Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

(1)

TANGGUNG JAWAB SUAMI TERHADAP ANAK AKIBAT PERCERAIAN BERBEDA AGAMA DALAM PERSFEKTIF HUKUM PERDATA (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

HANI RIADHO NASUTION NIM : 100200030

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TANGGUNG JAWAB SUAMI TERHADAP ANAK AKIBAT PERCERAIAN BERBEDA AGAMA DALAM PERSFEKTIF HUKUM PERDATA (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Oleh :

HANI RIADHO NASUTION NIM : 100200030

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. HASIM PURBA, SH.M.HUM NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Muhammad Hayat, SH) (Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum) NIP: 195008081980021002 NIP: 195902051986012001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang diridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.

Pelaksanaan penulisan skripsi ini berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari Dosen Pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:


(4)

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Muhammad Hayat, SH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

3. Ibu Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

4. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

5. Kepada Ayah Abdul Haris Nasution, SH dan Mama Nelli Sari Alam Lubis, serta keluarga besar atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU dan yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

6. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2010, Indri Hafni Hrp, Mutia Ramadhani,Tiffany Yessa, Dara Regina, selama menjalani perkuliahan..


(5)

7. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Februari 2013


(6)

ABSTRAK

*Muhammad Hayat, SH ** Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum

***Hani Riadho Nasution

Perkawinan adalah merupakan hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,hukum perkawinan di Indonesia masih bersifat pluralistis, dimana masing-masing golongan dalam masyarakat kita mempunyai hukum perkawinan yang berbeda-beda.Tanggung jawab suami terhadap anak akibat perceraian berbeda agama dalam persfektif hukum perdata (studi kasus Pengadilan Negeri Medan). Permasalahan yang diajukan adalah bagaimanakah perlindungan terhadap anak akibat perceraian,bagaimanakah status anak akibat perceraian berbeda agama,apakah tanggung jawab suami terhadap anak akibat perceraian berbeda agama dalam persfektif hukum perdata,bagaimana kasus posisi berdasarkan kasus posisi berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Medan No.144/Pdt.G/2012/PN.MDN.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif realitis, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara hasil putusan dari Pengadilan Negeri Medan.Jenis data yang digunakan adalah data sekunder.

Hasil penelitian adalah perlindungan terhadap anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar hidup tumbuh dan berkembang.Status anak akibat perceraian diketahui bahwa anak memiliki status sejak ia dilahirkan.Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak.Akan tetapi bilamana bapak dalam kenyataan tidak sanggup atau tidak dapat memberitau memenuhi kewajiban tersebut,Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.Kasus posisi berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Medan bahwa tergugat telah memenuhi kewajiban terhadap anak-anaknya dengan membiayai nafkah anak ,memberikan biaya keperluan dan pendidikan anak-anaknya.

Kata Kunci: Tanggung Jawab,Perceraian, Beda Agama

*Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN……… ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 9

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN……….. 14

A. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata ... 14

B. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan ... 17

C. Perkawinan Berbeda Agama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata ... 28

D. Pengertian Perceraian………..……….. 34

E. Akibat Dari Suatu Perceraian..……….. 38

BAB III KEDUDUKAN ANAK DALAM PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG………... 47


(8)

A. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang ... 47

B. Hak Dan Kewajiban Anak. ... 53

C. Makna Kehadiran Anak Dalam Sebuah Keluarga ... 60

BAB IV TANGGUNG JAWAB SUAMI TERHADAP ANAK AKIBAT PERCERAIAN BERBEDA AGAMA DALAM PERSFEKTIF HUKUM PERDATA BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN No.144/Pdt.G/2012/PN.Mdn……….. 63

A. Perlindungan Terhadap Anak Akibat Perceraian…………... 63

B. Status Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama ………….. 67

C. Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata ... 69

D. Kasus Posisi Berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri Medan No.144/Pdt.G/2012/PN.MDN. ... 75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….... 88

A. Kesimpulan ... 88

B. Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

ABSTRAK

*Muhammad Hayat, SH ** Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum

***Hani Riadho Nasution

Perkawinan adalah merupakan hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,hukum perkawinan di Indonesia masih bersifat pluralistis, dimana masing-masing golongan dalam masyarakat kita mempunyai hukum perkawinan yang berbeda-beda.Tanggung jawab suami terhadap anak akibat perceraian berbeda agama dalam persfektif hukum perdata (studi kasus Pengadilan Negeri Medan). Permasalahan yang diajukan adalah bagaimanakah perlindungan terhadap anak akibat perceraian,bagaimanakah status anak akibat perceraian berbeda agama,apakah tanggung jawab suami terhadap anak akibat perceraian berbeda agama dalam persfektif hukum perdata,bagaimana kasus posisi berdasarkan kasus posisi berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Medan No.144/Pdt.G/2012/PN.MDN.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif realitis, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara hasil putusan dari Pengadilan Negeri Medan.Jenis data yang digunakan adalah data sekunder.

