BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata - Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Meda

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

  wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

   yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

  Subekti mengatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara

   seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

  Beberapa aturan syari’at perkawinan Islam yang telah menjadi bagian dari sistem hukum positif Indonesia,antara lain: a.

  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama c. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-

  Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;dan d.

  Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perkawinan dan

   Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.

  5 6 Ibid , hal 12 7 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, 1992, hal.11.

  Abdulkadir Muhammad , Hukum Perdata Indonesia , Bandung , PT . Citra Aditya Bakti , 2010 , hal. 67 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sumber hukum perkawinan yang mengatur secara lengkap dan modern tentang perkawinan dan perceraian.Sebenarnya undang-undang ini jauh lebih sempurna dan lengkap mengenai substansi yang diatur di dalamnya,baik berupa asas-asas maupun norma-norma hukum perkawinan dan perceraian serta kehidupan berkeluarga.

  Perbuatan tersebut perlu menjadi fokus kajian untuk diketahui motivasi, alasan, dan tujuannya sehingga dapat dicari solusi yang tepat untuk diatasi atau dicegah terjadinya pelanggaran yang berdampak luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.Dampak tersebut, antara lain, berupa pengacauan administrasi kependudukan, status kewarganegaraan, perlindungan istri dan anak, serta harta kekayaan mereka.Hal ini akan menjadi masalah dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga,baik selama perkawinan maupun jika terjadi perceraian suami istri.

  Berdasar pada beberapa kelemahan tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur beberapa asas yang dapat berfungsi sebagai penghambat dan mengatur sedemikian rupa dalam pasal-pasalnya guna mencegah terjadinya pelanggaran, baik terhadap asas-asas maupun terhadap norma-norma yang terjelma dalam rumusan pasal-pasal Undang-Undang Perkawinan. Asas-asas dimaksud,antara lain, asas suka rela, asas partisipasi keluarga,asas perceraian dipersulit,asas poligami dibatasi dengan ketat, asas kematangan calon mempelai, asas kebaikan derajat kaum wanita, dan asas keharusan pencatatan perkawinan dan

   perceraian maupun pejabat pencatat perkawinan dan perceraian.

  Rumusan perkawinan di atas ini merupakan rumusan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang dituangkan dalam Pasal 1. Dalam penjelasannya disebutkan: ’’Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke-Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian,sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani,tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang

  

  penting” Rumusan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 di atas ini pada dasarnya mengandung inti dan tujuan yang sama dengan rumusan- rumusan perkawinan dari para ahli/sarjana .

  Menurut Anwar Harjono mengatakan Pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.Dari rumusan perkawinan tersebut jelaslah bahwa perkawinan itu tidak hanya merupakan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja , akan tetapi ikatan kedua-duanya .

  Sebagai ikatan lahir ,perkawinan merupakan hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.ikatan lahir ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Ikatan lahir ini terjadi dengan adanya upacara perkawinan yakni pengucapan akad nikah bagi yang beragama Islam . 8 9 Ibid , hal. 69

Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974

  Sebagai ikatan bathin , perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri . Dalam taraf permulaan , ikatan bathin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan . Selanjutnya dalam hidup bersama ikatan bathin ini tercermin dari adanya kerukunan suami istri yang bersangkutan .

  Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal .

  Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 itu tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal . Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan , akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya , dan tidak boleh diputuskan begitu saja .Karenanya tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak . Pemutusan perkawinan dengan

   perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa .

B. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

  Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku,kalau perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata-tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan Undang-undang No 1 10 Ridwan Syahrani , op . cit , hal. 12 Tahun 1974 berarti tidak sah menurut perundangan, kalau tidak menurut aturan hukum agama berarti tidak sah menurut agama, begitu pula kalau tidak menurut

   tata-tertib hukum adat tidak sah menurut hukum adat.

