Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)
TANGGUNG JAWAB HUKUM SUAMI ATAU ISTRI DALAM
PERCERAIAN TERHADAP ANAK
(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR : 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)
TESIS
OLEH
TESSY
097011100/MKn
FAKULTAS HUKUM
MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
TANGGUNG JAWAB HUKUM SUAMI ATAU ISTRI DALAM
PERCERAIAN TERHADAP ANAK
(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR : 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH
TESSY
097011100/MKn
FAKULTAS HUKUM
MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(3)
Telah Diuji Pada
Tanggal : 18 Januari 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, M.S
2. Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn.
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum
(4)
ABSTRAK
Perceraian bukan hal yang dilarang. Sehingga didalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan diatur alasan-alasan seseorang boleh mengajukan cerai. Perceraian ini membawa dampak terhadap anak-anak yang dihasilkan selama pernikahan. Anak biasanya akan menjadi bahan perebutan oleh orang tua. Penentuan kepada siapa perwalian anak ini adalah merupakan kewenangan pihak pengadilan, setelah terlebih dahulu membuat pertimbangan baik itu secara hukum maupun kemanusiaan. Akan tetapi setelah ditetapkannya keputusan oleh hakim, tetap masih ada juga pihak yang tidak melaksanakan keputusan tersebut.
Penelitian ini bersifat deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif, dengan cara penelaahan berbagai macam peraturan yang berkenaan dengan permasalahan ini disertai dengan beberapa wawancara kepada pihak-pihak yang berwenang, dalam hal ini adalah hakim.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menentukan tanggungjawab pengasuhan anak setelah perceraian tidak terlepas dari kepentingan si anak kedepannya. Sehingga jika kedepannya setelah ditetapkan hak perwalian terhadap anak ini tetapi ia tetap terlantar dalam artian tidak terpenuhi haknya sebagai anak, maka pihak yang sebelumnya telah dikalahkan oleh pengadilan dapat memintakan pembatalan kekuasaan wali atau kekuasaan orang tua yang sebelumnya ada. Begitu sebaliknya, jika pihak yang menang mempunyai kewajiban pengasuhan, maka pihak yang kalah biasanya akan mendapatkan kewajiban pula, yaitu berupa memberi nafkah kepada anaknya. Pihak pemegang kekuasaan perwalian atau pemegang kekuasaan orang tua dapat memintakan kepada pengadilan supaya pihak yang telah dikalahkan untuk dapat memberikan pemenuhan biaya hidup si anak sampai ia dewasa atau dianggap mampu. Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak yang menolak melaksanakan kewajibannya adalah dengan cara memohonkan kepada pengadilan agar segera dilakukannya eksekusi terhadap keputusan sebelumnya. Sehingga pengadilan akan memerintahkan pihak yang berwenang untuk itu, agar melakukan tindakan hukum berupa upaya paksa terhadap pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya.
(5)
ABSTRACT
Divorce is not the case prohibited. Up in Article 39 paragraph (2) arranged Marriage Laws reasons a person may file a divorce. This brings the impact of divorce on children produced during the wedding. Children usually will serve as a struggle by parents. The determination of who this child is a ward of the judicial authority, after first making good judgments in the law and humanity. However, after the enactment decision by the judge, still there are certain parties that do not implement the decision.
This research are descriptive. Types of studies used is normative, with a review of how various regulations that apply to this problem is accompanied by a number of interviews to the authorized parties, in this case is the judge. Based on research carried out that policy considerations in determining the responsibility of judges childrearing after divorce has not been spared from the interests of the child's future. So if the future, once it was set right on the child's trust, but it is still lying organization in the traditional right as a child are not met, then the party who were defeated by the court to ask the previous guardian of power of revocation. So instead, if the winner has a duty of care, then the loser will usually get the obligation is, that the form of maintenance to her. The holder of a guardianship authority can ask the court to the party was defeated in order to provide the fulfillment of a child living expenses until they are adult or considered capable. Efforts should be made by those who reject perform its obligations is to immediately ask for the court to do execution on the previous results. Until the court will order the appropriate authorities for it, so that if an action potential of the force who does not fulfill its obligations.
Keywords: Liability, Child Care.
(6)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperolah gelar Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara Medan. Didalam memenuhi tugas inilah maka penulis menyusun dan memilih judul : “Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)” masih banyak kekurangan didalam penulisan Tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka, saya menerima saran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pedoman dimasa yang akan datang.
Didalam penulisan dan penyusunan Tesis ini, saya mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya secara khusus kepada Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS, serta Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn., masing-masing selaku anggota komisi pembimbing kepada saya dalam penulisan tesis ini dan kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku dosen penguji saya dalam penulisan ini
(7)
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum. Selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak-Bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Secara khusus penulis menghaturkan terimakasih yang tak terhingga kepada Ayahanda tercinta, Taufik Syamsir, yang selalu memberikan dukungan moril maupun materiil, sehingga saya dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Ibunda tercinta Notaris Zonarita Boes, SH, SPn yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, dan kasih sayang dan doa restu.
Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada suami tercinta Setia, anakku tercinta, Nabila Azhara, atas seluruh dukungan moril maupun materiil, juga cinta kasih dan pengertiannya.
(8)
Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada kawan-kawan seperjuangan dan sahabat saya, JE. Melky Purba, Donny Kartien, Suhaili, Buchler Tarigan, Rahmat, Rudi, Wina, Nida, Agustina, Pudio Yunanto, Roy, Laila, Bernadin, Tulus Tarigan, Tunggul Simorangkir, Warti, Sadikin, Olifia, Putri, Afnida, Syahrani, Inez, Rahma, Netty, Maghdalena, Marsita, Fery serta seluruh kawan-kawan angkatan 2009 yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang terus memberikan motivasi, semangat dan kerjasama dan diskusi, membantu dan memberikan pemikiran kritik dan saran yang dari awal masuk di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Saya berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah.
Akhirnya, semoga tesis ini dapat berguna bagi diri saya sendiri dan juga semua pihak dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.
Medan, Januari 2012
(9)
RIWAYAT HIDUP
1. Indentitas Pribadi
Nama : Tessy Taufik.
Tempat / Tanggal Lahir : Palembang/ 18 April 1982.
Jenis Kelamin : Perempuan.
Agama : Islam.
Alamat : Jl. Villa Gading Mas Blok B no 1.
2. Keluarga
Nama Ayah : Taufik Syamsir.
Nama Ibu : Hj. Zonaritha Boes, SH, SPn.
Saudara Kandung : Dr. Tenny Taufik. Teddy Taufik, SH, MKn.
Nama Suami : Setia, Amd.
Nama Anak : Nabila Azhara.
