berada pada lapisan luar dan kontak dengan media lebih mudah menyerap air daripada sel yang berada di lapisan dalam. Tekstur kalus yang tidak


(50)

rata menyebabkan tidak semua sel kalus mampu menyentuh media terutama sel kalus bagian dalam, akibatnya kemampuan kalus untuk menyerap dan menyimpan air tidak sama. Sel kalus yang memiliki vakuola lebih besar akan menyimpan air lebih banyak dibanding sel dengan vakuola kecil. Hal inilah yang diduga menyebabkan perbedaan pola antara berat basah dan berat kering kalus.

Berdasarkan Analisis sidik ragam berat kering kalus diperoleh nilai sig 0.000 < 0.05 atau p 0.000 < 0.05 dengan nilai F hitung 29,618 sehingga tingkat konsentrasi 2,4-D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap berat kering kalus. Berat kering merupakan salah satu indikator yang paling sering digunakan untuk menentukan adanya pertumbuhan massa pada setiap pengamatan, dikarenakan berat kering murni berisi hasil metabolisme dimana kandungan airnya telah dihilangkan melalui pengeringan.

Berdasarkan hasil uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada berat kering kalus terhadap konsentrasi 2,4-D diperoleh hasil yaitu konsentrasi 2,4-D 110 mg/L dan 120 mg/L memberikan pengaruh yang sama terhadap berat kering kalus tetapi konsentrasi 2,4-D 130 mg/L memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap berat kering kalus. Pada konsentrasi 2,4-D 110 mg/L memberikan pengaruh paling kecil dibandingkan pada konsentrasi 2,4-D 130 mg/L memberikan pengaruh paling baik terhadap berat kering kalus.

4.9 Morfologi Kalus Primer dan Kalus Embriogenik

Pengamatan struktur dan warna kalus primer diamati pada masa pertumbuhan 8 minggu setelah inokulasi. Data pengamatan visual struktur dan warna kalus primer berwarna putih kekuningan sampai putih kecoklatan, bergerombol mengelilingi eksplan . Kalus yang berwarna putih merupakan jaringan embrionik yang belum mengandung kloroplas, tetapi memiliki kandungan butir pati yang tinggi (Lizawati, 2012) sementara untuk pengamatan kalus embriogenik warna kalus kuning, padat, nodular terdiri dari embrio berwarna putihan susu dengan permukaan kalus yang halus. Pengamatan dilakukan pada masa petumbuhan 16 minggu setelah inokulasi. Kalus muda berwarna putih, kemudian warnanya akan berubah menjadi hijau dengan


(51)

bertambahnya umur. Perbedaan warna kalus ini disebabkan adanya perubahan pigmentasi (Rahayu et al.,2002). Hal ini sesuai pernyataan mengenai hubungan pembelahan sel dan penyerapan warna oleh Steve dan Sussex (1994) dalam Tonga

et al., (2012) yang berpendapat bahwa warna kalus yang menunjukkan kalus bagus adalah hijau karena aktifitas pembelahan selnya tinggi ditunjukkan dengan penyerapan warna yang tinggi. Pengamatan visual terhadap warna kalus yang terbentuk pada kalus yang disubkultur pada media Y3 dengan berbagai konsentrasi 2,4-D dapat dilihat pada Tabel 4.3. Pengamatan warna kalus yang diamati secara visual menunjukkan warna kalus yang berbeda–beda sesuai dengan perlakuan yang diberikan.