  Syarat Materil dan Formal: Syarat adalah segala hal yang harus dipenuhi menurut ketentuan peraturan undang-undang. Syarat perkawinan adalah segala hal mengenai perkawinan yang harus dipenuhi menurut ketentuan peraturan undang-undang sebelum perkawinan dilangsungkan. Syarat perkawinan itu banyak dan telah dirinci dalam ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Syarat perkawinan diklasifikasikan menjadi dua kelompok,yaitu: a.

  Syarat materil(subjektif) Syarat materil adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak- pihak yang akan melangsungkan perkawinan.Karena itu, disebutjuga syarat subjektif.

  b.

  Syarat formal (objektif) Syarat formal adalah tata cara dan prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan Undang-Undang yang disebut juga syarat objektif.

11 H.Hilman Hadikusuma , Hukum Perkawinan Indonesia , Bandung , CV Mandar Maju ,

  2007 , hal. 25

  Syarat-syarat perkawinan yang dibahas dalam uraian ini hanya terbatas pada syarat materil (subjektif). Syarat materil (subjektif) tersebut meliputi syarat materil perkawinan monogami.

  Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut di bawah ini , sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 s/d 12 : 1.

  Adanya persetujuan kedua calon mempelai:

  Pasal 6 ayat (1) :Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.Pada penjelasannya disebutkan:Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun’’ Syarat perkawinan ini memberikan suatu jaminan agar tidak terjadi lagi adanya perkawinan paksa dalam masyarakat kita. Ketentuan ini sudah selayaknya mengingat masalah perkawinan sebenarnya merupakan urusan pribadi seseorang sebagai bagian daripada hak asasi manusia. Sehingga oleh karena itu maka sudah seharusnya apabila urusan perkawinan ini lebih banyak diserahkan kepada keinginan masing-masing pribadi untuk menentukan pilihan sendiri siapa yang akan dijadikan kawan hidup dalam berumah tangga. Pilihan ini harus benar-benar dilakukan secara bebas tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga.

2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21

  Tahun Syarat perkawinan ini disebutkan dengan jelas dalam Pasal 6 ayat (2) , (3) , (4) , (5) dan (6) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut :

  Pasal 6 ayat (2) : Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

  Pasal 6 ayat (3) : Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin maksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

  Pasal 6 ayat (4) : Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

  Pasal 6 ayat (5) : Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya , maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2) , (3) dan (4) pasal ini.

  Pasal 6 ayat (6) : Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak

  

  menentukan lain 3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 Tahun

  Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan: ’’Perkawinan hanya boleh diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”

  Ketentuan Undang-undang perkawinan ini adalah untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak yang masih di bawah umur . Sehingga oleh karena itu perkawinan gantung yang dikenal dalam masyarakat ataupun juga tidak diperkenankan.Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah yang tidak boleh kawin. 12 Ibid , hal 16

  Hubungan darah yang tidak boleh kawin menurut Undang-undang Perkawinan pada pasal 8 adalah sebagai berikut:

  a) Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah

  b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya

  c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri

  d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan , anak susuan , saudara susuan dan bibi/paman susuan e)

  Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang f)

  Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku , dilarang kawin.

4. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain

  Syarat untuk melangsungkan perkawinan ini tercantum dalam Pasal 9 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan : Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi , kecuali dalam hal yang

   tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

13 Ibid , hal 21

  Pasal 3 menyatakan: Pasal 3 Ayat (1) :Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

  Pasal 3 Ayat (2):Pengadilan dapat member izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

  5. Bagi suami istri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin kembali untuk ketiga kalinya

  Dalam Pasal 10 Undang-undang perkawinan disebutkan: ”Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

6. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda

  Menurut Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 waktu tunggu tersebut diatur sebagai berikut :

  1.Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) undang-undang ditentukan sebagai berikut: a)

  Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari b)

  Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tungu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang- kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari c)

  Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan

  2. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.

  3. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

14 Syarat-Syarat perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

  dicantumkan pada buku ke satu tentang orang, Bab ke empat, bagian ke satu tentang perkawinan mulai dari Pasal 27 sampai Pasal 49: Pasal 27: Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat oleh perkawinan dengan satu orang perempuan saja; seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.

