Analisis Yuridis Tanggung Jawab Mantan Ayah Terhadap Anak Apabila terjadi Perceraian (Studi Putusan Nomor 132/Pdt.G/2011/PN.Mdn)

(1)

TESIS

Oleh

MIRANTY

107011137/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MIRANTY

107011137/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nomor Pokok : 107011137

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Dedi Harianto, SH, MHum


(5)

Nama : MIRANTY

Nim : 107011137

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TANGGUNG JAWAB AYAH

TERHADAP ANAK APABILA TERJADI PERCERAIAN (STUDI PUTUSAN NO. 132/PDT.G/2011/PN.MDN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :MIRANTY Nim :107011137


(6)

i

menimbulkan masalah, suami istri dapat secara bersama-sama dan saling membantu serta dengan penuh kasih sayang menunaikan kewajibannya memelihara anak mereka. Namun disaat perkawinan tidak dapat lagi diteruskan, saat itulah timbul permasalahan siapa yang menanggung kewajiban untuk menafkahi anak. Walaupun perkawinan telah putus karena perceraian, kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara anak-anak mereka. Hanya dalam implementasinya yang terjadi sering kali disaat ibu memegang hak pemeliharaan anak maka pihak ayahlah yang diwajibkan membiayai pemeliharaan anak tersebut.

Penelitian tentang Analisis Yuridis Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Apabila Terjadi Perceraian terdiri dari 3 (tiga) masalah yaitu : Bagaimana tanggung jawab mantan suami terhadap penafkahan anak pasca perceraian jika penghasilannya kurang cukup memenuhi kebutuhan anak yang telah ditetapkan pengadilan? Bagaimana dasar pertimbangan hakim untuk menentukan tanggung jawab pihak suami dalam memberikan penafkahan terhadap anak pasca perceraian? Dan Apa upaya pihak istri yang mengasuh anak jika kebutuhan anak tidak sesuai dengan yang diputuskan oleh pengadilan?

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yang mengacu pada pendekatan asas-asas hukum serta norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan di Indonesia dan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalahratio decidendi ataureasoningyaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Tanggung jawab mantan suami terhadap penafkahan anak pasca perceraian jika penghasilannya kurang cukup memenuhi kebutuhan anak yang telah ditetapkan pengadilan sesuai dengan Pasal 41 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974, Dasar pertimbangan hakim untuk menentukan tanggung jawab pihak suami dalam memberikan penafkahan terhadap anak pasca perceraian adalah dengan melihat kondisi dan perilaku Tergugat yang tidak baik atau kurang dapat dicontoh untuk diserahkan hak pemeliharaan anak, dan Upaya pihak istri yang mengasuh anak jika kebutuhan anak tidak sesuai dengan yang diputuskan oleh pengadilan dapat melakukan upaya hukum ke Pengadilan Negeri.

Penelitian menyarankan bahwa Dalam menentukan siapa yang berhak mendapatkan hak pemeliharaan anak, Majelis Hakim tidak hanya mempertimbangkan kemampuan ayah melainkan juga melihat iktikad baik ayah dalam memelihara dan memenuhi kebutuhan anak serta jumlah nominal yang ditentukan untuk dipenuhi setiap bulannya sampai anak itu dewasa, supaya memenuhi standar kelayakan untuk memenuhi kehidupan anak tersebut.


(7)

ii

problem. Both wife and husband help each other affectionately in raising their children. Nevertheless, when the marriage cannot be maintained any more, the problem will arise: who will be responsible for taking care of the children. Even though the marriage has broken off, the parents who have been divorced, have the obligation to take care of their children. In its implementation, however, it frequently occurs that when the mother has the right to take care of the children, it is the father who will support the finance.

The research was about Judicial Analysis of the Responsibility of a father for taking care of the children when a divorce occurs. There were three problems in the research; they were as follows: how about the responsibility of an ex-husband for taking care of the children in the post-divorce when he had low income to fulfill the children’s needs as it had been stipulated by the Court; how about judges’ consideration in regulating an ex-husband in taking care of the children in the post-divorce; and what was the attempt of the ex-wife who took care of the children when their need was not in line with the Court’s verdict.

The type of the research was judicial normative which was referred to legal principles and legal norms found in the legal provisions, laws, and regulations in Indonesia, and the approach to the case was done by analyzing cases related to issues which became the Court’s verdict which was final and conclusive. The main analysis in the case approach was ration decidendi or reasoning, that is, the consideration of the Court which became a verdict.

The result of the research showed that the responsibility of an ex-husband for taking care of the children in the post-divorce when his income was low to fulfill the children’s needs as it had been stipulated by the Court which was in line with Article 41 of Law No. 1/1974. Judges’ consideration in determining an ex-husband’s responsibility for taking care of the children in the post-divorce was to see the condition and the behavior of the ex-husband, and a defendant who did not have an exemplary behavior could get the right to take care of his children, and an ex-wife would take care of her children if their need was not in line with the Court’s verdict; she could file a complaint to the District Court.

It is recommended that in deciding who will have the right to take of the children, the panel of judges not only consider the ex-husband capability but also his good faith in taking care of the children and fulfill their needs. They should also consider the nominal amount of money per month which meets the feasibility standard given by the ex-husband to support his children until they become adults.


(8)

karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperolah gelar Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara Medan. Didalam memenuhi tugas inilah maka penulis menyusun dan memilih judul : “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Mantan Ayah Terhadap

Anak Apabila terjadi Perceraian (Studi Putusan Nomor

132/Pdt.G/2011/PN.Mdn)” masih banyak kekurangan didalam penulisan Tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka, saya menerima saran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pendoman dimasa yang akan datang.

Didalam penulisan dan penyusunan Tesis ini, saya mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya secara khusus kepada, Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., serta Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn., masing-masing selaku anggota komisi pembimbing kepada saya dalam penulisan tesis ini dan kepada Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, MHum.danIbu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum.selaku dosen penguji saya dalam penulisan ini.

Selanjutnya ucapan terimakasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN. Selaku Ketua

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(9)

5. Bapak-Bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus penulis menghaturkan terimakasih yang tak terhingga kepada Ayahanda tercinta, Muhammad Achyar, yang selalu memberikan dukungan moril maupun materiil, sehingga saya dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Ibunda tercinta Hj. Lindawaty Hutagalung yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, dan kasih sayang dan doa restu.

Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada suami Muhammad Ismail Salim, SH., anakku tercinta, Marsya Sevenni Salim, atas seluruh dukungan moril maupun materiil, juga cinta kasih dan pengertiannya.

Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada kawan-kawan seperjuangan dan sahabat saya, Joel Kaban SH, Fitri Mutiasari, Donny Kartien SH, Ernawaty Sitorus, SH, MKn, Kiki Fitri Manroe SH, MKn, Erwin Radityo, SH, Muhammad Milsa SH, Cut Dara SH, MKn, Diah Handayani SH,MKn, Melysa Tobing, SH, MKn, Wilson SH,MKn, Almaysita Dalimunthe SH,MKn, Khairuna Malik, SH, Rahmat Parlaungan Siregar, SH.MKn, Muhammad Ali SH, Khairunnisa Ginting SH, MKn, serta seluruh kawan-kawan angkatan 2010 yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang terus memberikan motivasi, semangat dan kerjasama dan diskusi, membantu dan memberikan pemikiran kritik dan saran yang dari awal masuk di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

melimpah.