Hasil penelitian adalah perlindungan terhadap anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar hidup tumbuh dan berkembang.Status anak akibat perceraian diketahui bahwa anak memiliki status sejak ia dilahirkan.Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak.Akan tetapi bilamana bapak dalam kenyataan tidak sanggup atau tidak dapat memberitau memenuhi kewajiban tersebut,Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.Kasus posisi berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Medan bahwa tergugat telah memenuhi kewajiban terhadap anak-anaknya dengan membiayai nafkah anak ,memberikan biaya keperluan dan pendidikan anak-anaknya.

Kata Kunci: Tanggung Jawab,Perceraian, Beda Agama

*Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu produk badan legislatif di negara kita yang menyentuh secara langsung penghidupan masyarakat bangsa kita adalah UU Perkawinan nasional yang di undangkan tanggal 1 Oktober 1975 yakni sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya .Untuk kelancaran dan ketentuan-ketentuan UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaanya tersebut, di keluarkan pula petunjuk pelaksanaannya, antara lain termuat dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 , Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1975 , Intruksi Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam No. D/INS/117/1975 , dan Petunjuk–petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tanggal 20 Agustus 1975 No. MA/Pemb/0807/75. Tujuh setengah tahun kemudian setelah UU Perkawinan ini berlaku secara efektif , keluarlah pula Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (TAMBAHAN LNRI No. 3250) yang mulai berlaku sejak di undangkan tanggal 21 April 1983. Ketentuan-Ketentuan teknis Peraturan Pemerintah ini termuat di dalam Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara No. 08/SE/1983 tanggal 26 April 1983


(11)

Kehadiran undang-undang yang mengatur segala masalah perkawinan yang selaras dengan perkembangan dan dinamikanya masyarakat ini,sebenarnya sudah lama sekali didambakan oleh masyarakat bangsa kita, bahkan sejak tahun limapuluhan. Akan tetapi karena beberapa hambatan maka baru pada awal tahun 1974 berhasil diciptakan UU Perkawinan nasional yang bersifat unifikasi yang berlaku bagi seluruh warganegara Indonesia.1

Selama ini, nampaknya harapan-harapan yang dicanangkan dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ini belum semuanya tercapai dengan menggembirakan, malahan sebagian harapan masih tinggal harapan.Ini justru karena belum dapat dilaksanakannya undang-undang tersebut secara keseluruhan sebagaimana mestinya.

Tidak tercapainya apa yang menjadi tujuan dari suatu undang-undang memang suatu hal yang wajar, karena tidak ada undang-undang di dunia ini yang dapat mencapai seratus persen tujuannya. Akan tetapi khusus buat UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, titik-titik lemah yang menyebabkan belum dapat dijalankan sepenuhnya undang-undang ini kiranya dapat kita identifikasi dengan mudah. Di antaranya karena sarana dan prasarana yang belum memadai, aparat pelaksananya masih kurang baik kualitasnya maupun kuantitasnya, dan kesadaran hukum masyarakat kita yang masih belum mapan. Hal yang terakhir ini merupakan titik lemah yang paling mendasar dalam pelaksanaan hampir semua peraturan perundang-undangan di negara kita, termasuk UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974

1

Riduan Syahrani , Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil , Jakarta: PT . Media Sarana Press, 1986 , hal. 1-2


(12)

dan seperangkat peraturan pelaksanaanya. Kelemahan ini secara perlahan-lahan akan dapat diatasi dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan hukum kepada masyarakat, antara lain dengan cara menyebarluaskan tulisan-tulisan yang menguraikan dan mengupas kaidah-kaidah, asas-asas dan tujuan-tujuan serta dasar-dasar pemikiran yang terkandung dalam UU Perkawinan tersebut maupun peraturan-peraturan pelaksanaannya tersebut dapat diterima dan dipatuhi oleh masyarakat bukan sebagai sesuatu yang dipaksakan akan tetapi dirasakan sebagai suatu keharusan. 2

Sebelum lahirnya UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, hukum perkawinan di Indonesia masih bersifat pluralistis, dimana masing-masing golongan dalam masyarakat kita mempunyai hukum perkawinan yang berbeda-beda. yaitu:

1) Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama dalam Hukum Adat.

2) Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat

3) Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 No. 74).

4) Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku Ketentuan-Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan.

5) Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka dan.

2


(13)

6) Bagi orang-orang Eropa dan warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dengan lahirnya undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 yang mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 yakni sejak mulai berlakunya PP No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya, maka perceraian tidak dapat bisa lagi dilakukan dengan semaunya seperti banyak terjadi pada masa sebelumnya,melainkan harus dengan prosedur tertentu dan hanya boleh dilakukan kalau ada alasan/alasan-alasan yang dapat di benarkan.

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut di bawah ini:

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.


(14)

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

f) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.3

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian di atas ini termuat dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, kemudian diulangi kembali dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 peraturan pelaksanaannya.