  Pasal 28: Asas perkawinan menghendaki adanya persetujuan bebas dari calon suami dan calon istri. Pasal 29: Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah berkuasa menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi. 14 Ibid , hal. 26

  Pasal 30: Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak-beradik laki-perempuan, sah atau tidak sah.

  Pasal 31 KUH Perdata Perkawinan juga dilarang karena alasan-alasan berikut:

  1.Antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain;

  2.Antara paman atau paman orang tua dan kemenakan perempuan atau anak perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dan kemenakan laki-laki atau anak laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, pemerintah dengan memberi dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.

  Pasal 32: Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zinah, sekali-kali tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinahnya itu.

  Pasal 33: Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan pasal 199 nomor 3? atau 4?, tidak boleh untuk kedua kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar catatan sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.

  Pasal 34: Seorang wanita tidak boleh melakukan perkawinan baru, kecuali setelah lampau jangka waktu tiga ratus hari sejak pembubaran perkawinan yang terakhir.

  Pasal 35: Untuk melaksanakan perkawinan, anak sah di bawah umur memerlukan izin kedua orang tuanya. Akan tetapi bila hanya salah seorang dari mereka memberi izin dan yang lainnya telah dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian atas anak itu, maka pengadilan negeri di daerah tempat tinggal anak itu, atas permohonannya, berwenang memberi izin melakukan perkawinan itu, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya menjadi syarat beserta keluarga-keluarga sedarah atau keluarga-keluarga semenda. Bila salah satu orang tua telah meninggal atau berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang lain.

  Pasal 36: Selain izin yang diharuskan dalam pasal yang lalu, anak-anak sah yang belum dewasa memerlukan juga izin dari wali mereka, bila yang melakukan perwalian adalah orang lain daripada ayah atau ibu mereka; bila izin itu diperlukan untuk kawin dengan wali itu atau dengan salah satu dari keluarga sedarahnya dalam garis lurus, diperlukan izin dari wali pengawas. Bila wali atau wali pengawas atau ayah atau ibu yang telah dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwaliannya, menolak memberi izin atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka berlakulah alinea kedua pasal yang lalu, asal orang tua yang tidak dipecat dari kekuasaan orang tua atau dari perwaliannya atas anaknya telah memberikan izin itu.

  Pasal 37: Bila ayah dan ibu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka, maka mereka masing-masing harus digantikan oleh tua mereka, sejauh mereka masih hidup dan tidak dalam keadaan yang sama. Bila orang lain daripada orang-orang tersebut di atas melakukan perwalian atas anak-anak dibawah umur itu, maka dalam hal seperti yang dimaksud dalam alinea yang lalu, si anak memerlukan lagi izin dari wali atau wali pengawas, sesuai dengan perbedaan kedudukan yang dibuat dalam pasal yang lalu. Alinea kedua pasal 35 berlaku, bila antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea satu atau alinea dua pasal ini ada perbedaan pendapat atau bila salah satu atau lebih tidak menyatakan pendiriannya.

  Pasal 38: Bila ayah dan ibu serta kakek dan nenek si anak tidak ada, atau bila mereka semua berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka, anak sah yang masih di bawah umur tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali dan wali pengawasnya. Bila baik wali maupun wali pengawas, atau salah seorang dari mereka, menolak untuk memberi izin atau tidak menyatakan pendirian, maka pengadilan negeri di daerah tempat tinggal anak masih di bawah umur, atas permohonannya berwenang memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar dan memanggil dengan sah wali, wali pengawas, dan keluarga sedarah atau keluarga semenda.