Akhirnya, semoga Tesis ini dapat berguna bagi diri dan juga semua pihak dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.

Medan, Februari 2014 Penulis


(11)

vi

Nama : Miranty

Tempat Tanggal Lahir : Medan, 22 Desember 1981

II. ORANG TUA

Nama Ayah : M. Achyar

Nama Ibu : Lindawati Hutagalung

III. PEKERJAAN Wiraswasta IV. PENDIDIKAN

1. TK : TK Pertiwi Medan

2. SD : SD Pertiwi

3. SMP : SMP Negeri 1 Medan

4. SMA : SMA Negeri 3 Medan

5. S-1 : Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara


(12)

vii

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Kerangka Konsepsi ... 18

G. Metode Penelitian ... 19

BAB II TANGGUNG JAWAB MANTAN SUAMI TERHADAP PENAFKAHAN ANAK PASCA PERCERAIAN JIKA PENGHASILANNYA KURANG CUKUP MEMENUHI KEBUTUHAN ANAK YANG TELAH DITETAPKAN PENGADILAN ... 23

A. Mengenai Perkawinan... 23

B. Tanggung Jawab Mantan Suami Terhadap Anak Dalam Hal Penghasilannya Kurang Cukup ... 42

BAB III DASAR PERTIMBANGAN HAKIM UNTUK MENENTUKAN TANGGUNG JAWAB PIHAK SUAMI DALAM MEMBERIKAN PENAFKAHAN TERHADAP ANAK PASCA PERCERAIAN ... 53


(13)

viii

DIPUTUSKAN OLEH PENGADILAN ... 92

A. Keputusan Pengadilan Mempunyai Daya Paksa... 92

B. Upaya Pihak Istri Untuk Dipenuhinya Keputusan Dari Pihak Suami ... 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 139

A. Kesimpulan ... 139

B. Saran ... 141


(14)

i

menimbulkan masalah, suami istri dapat secara bersama-sama dan saling membantu serta dengan penuh kasih sayang menunaikan kewajibannya memelihara anak mereka. Namun disaat perkawinan tidak dapat lagi diteruskan, saat itulah timbul permasalahan siapa yang menanggung kewajiban untuk menafkahi anak. Walaupun perkawinan telah putus karena perceraian, kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara anak-anak mereka. Hanya dalam implementasinya yang terjadi sering kali disaat ibu memegang hak pemeliharaan anak maka pihak ayahlah yang diwajibkan membiayai pemeliharaan anak tersebut.

Penelitian tentang Analisis Yuridis Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Apabila Terjadi Perceraian terdiri dari 3 (tiga) masalah yaitu : Bagaimana tanggung jawab mantan suami terhadap penafkahan anak pasca perceraian jika penghasilannya kurang cukup memenuhi kebutuhan anak yang telah ditetapkan pengadilan? Bagaimana dasar pertimbangan hakim untuk menentukan tanggung jawab pihak suami dalam memberikan penafkahan terhadap anak pasca perceraian? Dan Apa upaya pihak istri yang mengasuh anak jika kebutuhan anak tidak sesuai dengan yang diputuskan oleh pengadilan?

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yang mengacu pada pendekatan asas-asas hukum serta norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan di Indonesia dan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalahratio decidendi ataureasoningyaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Tanggung jawab mantan suami terhadap penafkahan anak pasca perceraian jika penghasilannya kurang cukup memenuhi kebutuhan anak yang telah ditetapkan pengadilan sesuai dengan Pasal 41 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974, Dasar pertimbangan hakim untuk menentukan tanggung jawab pihak suami dalam memberikan penafkahan terhadap anak pasca perceraian adalah dengan melihat kondisi dan perilaku Tergugat yang tidak baik atau kurang dapat dicontoh untuk diserahkan hak pemeliharaan anak, dan Upaya pihak istri yang mengasuh anak jika kebutuhan anak tidak sesuai dengan yang diputuskan oleh pengadilan dapat melakukan upaya hukum ke Pengadilan Negeri.

Penelitian menyarankan bahwa Dalam menentukan siapa yang berhak mendapatkan hak pemeliharaan anak, Majelis Hakim tidak hanya mempertimbangkan kemampuan ayah melainkan juga melihat iktikad baik ayah dalam memelihara dan memenuhi kebutuhan anak serta jumlah nominal yang ditentukan untuk dipenuhi setiap bulannya sampai anak itu dewasa, supaya memenuhi standar kelayakan untuk memenuhi kehidupan anak tersebut.


(15)

ii

problem. Both wife and husband help each other affectionately in raising their children. Nevertheless, when the marriage cannot be maintained any more, the problem will arise: who will be responsible for taking care of the children. Even though the marriage has broken off, the parents who have been divorced, have the obligation to take care of their children. In its implementation, however, it frequently occurs that when the mother has the right to take care of the children, it is the father who will support the finance.

The research was about Judicial Analysis of the Responsibility of a father for taking care of the children when a divorce occurs. There were three problems in the research; they were as follows: how about the responsibility of an ex-husband for taking care of the children in the post-divorce when he had low income to fulfill the children’s needs as it had been stipulated by the Court; how about judges’ consideration in regulating an ex-husband in taking care of the children in the post-divorce; and what was the attempt of the ex-wife who took care of the children when their need was not in line with the Court’s verdict.

The type of the research was judicial normative which was referred to legal principles and legal norms found in the legal provisions, laws, and regulations in Indonesia, and the approach to the case was done by analyzing cases related to issues which became the Court’s verdict which was final and conclusive. The main analysis in the case approach was ration decidendi or reasoning, that is, the consideration of the Court which became a verdict.

The result of the research showed that the responsibility of an ex-husband for taking care of the children in the post-divorce when his income was low to fulfill the children’s needs as it had been stipulated by the Court which was in line with Article 41 of Law No. 1/1974. Judges’ consideration in determining an ex-husband’s responsibility for taking care of the children in the post-divorce was to see the condition and the behavior of the ex-husband, and a defendant who did not have an exemplary behavior could get the right to take care of his children, and an ex-wife would take care of her children if their need was not in line with the Court’s verdict; she could file a complaint to the District Court.

It is recommended that in deciding who will have the right to take of the children, the panel of judges not only consider the ex-husband capability but also his good faith in taking care of the children and fulfill their needs. They should also consider the nominal amount of money per month which meets the feasibility standard given by the ex-husband to support his children until they become adults.


(16)

A. Latar Belakang

Manusia adalah subjek hukum, pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum, sedangkan perkawinan merupakan suatu lembaga, yang sangat mempengaruhi kedudukan seseorang di bidang hukum. Oleh karena itu, negara berusaha untuk mengatur perkawinan, dengan suatu undang-undang nasional, yang dimaksudkan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, yaitu dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang diharapkan dapat menciptakan unifikasi hukum di bidang hukum perkawinan atau hukum keluarga.1

”Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Terjalinnya ikatan lahir dan bathin tersebut merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal merupakan tujuan ideal yang tinggi dan mencakup pengertian jasmani dan rohani yang melahirkan keturunan,2 sehingga dapat diartikan bahwa perkawinan haruslah

1Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif,

Hukum Perkawinan Dan Keluarga di Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal.1


(17)

berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan karena sebab-sebab lain selain kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan ikatan perkawinan yang berupa perceraian hidup merupakan jalan terakhir, karena setelah itu tidak ada jalan yang lain.3

Suatu perkawinan yang telah dibentuk dapat putus, baik itu dikarenakan ketidak inginan para pihak maupun keinginan para pihak. Dalam Pasal 38 Undang-undang perkawinan dan Pasal 199 Kitab Undang-Undang-undang Hukum Perdata putusnya perkawinan ini disebabkan karena:

1. Kematian. 2. Perceraian.

3. Tidak hadirnya si suami atau si istri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh perkawinan baru istri atau suaminya.

