BAB II DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN TANGGUNG JAWAB PENGASUHAN ANAK SETELAH PERCERAIAN A. Perceraian dan Akibat Hukumnya 1. Perceraian - Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/20

BAB II DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN TANGGUNG JAWAB PENGASUHAN ANAK SETELAH PERCERAIAN A. Perceraian dan Akibat Hukumnya

1. Perceraian

  Salah satu bentuk pemutusan hubungan ikatan suami-isteri karena sebab-sebab tertentu yang tidak memungkinkan lagi bagi suami-isteri untuk meneruskan kehidupan rumah tangga

  45 disebut dengan cerai.

  Perceraian yang sah haruslah perceraian yang penghapusan perkawinannya dilakukan dengan putusan hakim, Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan saja antara suami-isteri, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami

  46

  istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

47 Untuk melakukan perceraian tersebut haruslah ada cukup alasan yang salah satunya yaitu

  bahwa antara suami istri yang meminta untuk diceraikan tidak dapat untuk hidup rukun sebagai suami isteri lagi.

  Menurut Undang-undang, alasan perkawinan dapat bubar antara lain karena kematian, karena keadaan tidak hadir si suami atau isteri, selama 10 (sepuluh) tahun diikuti dengan perkawinan baru isterinya atau suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Buku I Kitab

45 Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Online, http//:ebsoft.web.id, diakses pada tanggal 2 Oktober 2011.

  46 Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-undang Hukum Perdata, karena putusan hakim setelah perpisahan meja dan ranjang dan

  48 pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan ini dalam putusan Register Catatan Sipil.

  Oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa perkawinan yang telah

  49

  dibentuk dapat putus antara lain karena:

  a. Kematian,

  b. Perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan.

  Putusnya perkawinan dikarenakan kematian disebabkan karena salah satu dari suami/istri atau bahkan kedua-duanya telah meninggal dunia terlebih dahulu, sehingga pernikahan dianggap telah putus dengan meninggalnya salah satu pihak atau kedua-duanya tersebut.

  Putusnya perkawinan dikarenakan Perceraian merupakan putusnya perkawinan yang dikarenakan adanya ketidak cocokkan lagi para pihak untuk melanjutkan rumah tangganya.

  Sehingga terjadinya pengajuan gugatan salah satu pihak baik itu suami maupun istri untuk

  50

  alasan para pihak untuk memutuskan perkawinan tersebut antara lain:

  a. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; b. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

  48 49 R.Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 199.

Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

  d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami–isteri; f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

  Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan merupakan putusnya perkawinan berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh Hakim. Selain karena hal pengajuan gugatan perceraian tersebut diatas, putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dilapangan juga dapat terjadi dikarenakan keadaan tidak hadir dari salah satu suami atau istri.

  Putusnya suatu perkawinan bukan berarti melepaskan suatu beban tanggung jawab salah satu pihak istri atau suami terhadap pihak lainnya. ini dikarenakan, jika dibutuhkan Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau

  

51

  telah diceraikan tersebut tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk menafkahi dirinya

  52 sendiri.

  Pengadilan Negeri menentukan jumlah nafkah tunjangan yang akan diberikan kepada salah satu pihak yang dinilai pantas untuk dinafkahi, dimana nafkah tersebut berasal dari harta kekayaan pihak suami atau istri yang dianggap mempunyai kelebihan atau kemampuan untuk

  53 itu.

2. Akibat Hukum Perceraian

  51 52 Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 R.Subekti, op cit, Pasal 225 Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum.

  54 Sedangkan

  pengertian peristiwa hukum adalah peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.

  55 Adapun akibat hukum dalam kaitannya dengan akibat perceraian ini diatur di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan.

  Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 156 Inpres Nomor 1 tahun 1991. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu: 1)

  Terhadap anak-anaknya,

2) Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan).

  3) Terhadap Nafkah (pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya).

  1) Terhadap anak-anaknya

  Keluarga yang pecah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu dari orang tua karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak terbatas ataupun suami

  56 a.

  Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan mereka.

  b.

  Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi, keinginan harapan anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasi.

54 J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hal 104.

  55 ibid, hal 101. c.

  Anak-anak tidak mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan untuk disiplin dan kontrol diri yang baik. Jadi akibat yang timbul dari perceraian menyebabkan anak merasa terabaikan. Oleh karena itu, Kartini Kartono mengatakan bahwa sebagai akibat bentuk pengabaian tersebut, anak menjadi bingung, resah, risau, malu, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci, sehingga anak menjadi kacau dan liar. Di kemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin sendiri diluar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu gang kriminal lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Pelanggaran kesetiaan loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi dalam keluarga.