  Pasal 39: Anak luar kawin yang diakui sah, selama masih di bawah umur, tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin ayah dan ibu yang mengakuinya, sejauh kedua-duanya atau salah seorang masih hidup dan tidak berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka. Bila semasa hidup ayah atau ibu yang mengakuinya, orang lain yang melakukan perwalian atas anak itu, maka harus pula diperoleh izin dari wali itu atau dari wali pengawas bila izin itu diperlukan untuk perkawinan dengan wali itu sendiri atau dengan salah seorang dari keluarga sedarah dalam garis lurus. Bila terjadi perselisihan pendapat antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea pertama dan kedua, dan salah seorang atau lebih menolak memberikan izin itu, maka pengadilan negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang di bawah umur itu, atas permohonan si anak berkuasa memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya diperlukan. Bila baik ayah maupun ibu yang mengakui anak di bawah umur itu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka, diperlukan izin dari wali dan wali pengawas. Bila kedua-duanya atau salah seorang menolak untuk memberi izin, atau tidak menyatakan pendirian, maka berlaku pasal 38 alinea kedua, kecuali apa yang ditentukan di situ mengenai keluarga sedarah atau keluarga semenda.

  Pasal 40: Anak tidak sah yang tidak diakui, tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali atau wali pengawas, selama ia masih di bawah umur. Bila kedua-duanya, atau salah seorang, menolak untuk memberikan izin atau untuk menyatakan pendirian, pengadilan negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang masih di bawah umur itu, atas permohonannya, berkuasa memberikan izin untuk setelah mendengar atau memanggil dengan sah wali atau wali pengawas si anak.

  Pasal 41: Penetapan-penetapan pengadilan negeri dalam hal-hal yang termaksud dalam enam pasal yang lalu, diberikan tanpa bentuk hukum acara. Penetapan-penetapan itu, baik yang mengabulkan permohonan izin, maupun yang menolak, tidak dapat dimohonkan banding. (s.d.u. dg. S.

  1927-456.) Mendengar mereka yang izinnya diperlukan seperti yang termaksud dalam enam pasal yang lalu, bila mereka bertempat tinggal di luar kabupaten tempat kedudukan pengadilan negeri itu, boleh dilimpahkan kepada pengadilan negeri di tempat tinggal atau tempat kedudukan mereka, dan pengadilan negeri ini akan menyampaikan berita acaranya kepada pengadilan negeri yang disebut pertama. Pemanggilan mereka yang izinnya diperlukan, dilakukan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 333 terhadap keluarga sedarah dan keluarga semenda. Mereka yang disebut pertama, ataupun mereka yang disebut terakhir, boleh mewakilkan diri dengan cara seperti yang tercantum dalam pasal 334.

  Pasal 42: Anak sah, yang telah dewasa, tetapi belum genap tiga puluh tahun, juga wajib untuk mohon izin ayah dan ibunya untuk melakukan perkawinan. Bila ia tidak memperoleh izin itu, ia boleh memohon perantaraan pengadilan negeri tempat tinggalnya, dan dalam hal itu harus diindahkan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.

  Pasal 43: Dalam waktu tiga minggu, atau dalam jangka waktu yang lain jika dianggap perlu oleh pengadilan negeri, terhitung dari hari pengajuan surat permohonan itu, pengadilan harus berusaha menghadapkan si ayah dan si ibu, beserta anak itu, agar dalam suatu sidang tertutup kepada mereka diberi penjelasan-penjelasan yang dianggap berguna oleh pengadilan demi kepentingan mereka masing-masing. Mengenai pertemuan pihak-pihak tersebut harus dibuat berita acara tanpa mencantumkan alasan-alasan yang mereka kemukakan.

  Pasal 44: Bila baik ayahnya maupun ibunya tidak hadir, perkawinan dapat dilangsungkan dengan penunjukan akta yang memperlihatkan ketidakhadiran itu.

  Pasal 45: Bila anak itu tidak hadir, maka perkawinannya tidak dapat dilaksanakan, kecuali sesudah permohonan diajukan sekali lagi untuk perantaraan pengadilan.(KUH Perdata 47, 48.)

  Pasal 46: Bila, setelah anak itu dan kedua orang tua atau salah satu orang tua hadir, kedua orang tua itu atau salah seorang tetap menolak, maka perkawinan tidak boleh dilaksanakan bila belum lampau tiga bulan, terhitung dari hari pertemuan itu.