3. Pendidikan
1. Sekolah Dasar : SD Harapan Medan Tamat Tahun 1994
2. Sekolah Menengah Pertama : SMP Swasta Harapan Medan 1 Tamat Tahun 1997 3. Sekolah Menengah Atas : SMU Swasta Harapan Medan Tamat Tahun 2000 4. S-1 Fakultas Hukum : Universitas Islam Sumatera Utara Tamat Tahun
2006
5. S-2 Magister Kenotariatan : Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2012
(10)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI... vi
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Permasalahan ... 11
C. Tujuan Penelitian... 12
D. Manfaat Penelitian... 12
E. Keaslian Penelitian... 13
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15
1. Kerangka Teori... 15
2. Konsepsi... 27
G. Metode Penelitian... 30
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Masalah ... 30
2. Sifat Penelitian ... 30
3. Sumber Data ... 31
4. Teknik Pengumpulan Data ... 32
5. Analisis Data ... 32
BAB II DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN TANGGUNG JAWAB PENGASUHAN ANAK SETELAH PERCERAIAN... 34
A. Perceraian dan Akibat Hukumnya ... 34
1. Perceraian... 34
2. Akibat Hukum Perceraian... 37
B. Tanggung Jawab Pengasuhan Anak Menurut Hukum... 48
1. Tanggung Jawab Pengasuhan Anak Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam... 50
2. Tanggung Jawab Pengasuhan Anak Berdasarkan Undang- undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ... 53
3. Tanggung Jawab Pengasuhan Anak Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata... 60
4. Tanggung Jawab Pengasuhan Anak Berdasarkan Hukum Adat... 62
C. Hak Pemeliharaan Anak Setelah Perceraian dalam Putusa Pengadilan....64
1. Penentuan Tanggung Jawab Terhadap Pemeliharaan dan Nafkah Anak ...64
(11)
3. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor
209/Pdt.G/2007/PN.M...79
BAB III AKIBAT HUKUM DARI TIDAK TERLAKSANANYA HAK DAN KEWAJIBAN TERHADAP ANAK SETELAH PERCERAIAN KEDUA ORANG TUANYA ...84
A. Beralihnya Kekuasaan Orang Tua Menjadi Kekuasaan Wali akibat Perceraian ...84
1. Pengertian Wali ...85
2. Kewenangan dan Kewajiban Wali Terdap Anak Dibawah Umur ...96
B. Akibat Hukum Tidak Terlaksananya Hak dan Kewajiban Terhadap Anak...98
1. Hak-Hak Anak Terhadap Orang Tua Setelah Perceraian ...98
2. Perlindungan Anak Secara Hukum dan Akibat Hukum Tidak Terlaksananya Kewajiban Oleh Pengadilan ...101
BAB IV UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH SUAMI ATAU ISTRI APABILA SALAH SATU PIHAK TIDAK DAPAT MEMENUHI KEWAJIBANNYA TERHADAP ANAK SESUAI PUTUSAN PENGADILAN ...112
A. Putusan Pengadilan ...112
1. Putusan Pengadilan Negeri Terhadap Perkara Nomor 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn ...112
B. Upaya Hukum Pihak Yang Memegang Hak Pemeliharaan Anak Terhadap Pihak Yang Tidak Melaksanakan Kewajiban Yang Telah Ditetapkan Oleh Pengadilan ...123
1. Eksekusi Guna Terlaksananya Kewajiban Untuk Memenuhi Keputusan Pengadilan ...123
2. Permintaan Eksekusi Keputusan Pengadilan Oleh Pihak Yang Memegang Hak Pemeliharaan Anak, Terhadap Pihak Yang Dikalahkan ...127
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...136
A. Kesimpulan ...136
B. Saran ...137
(12)
ABSTRAK
Perceraian bukan hal yang dilarang. Sehingga didalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan diatur alasan-alasan seseorang boleh mengajukan cerai. Perceraian ini membawa dampak terhadap anak-anak yang dihasilkan selama pernikahan. Anak biasanya akan menjadi bahan perebutan oleh orang tua. Penentuan kepada siapa perwalian anak ini adalah merupakan kewenangan pihak pengadilan, setelah terlebih dahulu membuat pertimbangan baik itu secara hukum maupun kemanusiaan. Akan tetapi setelah ditetapkannya keputusan oleh hakim, tetap masih ada juga pihak yang tidak melaksanakan keputusan tersebut.
Penelitian ini bersifat deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif, dengan cara penelaahan berbagai macam peraturan yang berkenaan dengan permasalahan ini disertai dengan beberapa wawancara kepada pihak-pihak yang berwenang, dalam hal ini adalah hakim.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menentukan tanggungjawab pengasuhan anak setelah perceraian tidak terlepas dari kepentingan si anak kedepannya. Sehingga jika kedepannya setelah ditetapkan hak perwalian terhadap anak ini tetapi ia tetap terlantar dalam artian tidak terpenuhi haknya sebagai anak, maka pihak yang sebelumnya telah dikalahkan oleh pengadilan dapat memintakan pembatalan kekuasaan wali atau kekuasaan orang tua yang sebelumnya ada. Begitu sebaliknya, jika pihak yang menang mempunyai kewajiban pengasuhan, maka pihak yang kalah biasanya akan mendapatkan kewajiban pula, yaitu berupa memberi nafkah kepada anaknya. Pihak pemegang kekuasaan perwalian atau pemegang kekuasaan orang tua dapat memintakan kepada pengadilan supaya pihak yang telah dikalahkan untuk dapat memberikan pemenuhan biaya hidup si anak sampai ia dewasa atau dianggap mampu. Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak yang menolak melaksanakan kewajibannya adalah dengan cara memohonkan kepada pengadilan agar segera dilakukannya eksekusi terhadap keputusan sebelumnya. Sehingga pengadilan akan memerintahkan pihak yang berwenang untuk itu, agar melakukan tindakan hukum berupa upaya paksa terhadap pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya.
(13)
ABSTRACT
Divorce is not the case prohibited. Up in Article 39 paragraph (2) arranged Marriage Laws reasons a person may file a divorce. This brings the impact of divorce on children produced during the wedding. Children usually will serve as a struggle by parents. The determination of who this child is a ward of the judicial authority, after first making good judgments in the law and humanity. However, after the enactment decision by the judge, still there are certain parties that do not implement the decision.
This research are descriptive. Types of studies used is normative, with a review of how various regulations that apply to this problem is accompanied by a number of interviews to the authorized parties, in this case is the judge. Based on research carried out that policy considerations in determining the responsibility of judges childrearing after divorce has not been spared from the interests of the child's future. So if the future, once it was set right on the child's trust, but it is still lying organization in the traditional right as a child are not met, then the party who were defeated by the court to ask the previous guardian of power of revocation. So instead, if the winner has a duty of care, then the loser will usually get the obligation is, that the form of maintenance to her. The holder of a guardianship authority can ask the court to the party was defeated in order to provide the fulfillment of a child living expenses until they are adult or considered capable. Efforts should be made by those who reject perform its obligations is to immediately ask for the court to do execution on the previous results. Until the court will order the appropriate authorities for it, so that if an action potential of the force who does not fulfill its obligations.
Keywords: Liability, Child Care.
(14)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Aturan perkawinan di Indonesia tidak saja dipengaruhi oleh adat setempat, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai ajaran Agama, seperti Agama Hindu, Budha, Kristen serta Agama Islam. Adanya beragam pengaruh dalam masyarakat tersebut mengakibatkan terjadinya banyak aturan yang mengatur masalah perkawinan. Perbedaan dalam cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari pengaturan perkawinan membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan, kekerabatan, dan kekayaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.
Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebabkan terjadinya unifikasi dalam bidang perkawinan bagi seluruh warga negara Indonesia. Undang-undang Perkawinan tersebut diUndang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 bersamaan dengan saat berlakunya Peraturan Pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Manusia adalah subjek hukum, pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum, sedangkan perkawinan merupakan suatu lembaga, yang sangat mempengaruhi kedudukan seseorang di bidang hukum. Oleh karena itu, negara berusaha untuk mengatur perkawinan, dengan suatu Undang-undang Nasional, yang dimaksudkan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, yaitu dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (selanjutnya dalam tesis ini disebut dengan Undang-undang Perkawinan), yang
(15)
diharapkan dapat menciptakan unifikasi hukum di bidang hukum perkawinan atau hukum keluarga.1
Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terjalinnya ikatan lahir dan bathin tersebut merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal merupakan tujuan ideal yang tinggi dan mencakup pengertian jasmani dan rohani yang melahirkan keturunan,2 sehingga dapat diartikan bahwa perkawinan haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan karena sebab-sebab lain selain kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan ikatan perkawinan yang berupa perceraian hidup merupakan jalan terakhir, karena setelah itu tidak ada jalan yang lain.3
Perkawinan merupakan penyatuan masing-masing sifat, pola pikir dan kebiasaan yang berbeda. Oleh karena itu didalam kehidupan berkeluarga, selalu ada permasalahan atau konflik yang terjadi diantara pasangan suami istri. Apabila konflik tersebut tidak dapat diselesaikan sendiri maka dapat menyebabkan berakhir dan putusnya ikatan perkawinan yang disebut dengan perceraian. Dalam Undang-undang Perkawinan dan KUHPerdata disebutkan sebab berakhirnya perkawinan.