  Semua ini juga memunculkan kecenderungan menjadi delinkuen pada anak-anak dan remaja. Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri menjurus pada arah konflik dan perceraian. Maka perceraian merupakan faktor penentu bagi pemunculan kasus-kasus neurotik,

  57 tingkah laku asusila dan kebiasaan delinkuen.

  ditinggalkan oleh salah seorang dari kedua orang tuanya, jelas menimbulkan emosi, dendam, rasa tidak percaya karena merasa dikhianati, kemarahan dan kebencian, sentimen hebat itu menghambat perkembangan relasi manusiawi anak. Muncullah kemudian disharmoni sosial dan lenyapnya kontrol diri, sehingga anak dengan mudah dapat dibawa ke arus yang buruk, lalu menjadi kriminal. Anak ini memang sadar, tetapi mengembangkan kesadaran yang salah. Fakta menunjukkan bahwa tingkah laku yang jahat tidak terbatas pada strata sosial bawah, dan strata ekonomi rendah saja tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya dikalangan keluarga yang berantakan. Memang perceraian suami-istri dan perpisahan tidak selalu mengakibatkan kasus

  58

  delinkuen dan karakter pada diri anak. Akan tetapi, semua bentuk ketegangan batin dan konflik familiar itu mengakibatkan bentuk ketidakseimbangan kehidupan psikis anak. Di samping itu

  59

  juga tidak berkembangnya tokoh ayah sebagai sumber otoritas bagi anak laki-laki. Sehingga

  60 anak berkembang menjadi kasar, liar, brutal, tidak terkendali, sangat agresif dan kriminal.

  Peristiwa perceraian, apapun alasannya, akan membawa dampak bukan hanya bagi mantan suami dan istri tersebut akan tetapi juga bagi anak. Anak biasanya akan mengalami dampak negatif dari perceraian sehingga tidak akan dapat lagi menikmati kasih sayang orang tua secara bersamaan, karena tidak jarang pecahnya rumah tangga akan mengakibatkan terlantarnya pengasuhan anak.

  Konsekwensi hukum dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan adanya perceraian adalah bahwa kekuasaan orang tua terhadap anak menjadi hapus dan berubah, dari

  

61

  kekuasaan orang tua menjadi kekuasaan wali. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1

  62 tahun 1974 masih berada dibawah kekuasaan orang tua selama kekuasaan itu belum dicabut.

  anak tersebut.

  Menurut Pengadilan, setelah terjadinya perceraian maka Pengadilan akan memutuskan siapa di antara ayah dan ibu yang berhak menjalankan kuasa orang tua demi kelangsungan pemeliharaan dan pengasuhan anak, tidak jarang terjadi perebutan mengenai hak asuh anak, masing-masing bekas suami isteri merasa paling berhak dan paling layak untuk menjalankan hak asuh.

  58 59 Ibid, hal 18. 60 Yani Trizakia, Op.Cit, hal 57. 61 Kartini Kartono, Op.Cit, hal 18.

  R.Subekti, op cit, Pasal 206 ayat (2) Sengketa hak pemeliharaan anak berbeda dengan sengketa harta, dalam sengketa harta putusan hakim bersifat menafikan hak milik pihak yang kalah, tetapi putusan hak pemeliharaan sama sekali tidak menafikan hubungan pihak yang kalah dengan anak yang disengketakan. Sehingga lazimnya walaupun putusan memenangkan pihak ibu dan mengalahkan pihak ayah, biasanya putusan juga menyatakan ayah tetap berkewajiban membelanjai kebutuhan anaknya dan ibu tidak boleh menghalanghalangi ayah berhubungan dengan anaknya demikian juga sebaliknya, meskipun orang tuanya sudah bercerai anak tetap bebas berhubungan dan

  63 mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

  Dengan terjadinya perceraian, pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Sebagai ibu atau bapak mereka tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak dan jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi putusan dengan semata-mata mendasarkan kepada kepentingan anak. Seorang bapak bertanggung jawab atas semua biaya

  64

  memenuhi kewajibannya pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikulnya. Kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang

  65 tua putus.

  Terhadap anak, akibat putusnya perkawinan karena perceraian yang timbul menurut

  66 Undang-undang perkawinan adalah sebagai berikut:

63 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23 November 2011.