  Pasal 47: Ketentuan-ketentuan dalam lima pasal terakhir ini juga berlaku untuk anak tak sah terhadap ayah dan ibu yang mengakuinya. Pasal 48: Sekiranya kedua orang tua atau salah satu tidak berada di Indonesia, pemerintah berkuasa memberi dispensasi dari kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam pasal 42 sampai dengan pasal 47.

  Pasal 49: Dalam pengertian ketidakmungkinan bagi para orang tua atau para kakek-nenek untuk memberi izin kepada anak di bawah umur untuk melakukan perkawinan, dalam hal-hal yang diatur dalam pasal 35, 37, 38 dan 39, sekali-kali tidak termasuk ketidakhadiran terus-menerus atau

   sementara di Indonesia.

  Kekurangan Pasal 26 KUH Perdata, tidak memperhatikan beberapa hal seperti :

  1.Unsur agama,Undang-Undang tidak mencampurkan upacara-upacara perkawinan menurut peraturan Undang-Undang tidak memperhatikan larangan-larangan untuk kawin seperti ditentukan peraturan agama.

  2.Segi biologis,Undang-Undang tidak memperhatikan faktor-faktor biologis seperti kemandulan.

  3.Segi motif,Undang-Undang tidak memperdulikan motif yang mendorong para pihak untuk melangsungkan perkawinan. 15 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

  Jadi, KUH Perdata hanya memperhatikan segi-segi formalitasnya saja. Positifnya Pasal 26 KUH Perdata: A.

  Perkawinan monogami sesuai dengan Pasal 27 KUH Perdata.

  B.

  Hakikat perkawinan adalah suatu lembaga yang abadi dan hanya dapat putus karena kematian.

  C.

  Cerai tetap dibolehkan tetapi karena alasan-alasan tertentu (limitatif).

  

C. Perkawinan Berbeda Agama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Dan KUH Perdata

  Indonesia adalah Negara yang dikenal kemajemukannya dalam adat – istiadat, budaya dan Agama. Kebebasan beragama di Indonesia juga dijamin oleh Konstitusi pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Salah satu sorotan utama dalam sistem pergaulan di masyarakat terkait dengan keberadaan agama adalah tentang perkawinan antar umat beragama atau perkawinan beda agama.

  Perkawinan beda agama dapat diartikan sebagai perkawinan yang dilaksanakan oleh sepasang calon suami istri yang berbeda agama atau keyakinan pada saat melangsungkan perkawinan.

  Menurut pendapat yang berpegang teguh pada Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini,Undang-Undang Perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebenarnya bukan tidak mengatur tentang perkawinan beda agama, tetapi secara implisit ada (diatur) dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi: ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

  

  menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Karena itu tergantung kepada agama yang dianut calon mempelai, apakah agamanya memperkenankan atau tidak dilangsungkannya perkawinan beda agama, dengan memperhatikan Pasal 8 butir f Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 16 Djaja S. Meliala , Hukum Perdata Dalam Perspektif BW , Bandung , Nuansa Aulia ,

  2012 , hal. 97

  Tahun 1974 tentang larangan perkawinan yang berbunyi: ”Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”

17 Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa dasar hukum perkawinan di

18 Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perkawinan memberikan peluang

19 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas dan eksplisit

  

verwijzingsgregel ) pada hukum agama dan kepercayaan masing – masing. Oleh

  pada tanggal 26 januari 2014

  kewarganegaraannya antara mereka yang berkawin. Dengan demikian, Undang- 17 Ibid , hal. 98 18 Abdulkadir Muhammad, Op.cit , hal.67 19 Ahmad Tholabi Kharlie , Hukum Keluarga Indonesia , Jakarta , Sinar Grafika , 2013 , hal.244 20 http://darahapsarinastiti.blogspot.com/2011/12/perkawinan-beda-agama.html di akses

  karena itu para penegak hukum di badan peradilan maupun lembaga pencatat perkawinan sering tidak konsisten dalam menyelesaikan persoalan perkawinan beda agama ini karena bergantung pada penafsiran agama dan hukum yang berbeda – beda.

  menentukan apakah perkawinan beda agama dibolehkan atau dilarang. Hal ini dikarenakan UU No. 1 Tahun 1974 menggunakan norma penunjuk (

  Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :

  yang besar terhadap agama atau kepercayaan untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.