Tabel 4.3. Warna Kalus Secara Visual Pada Umur 8 Minggu Konsentrasi

2,4-D

Posisi Eksplan

Apikal Median Basal

110 mg/L

̶

Putih Putih

kecoklatan kekuningan

120 mg/L Putih Putih Putih

kecoklatan kekuningan kekuningan

130 mg/L Putih Putih Putih

kecoklatan kekuningan kekuningan

Pengamatan visual terhadap struktur kalus sama halnya dengan warna kalus tidak memperlihatkan perbedaan yang mencolok pada kalus yang disubkultur pada media Y3 dengan konsentrasi 2,4-D yang berbeda. Struktur kalus yang terbentuk dari eksplan apikal bud kelapa sawit jenis Tenera didominasi struktur kalus yang kompak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi 2,4-D 130 mg/L pada posisi segmen basal merupakan perlakuan terbaik terhadap struktur kalus yang dihasilkan. Kalus yang dihasilkan dari perlakuan ini berstruktur kompak (Gambar 4.5). Menurut Street (1973) dalam Lizawati (2012) kalus yang kompak disebabkan kalus memiliki susunan sel yang rapat sehingga sulit dipisahkan. Pierik (1987) dalam Lizawati (2012) menyatakan struktur pada kalus dapat bervariasi dari kompak hingga meremah, tergantung pada jenis tanaman yang digunakan, komposisi nutrien media, zat pengatur tumbuh dan


(1)

Lampiran 11. Uji lanjut Post Hoc induksi kalus primer

1. Konsentrasi 2.4-D

Dependent Variable:Kalus Primer

Konsentras

i 2.4-D Mean Std. Error

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

110mg/l -3.701E-17 .069 -.137 .137

120mg/l .292 .069 .154 .429

130mg/l .417 .069 .279 .554

2. Posisi Eksplan

Dependent Variable:Kalus Primer

Posisi

Eksplan Mean Std. Error

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Basal .083 .069 -.054 .221

Median .167 .069 .029 .304

Apikal .458 .069 .321 .596

3. Konsentrasi 2,4-D * Posisi Eksplan

Dependent Variable:Kalus Primer

Konsentrasi

2.4-D

Posisi

Eksplan Mean Std. Error

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 110mg/l Basal 2.220E-16 .119 -.238 .238

Median 1.110E-16 .119 -.238 .238 Apikal -4.441E-16 .119 -.238 .238

120mg/l Basal .250 .119 .012 .488

Median .125 .119 -.113 .363

Apikal .500 .119 .262 .738

130mg/l Basal -6.661E-16 .119 -.238 .238

Median .375 .119 .137 .613

Apikal .875 .119 .637 1.113

Lampiran 12. Uji lanjut (Post Hoc) Duncan konsentrasi 2,4-D terhadap

Induksi Kalus Primer

Duncan

a,,b Konsentras

i 2.4-D N

Subset

1 2

110mg/l 24 .0000a


(2)

130mg/l 24 .4167b

Sig. 1.000 .203

Lampiran 13

.

Uji lanjut (Post Hoc) Duncan Posisi Eksplan terhadap induksi

Kalus primer.

Duncan

a,,b Posisi

Eksplan N

Subset

1 2

Basal 24 .0833 Median 24 .1667

Apikal 24 .4583

Sig. .394 1.000

Lampiran 14. Master tabel SPSS saat terbentuknya kalus Embriogenik

Persentase terbentuknya kalus embriogenik

Faktor A

(Tingkat

Konsentrasi)

Faktor B

(Posisi

Eksplan)

Ulangan

Terbentuknya Kalus

Embriogenik

110mg/l Basal 1 0

110mg/l Basal 2 0

110mg/l Basal 3 0

110mg/l Basal 4 0

110mg/l Basal 5 0

110mg/l Basal 6 0

110mg/l Basal 7 0

110mg/l Basal 8 0

120mg/l Basal 1 0

120mg/l Basal 2 0

120mg/l Basal 3 0

120mg/l Basal 4 1

120mg/l Basal 5 0

120mg/l Basal 6 1

120mg/l Basal 7 1

120mg/l Basal 8 1

130mg/l Basal 1 1

130mg/l Basal 2 1

130mg/l Basal 3 1


(3)