  64 65 Pasal 41 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 45 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

  a.

  Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata- mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

  b.

  Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak- anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut.Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

  Selagi anak belum berusia 18 tahun atau belum menikah ia berada di bawah kekuasaan orang tuanya yang akan mewakilinya mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar

  67

  pengadilan. Meskipun memegang kuasa, orang tua tidak boleh memindahkan hak atau

  68

  menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya kecuali kepentingan anak menghendaki. Jika orang tua melalaikan kewajibannya atau berkelakuan yang sangat buruk, kekuasaannya terhadap anak dapat dicabut untuk waktu tertentu, pencabutan kekuasaan orang tua dapat dimintakan ke yang telah dewasa atau oleh pejabat berwenang, kekuasaan orang tua yang dicabut tidak

  69 menghilangkan kewajibannya untuk tetap memberi biaya pemeliharaan kepada anak.

  Dengan demikian jelas bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anaknya kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang tua putus.

  Anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi orang tua, sebaliknya orang tua juga memiliki hak yang harus dipenuhi anaknya. Hak anak untuk mendapatkan penghidupan yang 67 68 Pasal 47 Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan. 69 Pasal 48 Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 49 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

  layak meliputi sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan merupakan nafkah anak (alimentasi) yang harus dipenuhi orang tua, terutama ayah, baik dalam masa perkawinan atau pun setelah terjadi perceraian.

  Apabila perkawinan antara seorang suami dengan seorang istrinya dalam suatu rumah tangga, baik karena kematian (meninggal dunia salah seorang di antara mereka) maupun karena terjadinya suatu perceraian di antara mereka dan karena putusan Pengadilan, maka akan membawa akibat terganggunya proses pemeliharaan dan pendidikan terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka tersebut. Oleh sebab itu salah seorang di antara kedua orang tuanya harus menjadi pemelihara dan pendidik bagi anak tersebut, hal ini berhubungan erat dengan masa depan dan perkembangan jiwa anak-anak yang masih memerlukan perhatian, kasih sayang dan pendidikan dasar dari orang tuanya, khususnya bagi anak yang masih di bawah umur.

  Pada umumnya apabila anak yang masih di bawah umur, maka hak untuk memelihara dan mendidik anak tersebut akan diberikan kepada ibunya, hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-undang Perkawinan beserta peraturan pelaksananya, disebabkan bahwa anak-anak di bawah umur masih sangat memerlukan perhatian dari seorang ibu, sedangkan kepada seorang ayah diberikan tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak

  70 mereka tersebut sampai dewasa.

  Jadi dalam hal ini apabila pihak yang diserahkan kewajiban memelihara dan mendidik anak tidak melaksanakan dengan baik, maka dapat saja digugat kembali oleh pihak lain yang berkepentingan terhadap anak tersebut. Gugatan tersebut dapat timbul setelah memperoleh hak asuh dan tanggung jawab dalam pemeliharaan dari anak tersebut, di mana dalam pelaksanaannya penerima hak tidak melaksanakan kewajibannya.

  2) Akibat terhadap harta

  Menurut Pasal 35 UU Perkawinan harta perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta yang diperoleh dari masing- masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Karena itu Pasal 36 Undang-undang Perkawinan menentukan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. bagi para pihak yang ditinggalkannnya. Pembagian tersebut perlu dilakukan guna menentukan hak-hak para pihak yang ditinggalkannya. Dari segi bahasa harta yaitu barang-barang (uang dan

  71

  sebagainya) yang menjadi kekayaan. Sedangkan yang dimaksud dengan harta bersama yaitu

  72

  harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.

  Sedangkan yang dimaksud harta benda perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun

71 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Balai Pustaka, Tahun 1989, cet.2, hal 199

  harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta

  73 pencarian bersama suami isteri dan barang-barang hadiah.

  Ketentuan mengenai harta dalam perkawinan menurut Pasal 35 Undang- Undang Nomor

  1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan :

1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

  2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

  Dari ketentuan Pasal 35 Undang-undang Perkawinan itu pula J.Satrio menyimpulkan bahwa harta dalam perkawinan mungkin berupa : 1)

  Harta bersama 2)

  Harta Pribadi, dapat berupa: a.

  Harta bawaan suami Harta bawaan isteri c. Harta hibahan/ warisan suami d. Harta hibahan/ warisan isteri.