Pasal 38 Undang-undang perkawinan menyebutkan alasan putusnya perkawinan karena: 1. Kematian,
1 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga di Indonesia, Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal.1
2
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV. Rajawali, Medan, 1986, hal. 3
3
(16)
2. Perceraian dan
3. Atas keputusan Pengadilan.
Pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan alasan bubarnya
perkawinan karena: 1. Kematian;
2. Tidak hadirnya si suami atau si isteri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh perkawinan baru isteri atau suaminya.
3. Keputusan Hakim setelah pisah meja dan ranjang dan pendaftaran Catatan Sipil. 4. Perceraian.
Perceraian adalah bubarnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami atau istri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan Perundang-undangan.4 Bubarnya perkawinan karena perceraian tidak dapat dilakukan hanya atas dasar kesepakatan suami istri, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.5 Perceraian harus melalui suatu proses yaitu dilakukan didepan sidang pengadilan yang berwenang dan sebelum diambil keputusan, hakim diwajibkan untuk mendamaikan suami istri yang akan bercerai.
Apabila upaya hakim untuk mendamaikan suami istri yang akan bercerai tidak tercapai maka proses perceraian tetap dilanjutkan sampai terbitnya akta perceraian.6
Perceraian memang bukan hal yang dilarang. Namun untuk mempertahankan prinsip kekal dan abadi suatu perkawinan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-undang
4
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Perdata Barat, Gitama Jaya, Jakarta, 2005, hal. 135
5
Pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 6
R.Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet. Ke-28,PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, Pasal 221
(17)
Perkawinan, maka Undang-undang Perkawinan mengatur alasan-alasan seseorang boleh mengajukan cerai yang ditentukan secara limitatif. Peraturan ini dibuat untuk mempersulit terjadinya perceraian.7
Adapun alasan yang dimaksud, tercantum dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan dan diulang lagi sama bunyinya dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri;
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.8
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan. Tata cara mengajukan gugatan tersebut diatur dalam peraturan perundangan
7
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta Undang-undang dan Peraturan Pelaksanaannya, Gitama Jaya, Jakarta, 2003, hal. 139
8
(18)
tersendiri (Pasal 40). Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi mereka yang beragama lainnya Pasal 63 ayat 1 Undang-undang Perkawinan dan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.9
Menurut Subekti, perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.10 Hukum perkawinan adalah sebagian dari Hukum Keluarga dan Hukum Keluarga ini adalah bagian dari Hukum Perdata. Masalah perceraian merupakan bagian dari masalah perkawinan. Karena itu masalah perceraian senantiasa diatur oleh Hukum Perkawinan.11
Perceraian sering terjadi dalam masyarakat. Peningkatan angka perceraian dalam keluarga merupakan salah satu ciri masyarakat modern, tidak terkecuali di Indonesia. Hal itu mungkin berhubungan dengan nilai-nilai kehidupan keluarga yang sudah mulai bergeser karena pengaruh budaya asing yang masuk secara sadar atau tidak sadar ke dalam rumah tangga masyarakat Indonesia. Peningkatan ini dapat dilihat dari jumlah perceraian yang tercatat melalui prosedur hukum di pengadilan, baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Di Pengadilan Agama misalnya, menangani perkara khusus Umat Islam, perkara perceraian menempati peringkat teratas dari semua perkara yang ditanganinya.
Selain berpengaruh terhadap suami atau istri, perceraian juga berakibat kepada anak-anak yang lahir dalam perkawinan. Menurut Pasal 41 Undang-undang Perkawinan dijelaskan bahwa akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian terhadap anak-anak adalah :
9
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 1990, hal.170.
10
Subekti, Pokok-Pokok Dari Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1975, hal.42.
11
(19)
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak maka pengadilan yang akan memutuskan;
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan anak;
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Hal ini berarti, meskipun terjadi perceraian tetapi tidak membuat hapus kewajiban orang tua terhadap kesejahteraan anak-anaknya.
Apabila orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan pengadilan. Dalam Pasal 33 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali anak yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, pelaksanaan pengasuhan anak akan diurus oleh seorang wali yang ditunjuk. Jadi, perwalian (Voogdij) itu terjadi sebagai akibat dari pencabutan kekuasaan orang tua (Ouderlijke macht) terhadap anak-anak. Biasa juga
(20)
terjadi apabila orang tuanya meninggal dunia, maka hal yang demikian ini anak harus dibawah perwalian.12
Dalam Undang-undang Perkawinan, kekuasaan orang tua bersifat tunggal tidak hapus karena perceraian. Selama perkawinan berlangsung dengan baik artinya tidak putus di tengah jalan, maka kewajiban pemeliharaan oleh orang tua atas anaknya tidak menimbulkan masalah, suami istri dapat secara bersama-sama dan saling membantu serta dengan penuh kasih sayang menunaikan kewajibannya memelihara anak mereka. Namun disaat perkawinan tidak dapat lagi diteruskan, saat itulah timbul permasalahan siapa yang paling berhak memelihara anak pasca perceraian orang tuanya. Untuk menentukan siapa yang paling tepat diantara ayah dan ibu tidak mempertimbangkan kemampuan finansial saja, tetapi harus dengan mempertimbangkan sifat, perilaku dan kebiasaan, keadaan jasmani, rohani dan spiritual, serta mempertimbangkan kesalahan siapa yang menjadi penyebab terjadinya perceraian.
Perlindungan anak dalam kasus perceraian orang tua berkaitan erat dengan kekuasaan orang tua setelah putusnya ikatan perkawinan. Walaupun perkawinan telah putus karena perceraian, kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara anak-anak mereka. Hanya dalam implementasinya kekuasaan orang tua tersebut dilakukan dengan situasi dan kondisi yang berbeda yaitu di satu sisi ibu memegang hak pemeliharaan anak dan di sisi lain ayah diwajibkan membiayai pemeliharaan anak tersebut.13
Ketika terjadi perceraian orang tua, biasanya anaklah yang menjadi korban. Orang tua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan anak akan dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak demikian adanya, dan tidak sedemikian
12
Iman Jauhari, Kajian Yuridis Terhadap Perlindungan Hak-Hak Anak Dan Penerapannya di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2005, hal. 48
13
(21)
sederhananya, bahwa penyelesaian terbaik bagi anak akan dapat dengan mudah dicapai. Dalam kondisi apapun harus tetap diingat bahwa anak adalah juga individu yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui sebagaimana halnya orang dewasa. Ini berarti bahwa anak adalah subjek kehidupan, bukan objek yang dapat diperlakukan sesuka hati orang dewasa (orang tua). Oleh sebab itu, dalam kasus perceraian orang tua, anak merupakan salah satu subjek. Karena anak adalah salah satu unsur dari suatu keluarga dan mengalami hubungan-hubungan pribadi yang pertama-tama dalam keluarga dengan orang tuanya,14 maka dalam kasus perceraian orang tua kepentingan anak tetap dan harus menjadi prioritas utama dan pertama.