4. Keputusan Hakim setelah pisah meja dan ranjang dan pendaftaran Catatan Sipil. “Perceraian nerupakan salah satu bagian dari putusnya perkawinan. Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami atau istri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan”.4 Putusnya perkawinan karena perceraian tidak dapat dilakukan hanya atas dasar kesepakatan suami istri, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.5 Perceraian harus melalui suatu proses yaitu dilakukan didepan sidang pengadilan yang berwenang dan sebelum diambil

3

K. Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 16

4Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi,

Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Perdata Barat,Gitama Jaya, Jakarta, 2005, hal. 135


(18)

keputusan, hakim diwajibkan untuk mendamaikan suami istri yang akan bercerai. Apabila upaya hakim untuk mendamaikan suami istri yang akan bercerai tidak tercapai maka proses perceraian tetap dilanjutkan sampai terbitnya akta perceraian.6

Perceraian memang bukan hal yang dilarang. Namun untuk mempertahankan prinsip kekal dan abadi suatu perkawinan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, maka Undang-Undang Perkawinan mengatur alasan-alasan seseorang boleh mengajukan cerai yang ditentukan secara limitatif. Peraturan ini dibuat untuk mempersulit terjadinya perceraian.7

Adapun alasan yang dimaksud, tercantum dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dan diulang lagi sama bunyinya dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagai berikut:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

6

R.Subekti,Op Cit,Pasal 221

7Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


(19)

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri;

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.8

Menurut Subekti, perceraian ialah “penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”.9 Hukum perkawinan adalah sebagian dari Hukum Keluarga dan Hukum Keluarga ini adalah bagian dari Hukum Perdata. Masalah perceraian merupakan bagian dari masalah perkawinan. Karena itu masalah perceraian senantiasa diatur oleh Hukum Perkawinan.10

Selain berpengaruh terhadap suami atau istri, perceraian juga berakibat kepada anak-anak yang lahir dalam perkawinan. Menurut Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bahwa akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian terhadap anak-anak adalah :11

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak maka pengadilan yang akan memutuskan;

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan anak;

8Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal.37. 9Subekti,

Pokok-Pokok Dari Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1975, hal.42.

10 Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985,

hal.118.

11


(20)

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Hal ini berarti, meskipun terjadi perceraian tetapi tidak membuat hapus kewajiban orang tua terhadap kesejahteraan anak-anaknya.

Dalam Undang-Undang Perkawinan, kekuasaan orang tua bersifat tunggal tidak hapus karena perceraian. Selama perkawinan berlangsung dengan baik artinya tidak putus di tengah jalan, maka kewajiban pemeliharaan oleh orang tua atas anaknya tidak menimbulkan masalah, suami istri dapat secara bersama-sama dan saling membantu serta dengan penuh kasih sayang menunaikan kewajibannya memelihara anak mereka. Namun disaat perkawinan tidak dapat lagi diteruskan, saat itulah timbul permasalahan siapa yang menanggung kewajiban untuk menafkahi anak.

Walaupun perkawinan telah putus karena perceraian, kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara anak-anak mereka. Hanya dalam implementasinya yang terjadi sering kali disaat ibu memegang hak pemeliharaan anak maka pihak ayahlah yang diwajibkan membiayai pemeliharaan anak tersebut. Padahal didalam pasal 41 ayat 2 undang-undang nomor 1 tahun 1974 sudah nyata-nyata menegaskan bahwa “bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban terhadap anaknya maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan anak”.


(21)

Kondisi apapun harus tetap diingat bahwa wanita ataupun pria adalah individu yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui secara seimbang oleh Undang-undang, yaitu persamaan hak dihadapan hukum.

Salah satu prinsip dasar pelaksanaan persamaan hak di hadapan hukum dalam undang-undang adalah persamaan dalam perlindungan undang-undang. Adapun yang dimaksud dengan persamaan dalam perlindungan undang-undang adalah suatu kedudukan di mana setiap manusia mendapat perlakuan sama di depan undang-undang dan hukum.

Persamaan dalam perlindungan undang-undang juga mengandung pengertian bahwa setiap manusia laki-laki maupun perempuan, warga negara maupun asing, serta dengan tidak memandang agama, suku bangsa, warna kulit dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya adalah sama dapat bertindak sebagai subjek hukum, yakni sebagai pembawa hak atau yang memiliki hak dan kewajiban.

Sesuai dengan asas yang dianut oleh Negara Republik Indonesia yaitu bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hal ini juga berarti bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum menurut undang-undang dan hukum.12

Hal ini dapat dilihat sebagaimana yang terjadi pada kasus yang dijadikan

12


(22)

objek penelitian ini yaitu putusan Pengadilan Negeri Medan No. 132/Pdt.G/2011/PN.Mdn, hak pengasuhan terhadap tiga orang anak yang masih di bawah umur bernama A, M dan AD jatuh kepada ibunya yaitu FS. Dimana pada permasalahan ini mantan istri menuntut kepada mantan suaminya AR untuk memberikan nafkah hidup ketiga anaknya. Suami sendiri sebenarnya adalah seorang pegawai honorer yang berpenghasilan Rp.1.750.000,- (satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) perbulannya, lebih rendah dari mantan istri yang merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil dengan gaji Rp.3.018.000,- (tiga juta delapan belas ribu rupiah) perbulan. Dimana mantan istri menuntut mantan suaminya agar memberikan nafkah untuk anaknya dengan perhitungan sebagai berikut:

1. A sebesar Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah) 2. M sebesar Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah) 3. AD sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah)

Akan tetapi dari gugatan tersebut hakim menetapkan: 1. A sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah)

2. M sebesar Rp.750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) 3. AD sebesar Rp.750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)

Walaupun tidak sebesar dari gugatan mantan istrinya akan tetapi hal tersebut masih dianggap besar. Karena telah melebihi jumlah gaji dari mantan suami yang digugat.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai tanggung jawab hukum suami atau istri dalam perceraian terhadap anak


(23)

yang akan dituangkan ke dalam judul tesis “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Apabila Terjadi Perceraian (Studi Putusan Nomor 132/Pdt.G/2011/PN.Mdn).”

B. Permasalahan

Adapun permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah: 1. Bagaimana tanggung jawab mantan suami terhadap penafkahan anak pasca

perceraian jika penghasilannya kurang cukup memenuhi kebutuhan anak yang telah ditetapkan pengadilan?

2. Bagaimana dasar pertimbangan hakim untuk menentukan tanggung jawab pihak suami dalam memberikan penafkahan terhadap anak pasca perceraian?

3. Apa upaya pihak istri yang mengasuh anak jika kebutuhan anak tidak sesuai dengan yang diputuskan oleh pengadilan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang merupakan tujuan dari tesis ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan jawaban dari permasalahan masalah, sehingga dapat memberikan penjelasan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui tanggung jawab mantan suami terhadap penafkahan anak pasca perceraian jika penghasilannya kurang cukup memenuhi kebutuhan yang ditetapkan pengadilan.