  Dengan demikian harta yang telah dipunyai pada saat (dibawa masuk ke dalam) perkawinan terletak diluar harta bersama. Menurut Pasal 37 jo penjelasan Pasal 35 Undang- undang Perkawinan, apabila perkawinan putus, maka harta bersama itu diatur menurut hukumnya masing-masing. Hal ini tidak dijelaskan perkawinan putus karena apa. Oleh karena itu perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak meninggal, mungkin pula karena perceraian. Dengan demikian penyelesaian harta bersama adalah sebagai berikut: 73 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. IV, Tahun 1999,

  1) Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam, hukum Islam tidak mengenal harta bersama, karena istri diberi nafkah oleh suami, yang ada ialah harta milik masing-masing suami dan istri. Harta ini adalah hak mereka masing-masing.

  2) Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama-agama lainnya, tetapi tunduk kepada hukum adat yang mengenal harta bersama (gono-gini atau harta guna kaya), jika terjadi perceraian bekas suami dan bekas istri masing-masing mendapat separuh (Yurisprudensi Mahkamah Agung No.387k/ Sip/ 1958 tanggal 11-2-1959 dan No.392k/

74 Sip/ 1969 tanggal 30-8-1969).

  3) Bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen, tetap tunduk kepada KUH Perdata yang mengenal harta bersama (persatuan harta sejak terjadi perkawinan). Jika terjadi perceraian, harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri, Pasal 128 KUH Perdata juncto Pasal 37 Undang-undang Perkawinan belum memberikan penyelesaian tuntas mengenai harta bersama dalam hal terjadi perceraian, malah masih menghidupkan separoh bagi bekas suami dan separoh bagi bekas istri. Demikian juga KUH Perdata memberikan penyelesaian bahwa harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri.

  Rumusan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan juga dibagi dua, separoh untuk bekas suami dan separoh untuk bekas istri. Rumusan itu adalah sesuai dengan asas “hak dan kedudukan yang seimbang antara suami dan istri”. Harta milik masing-masing pada waktu pernikahan

  75 dimulai, tetap menjadi miliknya sendiri.

  74 http://asiamaya.com/konsultasi_hukum/harta_perkawinan/pembag_harta.htm , diakses pada tanggal 16 oktober 2011. Demikian juga harta yang mereka peroleh masing-masing selama berlangsung pernikahan tidak bercampur menjadi kekayaan bersama, tetapi tetap terpisah satu sama lain.

  “Terhadap milik suami, si isteri tidak berhak begitu saja, dan sebaliknya. Tetapi suami-isteri walaupun bukan sebagai pemiliknya tetap boleh memakai harta itu berdasarkan perjanjian antara

  76 suami-isteri yang biasanya berlaku secara diam-diam”.

B. Pengasuhan Anak Menurut Hukum

  Berlakunya seseorang manusia sebagai pembawa hak (subyek hukum) ialah dimulai saat berada dalam kandungan ibunya sudah dianggap telah dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, hal ini berlangsung selama dia hidup. Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) KUHPerdata Indonesia bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya, mati

  77 sewaktu dilahirkannya dianggap ia tidak pernah telah ada.

  Hukum perdata mengatur setiap manusia pribadi mempunyai hak yang sama untuk bahkan sejak dalam kandungan ibunya asalkan ia lahir hidup apabila kepentingannya

  78

  menghendaki. Jadi setiap orang dimungkinkan pula berhak sejak ia masih dalam kandungan dan lahirnya harus hidup.

  Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukaan orang lain dalam kehidupannya, baik dalam pertumbuhan fisiknya. Peran seorang ayah yang berkewajiban dalam membiayai nafkah pemeliharaan dan pendidikan seorang anak agar si anak tersebut dapat menjadi seseorang yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara kelak, 76 77 Yani Trizakia, Op.Cit, hal 57.

  Subekti dan Tjitro Sudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet. Ke-28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hal 4. mengingat tanggung jawab anak sebagai generasi penerus. Untuk kepentingan seorang anak, sikap perduli dari kedua orang tua terhadap tanggung jawab biaya nafkah memang sangat diperlukan. Jika tidak, maka bisa mengakibatkan seorang anak tumbuh, tidak terpelihara dan tidak terarah seperti yang diharapkan. Oleh sebab itu yang paling diharapkan adalah keterpaduan keduanya yang akan bisa diwujudkan selama kedua orang tuanya itu masih tetap dalam hubungan suami istri. Dalam suasana yang demikian, kendatipun tugas mengasuh anak lebih banyak dilakukan oleh pihak ibu, namun peranan seorang ayah tidak bisa diabaikan dalam hal memenuhi segala kebutuhan guna memperlancar tugas pengasuhan.