Seharusnya orang tua dapat mengorbankan perasaan dan membuang perasaan egois demi anak-anak, karena sesungguhnya tolak ukur kesuksesan seseorang sebagai orang tua adalah kesuksesan anak yang merupakan hasil dari pendidikan dan pengasuhan yang diterapkan pada anak-anak mereka.
Terdapat beberapa peraturan yang mengatur tentang anak di Indonesia, seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dalam Pasal 41 secara implisit mengatur mengenai hak anak untuk tetap dipelihara oleh kedua orang tuanya sampai anak dewasa dan mandiri walaupun orang tuanya telah bercerai.
“Anak-anak yang menghadapi masalah dalam kasus perceraian orang tuanya, dikategorikan sebagai anak terlantar.”15 ”Anak terlantar adalah anak yang memerlukan pelayanan secara khusus”.16
14
Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal.23. 15
Setyowati Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam PerUndang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1986, hal.38.
(22)
Secara fisik anak-anak yang mengalami masalah dalam kasus perceraian orang tua memang tidak bermasalah, tetapi secara psikologis, mereka bermasalah dan pantas mendapat perlindungan. Jadi sebenarnya anak korban perceraian harus mendapat perlindungan khusus tanpa menunggu harus diterlantarkan dahulu oleh orang tuanya. Karena tidak boleh dilupakan bahwa anak adalah keturunan yang berasal dari perkawinan. Akibat dari perceraian itu pula, tidak sedikit anak yang dilahirkan dari perkawinan harus menanggung derita yang berkepanjangan. Terhadap adanya perbedaan keinginan berbagai masalah hukum dalam pengasuhan anak jika telah bercerai, misalnya siapa yang harus memelihara anak-anak mereka, hak-hak apa saja yang harus diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Majelis Hakim wajib memeriksa dan mengadili setiap bagian dalam gugatan para pihak, termasuk juga tuntutan hak pengasuhan anak.
Kasus perceraian sebagaimana diputuskan oleh Pengadilan Negeri Medan tertanggal 25 September 2007 No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn, hak pengasuhan terhadap dua orang anak yang masih di bawah umur bernama SAS dan NOS jatuh kepada ayahnya yaitu DBS, sementara salah seorang anak di bawah umur tersebut yaitu NOS berada dalam penguasaan ibunya yaitu AFLT, yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Sehingga walaupun hak pengasuhan anak dipegang oleh ayahnya namun dalam pelaksanaannya tidak akan mudah dijalankan.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai tanggung jawab hukum suami atau istri dalam perceraian terhadap anak yang akan dituangkan ke dalam judul tesis “Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan Nomor: 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)”.
B. Permasalahan
16
(23)
Adapun permasalahan pokok yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah:
1. Apa yang merupakan dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan tanggung jawab pengasuhan anak setelah perceraian?
2. Bagaimanakah akibat hukum dari tidak terlaksananya hak dan kewajiban terhadap anaknya setelah perceraian kedua orang tuanya?
3. Bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan oleh suami atau istri apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai putusan pengadilan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang merupakan tujuan dari tesis ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan jawaban dari permasalahan masalah, sehingga dapat memberikan penjelasan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui yang merupakan dasar pertimbangan hakim dalam menentukan tanggung
jawab pengasuhan anak setelah perceraian.
2. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan oleh pemegang tanggung jawab pengasuhan anak apabila salah satu orang tua tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai putusan pengadilan.
3. Untuk mengetahui yang menyebabkan kesulitan dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah mewajibkan orang tua untuk membiayai anaknya setelah perceraian.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
perkembangan ilmu hukum perdata khususnya yang berkaitan dengan hak asuh anak dibawah umur dalam hal terjadinya perceraian.
(24)
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pedoman bagi praktisi hukum dalam perkara hak asuh anak di bawah umur dalam hal terjadinya perceraian serta lebih lanjut dapat menjadi landasan pengembangan lebih lanjut.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya dengan judul “Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Terhadap Anak Dalam Perceraian”
Namun pernah ada penelitian dari Mahasiswa Magister Ilmu Hukum dan Magister Kenotariatan dengan judul :
1. Saudari Kadriah (NIM. 94310511), Mahasiwa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Penelitian di Kabupaten Pidie)”, dengan permasalahan yang diteliti adalah:
a. Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab orang tua atas pemeliharaan anak dan nafkah hidup anak setelah perceraian?
b. Faktor apa yang menyebabkan orang tua melalaikan tanggung jawabnya terhadap anak? c. Bagaimana penyelesaian yang diambil sehingga anak tetap mendapatkan hak-haknya
secara layak?
2. Saudari Fransisca M.U. Bangun (NIM 037011028), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Negeri Kelas I A Medan)”, dengan permasalahan yang diteliti adalah:
(25)
a. Bagaimanakah putusan Pengadilan Negeri dalam menentukan tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah perceraian?
b. Upaya apakah yang dapat dilakukan apabila orang tua tidak memenuhi kewajiban terhadap anak sesuai putusan pengadilan?
c. Apakah yang menyebabkan kesulitan dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah mewajibkan orang tua untuk membiayai anaknya setelah perceraian?
3. Saudari Syarifah Tifany (NIM 037011076), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Pengasuhan Anak Setelah Terjadinya Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Agama Binjai)”, dengan permasalahan yang diteliti adalah: a. Apa yang menjadi hak-hak anak serta apa kewajiban orang tua terhadap anaknya dalam
hukum islam?
b. Bagaimana menemukan hak pengasuh anak (hadhanah) di Pengadilan Agama Binjai jika terjadi perceraian?
c. Bagaimana eksekusi putusan perkara-perkara hadhanah di Pengadilan Agama Binjai? Judul dalam permasalahan beberapa penelitian sebagaimana disebutkan diatas ternyata judul dan permasalahannya tidak ada yang serupa atau sama dengan yang diteliti saat ini. Oleh karena itu penelitian ini asli dan secara akademis dapat saya pertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
(26)
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifikasi atau proses tertentu terjadi,17 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.18
Teori adalah merupakan suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Landasan teori merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau logika (flow of
reasoning/logic), terdiri dari seperangkat konsep atau variable, defenisi dan proposisi yang
disusun secara sistematis.19
Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa “perkembangan ilmu hukum selain tergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.”20
Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.21
Menurut Maria Sumardjono, teori adalah “Seperangkat proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.”22
17
M.Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-UI, Jakarta, 1996, hal. 203.
18Ibid
, hal. 16
19
J.Supranto MA, Metode Penelitian Hukum dan statistic, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal 194
20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hal. 6
21
Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 21
22
(27)
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistimasikan penemuan-penemuan penelitian, memuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.23
Teori yang digunakan sebagai pisau analisis pada penelitian ini adalah teori Tanggung jawab Hukum yang dikemukakan oleh Han Kelsen. Kelsen mengatakan bahwa seseorang bertanggung jawab atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa ia memikul tanggungjawab hukum, dalam arti ia bertanggung jawab atas sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.