2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim untuk menentukan tanggung jawab pihak suami dalam memberikan penafkahan terhadap anak pasca perceraian.


(24)

3. Untuk mengetahui upaya pihak istri yang mengasuh anak jika kebutuhan anak tidak sesuai dengan yang diputuskan oleh pengadilan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu hukum perdata khususnya yang berkaitan dengan hak asuh anak dibawah umur dalam hal terjadinya perceraian.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pendoman bagi praktisi hukum dalam perkara hak asuh anak di bawah umur dalam hal terjadinya perceraian serta lebih lanjut dapat menjadi landasan pengembangan lebih lanjut.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya dengan judul “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Apabila Terjadi Perceraian (Studi Putusan Nomor 132/Pdt.G/2011/PN.Mdn)”

Namun pernah ada penelitian dari Mahasiswa Magister Ilmu Hukum dan Magister Kenotariatan dengan judul :


(25)

1. Saudari Syarifah Tifany, Mahasiswi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, NIM 037011076, Judul ”Pengasuhan Anak Setelah Terjadinya Perceraian”. Dalam perumusan masalah:

1. Apa yang menjadi hak-hak anak serta apa kewajiban orang tua terhadap anaknya dalam hukum islam?

2. Bagaimana menentukan hak pengasuh anak (hadhanah) di Pengadilan Agama Binjai jika terjadi perceraian?

3. Bagaimana eksekusi putusan perkara-perkara hadhanah di Pengadilan Agama Binjai?

2. Saudara Syukri Rahmat, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara,NIM 107011060, Judul ”Hak Janda Dari Pegawai Negeri Sipil Setelah Terjadinya Perceraian (Studi Kasus di Wilayah Hukum Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh).” Dalam perumusan masalah:

1. Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab yang menyangkut hak janda dari bekas suami Pegawai Negeri Sipil menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 di kota Banda Aceh?

2. Apakah faktor yang menyebab janda dari pegawai negeri sipil tidak memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990?


(26)

3. Bagaimana pertimbangan hukum majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam menyelesaikan perkara perceraian pegawai negeri sipil?

3. Saudari Yusriana, Mahasiswi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, NIM: 047005016, Judul ”Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama (penelitian di Pengadilan Agama Lubuk Pakam).” Dalam perumusan masalah:

1. Bagaimana pelaksanaan dalam penyelesaian sengketa terhadap harta bersama di Pengadilan Agama Lubuk Pakam?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama?

3. Bagaimana upaya hukum yang dilakukan para pihak terhadap Putusan Pengadilan Agama mengenai harta bersama?

4. Saudari Tessy, Mahasiswi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera utara, NIM: 097011100, Judul ”Tanggung Jawab Hukum Suami Atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan nomor 209/Pdt.G/2007/PN.Medan).” Dalam perumusan masalah:

1. Apa yang merupakan dasar pertimbangan Hakim untuk memberi putusan cerai kepada Suami atau Istri?

2. Apakah dalam Putusan Pengadilan Nomor: 97/Pdt.G/2010/PN.Mdn tidak menimbulkan kesulitan bagi anak kedalam menentukan sikapnya?


(27)

3. Bagaimana pengimplementasian Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 97/Pdt.G/2010/PN.Mdn?

5. Saudari Tienni, Mahasiswi Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, NIM: 650411156, judul “Akibat Putusnya Perkawinan karena Perceraian Yang Perkawinannya Dicatatkan di Kantor Urusan Agama Dan Kantor Catatan Sipil, Analisis Kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor 1397/PDT.G/2000/PAJS dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 142K/AG/2002.” Dalam perumusan masalah:

1. Bagaimana keabsahan perkawinan yang dicatatkan sekaligus didua tempat yaitu dikantor urusan agama dan kantor catatan sipil berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?

2. Bagaimana putusnya perkawinan karena perceraian dimana perkawinannya dicatatkan di kantor urusan agama dan kantor catatan sipil?

3. Analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta selatan Nomor 1397/POT.G/2000/PAJS dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 142K/AG/2002 Tentang Putusan Perkawinan?

6. Saudari Eka Widiasmara, Mahasiswi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, NIM B4b 008 075, judul “Kedudukan Perkawinan dan Perceraian Dibawah Tangan Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku Di Indonesia.” Dalam perumusan masalah:


(28)

1. Bagaimana kedudukan dan akibat hukum perkawinan dan perceraian dibawah tangan ditinjau dari Hukum Islam dan ketentuan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia ?

2. Apa hambatan-hambatan yang dihadapi pelaku perkawinan dan perceraian dibawah tangan menurut Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia dan apa solusi hukumnya ?

Dalam permasalahan beberapa penelitian sebagaimana disebutkan diatas ternyata judul dan permasalahannya tidak ada yang serupa atau sama dengan yang diteliti saat ini. Oleh karena itu penelitian ini asli dan secara akademis dapat saya pertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifikasi atau proses tertentu terjadi,13 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.14

Teori adalah merupakan suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Landasan teori merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasoning/logic), terdiri dari

13M.Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam,

Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-UI, Jakarta, 1996, hal. 203.


(29)

seperangkat konsep atau variable, defenisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.15

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa “perkembangan ilmu hukum selain tergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.”16 Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.17

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.18 Teori diperlukan untuk menerangkan atau menjelaskan gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.19

Menurut Maria Sumardjono, teori adalah “Seperangkat proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang

15

J.Supranto MA,Metode Penelitian Hukum dan statistic, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal 194

16Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,UI-Press, Jakarta, 1986, hal. 6

17Otje Salman dan Anton F Susanto,Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 21 18

.Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cv. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.27

19Wuisman,dengan penyunting M.Hisyam,

Penelitian Ilmu-ilmu Sosial,jilid I, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,1996,hal.203 dalam S.Mantayborbir, Sistem Hukum Pengurusan Piutang, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hal. 13


(30)

digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.”20

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistimasikan penemuan-penemuan penelitian, memuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan-penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.21

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis pada penelitian ini adalah teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls melalui karyanyaA Theory of Justice22 bahwa teori keadilan merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menghasilkan keadilan. Ada prosedur-prosedur berfikir untuk menghasilkan keadilan.

Rawls merumuskan tiga prinsip keadilan, yaitu sebagai berikut:23

a. The greatest equal principle,bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak azasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak).

20Maria Sumardjono,Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, 1989,

hal. 12

21Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.17. 22

Theo Huijbers,Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,Kanisius, Yogyakarta,hal 193.

23

Rimaru,Teori keadilan John Rawls, http://rimaru.web.id/teori-keadilan-john-rawls/, diakses pada tanggal 12 Juni 2012.


(31)

b. The different principle (prinsip perbedaan), yang berarti mengijinkan kesetaraan hanya selama ia dipandang menguntungkan bagi para pihak yang terugikan. Bila tidak, maka ketaksetaraan tidak dapat dipertahankan yang distribusi sama rata diperkenankan.24

c. The principle of fair equality of opportunity (prinsip persamaan kesempatan), Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil.