  Harapan seperti tersebut di atas tidak akan terwujud, bilamana terjadi perceraian antara ayah dan ibu si anak. Peristiwa perceraian apapun alasannya merupakan malapetaka bagi anak, di saat itu si anak tidak lagi dapat merasakan nikmat kasih sayang dari kedua orang tuanya. Padahal merasakan kasih sayang kedua orang tua merupakan unsur penting bagi pertumbuhan mental seorang anak. Pecahnya rumah tangga kedua orang tua, tidak jarang membawa kepada

1. Tanggung Jawab Pengasuhan Anak Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Setiap anak mempunyai hak yang sama dalam pemeliharaan dari orang tuanya.

  Pemeliharaan menurut etimologi adalah “proses, cara, perbuatan memelihara (kan), penjagaan,

  79 perawatan, pendidikan, penyelamatan, penjagaan harta kekayaan”.

  Dalam Hukum Islam pemeliharaan anak disebut dengan al hadhinah yang dalam pengertian istilah hadhanah adalah ”pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri,

  80 biaya pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya”.

  79 80 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit., hal. 848 Ash Sha’ani, Subulus Salam, (Surabaya : Terjemahan Abubakar Muhammad Jilid 3, Al Ilkhlas, 1995),

  Al-Hadhânah berasal dari kata hadhana–yahdhunu–hadhnan wa hidhânah wa hadhânah.

  Secara bahasa hadhânah memiliki dua arti pokok. Pertama dari al-hidhnu (dada), yaitu anggota tubuh antara ketiak dan pinggang. Dari sini jika dikatakan, Ihtadhana al-walad, artinya mendekapnya, yaitu merengkuh dan meletakkannya di dalam dekapan (pelukannya). Kedua, al-

  

hidhnu adalah jânib asy-syay’i (sisi sesuatu). Jika dikatakan, Ihtadhana asy-syay’a,artinya

  meletakkan sesuatu itu di sisinya dan berada dalam pemeliharaannya serta memisahkannya dari pihak lain. Hal itu seperti seekor burung yang mengumpulkan telurnya dan mengeraminya

  81 sehingga telur itu berada di sisinya dan di bawah pemeliharaannya.

  Pengertian lain dari hadhanah adalah di samping atau berada dibawah ketiak. Merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena tidak bisa mengerjakan keperluan sendiri. Menurut Hukum Islam apabila bercerai dua orang suami-isteri, sedang keduanya sudah mempunyai anak yang belum mumayiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya), maka isterilah yang berhak untuk mendidik dan merawat anaknya itu,

  Dalam Kompilasi Hukum Islam, ada dua periode perkembangan anak dalam hubungannya dengan hak asuh orang tua, yaitu periode sebelum mumayyiz atau anak belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, dari lahir sampai berusia 21 tahun, dan sesudah mumayyiz (Pasal 106 KHI).

  Sebelum anak mumayyiz, ibu lebih berhak menjalankan hak asuh anak karena ibu lebih mengerti kebutuhan anak dengan kasih sayangnya apalagi anak pada usia tersebut sangat membutuhkan hidup di dekat ibunya. Masa mumayyiz dimulai sejak anak secara sederhana sudah mampu membedakan mana yang berbahaya dan bermanfaat bagi dirinya, ini dimulai sejak umur tujuh tahun sampai menjelang dewasa (baligh berakal). “Pada masa ini anak sudah dapat memilih dan memutuskan apakah akan memilih ikut ibu atau ayahnya. Tetapi dalam kondisi tertentu ketika pilihan anak tidak menguntungkan bagi anak, demi kepentingan anak hakim boleh

  82 mengubah putusan itu dan menentukan mana yang maslahat bagi anak”.

  Semua biaya hadlanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri atau sampai usia 21 tahun. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan nafkah anak maka pengadilanlah yang memutuskannya (Pasal 156 d dan e KHI).

  Dalam putusan hak asuh sama sekali tidak menafikan hubungan pihak yang kalah dengan anak yang disengketakan, sehingga tidak sepatutnya sengketa hak asuh dipertajam ketika sudah diputuskan oleh Pengadilan. Sehingga lazimnya walaupun putusan memenangkan pihak ibu dan mengalahkan pihak ayah, biasanya putusan juga menyatakan ayah tetap berkewajiban membelanjai kebutuhan anaknya dan ibu tidak boleh menghalang-halangi ayah berhubungan

  83 bebas berhubungan dan mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

2. Pengasuhan Anak Berdasarkan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

  Lahirnya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 merupakan perwujudan dari falsafah Pancasila dan cita-cita pembinaan hukum nasional, yang sekaligus menampung prinsip- prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat.