Tiap-tiap manusia memiliki kebebasan, tapi dalam hidup bersama ia memikul tanggungjawab menciptakan hidup bersama yang tertib. Tapi untuk mewujudkan hidup bersama yang tertib itu, perlu pedoman-pedoman objektif yang harus dipatuhi bersama pula.24
Hans Kelsen juga mengatakan bahwa hukum telah menentukan pola perilaku tertentu, maka tiap orang seharusnya berprilaku sesuai pola yang ditentukan itu. Singkatnya orang harus menyesuaikan diri dengan apa yang telah ditentukan.25
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tanggung jawab hukum sebagaimana dikemukakan oleh Hans kelsen suatu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa ia
23
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.17. 24
Bernard L.Tanya, dkk, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal. 201. 25
(28)
memikul tanggung jawab hukum, berarti bahwa ia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan hukum yang bertentangan. Biasanya yakni dalam hal sanksi ditujukan kepada pelaku langsung, seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.26
Lebih lanjut menurut Hans Kelsen, tiap-tiap manusia memiliki kebebasan, tetapi dalam hidup bersama ia memikul tanggung jawab menciptakan hidup bersama yang tertib, oleh karena itu dibutuhkan pedoman-pedoman yang objektif yang harus dipatuhi secara bersama pula. Pedoman inilah yang disebut hukum. Jika hukum telah menentukan pola perilaku tertentu, maka tiap orang seharusnya berperilaku sesuai pola yang ditentukan itu.27
Tanggung jawab hukum terkait dengan konsep hak dan kewajiban hukum. Konsep kewajiban biasanya dilawankan dengan konsep hak, istilah hak yang dimaksud disini adalah hak hukum (legal right). Penggunaan linguistik telah membuat dua perbedaan hak yaitu jus in rem
dan jus in personam.Jus in rem adalah hak atas suatu benda, sedang jus in personam adalah hak
yang menuntut orang lain atas suatu perbuatan atau hak atas perbuatan orang lain. Pembedaan ini sesungguhnya juga bersifat ideologis berdasarkan kepentingan melindungi kepemilikan privat dalam hukum perdata. Jus in rem tidak lain adalah hak atas perbuatan orang lain untuk tidak melakukan tindakan yang mengganggu kepemilikan.28
Persepsi orang tentang hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang itu dari sudut pandang profesi mereka sebagai hakim,29 kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum itu dari sudut profesi
26
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni dengan judul buku asli “General Theory of Law and State” alih bahasa Somardi, Rumidi Pers, Jakarta, 2001, hal. 65
27
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal. 127
28
Jimly Asshiddiqie, dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal. 66-67.
29
(29)
keilmuwan mereka, rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka, dan sebagainya.
Menurut Oxford English Dictionary, sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Ali bahwa pengertian hukum yaitu kumpulan aturan, perUndang-undangan atau hukum kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuasaan mengikat terhadap warganya.30
Sedangkan menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali bahwa hukum adalah himpunan petunjuk hidup, perintah-perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu.31
Berarti hukum bukan hanya sekedar kaidah melainkan juga sebagai gejala sosial dan sebagai sesi kebudayaan. Sedangkan Achmad Ali memberikan pengertian hukum yaitu seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun dalam satu sistem, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya, yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar dilakukan oleh warga masyarakat (sebagai satu keseluruhan) dalam kehidupannya dan jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.32
Persoalan tujuan hukum dikaji melalui tiga sudut pandang, antara lain :
30
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 31
31
Ibid, hal. 32
32Ibid
(30)
a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif-normatif atau yuridis dogmatik, dimana tujuan hukum dititik beratkan pada segi kepastian hukumnya.
b. Dari sudut pandang filsafat hukum, dimana tujuan hukum dititik beratkan pada segi keadilan. c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititik beratkan pada segi
kemanfaatannya.33
Secara konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Dalam hal ini diupayakan ketiganya dapat diwujudkan seluruhnya secara bersama-sama karena memungkinkan pertentangan-pertentangan di antara ketiga tujuan itu.34
Hukum hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosial, kebiasaan keyakinan, agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadikan kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan
(Gerechtigkeit).35
Penegakan hukum merupakan suatu usaha mewujudkan ide-ide yang bersifat abstrak menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan
33
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, Cetakan I, 1993, hal. 60
34 Ibid
35
(31)
keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat Undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.36
Hukum dan penegakan hukum dalam era reformasi ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik elit penguasa. Keterkaitan hukum dan penegak hukum dalam perilaku politik tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu negara yang tidak demokratis dimana transparansi, supremasi hukum dan promosi dan perlindungan HAM37 dikesampingkan.
Penegakan hukum menurut Badan Kontak Profesi Hukum Lampung menyatakan bahwa : a. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam
kaidah-kaidah/pandangan menilai dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (social engineering) dan mempertahankan
(social control) dan kedamaian pergaulan hidup.
b. Penegakan hukum merupakan perpaduan dari sistem nilai-nilai (warden system), dan sistem aturan-aturan perilaku (gadragregelensystem).38
Kondisi yang diresahkan masyarakat saat ini tidak semata-mata terletak pada ketidakpuasan terhadap praktek peradilan (yang dapat disebut sebagai penegakan hukum dalam arti sempit), tetapi justru ketidakpuasan terhadap penegakan hukum dalam arti luas, yaitu penegakan seluruh norma/tatanan, kehidupan masyarakat (di bidang politik, sosial, ekonomi, pertahanan-keamanan dan sebagainya).
Penegakan hukum sangat berkaitan erat dengan budaya hukum dan pengetahuan/pendidikan hukum. Budaya hukum dan pengetahuan/pendidikan hukum diperlukan
36
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi, Sinar Baru, Bandung, 1983, hal. 24
37
Keseluruhan HAM, dilihat dari sudut hukum pada hakekatnya merupakan “kepentingan hukum” yang sepatutnya mendapat perlindungan, antara lain perlindungan lewat hukum pidana.
38
Badan Kontak Profesi Hukum Lampung, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977, hal. 180
(32)
untuk mendukung reformasi hukum harus diupayakan bersama oleh seluruh aparat penegak hukum, masyarakat/asosiasi profesi hukum, lembaga pendidikan hukum dan bahkan oleh seluruh aparat pemerintah dan warga masyarakat pada umumnya. Namun, Undang-undang itu tidak sempurna, memang tidak mungkin Undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang tidak kunjung lahir seperti Peraturan Pemerintah terhadap Pasal 43 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Meskipun tidak lengkap atau tidak jelas Undang-undang harus dilaksanakan.
Jadi dalam hal penegakan hukum juga perlu dibahas mengenai aparat penegak hukumnya seperti Polisi disebut sebagai “alat negara penegak hukum”, Jaksa disebut sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk tertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman.
Menurut ketentuan umum Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang fiat justitia et pereat mundus
(meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Oleh karena Undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya.
(33)
Ketidak harmonisan dalam rumah tangga ada kalanya masih dapat diatasi, tetapi ada juga yang harus diakhiri dengan perceraian. Sama halnya dengan perkawinan, perceraian juga merupakan masalah keluarga yang tidak hanya melibatkan suami istri saja melainkan pada kebiasaannya seluruh keluarga ikut serta menyelesaikannya.39 Tapi bagaimanapun juga putusnya hubungan perkawinan akan selalu membawa pengaruh yang buruk pada keluarga.
Pengadilan dalam hal ini adalah merupakan satu-satunya lembaga yang berhak menangani permasalah ini, selain ditentukan Pasal 63 ayat (1) a (absolut kompetensi), juga ditunjuk oleh Pasal 25 (relatif kompetensi) yakni Pengadilan Agama atau Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal suami isteri, suami atau isteri.40
Dalam Pasal 39 ayat (1) UUP disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil, selanjutnya dalam ayat (2) dijelaskan bahwa untuk dapat melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri. Untuk pelaksanaannya lebih lanjut diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu perceraian dapat terjadi dengan alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
39
Lili Rasjidi, Op.Cit., hal. 9
40
H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan 3, 1985, hal. 106
(34)
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.41
Menurut UUP putusnya hubungan perkawinan karena terjadinya perceraian akan menimbulkan akibat hukum terhadap anak, bekas suami isteri dan harta bersama. Akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 41 UUP yaitu :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan biaya yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
41
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab undang Hukum Perdata dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-Undang-undang Perkawinan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan 22, 1987, hal. 473-474.