  5. Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

  4. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974

  3. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

  2. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

  1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata

20 Undang-undang perkawinan hanya ada pembatasan pada perbedaan

  undang perkawinan tidak mengatur antara dua orang yang berbeda golongan maupun agama. Misalnya, bagaimana kalau golongan bumiputera yang beragama Islam harus berkawin dengan golongan keturunan agama lain, sekiranya tiap-tiap agama dalam peraturannya melarang seorang pemeluk agama itu berkawin dengan orang yang memeluk agama lain. Maka apabila laki-laki dan seorang perempuan, yang masing-masing memeluk agama lain, maka biasanya salah satu dari mereka mengalah dan beralih kepada agama dari pihak lain.

  Tetapi sering pula terjadi, bakal suami isteri masing-masing memeluk teguh kepercayaannya dan tetap akan memeluk agama masing-masing. Hal demikian ini tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Hanya sebelum Undang-Undang Perkawinan ini ada, perkawinan yang demikian itu juga digolongkan perkawinan campuran yang diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijken yang termuat dalam Staatsblad 1898-158 atau lebih dikenal dengan GHR. Dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan di Indonesia antara dua orang yang masing- masing takluk pada hukum yang berlainan satu sama lain, dinamakan ‘perkawinan campuran’. Sedangkan Pasal 1 ayat (2) menentukan bahwa perbedaan agama, kebangsaan atau asal usul tidak merupakan penghalang bagi suatu perkawinan.

  Dalam GHR ini cukup jelas, kepada siapa ia harus tunduk kalau terjadi perkawinan antaragama. Oleh karena itu dengan adanya Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan, GHR ini tidak berlaku lagi. Pasal ini, bunyi lengkapnya adalah: untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesien S. 1933 No. 74). Dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.Kalau memang terjadi perkawinan yang berlainan agama, hukum mana yang akan berlaku, ini juga tidak jelas dalam Undang-Undang Pekawinan.Karena dalam Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal 2 menyebutkan: Perkawinan adalah sah, apabila

   dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

  Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai landasan perkawinan beda agama adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 huruf f dan Pasal

  57. Pasal 2 ayat (1) berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

  Sedangkan pasal 8 huruf f berbunyi: Perkawinan dilarang antara dua orang yang: Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

  Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi : Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

  Terhadap ketiga pasal di atas muncul beberapa penafsiran yang berbeda yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pemahaman tentang perkawinan beda agama di Indonesia sebagaimana akan dijelaskan pada uraian di bawah.

  Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang- 21 Soedharyo Soimin , Hukum Orang Dan Keluarga , Jakarta , Sinar Grafika , 2001 , hal.

  95 undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974.

  Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada Pasal 10 PP No.9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi.Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.

  Memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1 Tahun 1974

  Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada Pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat

  ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1

  Tahun 1974, oleh karena itu berdasarkan Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan

   campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.

  Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat. Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat pentingnya peranan hidup bersama,pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh 22

  http://alexanderizki.blogspot.com/2011/03/perkawinan-beda-agama-hukum-dan.html,di akses pada tanggal 26 januari 2014 negara.Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks.Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai mmedia terjadinya perkawinan yang dianggap dalam kehidupan bermasyarakat.Sebagai contoh,perkawinan campuran,perkawinan sejenis,kawin kontrak,dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda.Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda agama.

  Hal ini disebabkan karena pasangan yang berbeda agama.selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan atau agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari, terutama untuk perkawinan berbeda agama.Salah satu pendapat mengatakan bahwa masalah agama merupakan masalah pribadi sendiri-sendiri.Namun, di pihak lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama dilarang oleh agama sehingga tidak dapat diterima.

  Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

  Dalam konsepsi hukum perdata, perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan keperdataan saja.Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-Undang terhadap upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan.Undang- Undang hanya mengenal perkawinan perdata,yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil. Demikian juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berlaku di Indonesia.Untuk melangsungkan sebuah perkawinan,hanya dibutuhkan dua macam syarat yaitu:

  Syarat materil yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat ini meliputi : A.

  Syarat materil mutlak yang merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. B.

  Syarat materil relative, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu terdiri atas: 1)

  Larangan kawin dengan keluarga sedarah 2)

  Larangan kawin karena zina 3)

  Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun.

  C.

  Syarat formal yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan mencakup pemberitahuan ke pegawai catatan sipil

  

  (Pasal 50-51 KUH Perdata) Dengan aturan tentang peraturan yang mengatur tentang keabsahan perbedaan agama di Indonesia tidak dijelaskan secara lengkap di KUH Perdata, tetapi untuk aturan yang lebih jelas Indonesia menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.mengenai kasus tentang perkawinan berbeda agama tersebut.

  Perkawinan di Luar Negeri:

  Pada pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang dilakukan olehsesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah warga negara asing, adalah sah bila dilakukan menuruthukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar Undang-Undang ini.

  Pasal 56 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinantempat tinggal mereka. 23

  http://herdianaheri.blogspot.com/2012/04/keabsahan-kawin-beda-agama-di- indonesia.html di akses pada tanggal 19 maret 2014

D. Pengertian perceraian

  Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami isteri itu perkawinannya putus.Kemudian tidak kalah urgensinya adalah alasan-alasan yang mendasari putusnya perkawinan itu

   serta sebab-sebab apa terjadi perceraian.

  Dengan diundangkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka perceraian tidak dapat lagi dilakukan dengan sewenang-wenang seperti banyak terjadi sebelumnya.Tetapi sekarang ini harus dilakukan dengan prosedur hukum dan alasan-alasan yang dapat

   dibenarkan.

  Istilah Perceraian Menurut Undang-Undang: Kata ”cerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: v (kata kerja),1.

  Pisah; 2. Putus hubungan sebagai suami istri; talak. Kemudian, kata ”perceraian”mengandung arti: n (kata benda), 1. Perpisahan; 2. Perihal bercerai

   (antara suami istri); perpecahan.

  Istilah ”perceraian” secara yuridis berarti putusnya perkawinan,yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti barlaki-bini (suami istri) sebagaimana diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas. 24 Martiman Prodjohamidjojo ,Hukum Perkawinn Indonesia , Jakarta , PT. Abadi , 2002 ,

  hal. 41 25 Victor M. Situmorang , Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia , Jakarta , 1996 , hal. 44 26 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa , Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1997, hal.185

  Istilah perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 sebagai aturan hukum Positif tentang perceraian menunjukkan adanya: a.

  Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk memutuskan hubungan perkawinan di antara mereka.

  b.

  Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami dan istri, yaitu kematian suami atau istri yang bersangkutan, yang merupakan ketentuan yang pasti dan langsung ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

  c.

  Putusan hukum yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat hukum putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri.

  Pengertian perceraian menurut Undang-undang:

  Perceraian menurut Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 adalah ”Putusnya perkawinan”. Adapun yang dimaksud dengan perkawinan adalah ”Ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Jadi, perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri tersebut.

  Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 memuat ketentuan imperative bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.Sehubungan dengan pasal ini, Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati menjelaskan bahwa walaupun perceraian adalah urusan pribadi, baik itu atas kehendak satu di antara dua pihak yang seharusnya tidak perlu campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah, tetapi demi menghindari tindakan sewenang-wenangan, terutama dari pihak suami (karena pada umumnya pihak yang superior dalam keluarga adalah suami) dan juga untuk kepastian hukum,maka perceraian harus melalui saluran lembaga peradilan.