Rawls menyebutkan bahwa konsep keadilan menurutnya adalah sebuah konsep yang bebas kultur, sehingga untuk mewujudkan prinsip-prinsip keadilan di masyarakat haruslah bersifat fair. Keadilan tersebut harus menguntungkan semua orang dan juga dibuat berdasarkan kesepakatan semua orang. Dengan asumsi bahwa semua orang hanya berfikir tentang hak-hak yang bersifat umum dan mereka mengabaikan hal-hal spesifik yang mereka ketahui. Dengan demikian semua orang dapat berfikir seobjektif mungkin demi mencapai keuntungan bersama, yaitu berupa kebebasan dan kesamaan bagi semua orang dalam masyarakat.

Dalam prinsip egalitariannya, Rawls juga menginginkan kesamaan-kesamaan bagi individu-individu, walaupun ketidaksamaan itu juga pasti akan muncul. Untuk menyikapinya, Rawls menggunakan strategi maksimum, yaitu ketidaksamaan yang terjadi haruslah menguntungkan pihak yang paling beruntung, akan tetapi juga tidak merugikan oran yang kurang beruntung. Berdasarkan prinsip egalitarian yang dikemukakan oleh Rawls tersebut, untuk mengurang ketidak samaan antara individu

24


(32)

haruslah ada sebuah mekanisme redistribusi nilai-nilai sosial, sehingga masyarakat yang semula kurang beruntung dapat juga menikmati hal yang sama dengan masyarakat yang lebih beruntung, tanpa harus mengurangi atau merugikan masyarakat yang sudah beruntung.25

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah ”mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid).”26“Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith, Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dariGlasgow University pada Tahun 1750, telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice)”.27Smith mengatakan bahwa: “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the end of justice is to secure from injury).28

Menurut Satjipto Raharjo,

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang di sebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.29

25 Dian andriyani, http://dianandriyani7.blogspot.com/2011/04/keadilan.html, di akses pada

tanggal 31 januari 2013.

26 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),Gunung

Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 85

27Bismar Nasution,Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi,Pidato pada

Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5.Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith On Law”, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981 hal. 244

28

Ibid., hal 244.

29Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke – V, Bandung,2000,


(33)

Kesemua teori yang dipaparkan di atas dijadikan sebagai pisau analisis untuk mengkaji dan memahami lebih jauh tentang hak pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian dengan mengambil contoh satu putusan pengadilan. Kemudian memahami dalam objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum seperti yang ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Terhadap permasalah itu, pengadilan yang berhubungan sebagai suatu lembaga pencari keadilan dalam memberikan keputusannya harus didasarkan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan selain dari adanya pertimbangan yang didasarkan kepada Undang-undang.

2. Kerangka Konsepsi

Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan untuk sebagai dasar penelitian hukum. Oleh karena itu dalam penelitian ini dapat didefenisikan beberapa konsep dasar agar dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

Tanggung Jawab adalah merupakan kewajiban untuk menanggung atau memikul suatu beban yang diberikan.

Ayah adalah orang tua kandung laki-laki; bapak.

Anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan, anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu, anak pada


(34)

hakekatnya seorang yang berada pada satu masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.30

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami atau istri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan”.31

G. Metode Penelitian

Agar mendapat hasil yang maksimal guna tercapainya bagian dari penulisan ini, maka diperlukan kecermatan dan usaha yang cukup untuk mengumpulkan dan mengolah data, dengan baik serta layak. Untuk itu dilakukan penelitian yang meliputi:

1. Jenis Dan Metode Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yang mengacu pada pendekatan asas-asas hukum serta norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan di Indonesia dan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pedekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.

Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh penulis adalah ratio decidendi,yang alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk

30

Anton M. Moeliono,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (cet-2; Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 30-1.

31Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan Dan


(35)

sampai kepada putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil32. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materiil tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut. Ratio decidendi inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif. Sedangkan diktum, yaitu putusannya merupakan sesuatu yang bersifat deskriptif. Oleh karena itulah pendekatan kasus bukanlah merujuk kepada diktum putusan pengadilan, melainkan merujuk kepada ratio decidendi.

2. Sumber Data

“Jenis data penelitian ini adalah data sekunder dan data primer, dengan titik berat pada data sekunder sedangkan data primer hanya bersifat penunjang”.33

“Sumber data yang dipergunakan terdiri dari suatu sumber primer, sumber sekunder, dan sumber tersier”.34

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari: a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan tanggung jawab suami isteri dalam perceraian terhadap anak, dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang berkaitan adalah :

32Marzuki Mahmud, Penelitan Hukum, Prenada Media Group, Surabaya,2005, hal.119 33

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990, hal.9-19, juga Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986, hal.12


(36)

1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer berupa putusan-putusan Pengadilan Negeri Medan, buku-buku, hasilpenelitian yang mempunyai hubungan erat terhadap objek permasalahan yang diteliti.

c. Bahan hukum Tersier

Bahan hukum tersier dalam penelitian ini memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.35Seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum dan kamus hukum, surat kabar, internet, serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.36

3. Teknik Pengumpul Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah :

a. Kajian Dokumen

Metode ini yaitu dilakukan dengan cara menghimpun data-data dengan, melakukan penelaahan kepustakaan, berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, hasil penelitian dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian. b. Wawancara

35

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, halaman 194-195.

36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjaun


(37)

Metode wawancara merupakan proses Tanya jawab lisan antara penulis dengan Informan, sehingga informasi-informasi diperoleh dengan bertanya langsung. Ada beberapa yang menentukan hasil wawancara dan arus informasi, maka perlu dilakukan banyak wawancara karena dengan wawancara akan mempermudah dan mempercepat menemukan permasalahan dan pemecahannya.

4. Analisis Data.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa dengan metode kualitatif yaitu pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis untuk memberikan gambaran jelas jawaban atas permasalahan yang ada. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif sehingga diperoleh jawaban atas masalah yang ditetapkan.

Sesuai dengan sifat penelitian maka sebelum dilakukan analisis data terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap data primer, data sekunder dan data tersier untuk mengetahui variditasnya. Selanjutnya data itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis data ini.

Evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif oleh karena itu data yang sudah dikumpilkan dipilah-pilah dan diolah kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode induktif dan deduktif sehingga dapat diketahui tanggung jawab hukum suami istri dalam perceraian terhadap anak dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh suatu kesimpulan dari permasalahan yang diteliti.


(38)

BAB II

TANGGUNG JAWAB MANTAN SUAMI TERHADAP PENAFKAHAN ANAK PASCA PERCERAIAN JIKA PENGHASILANNYA KURANG CUKUP

MEMENUHI KEBUTUHAN ANAK YANG TELAH DITETAPKAN PENGADILAN

A. Mengenai Perkawinan 1. Perkawinan

Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami istri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Perkawinan ini sudah merupakan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau keturunannya.

Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk membentuk keluarga, karena perkawinan ini mutlak diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah keluarga.

Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi jika mungkin hanya sekali seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur, dengan adanya ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila.

Maksudnya adalah bahwa “perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal”.37

37


(39)

Ikatan lahir dalam suatu perkawinan, yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut Undang-Undang, hubungan mana mengikat kedua pihak, dan pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin yaitu hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja. Antara seorang pria dan wanita artinya dalam satu masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja, sedangkan seorang pria itu sendiri adalah seorang yang berjenis kelamin pria, dan seorang wanita adalah seorang yang berjenis kelamin wanita. Jenis kelamin ini, adalah kodrat (karunia Tuhan), bukan bentukan manusia. “Suami isteri adalah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami-isteri”.38

R. Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah “persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal”.39 Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnya.40 Secara etimologi perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran

38

Achmad Samsudin dalam Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005,hal 74.