(35)
Dari ketentuan Pasal 41 UUP, jelas memberi perlindungan terhadap anak dimana kedua orang tua harus bertanggung jawab dalam hal pemeliharaan anak bahkan ibu juga berkewajiban untuk menanggung biaya pemeliharaan anak apabila bapak tidak mampu.
Mengenai harta bersama, Pasal 37 UUP menyebutkan bahwa : “Bila terjadi perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Dari bunyi Pasal 37 UUP ini dapat diketahui bahwa akibat hukum yang menyangkut harta bersama atau harta pencaharian ini UUP menyerahkan penyelesaiannya kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku dan jika tidak ada kesepakatan antara kedua pihak, hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya. Hal ini berarti Undang-undang membuka kemungkinan berlakunya hukum lain yakni Hukum Agama, BW, Hukum Adat dan Hukum Adat yang berlaku di golongan Timur Asing Tionghoa, golongan Eropah, golongan yang dipersamakan dengan golongan Eropah serta golongan Pribumi.
Menurut Dadang Hawari bahwa perceraian itu berdampak luar biasa yang mesti diperhatikan oleh pasangan suami-isteri yang akan bercerai mengenai psikologis anak dimana akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan mental dan bahkan berdampak lebih buruk lagi. Oleh sebab itu pasangan suami-isteri yang akan bercerai terlebih dahulu memikirkan psikologis dan masa depan anak-anak.42
Terhadap permasalahan itu, pengadilan yang berhubungan sebagai suatu lembaga pencari keadilan dalam memberikan keputusannya harus didasarkan pertimbangan-pertimbangan kemanusian selain dari adanya pertimbangan yang didasarkan kepada Undang-undang.
2. Kerangka Konsepsi
42
Dadang Hawari, Psikiater dan Konsultan Pernikahan, Cek & Ricek, No.447/Thn.IX/ Rabu, 21-27 Maret 2007.
(36)
Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan untuk sebagai dasar penelitian hukum. Oleh karena itu dalam penelitian ini dapat didefenisikan beberapa konsep dasar agar dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:
Perkawinan hapus, jikalau satu pihak meninggal. Selanjutnya ia hapus juga, jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggal hingga sepuluh tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan dapat dihapus karena perceraian.
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Tuntutan untuk mendapatkan perceraian dapat diajukan kepada hakim secara gugat biasa dalam perkara perdata, tetapi harus didahului dengan meminta izin pada Ketua Pengadilan Negeri untuk menggugat. Sebelum izin ini diberikan, hakim harus lebih dahulu mengadakan percobaan untuk mendamaikan kedua belah pihak (verzoeningscomparitie).
Selama perkara itu berlangsung, Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan ketetapan-ketetapan sementara, misalnya dengan memberikan izin pada si isteri untuk bertempat tinggal sendiri terpisah dari suaminya, memerintahkan supaya si suami memberikan nafkah tiap-tiap kali pada isterinya serta anak-anaknya yang turut pada isterinya itu dan sebagainya. Juga hakim dapat memerintahkan supaya kekayaan suami atau kekayaan bersama disita agar jangan dihabiskan oleh suami selama perkara perkara masih dilangsungkan.
(37)
Larangan untuk bercerai atas permufakatan, sekarang ini sudah lazim diseludupi dengan cara mendakwa si suami berbuat zina. Pendakwaan itu lalu diakui oleh si suami. Dengan begitu alasan sah untuk memecahkan perkawinan telah dapat “dibuktikan” di muka hakim.43
Gemeenschap hapus dengan perceraian dan selanjutnya dapat diadakan pembagian
kekayaan gameenschap itu (scheiding en deling). Apabila ada perjanjian perkawinan, pembagian ini harus dilakukan menurut perjanjian tersebut.
Kepada isteri, jika ia tidak mempunyai penghasilan cukup dan kepada anak-anak yang diserahkan pada isteri itu oleh hakim dapat ditetapkan tunjangan nafkah yang harus dibayar oleh suami tiap waktu tertentu. Permintaan untuk diberikan tunjangan nafkah ini oleh si isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatannya untuk mendapatkan perceraian atau tersendiri. Penetapan jumlah tunjangan oleh hakim diambil dengan mempertimbangkan kekuatan dan keadaan si suami. Apabila keadaan ini tidak memuaskan dapat mengajukan permohonanya supaya penetapan itu oleh hakim ditinjau kembali. Adakalanya juga, jumlah tunjangan itu ditetapkan sendiri oleh kedua belah pihak atas dasar permufakatan. Juga diperbolehkan untuk merubah dengan perjanjian ketentuan-ketentuan mengenai tunjangan tersebut yang sudah ditetapkan dalam keputusan hakim. Jikalau seorang janda kawin lagi, ia kehilangan haknya untuk menuntut tunjangan dari bekas suaminya.
Perceraian mempunyai akibat pula, bahwa kekuasaan orang tua (ouderlijke macht)
berakhir dan berubah menjadi “perwalian” (voogdij). Karena itu, jika perkawinan itu terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Penetapan wali oleh Hakim dilakukan setelah mendengar keluarga dari pihak ayah maupun dari pihak ibu yang rapat hubungannya dengan anak-anak tersebut. Hakim merdeka untuk menetapkan ayah atau ibu menjadi wali, tergantung dari siapa
43
(38)
yang dipandang paling cakap atau baik mengingat kepentingan anak-anak. Penetapan wali ini juga dapat ditinjau kembali oleh hakim atas permintaan ayah atau ibu berdasarkan perubahan keadaan.
G. Metode Penelitian
Agar mendapat hasil yang maksimal guna tercapainya bagian dari penulisan ini, maka diperlukan kecermatan dan usaha yang cukup untuk mengumpulkan dan mengolah data, dengan baik serta layak. Untuk itu dilakukan penelitian yang meliputi:
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Masalah
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yang mengacu pada pendekatan asas-asas hukum serta norma-norma hukum yang terdapat dalam perUndang-undangan di Indonesia dan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pedekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.
2. Sifat Penelitian
Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh penulis adalah ratio
decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada
putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil44. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materiil tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada
44
(39)
fakta tersebut. Ratio decidendi inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif. Sedangkan diktum, yaitu putusannya merupakan sesuatu yang bersifat deskriptif. Oleh karena itulah pendekatan kasus bukanlah merujuk kepada diktum putusan pengadilan, melainkan merujuk kepada ratio decidendi.
3. Sumber Data
Jenis data penelitian ini adalah menggunakan data sekunder, yang terdiri dari sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder, dan sumber bahan hukum tersier.
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari: a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer dalam penelitian ini berupa perUndang-undangan yang berkaitan dengan tanggung jawab suami isteri dalam perceraian terhadap anak, dalam hal ini peraturan perUndang-undangan yang berkaitan adalah :
1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer berupa putusan-putusan Pengadilan Negeri Medan, buku-buku, hasil penelitian yang mempunyai hubungan erat terhadap objek permasalahan yang diteliti. c. Bahan hukum Tertier
Bahan hukum tertier dalam penelitian ini akan memberikan informasi lebih lanjut tentang bahan hukum primer dan tertier berupa data statistik.
(40)
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini yaitu dilakukan dengan cara menghimpun data-data dengan, melakukan penelaahan kepustakaan, berupa peraturan perUndang-undangan, karya ilmiah, hasil penelitian dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.
5. Analisis Data
Sesuai dengan sifat penelitian maka sebelum dilakukan analisis data terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap data primer, data sekunder dan data tertier untuk mengetahui validitasnya. Selanjutnya data itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis data ini.
Evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif oleh karena itu data yang sudah dikumpulkan dipilah-pilah dan diolah kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode induktif dan deduktif sehingga dapat diketahui tanggung jawab hukum suami istri dalam perceraian terhadap anak dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh suatu kesimpulan dari permasalahan yang diteliti.
(41)
BAB II
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN TANGGUNG JAWAB PENGASUHAN ANAK SETELAH PERCERAIAN
A. Perceraian dan Akibat Hukumnya 1. Perceraian
Salah satu bentuk pemutusan hubungan ikatan suami-isteri karena sebab-sebab tertentu yang tidak memungkinkan lagi bagi suami-isteri untuk meneruskan kehidupan rumah tangga disebut dengan cerai.45
Perceraian yang sah haruslah perceraian yang penghapusan perkawinannya dilakukan dengan putusan hakim, Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan saja antara suami-isteri, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.46 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.47
Untuk melakukan perceraian tersebut haruslah ada cukup alasan yang salah satunya yaitu bahwa antara suami istri yang meminta untuk diceraikan tidak dapat untuk hidup rukun sebagai suami isteri lagi.
Menurut Undang-undang, alasan perkawinan dapat bubar antara lain karena kematian, karena keadaan tidak hadir si suami atau isteri, selama 10 (sepuluh) tahun diikuti dengan perkawinan baru isterinya atau suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Buku I Kitab
45
Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Online, http//:ebsoft.web.id, diakses pada tanggal 2 Oktober 2011.
46
Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 47
(42)
Undang-undang Hukum Perdata, karena putusan hakim setelah perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan ini dalam putusan Register Catatan Sipil.48
Oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa perkawinan yang telah dibentuk dapat putus antara lain karena:49
a. Kematian, b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Putusnya perkawinan dikarenakan kematian disebabkan karena salah satu dari suami/istri atau bahkan kedua-duanya telah meninggal dunia terlebih dahulu, sehingga pernikahan dianggap telah putus dengan meninggalnya salah satu pihak atau kedua-duanya tersebut.
Putusnya perkawinan dikarenakan Perceraian merupakan putusnya perkawinan yang dikarenakan adanya ketidak cocokkan lagi para pihak untuk melanjutkan rumah tangganya. Sehingga terjadinya pengajuan gugatan salah satu pihak baik itu suami maupun istri untuk diputuskannya perkawinan mereka. Terhadap perceraian ini maka yang dapat menjadi alasan-alasan para pihak untuk memutuskan perkawinan tersebut antara lain:50
a. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
b. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
48
R.Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 199.
49
Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
50
(43)
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami–isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan merupakan putusnya perkawinan berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh Hakim. Selain karena hal pengajuan gugatan perceraian tersebut diatas, putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dilapangan juga dapat terjadi dikarenakan keadaan tidak hadir dari salah satu suami atau istri.
Putusnya suatu perkawinan bukan berarti melepaskan suatu beban tanggung jawab salah satu pihak istri atau suami terhadap pihak lainnya. ini dikarenakan, jika dibutuhkan Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.51 Dengan mempertimbangkan bahwa pihak yang telah diceraikan tersebut tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk menafkahi dirinya sendiri.52
Pengadilan Negeri menentukan jumlah nafkah tunjangan yang akan diberikan kepada salah satu pihak yang dinilai pantas untuk dinafkahi, dimana nafkah tersebut berasal dari harta kekayaan pihak suami atau istri yang dianggap mempunyai kelebihan atau kemampuan untuk itu.53
2. Akibat Hukum Perceraian
51
Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
52
R.Subekti, op cit, Pasal 225
(44)
Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum.54 Sedangkan pengertian peristiwa hukum adalah peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.55 Adapun akibat hukum dalam kaitannya dengan akibat perceraian ini diatur di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 156 Inpres Nomor 1 tahun 1991. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu:
1) Terhadap anak-anaknya,
2) Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan).
3) Terhadap Nafkah (pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya).
1) Terhadap anak-anaknya
Keluarga yang pecah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu dari orang tua karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak terbatas ataupun suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia pergi.56 Hal ini menyebabkan :
a. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan mereka.
b. Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi, keinginan harapan anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasi.
54
J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hal 104.
55
ibid, hal 101. 56
(45)
c. Anak-anak tidak mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan untuk disiplin dan kontrol diri yang baik. Jadi akibat yang timbul dari perceraian menyebabkan anak merasa terabaikan.
Oleh karena itu, Kartini Kartono mengatakan bahwa sebagai akibat bentuk pengabaian tersebut, anak menjadi bingung, resah, risau, malu, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci, sehingga anak menjadi kacau dan liar. Di kemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin sendiri diluar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu gang kriminal lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Pelanggaran kesetiaan loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi dalam keluarga. Semua ini juga memunculkan kecenderungan menjadi delinkuen pada anak-anak dan remaja. Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri menjurus pada arah konflik dan perceraian. Maka perceraian merupakan faktor penentu bagi pemunculan kasus-kasus neurotik, tingkah laku asusila dan kebiasaan delinkuen.57
Lebih lanjut Kartini Kartono juga mengatakan bahwa penolakan oleh orang tua atau ditinggalkan oleh salah seorang dari kedua orang tuanya, jelas menimbulkan emosi, dendam, rasa tidak percaya karena merasa dikhianati, kemarahan dan kebencian, sentimen hebat itu menghambat perkembangan relasi manusiawi anak. Muncullah kemudian disharmoni sosial dan lenyapnya kontrol diri, sehingga anak dengan mudah dapat dibawa ke arus yang buruk, lalu menjadi kriminal. Anak ini memang sadar, tetapi mengembangkan kesadaran yang salah. Fakta menunjukkan bahwa tingkah laku yang jahat tidak terbatas pada strata sosial bawah, dan strata ekonomi rendah saja tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya dikalangan keluarga yang berantakan. Memang perceraian suami-istri dan perpisahan tidak selalu mengakibatkan kasus
57
(46)
delinkuen dan karakter pada diri anak.58 Akan tetapi, semua bentuk ketegangan batin dan konflik familiar itu mengakibatkan bentuk ketidakseimbangan kehidupan psikis anak. Di samping itu juga tidak berkembangnya tokoh ayah sebagai sumber otoritas bagi anak laki-laki.59 Sehingga anak berkembang menjadi kasar, liar, brutal, tidak terkendali, sangat agresif dan kriminal.60
Peristiwa perceraian, apapun alasannya, akan membawa dampak bukan hanya bagi mantan suami dan istri tersebut akan tetapi juga bagi anak. Anak biasanya akan mengalami dampak negatif dari perceraian sehingga tidak akan dapat lagi menikmati kasih sayang orang tua secara bersamaan, karena tidak jarang pecahnya rumah tangga akan mengakibatkan terlantarnya pengasuhan anak.
Konsekwensi hukum dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan adanya perceraian adalah bahwa kekuasaan orang tua terhadap anak menjadi hapus dan berubah, dari kekuasaan orang tua menjadi kekuasaan wali.61 Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 masih berada dibawah kekuasaan orang tua selama kekuasaan itu belum dicabut.62 Walaupun pada dasarnya masih orang tua si anak juga yang menjalankan pengasuhan terhadap anak tersebut.
Menurut Pengadilan, setelah terjadinya perceraian maka Pengadilan akan memutuskan siapa di antara ayah dan ibu yang berhak menjalankan kuasa orang tua demi kelangsungan pemeliharaan dan pengasuhan anak, tidak jarang terjadi perebutan mengenai hak asuh anak, masing-masing bekas suami isteri merasa paling berhak dan paling layak untuk menjalankan hak asuh.