82 Satria Effendi, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam,

  (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999), hal. 181

  Penjelasan umum Undang-undang ini menyebutkan, bahwa sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang- undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedang di lain pihak harus dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Karena itu pula Undang-undang ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan, sehingga dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan, tidak ada perkawinan di luar masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Karena tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, maka konsekuensinya tidak ada pula perceraian di luar hukum masing-masing

  84 agamanya dan kepercayaannya.

  Menurut penjelasan Pasal 2 bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi

  85 lain dalam Undang-undang ini.

  Perkawinan yang telah berlangsung sewaktu-waktu dapat putus, hal itu walaupun dipandang masih secara negative didalam masyarakat namun oleh Undang-undang diperkenankan jika antara suami dan istri sekiranya tidak dapat lagi untuk dipersatukan didalam berumah tangga.

  Putusnya perkawinan atau terjadinya perceraian akan menimbulkan akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai. Mengenai hubungan suami istri adalah sudah 84 H.M Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, halaman 104. 85 Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jelas bahwa akibat pokok dari perceraian perkawinan, persetubuhan menjadi tidak boleh lagi, tetapi mereka boleh kawin kembali sepanjang sesuai dengan ketentuan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

  Dalam perceraian perkawinan ketentuan Pasal 41 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Kewajiban dan/atau menentukan sesuatu kewajiban ini tentu berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

  Bersangkutan dengan hal tersebut diatas, mengenai anak, berdasarkan Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mempunyai akibat yuridis yang dapat terjadi terhadap anak bila terjadi perceraian, yaitu: 1.

  Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-

  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu bilamana Bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut. Kemudian dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan sebagai berikut :

  1. kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.

  2. kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya putus.

  Terhadap hal tersebut juga Pasal 47 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur sebagai berikut:

  1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

  2. orang tua mewakili anaktersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

  Apabila orang tua melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan pengadilan.

  M.Yahya Harahap menjelaskan bahwa Orang tua yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidak becusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang

  86

  baik. Contohnya seorang orang tua yang tidak pernah memberikan anaknya nafkah dan kehidupan yang layak yang dikarenakan orang tua tersebut berada didalam penjara atau tidak pernah diketahui keberadaannya.

  Kekuasaan orang tua ini dapat saja dicabut, akan tetapi orang tua tidak dibebaskan dari kewajiban memberi biaya nafkah anak. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut :

  1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal- hal; a.

  Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.

  b.

  Ia berkelakuan sangat buruk sekali 2. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya tersebut.

  Dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan. Jika berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pelaksanaan pengasuhan adalah sama dengan kekuasaan yang menjadi tanggung jawab orang tua dari anak tersebut,

  87 yaitu meliputi pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya”.

  Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, maka ia berada di

  88

  bawah kekuasaan wali. Perwakilan itu berfungsi untuk mengurus pribadi anak yang

  89 bersangkutan maupun harta benda yang dimilikinya.

  87 88 Pasal 50 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

  Penunjukan Wali dilakukan sebisa mungkin berasal dari keluarga anak dibawah umur tersebut, yang oleh Undang-undang ditetapkan wali tersebut haruslah telah dewasa, berpikiran

  90 sehat, berkelakuan adil, jujur dan bertindak baik.

  Akan tetapi meskipun demikian wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, yang dilakukan sebelum orang tua sianak tersebut meninggal,

  91 dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.

  Setelah ditunjuk, wali akan mempunyai kewajiban untuk mengurus anak yang di bawah penguasaannya beserta harta benda anak dibawah umur yang berada dalam pengasuhannya tersebut dengan sebaik-baiknya dan dengan menghormati agama serta kepercayaan anak

  92 tersebut.

  Terhadap harta kekayaan si anak yang berada dibawah kekuasaannya, wali mempunyai

  93

  kewajiban untuk: 1.

  Membuat daftar harta benda anak tersebut secara jelas dan rinci. Mencatat semua perubahan yang terjadi atas harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya.