39

R. Soetojo Prawirohamidjijo, hal.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 61.

40

Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2001. hal 61.


(40)

“an”menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami isteri.41

Perkawinan merupakan perjanjian yang setia mensetiai, dan sama-sama bertanggung jawab dalam menunaikan tugasnya sebagai suami-isteri atas keselamatan dan kebahagiaan rumah tangga. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Menurut Soedaryono Soemin syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, terdiri dari :

1. Kesepakatan

Adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi tidak ada kesepakatan apabila dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan.

2. Kecakapan

Para pihak yang membuat perjanjian haruslah orang-orang yang oleh hokum dinyatakan sebagai subyek hukum yang cakap (dewasa). Tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang-orang-orang-orang dewasa yang ditempatkan dalam pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Mereka yang belum dewasa menurut UU Perkawinan adalah anak-anak karena belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila

41

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 453.


(41)

seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.

3. Hal tertentu

Obyek yang diatur dalam perjanjian harus jelas, tidak samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya fiktif, misal: orang jelas, anak siapa.

4. Sebab yang dibolehkan

Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misal: adanya paksaan dalam menikah.42

Jadi, “perkawinan adalah perjanjian yang diadakan oleh dua orang yaitu antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.43

Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, namun demikian bukan berarti bahwa perjanjian pada perkawinan ini sama artinya dengan perjanjian biasa yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa, para pihak yang berjanji bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjiannya, sebaliknya dalam perkawinan, para pihak tidak bisa menentukan isi dan bentuk perjanjiannya selain yang sudah ditetapkan oleh hukum yang berlaku. Perbedaan lain yang dapat

42Soedaryono Soemin.Hukum Orang dan Keluarga. Sinar Grafika, 1992, hal 6. 43Ibid. hal 6.


(42)

dilihat adalah dalam hal berakhirnya perjanjian, bahwa pada perjanjian biasa, berakhirnya perjanjian ditetapkan oleh kedua belah pihak, misalnya karena telah tercapainya apa yang menjadi pokok perjanjian atau karena batas waktu yang ditetapkan telah berakhir, jadi tidak berlangsung terus menerus. Sebaliknya perkawinan tidak mengenal batasan waktu, perkawinan harus kekal, kecuali karena suatu hal di luar kehendak para pihak, barulah perkawinan dapat diputuskan, misalnya karena pembatalan perkawinan.

Soemiyati mengatakan bahwa

Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya. Bagaimana sebab putusnya ikatan perkawinan, prosedurnya maupun akibatnya pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan hukumlah yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai karakter khusus, antara lain bahwa kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.44

Penyelenggaraan perkawinan di beberapa komunitas masyarakat, ada kalanya tidak menghiraukan kehendak sebenarnya dari calon yang akan kawin, bahkan dalam banyak kasus, si pria atau si wanita baru mengetahui dengan siapa dia akan dikawinkan pada saat perkawinannya akan dilangsungkan. Sering pula terdengar kasus bahwa perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak yang melangsungkan perkawinan, tetapi berten-tangan dengan kehendak pihak lain, misalnya dari pihak keluarga, baik dari keluarga pria atau dari keluarga wanita.

44

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 10.


(43)

Konsekuensi dari keadaan yang demikian ini menyebabkan tidak adanya kebahagiaan dalam rumah tangga dan akhirnya dengan terpaksa ikatan perkawinan tersebut diputuskan.

Mengingat berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat, maka diperlukan adanya keseragaman hukum perkawinan di Indonesia. Pada tahun 1974 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum yang berlaku secara nasional, yakni dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada tanggal 2 Januari 1974.

Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan, maka yang menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai suami istri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ketentuan tersebut juga dijelaskan mengenai tujuan perkawinan yang juga tercantum pada pengertian perkawinan tersebut yaitu:”...dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”


(44)

Di dalam penjelasan umum UU Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan spritual. Membentuk keluarga adalah membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak, sedangkan membentuk rumah tangga yaitu membentuk kesatuan hubungan suami-isteri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Dalam hal ini bahagia diartikan sebagai adanya kerukunan antara suami-isteri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga mereka mendambakan kehidupan yang kekal artinya berlangsung terus menerus seumur hidup, dan tidak boleh diputuskan begitu saja, atau dibubarkan menurut pihak-pihak.

“Perkawinan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk beradab. Karena itu, perkawinan dilakukan secara beradab pula, sesuai dangan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia”.45 Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan itu: (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-isteri membantu untuk mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.

45


(45)

“Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri”.46

“Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.47 Artinya tujuan perkawinan itu adalah:

a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.

b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan.

c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (isteri), yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada bertolongtolongan, antara satu kaum (golongan) dengan yang lain.48

Dalam hal ini Yani Trizakia yang mengutip pendapat Abdullah Kelib yang mengatakan bahwa :

Al-Qur’an sebagaimana sumber pokok tidak memberikan pedoman bahwakaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita yang menjadi istrinya. Kandunganqowwamuninilah yang menjadi sifatresponsive dalam membina rumah tangga yang bahagia. Kehidupan rumah tangga yang baik menjadi wajib hukumnya menurut syari’at Islam.49

Selanjutnya untuk sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang

46Sudikno Mertokusumo,Op.Cit., hal 62. 47

Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama.Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama.2000, hal 14.

48Sulaiman Rasjid.H.Fiqh Islam. Attahiriyah, Jakarta, 2004, hal. 189


(46)

berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.

Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa :

Apabila terjadi perkawinan antar agama baru dikatakan sah apabila perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya.50

Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, dipertegas lagi dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”.

Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orang-orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan

50

Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,Mandar Maju, Bandung, 1992, hal. 26-27.


(47)

perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

Menurut UU No.1 tahun 1974. Syarat-syarat dalam UUP yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak melangsungkan perkawinan adalah:

a. Syarat materiil

Dalam hal mengenai orang yang hendak kawin dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak-pihak ketiga, maka menurut Pasal 6 UU Perkawinan, adapun syarat-syarat (Syarat Materil) adalah sebagai berikut :

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolah dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut yang memberikan izin.

6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Syarat materiil ini dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1) Syarat materiil mutlak ialah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak kawin dan tidak memandang dengan siapa ia hendak kawin serta syarat-syarat ini berlaku umum. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka orang tidak dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materiil mutlak terdiri dari:

a) kedua pihak tidak terikat dengan tali perkawinan yang lain; b) persetujuan bebas dari kedua pihak;


(48)

c) setiap pihak harus mencapai umur yang ditentukan oleh UU; d) izin dari pihak ketiga;

e) waktu tunggu bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan ingin kawin lagi. Bagi wanita yang putus perkawinan karena perceraian, masa iddahnya 90 (sembilan puluh) hari dan karena kematian 130 (seratus tiga puluh) hari.51

2) Syarat materiil relatif, yaitu syarat untuk orang yang hendak dikawini. Jadi, seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak (syarat untuk dirinya sendiri) tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan orang yang tidak memenuhi syarat materiil relatif. Misalnya: mengawini orang yang masih ada hubungan dengan keluarga terlalu dekat.52

Syarat materiil relatif ini diatur dalam Pasal 8 dan 10 UU Perkawinan. Pasal 8 mengatur bahwa perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang:

a) Berhubungan darah dengan garis keturunan lurus ke bawah atau keatas. b) Berhubungan darah dengan garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,

antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.

c) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/ bapak tiri. d) Berhubungan dengan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi/

paman susuan.

e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

Sedangkan Pasal 10 UUP mengatur mengenai larangan kawin kepada mereka yang telah putus perkawinannya karena cerai 2 (dua) kali dengan pasangan yang sama. Jadi, setelah cerai yang kedua kalinya mereka tidak dapat kawin lagi untuk yang ketiga pada orang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.