58Ibid
, hal 18. 59
Yani Trizakia, Op.Cit, hal 57.
60
Kartini Kartono, Op.Cit, hal 18.
61
R.Subekti, op cit, Pasal 206 ayat (2) 62
(1)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
1. Hakim dalam menentukan hak pengasuhan tidak terlepas dari kepentingan anak yang diperebutkan. Untuk membuat pertimbangan, Hakim harus mencari suatu keyakinan bahwa pihak yang akan dimenangkan adalah merupakan pihak yang benar-benar mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut maka yang menjadi dasar pertimbangan yang dilakukan dalam penetapan hak pemeliharaan (hak asuh) anak dalam Pengadian Negeri 209/Pdt.G/PN.MDN, adalah kondisi dan perilaku para pihak. Dalam hal ini tergugat dikalahkan karena alasan bahwa tergugat mempunyai sifat yang kurang baik dan mempunyai tempat tinggal yang tidak jelas.
2. Akibat hukum dari tidak terlaksananya hak dan kewajiban terhadap anak setelah perceraian dibedakan menjadi dua. Pertama dalam hal tidak terlaksananya kewajiban itu berasal dari wali atau orang tua yang memegang hak pemeliharaannya, maka pihak lain atau mantan suami/istri yang telah dikalahkan dapat meminta untuk dicabutnya hak perwalian atau hak pemeliharaan terhadap orang tua atau wali yang telah dimenangkan sebelumnya. Kedua, dalam hal tidak terlaksananya kewajiban itu berasal dari orang tua yang dikalahkan oleh hakim, maka pihak mantan suami/istri yang menang dapat memintakan upaya paksa kepada pengadilan untuk sekiranya dapat dilaksanakannya keputusan dengan segera. 3. Upaya yang dapat dilakukan oleh suami atau istri apabila salah satu pihak tidak dapat
memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai putusan pengadilan adalah dengan memintakan eksekusi terhadap hal-hal yang telah diputuskan dan ditetapkan oleh
(2)
pen\\\gadilan. Pihak mantan suami/istri yang telah dimenangkan melakukan permohonan kepada pengadilan untuk sekiranya dilakukan eksekusi terhadap keputusan hakim yang telah dikeluarkan.
C.Saran
1. Dalam menentukan hak perwalian atau pemeliharaan anak agar sekiranya keterangan dari si anak juga dijadikan dasar utama pertimbangan hakim untuk menentukan pihak yang berhak untuk menjadi wali atau pemegang hak pemeliharaan.
2. Para pihak agar sekiranya dapat melaksanakan hak dan kewajibannya terhadap anak yang diperebutkan dengan segera setelah keputusan dikeluarkan, sehingga anak yang diperebutkan dapat dengan segera mendapatkan kehidupan yang baik dan layak sehingga haknya tidak menjadi terlantar.
3. Permintaan pelaksanaan eksekusi terhadap keputusan pengasuhan anak ini agar sekiranya dijadikan alternatif terakhir setelah adanya terlebih dahulu upaya-upaya damai atau secara kekeluargaan oleh para pihak untuk meminta diserahkannya anak yang telah diperebutkan tersebut. Ini bertujuan agar anak tidak mengalami dampak buruk karena adanya upaya paksa terhadap pengambilan dirinya.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Aziz, Aminah, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Usu Press, Medan, 1998.
Badan Kontak Profesi Hukum Lampung, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977.
Baiquni, Achmad, Al-Qur’an dan Hak-hak asasi manusia, PT Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta
Daliyo, J.B, Pengantar Ilmu Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
Darmabrata,Wahyono Hukum Perkawinan Perdata Syarat Sahnya Perkawinan Hak dan Kewajiban Suami-Istri Harta Benda Perkawinan, Jilid.1, (Jakarta: Rizkita, 2009). Darmabrata Wahyono dan Sjarif,Surini Ahlan Hukum Perkawinan Dan Keluarga di
Indonesia, ed.1, cet.2, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2004)
Darmabrata Wahyono dan Sjarif,Surini Ahlan Hukum Perkawinan Dan Keluarga Di Indonesia, (Jakarta: Rizkita, 2002).
Harahap, M.Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007
_________________, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1990).
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Tintamas, Jakarta, 1961.
Hartono,Sunaryati, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994.
Jimly Asshiddiqie, dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
Kartono, Kartini, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Koeswadji, Hermien Hadiati, Perkawinan dan Hukum Perkawinan,ed.1, Fakultas Hukum
(4)
Kusuma, Hilman Hadi, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. IV, Tahun 1999
Kelsen Kelsen, Teori Hukum Murni dengan judul buku asli “General Theory of Law and State” alih bahasa Somardi, Rumidi Pers, Jakarta, 2001.
Latif, H.M. Djamil, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985,
Lubis, Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung,1994.
Malik, Rusdi, Memahami Undang-undang Perkawinan, Universitas Trisakti, Jakarta, 2009 Muhammad, Abdul Qodir, Hukum Perdata Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986, Meliala,Djaja S. Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga,cet.2.,
Nuansa Aulia, Bandung, 2007.
Permana, Sugiri, Paradigma Baru dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama, PA Mempawah, Departemen Agama, Kalbar , 2008.
Prodjodikoro,Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet.6, Sumur Bandung, Jakarta, 1974.
Prints, Darwan, Hak Asasi Anak: Perlindungan Hukum Atas Anak, Lembaga Advokasi Hak Anak Indonesia, Medan,1999
Prins, J, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982
Ramulyo,Idris Hukum Perkawinan Islam, suatu Analisis Dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, cet.2, Bumi Aksara, Jakarta, 1999.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, cet.2, Liberty,
Yogyakarta, 1986.
Subekti, Pokok-Pokok dari Hukum Perdata,cet.11, Intermasa, Jakarta, 1975. Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Saleh,Wantjik Hukum Perkawinan Indonesia, cet.6, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980. Saleh,Wantjik Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan statistic, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.
(5)
Salman Otje dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005.
Sumardjono, Maria, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, 1989. Sarong,Hamid, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, Ringkasan Hasil
Penelitian,USU, Medan,2007.
Soemitro, dan Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 1990
Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005,
Subekti dan Sudibyo Tjitro, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. Ke-28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1996
Sutantio, Retnowulan, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2002
Soeroso, R, Tata Cara dan Proses Persidangan, Jakarta, 2009,
Trizakia, Yani, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005 Tanya, Bernard L., dkk, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali Pers, Jakarta, 1989.
Wuisman,dengan penyunting M.Hisyam,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid I, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,1996
B. Makalah
Manan, Abdul, Eksekusi dan Lelang Dalam Hukum Acara Perdata, Makalah, Jakarta, 2011 Sha’ani, Ash, Subulus Salam, (Surabaya : Terjemahan Abubakar Muhammad Jilid 3, Al
Ilkhlas, 1995) C. Jurnal
Satria Effendi, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999).
(6)
D. Majalah
Dadang Hawari, Psikiater dan Konsultan Pernikahan, Cek & Ricek, No.447/Thn.IX/Rabu, 21-27 Maret 2007.
E. Ensiklopedia
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Balai Pustaka, Tahun 1989, cet.2 F. Peraturan Perundang-Undangan
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kompilasi Hukum Islam.
G. Internet
Tiar Ramon, Kamus Hukum, http://tiarramon.com/blog/?p=38, diakses pada tanggal 10 November 2011.
Wahyu Kuncoro, Sifat dan Kekuatan Keputusan Pengadilan,
http://advokatku.blogspot.com/2010/05/sifat-dan-kekuatan-putusan-hakim.html,