3. Mempertanggung jawabkan segala perhitungan dan kegiatan akibat dan kelalaian dan kesalahan wali.

  4. Dilarang memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak yang berada dibawah kekuasaan wali, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

  90 91 Pasal 51 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 92 Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 51 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

  Selama melaksanakan kekuasaannya, wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau mengandaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak tersebut, kecuali apabila kepentingan

  94

  anak itu menghendakinya. Jika terjadi kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian dan kesalahannya maka wali dapat dituntut untuk bertanggung jawab terhadap harta si anak yang

  95

  berada dibawah perwaliannya tersebut. Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian

  96 tersebut.

  Dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan: 1)

  Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, 2)

  Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, pengadilan dapat menunjuk orang lain sebagai wali.

3. Pengasuhan Anak Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

  perkawinan dengan putusan Hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang sah yang disebut dalam Undang-undang ini. Dalam hal suami istri tidak dapat hidup bersama lagi, Pasal 233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberi kemungkinan kepada mereka untuk menuntut perpisahan meja dan ranjang (scheiding van tavel

  en bed).

  Perpisahan meja dan ranjang ini mempunyai akibat bahwa suami istri dibebaskan dari kewajiban untuk bertempat tinggal bersama sedang perkawinan antara suami istri tidak

  94 95 Pasal 52 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Pasal 51 ayat (5) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

  97

  98

  dibubarkan. Kecuali itu mengakibatkan juga perpisahan harta kekayaan antara suami dan istri, karenanya penguasaan suami atas harta kekayaan istri dipertangguhkan dan istri berkuasa mengurus sendiri harta kekayaannya, karena ia telah mempunyai kebebasannya terhadap harta

  99 kekayaannya.

  Setelah terjadinya perceraian menurut Pasal 225 KUHPerdata, apabila pihak suami atau istri atas kemenangan siapa perceraian itu dinyatakan, tidak mempunyai penghasilan yang cukup guna membelanjai nafkahnya, maka Pengadilan Negeri boleh menentukan sejumlah uang tunjangan untuk itu dari harta kekayaan pihak lain. Begitu juga yang terjadi jika hal ini diputuskan oleh Pengadilan Agama.

  Terhadap anak-anak yang belum dewasa, menurut Pasal 229 KUHPerdata, oleh Pengadilan harus ditentukan sekali, kepada siapa dari bekas suami dan bekas istri anak-anak itu harus turut. Apabila yang diserahi anak itu tidak mampu memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut Pasal 230 KUHPerdata, Hakim dapat menentukan sejumlah pendidikan anak-anak tadi.

  Dalam hal kekuasaan orang tua terhadap anak setelah terjadinya perceraian dalam Pasal 300 KUHPerdata disebutkan bahwa kecuali jika terjadi pelepasan dan atau berlaku ketentuan- ketentuan mengenai pisah meja dan ranjang, si ayah sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Selanjutnya ditentukan bahwa bila si ayah dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orang tua, kekuasaan itu dilakukan oleh si ibu, kecuali dalam hal adanya pisah meja dan ranjang. Pada ayat (2) disebutkan pula bila si ibu ini juga tidak dapat atau tidak berwenang,

  97 98 R.Subekti op cit, Pasal 242.

  R.Subekti op cit, Pasal 243. maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai dengan Pasal 359. Berbeda halnya menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, kekuasaan orang tua dipegang oleh kedua orang

  100 tua selama kekuasaan kedua orang tua atau salah satu orang tua tersebut tidak dicabut.

  Ketentuan Pasal 300 KUHPerdata tersebut diatas dimaksudkan karena ada kekhawatiran bahwa tidak ada persesuaian antara ayah dan ibu dalam hal kekuasaan orang tua, sehingga pihak

  101 ketiga, hakimlah yang harus turut campur.

4. Tanggung Jawab Pengasuhan Anak Menurut Hukum Adat

  Dalam masyarakat hukum adat konsep mengenai tanggung jawab orang tua terhadap anak berbeda dengan masyarakat modern, di mana keluarga/ rumah tangga dari suatu ikatan perkawinan tidak saja terdapat anak kandung, tetapi juga terdapat anak tiri, anak angkat, anak

  102

  asuh, anak akuan dan sebagainya. Kesemua anak-anak tersebut memiliki sangkut paut dengan hak dan kewajiban orang tua yang mengurus atau memeliharanya, begitu pula sebaliknya.

  Kedudukan anak-anak tersebut pengaturannya tergantung pada susunan masyarakat adat tentang apakah anak tersebut dilahirkan dari perkawinan yang sah atau tidak, hal mana

  103 dipengaruhi oleh agama yang dianut masyarakat yang bersangkutan.