51

Wahyuni Setiyowati, Hukum Perdata I (Hukum Keluarga). F.H. Universitas 17 Agustus (UNTAG). Semarang 1997, hal 28.

52


(49)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

b. Syarat formil

Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah :

1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan;

2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;

3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing;

4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin. Syarat untuk melaksanakan perkawinan diatur dalam Pasal 3, 4, 8, dan 10 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu tentang :

1) Pemberitahuan

Tentang pemberitahuan diatur dalam Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975. Pasal 3 dan 4 PP No. 9 tahun 1975 mengatur :


(50)

a) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.

b) Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

c) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 (dua) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

d) Pasal 4 mengatur bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya kepada pegawai pencatat perkawinan.

2) Pengumuman

Setelah semua persyaratan terpenuhi maka pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman yang ditempel dipapan pengumuman kantor pencatat perkawinan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975.

3) Pelaksanaan

“Setelah hari ke-10 (sepuluh) tidak ada yang mengajukan keberatan atas rencana perkawinan tersebut maka perkawinan dapat dilangsungkan oleh


(51)

pegawaipencatat perkawinan. Khusus yang beragama Islam pegawai pencatat perkawinan hanya sebagai pengawas saja”.53

Di samping itu, perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing masing agama dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan). Ahmad Djumairi mengatakan bahwa :

Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain oleh Undang-Undang itu. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi Hindu maupun Budha.54

Adapun syarat-syarat perkawinan menurut UU Perkawinan adalah:

a) Adanya persetujuan kedua calon mempelai. Kesepakatan kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. b) Bagi seorang yang belum mencapai usia 21 tahun, untuk melangsungkan

perkawinan harus ada izin dari kedua orang tua. Menurut ketentuan Pasal 7 UUP, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Batas umur ini ditetapkan maksudnya untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunannya, yang berarti bahwa seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua, karena mereka dianggap belum dewasa.

c) Bila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. d) Bila kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau tak mampu

menyatakan kehendaknya maka izin dapat diperoleh dari wali.

e) Bila ayat 2, 3, dan 4 pasal 6 ini tidak dapat dipenuhi, maka calon mempelai dapat mengajukan izin pada Pengadilan setempat.

53

Setiyowati Wahyuni,Op.Cit., hal 39.

54

Achmad Djumairi. Hukum Perdata II. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo. Semarang, 1990. hal 24.


(52)

f) Penyimpangan tentang Pasal 7 ayat (1) dapat minta dispensasi kepada Pengadilan.

Kemudian di dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan juga dibagi dua macam adalah: (1) syarat materiil dan (2) syarat formal.

Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi dua macam, yaitu:

a) Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi:

1) Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUH Perdata).

2) Persetujuan antara suami-isteri (Pasal 28 KUH Perdata).

3) Terpenuhinya batas umur minimal, bagi laki-laki minimal berumur 18 (delapan belas) tahun dan bagi wanita berumur 15 (lima belas) tahun (Pasal 29 KUH Perdata).

4) Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 (tiga ratus) hari setelah perkawinan terdahulu dibubarkan (Pasal 34 KUH Perdata).

5) Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 sampai dengan Pasal 49 KUH Perdata).


(53)

b) Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan tersebut ada 2 (dua) macam, yaitu:

1) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan.

2) Larangan kawin karena zina,

3) Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat 1 (satu) tahun.

Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dua tahapan, yaitu:

a. Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang maksud kawin (Pasal 50 sampai Pasal 51 KUH Perdata). Pemberitahuan tentang maksud kawin diajukan kepada Catatan Sipil. Pengumuman untuk maksud kawin dilakukan sebelum dilangsungkannya perkawinan, dengan jalan menempelkan pada pintu utama dari gedung dimana register-register Catatan Sipil diselenggarakan, dan jangka waktunya 10 (sepuluh) hari.

b. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan. Apabila kedua syarat diatas, baik syarat materiil dan formal sudah dipenuhi maka perkawinan itu dapat dilangsungkan.55

Dalam setiap perkawinan pasti menimbulkan akibat hukum, antara lain timbulnya hak dan kewajiban suami dan isteri, hak dan kewajiban orang tua serta kekuasaannya dan di samping itu timbulnya hak perwalian. Seorang anak yang dilahirkan sebagai akibat dari suatu perkawinan, disebut dengan anak sah. Anak sah sampai dia berusia dewasa, berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama kedua orang tuanya itu masih terikat tali perkawinan. Ada pula kemungkinan menurut Pasal 229 KUH Perdata “selama perkawinan bapak dan ibunya, setiap anak sampai mereka

55


(54)

itu dewasa tetap bernaung di bawah kekuasaan mereka, sejauh mereka itu tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaannya itu”.

Menurut Subekti yang mengatakan bahwa :

Perwalian (Voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatas oleh undang–undang. Anak yang berada di bawah perwalian, adalah (1) Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, (2) Anak sah yang orang tuanya telah bercerai dan (3) Anak yang lahir di luar perkawinan (naturlijk kind).56

2. Perceraian

Perceraian yang sah haruslah perceraian yang penghapusan perkawinannya dilakukan dengan putusan hakim, Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan saja antara suami-isteri. Karena perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.57

Dimana untuk melakukan perceraian tersebut haruslah ada cukup alasan yang salah satunya yaitu bahwa antara suami istri yang meminta untuk diceraikan tidak dapat untuk hidup rukun sebagai suami isteri lagi.

Menurut Undang-undang, alasan perkawinan dapat bubar antara lain karena kematian, karena keadaan tidak hadir si suami atau isteri, selama 10 (sepuluh) tahun diikuti dengan perkawinan baru isterinya atau suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian Kitab Undang-undang Hukum Perdata, karena putusan hakim

56

Soebekti,Pokok –Pokok Hukum Perdata,Intermasa, Jakarta , 2003 , hal 52

57


(55)

setelah perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan ini dalam putusan Register Catatan Sipil.58

Oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menetapkan bahwa perkawinan yang telah dibentuk dapat putus, antara lain karena:59

a. Kematian, b. Perceraian dan

c. atas keputusan Pengadilan.

Putusnya perkawinan dikarenakan kematian disebabkan karena salah satu dari suami/istri atau bahkan kedua-duanya telah meninggal dunia terlebih dahulu, sehingga pernikahan dianggap telah putus dengan meninggalnya salah satu pihak atau kedua-duanya tersebut.

Putusnya perkawinan dikarenakan Perceraian merupakan putusnya perkawinan yang dikarenakan adanya ketidak cocokkan lagi para pihak untuk melanjutkan rumahtangganya. Sehingga terjadinya pengajuan gugatan salah satu pihak baik itu suami maupun istri untuk diputuskannya perkawinan mereka. Terhadap perceraian ini maka yang dapat menjadi alasan-alasan para pihak untuk memutuskan perkawinan tersebut antara lain:60

a. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 ( dua ) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

b. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

58R.Subekti,

Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Pasal 199.

59Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 60R.Subekti,op cit,Pasal 209


(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Al Afifi, Thaha Abdullah, Hak Orang Tua Pada Anak dan Hak Anak Pada Orang Tua, diterjemahkan oleh Zaid Husein Al Hamid, Dar El Fikr Indonesia, Jakarta, 1987.

Affandi, Wahyu, Hukum dan Penegakan Hukum, Bandung : Alumni, 1981.

Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bina Aksara, Jakarta. 1984.

Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002.

Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet-2; Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Ashshofa, Burhan, Metodelogi Penelitian Hukum,Rineka Cipta, Jakarta, 1996. Djai's, Mochammad dan RMJ. Koosmargono, Membaca dan Mengerti HIR, Badan

Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2008.

Daliyo, J.B,Pengantar Ilmu Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.

Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif,Hukum Perkawinan Dan Keluarga di Indonesia, ed.1, cet.2, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2004).

---, dan Surini Ahlan Sjarif,Hukum Perkawinan Dan Keluarga Di Indonesia, (Jakarta: Rizkita, 2002).

---, Hukum Perkawinan Perdata Syarat Sahnya Perkawinan Hak dan Kewajiban Suami-Istri Harta Benda Perkawinan, Jilid.1, (Jakarta: Rizkita, 2009).

Dellyana, Santy, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1998. Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Kompilasi

Hukum Islam di Indonesia.Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama, 2000.


(2)

Departemen Kehakiman RI, Pembangunan dan Pembinaan Hukum Nasional, Biro HUMAS Bagian Penerangan dan Pemberitaan, Jakarta, 1985.

Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet.2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, Maret 1985).

Djumairi, Achmad, Hukum Perdata II. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo. Semarang, 1990.

Effendi, Satria,Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (cet-2, Kencana, Jakarta, 2004.

Hoerudin, Ahrun, Pengadilan Agama (Bahasan tentang Pengertian, Pengajuan Perkara dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. H.A.Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,

(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2003.

Hadiati Koeswadji, Hermien, Perkawinan dan Hukum Perkawinan,ed.1, (Surabaya:Fakultas Hukum Universitas Airlangga,1976).

Hadikusuma, Hilman,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,(Bandung: CV. Mandar Maju, 1990).

---,Hukum Perkawinan Indonesia,Mandar Maju, Bandung, 2007.

Hartono, Sunaryati,Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994.

Harahap, M.Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Hanitijo Soemitro, Ronny, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990.

Hazairin,Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta:Tintamas,1961.

---,Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Jakarta : Penerbit Tintamas. 1975.


(3)

J.Supranto MA,Metode Penelitian Hukum dan statistic, Rineka Cipta, Jakarta, 2003. Kie, Tan Thong, Hukum Orang Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata,

(Bandung:Alumni,1987).

L.J. Van Apeldorn:Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1980. Lubis, M.Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. Marpaung, Happy,Masalah Perceraian, Toni, Bandung, 1989.

M.Wuisman, ,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial,Jilid I, FE-UI, Jakarta, 1996.

Malik, Rusdi,Memahami Undang-undang Perkawinan, Universitas Trisakti, Jakarta, 2009.

Muhammad, Abdul Qodir,Hukum Perdata Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986.

Mahmud, Marzuki, Penelitan Hukum, Prenada Media Group, Surabaya, 2005.

Mertokusumo, Sudikno, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2001.

---,Hukum Acara Perdata Indonesia, penerbit: Liberty,Jogyakarta,1993. Meliala, Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum

Keluarga,cet.2. (Bandung: Nuansa Aulia,2007).

Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia (Semarang: Penerbit Fakultas Hukum Undip, 1996).

Neil Mac Cormick, “Adam Smith On Law”, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981.

Permana, Sugiri, Paradigma Baru dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama, PA Mempawah, Departemen Agama, Kalbar , 2008. Prawirohamidjojo, R Soetojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga,

Surabaya, Airlangga University Press, 2000.


(4)

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet.6, (Jakarta:Sumur Bandung,1974).

Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994.

Rahardjo, Satjipto,Hukum dan Masyarakat, Bandung, Angkasa, 1984.

---,Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke – V, Bandung, 2000. Rasjid, Sulaiman. H.Fiqh Islam. Attahiriyah, Jakarta, 2004.

Saleh, Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, cet.6, (Jakarta:Ghalia Indonesia,1980).

---,Kehakiman dan Peradilan, Jakarta : Sumber Cahaya, 1981.

Salman, Otje dan Anton F Susanto,Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005. Satrio, J.Hukum Harta Perkawinan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. 1993. Setiyowati, Wahyuni, Hukum Perdata I (Hukum Keluarga). F.H. Universitas 17

Agustus (UNTAG). Semarang, 1997.

Siregar, Bismar, Hukum Acara PidanaJakarta : Bina Cipta, 1983.

Soemitro, dan Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 1990.

Soimin, Soedharyo,Hukum Orang dan Keluarga,Sinar Grafika, Jakarta, 2002. Soekanto, Soerjono, Penegakan Hukum, BPHN, Departmen Kehakiman RI, Jakarta,

1983.

---,Pengantar Penelitian Hukum,UI-Press, Jakarta, 1986.

---, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjaun Singkat,Rajawali Pers, Jakarta, 1990.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982.


(5)

Subekti, R,Pokok-Pokok dari Hukum Perdata,cet.11, Jakarta:Intermasa,1975. ---, dan R. Tjitrosudibio, KUHPerdata, Pradnya, Jakarta, 1990.

---,Pokok –Pokok Hukum Perdata,Intermasa, Jakarta , 2003.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Samadi, Suryabrata,Metodelogi Penelitian,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998. Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005.

Sutantio, Retnowulan, dan Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2002.

Supranto,Metode Penelitian Hukum dan statistic, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.

Sumardjono, Maria,Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, 1989.

Susilo, Budi,Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2008.

Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Penerbit Alumni, Bandung 1989.

Tahir Hamid, Andi,Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya ,Jakarta : Sinar Grafika, 1996.

Taufik Makarao, Moh., Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Cet. I, Rineka Cipta, Jakarta, 2004.

Trizakia, Yani,Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005. Tanya, Bernard L., dkk,Teori Hukum,Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 2001.

Vollmar,Pengantar Studi Hukum Perdata,Rajawali Pers, Jakarta, 1989.

Wienarsih, Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Perdata Barat,Gitama Jaya, Jakarta, 2005.


(6)

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. C. Bahan Lain

Makalah. Eksekusi dan lelang dalam hukum acara perdata, Prof. Dr. H. Abdul Manan, SH, SiP, M.Hum, Hakim Agung MARI.

Rimaru, Teori keadilan John Rawls, http://rimaru.web.id/teori-keadilan-john-rawls/, diakses pada tanggal 12 Juni 2012.

Dian andriyani, http://dianandriyani7.blogspot.com/2011/04/keadilan.html, di akses pada tanggal 31 januari 2013.

Bismar Nasution,Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004.

AM. Ramli, S.H, Status Anak dalam Hukum Perdata Internasional, dalam Harian pikiran Rakyat, Bandung, tanggal 28 Pebruari 1992.