27 Pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspektif hukum berikut: 1.

  Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal dan Pasal

  39 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain sebagai berikut.

  a) Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada

  Pengadilan Agama,yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan siding Pengadilan Agama (vide Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975).

  b) Perceraian dalan pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (vide Pasal 20 sampai dengan Pasal 36).

27 Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, PT. Rambang Palembang, 2006, hal. 110-111.

  2. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah pula dipositifkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975,yaitu perceraian yang gugatan cerainya diajukan oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada Pengadilan Negeri, yang dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar cacatan oleh Pegawai Pencatat di Kantor Catatan Sipil (vide Pasal 20 dan Pasal 34 ayat (2) PP No. 9

28 Tahun 1975).

E. Akibat Dari Suatu Perceraian

  Perceraian adalah peristiwa hukum yang akibatnya diatur oleh hukum, atau peristiwa hukum yang diberi akibat hukum. Perceraian menimbulkan akibat hukum putusnya perkawinan. Selain itu, ada beberapa akibat hukum lebih lanjut dari perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU No. 1 tahun 1974, sebagai berikut.

  1. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,pengadilan memberi keputusannya.

  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 28 Muhammad Syaifuddin , Hukum Perceraian ,Jakarta , Sinar Grafika , 2013 , hal. 20.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya

   penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

  Karena terjadi perceraian, ada tiga akibat yang perlu diperhatikan,yaitu akibat terhadap anak dan istri, terhadap harta perkawinan, dan terhadap status.

  Ketiga macam akibat perkawinan putus karena perceraian tersebut dibahas dalam uraian berikut ini.

  Akibat terhadap anak dan istri Menurut ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, ada tiga hal yang perlu dipatuhi sebagai akibat perkawinan putus karena perceraian.Tiga hal tersebut adalah sebagai berikut: a.

  Pertama Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya mereka semata-mata untuk kepentingan anak. Apabila ada perselisihan tentang penguasaan anak,pengadilan putusannya.

  b.

  Kedua Bapak bertanggung jawab atas smua biaya pemeliharaan dan pendidikn yang diperlukan anak.Apabila bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

29 Ibid , hal. 349

  c.

  Ketiga Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada mantan istri dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi

   mantan istri.

  Untuk harta bawaan dan harta perolehan tidak menimbulkan masalah karena harta tersebut tetap dikuasai dan adalah hak masing-masing pihak.Apabila terjadi penyatuan harta karena perjanjian, penyelesaiannya juga disesuaikan dengan ketentuan perjanjian dan kepatutan.

  Akan tetapi, mengenai harta bersama, mungkin akan timbul persoalan.Menurut ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan, apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut ”hukumnya” masing-masing.Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain, seperti KUH Perdata.Dengan demikian, penyelesaian harta bersama adalah bagi mereka yang kawin menurut hukum Islam,hukum Islam tidak mengenal harta bersama karena istri diberi nafkah oleh suami. Yang ada harta milik masing-masing suami dan istri.Harta ini adalah hak mereka masing-masing.

  Masalah yang timbul adalah bagaimana cara menyelesaikan harta bersama yang diperoleh selama perkawinan bagi mereka yang tidak tunduk pada hukum adat dan KUH Perdata, sedangkan hukum agama tidak mengenal harta bersama?hal ini belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 30 Abdulkadir Muhammad , op.cit , hal. 124 Jika terjadi sengketa tentang penyelesaian harta bersama,sengketa tersebut dapat diajukan kepada pengadilan yang berwanang walaupun bagi mereka yang beragama Islam.

  Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi: Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Ketentuan ini sama bunyinya dengan penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor

   1 Tahun 1974.

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

10 140 156

Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 43 101

Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)

3 123 72

Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)

0 59 130

Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Kuhperdata) Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

0 63 163

Kajian Yuridis Hak Pemeliharaan Anak Setelah Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan No. 101/Pdt.G/2009/Pn/Mdn)

0 38 141

Fungsi Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus di Pengadilan Agama Medan)

0 31 131

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Dan Asas Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 - Pelaksanaa

0 0 42

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. PERKAWINAN 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan - Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Un

0 0 47

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

1 0 21