130mg/l Basal 5 1

130mg/l Basal 6 0

130mg/l Basal 7 1

130mg/l Basal 8 1

110mg/l Median 1 0

110mg/l Median 2 0

110mg/l Median 3 0

110mg/l Median 4 0

110mg/l Median 5 0

110mg/l Median 6 0

110mg/l Median 7 0

110mg/l Median 8 0

120mg/l Median 1 0

120mg/l Median 2 0

120mg/l Median 3 0

120mg/l Median 4 0

120mg/l Median 5 0

120mg/l Median 6 0

120mg/l Median 7 1

120mg/l Median 8 0

130mg/l Median 1 0

130mg/l Median 2 1

130mg/l Median 3 0

130mg/l Median 4 0

130mg/l Median 5 0

130mg/l Median 6 0

130mg/l Median 7 0

130mg/l Median 8 0

110mg/l Apikal 1 0

110mg/l Apikal 2 0

110mg/l Apikal 3 0

110mg/l Apikal 4 0

110mg/l Apikal 5 0

110mg/l Apikal 6 0

110mg/l Apikal 7 0

110mg/l Apikal 8 0

120mg/l Apikal 1 0

120mg/l Apikal 2 0

120mg/l Apikal 3 0

120mg/l Apikal 4 0

120mg/l Apikal 5 0


(4)

120mg/l Apikal 7 0

120mg/l Apikal 8 0

130mg/l Apikal 1 0

130mg/l Apikal 2 0

130mg/l Apikal 3 0

130mg/l Apikal 4 0

130mg/l Apikal 5 0

130mg/l Apikal 6 0

130mg/l Apikal 7 0

130mg/l Apikal 8 0

Sum of

Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

3.083

2

1.542

11.261

.000

Within Groups

2.875

21

.137

Total

5.958

23

Lampiran 16. Uji lanjut (Post Hoc) Duncan Kalus Embriogenik

Lampiran 17. Data Berat Basah Kalus

Perlakuan

ulangan

I

II

III

IV

V

VI

VII

VIII

Total

rata-rata

110 mg/L

A1B 0.03 0.03 0.04 0.05 0.04 0.03 0.06 0.05

0.322

0.04

Duncan

a

Konsentrasi

2.4-D

N

Subset for alpha = 0.05

1

2

110mg/l

8

.0000

120mg/l

8

.5000

130mg/l

8

.8750


(5)

120 mg/L

A2B 0.04 0.05 0.06 0.06 0.05 0.07 0.05 0.07

0.441

0.055

130 mg/L

A3B 0.11 0.14 0.18 0.15 0.12 0.15 0.17 0.18

1.186

0.148

Lampiran 18. Uji sidik ragam berat basah kalus

Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

.055

2

.027

96.452

.000

Within Groups

.006

21

.000

Total

.061

23

Konsentrasi

2.4-D

N

Subset for alpha = 0.05

1

2

110mg/l

8

.04025 a

120mg/l

8

.05513 a

130mg/l

8

.14825 b

Sig.

.092

1.000

Lampiran 19. Data Berat Kering Kalus

Perlakuan

Ulangan

I

II

III

IV

V

VI

VII

VIII

Total

rata-rata

110 mg/L

A1B 0.01

0.01

0.01 0.01 0.01

0

0.01 0.01

0.058

0.007

120 mg/L

A2B 0.01

0,011

0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01

0.068

0.009

130 mg/L

A3B 0.01

0.02

0.02 0.01 0.01 0.01 0.02 0.02

0.116

0.014

Lampiran 20. Uji sidik ragam berat kering kalus

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .000 2 .000 29.618 .000

Within Groups .000 21 .000


(6)

Lampiran 21. Uji lanjut (Post Hoc) Duncan berat kering kalus

Konsentrasi

2.4-D

N

Subset for alpha = 0.05

1

2

110mg/l

8

.00725 a

120mg/l

8

.00775 a

130mg/l

8

.01450 b