  Dalam masyarakat dengan susunan kekerabatan yang patrilineal yang cenderung melakukan perkawinan bentuk jujur, di mana istri pada umumnya masuk dalam kelompok kekerabatan suami, maka kedudukan anak dikaitkan dengan tujuan penerusan keturunan menurut garis lelaki. Sehingga ada kemungkinan keluarga yang tidak memiliki anak lelaki atau tidak 100 101

Pasal 49 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, halaman 55. 102 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 126

  punya anak sama sekali mengangkat anak wanita berkedudukan seperti anak lelaki atau mengangkat anak lelaki orang lain menjadi penerus keturunan yang kedudukannya sejajar dengan anak kandung. Dari uraian tersebut maka dapat diartikan bahwa permasalahan tanggung jawab pengasuhan terhadap anak pada masyarakat patrilineal berada dipihak suami atau kerabat suami apabila suami meninggal dunia.

  Pada masyarakat matrilineal yang cenderung melakukan perkawinan dalam bentuk semanda, di mana suami masuk ke dalam kerabat istri (matrilokal) atau di bawah kekuasaan kerabat istri, maka kedudukan anak dikaitkan dengan penerusan keturunan menurut garis keturunan wanita. Sehingga ada kemungkinan keluarga yang tidak mempunyai anak wanita atau tidak mempunyai anak sama sekali mengangkat anak lelaki berkedudukan seperti anak wanita atau mengangkat anak wanita orang lain untuk menjadi penerus keturunan yang berkedudukan sejajar dengan anak sendiri. Dari uraian tersebut maka dapat diartikan bahwa permasalahan tanggung jawab pengasuhan terhadap anak pada masyarakat matrilineal berada dipihak istri atau 104

  Dalam masyarakat yang kekeluargaannya bersifat parental (keorang tuaan) yang terbanyak di Indonesia, kedudukan anak di daerah yang satu berbeda dari daerah yang lain. Di lingkungan masyarakat Melayu tidak banyak pengaruh tentang adanya anak angkat, tetapi di daerah Jawa anak wong ora nggenah, anak pungut, anak pupon, dapat berperanan melebihi anak sendiri. Di samping itu di pedesaan orang Jawa sudah terbiasa anak-cucu diurus oleh embah- kakeknya, entah anak itu anak sah atau tidak, sedangkan di daerah lain hal tersebut bukan 105 merupakan suatu kebiasaan. Dari uraian tersebut maka dapat diartikan bahwa permasalahan

  104 Ibid., hal. 127 tanggung jawab pengasuhan terhadap anak pada masyarakat bilateral berada pada kedua orang tua baik pihak istri atau suami maupun kerabat orang tua baik itu dari pihak istri maupun suami.

C. Hak Pemeliharaan Anak setelah Perceraian dalam Putusan Pengadilan

  Undang-undang Perkawinan mengatur hak dan kewajiban orang tua dan anak yang menyangkut beberapa hal, yang salah satunya bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. kewajiban orang tua yang dimaksud tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, meskipun perkawinan kedua orang tua

  106 putus.

1. Penentuan Tanggung Jawab Terhadap Pemeliharaan dan Nafkah Anak

  Pengadilan Negeri merupakan salah satu dari badan peradilan di Indonesia, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang

  107 diajukan kepadanya.

  Dalam penuntutan biaya hidup bagi anak biasanya ibu yang akan bertindak mengajukan dalam pemberian nafkah hidup bagi anak yang berada dalam asuhannya.

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 43 101

Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)

0 59 130

Pelanggaran Taklik Talak Menurut Kompilasi Hukum Islam Sebagai Alasan Perceraian Suami Istri

0 28 1

Perceraian Atas Perkawinan Yang Dilangsungkan Menurut Hukum Adat Tionghoa Dan Akibat Hukumnya

5 71 123

Analisis Yuridis Tanggung Jawab Mantan Ayah Terhadap Anak Apabila terjadi Perceraian (Studi Putusan Nomor 132/Pdt.G/2011/PN.Mdn)

0 45 162

Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Putusan Hakim Dalam Perkara Perceraian Nomor: 214/Pdt. G/PA. Bgr.)

0 6 102

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN - Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Orangtua(Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di Indonesia)

0 0 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata - Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Meda

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 2 13

BAB II KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN DARI TAHUN 2010-2012 1. Perceraian Dan Akibat Hukum Terhadap Anak a. Perceraian - Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 20

0 0 31