Pegawai Negeri Sipil yang ingin melakukan perceraian,selain harus mengindahkan ketentuan umum sebagaimana termuat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaannya PP No. 9 Tahun 1975 yang telah diuraikan, juga harus mengindahkan ketentuan khusus bagi Pegawai Negeri Sipil yang termuat dalam PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 , yang ada mengatur mengenai izin perceraian.

Izin untuk melakukan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang diatur dalam PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990, pengaturannya hampir sama dengan izin untuk melakukan poligami bagi Pegawai Negeri Sipil pria, dan izin menjadi istri kedua/ketiga/keempat bagi Pegawai Negeri Sipil wanita.

3


(15)

Pegawai Negeri Sipil yang ingin melakukan perceraian,wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat. Untuk ini ia harus terlebih dahulu mengajukan permintaan secara tertulis (Pasal 3), melalui saluran hirarki yang ada dalam lingkungan dimana yang bersangkutan bekerja (Pasal 5 ayat (2)).Dalam surat permintaan izin bercerai harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izi tersebut.4

Sejarah lahirnya hukum di Indonesia

Perhatian terhadap anak sudah ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari ke hari semakin berkembang. Anak adalah putra kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal.

Dalam perundang-undangan perhatian terhadap anak sudah dirumuskan sejak Tahun 1925, ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 Juncto Ordonasi 1949 No. 9 yang mengatur Pembatasan Kerja Anak Dan Wanita.Kemudian Tahun 1926 lahir pula Stb. 1926 No. 87 yang mengatur Pembatasan Anak dan Orang Muda bekerja di atas kapal,selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),yang disahkan mulai berlaku pada tanggal 26 Februari 1946.

4


(16)

Dalam hukum kita, terdapat pluralisme mengenai kriteria anak,ini sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri kriteria tentang anak sebagai berikut:

1) Undang-undang Pengadilan Anak

Undang-undang Pengadilan Anak (Undang-Undang No. 3 Tahun 1997) Pasal 1 (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara Anak Nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Jadi anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.

2) Anak menurut Hukum Perdata

Pasal 330 KUH Perdata mengatakan, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak terlebih dahulu telah kawin.


(17)

B. Permasalahan

Bedasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini,yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perlindungan terhadap anak akibat perceraian? 2. Bagaimanakah status anak akibat perceraian berbeda agama?

3. Apakah tanggung jawab suami terhadap anak akibat perceraian berbeda agama dalam persfektif hukum perdata?

4. Bagaimana kasus posisi berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Medan No.144/Pdt.G/2012/PN.MDN.

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui tentang perlindungan terhadap anak akibat perceraian berbeda agama.

2. Untuk mengetahui status anak dalam perceraian.

3. Untuk mengetahui tanggung jawab bapaknya terhadap anak akibat dari perceraian yang berbeda agama.


(18)

D. Manfaat Penulisan

Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah

1. Secara teoritis penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi mahasiswa yang tertarik pada bidang keperdataan khususnya mengenai masalah yang timbul akibat perkawinan dan perceraian berbeda agama serta dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan adanya tulisan ini kiranya dapat memberikan pengetahuan umum mengenai hasil putusan mengenai tanggung jawab suami terhadap anak akibat perceraian berbeda agama dalam persfektif hukum perdata (analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan No.144/Pdt.G/2012/PN.Mdn).

2. Secara praktis tulisan ini dapat memberikan jawaban atas masalah yang diteliti, melatih mengembangkan pola piker yang sistematis serta mengukur kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh.

E. Keaslian Penulisan

Bahwa skripsi ini yang membahas tentang Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata yang bermasalah , merupakan hasil karya dan ide sendiri yang sudah diperiksa diperpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan tidak adanya judul yang sama. Jika ada judul yang mirip dengan judul penulisan skripsi ini, tetapi permasalahan dalam penulisan skripsi ini berbeda.


(19)

Berdasarkan pertimbangan khusus inilah maka timbul ide atau niat penulis untuk mengangkat judul skripsi tersebut di atas dengan harapan dapat memberi inspirasi-inspirasi, selanjutnya bagi mereka yang ingin mengetahui tentang Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata. Untuk hal tersebut penulis berpedoman pada buku-buku tentang hukum pada permasalahan atau tema yang sama, serta adapun berpedoman pula kepada peraturan-peraturan yang berlaku.

F. Metode Penelitian

Metode Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Sifat / Jenis Penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah bersifat deskriptif analitis mengarah kepada penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat, yakni seperti KUH Perdata,Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974,Riduan Syahrani,H.Hilman Hadikusuma,Martiman Prodjohamidjojo.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : putusan pada Pengadilan Negeri Medan dengan cara mengumpulkan bahan hukum dengan mempelajari berkas-berkas


(20)

seperti buku, yurisprudensi, buku-buku ilmiah,undang-undang, majalah, internet,. ataupun jurnal yang mengulas tentang tanggung jawab suami terhadap sebagai bahan acuan dalam pembahasan skripsi ini. Penelitian ini memberikan porsi yang sama antara penelitian kepustakaan. Untuk itu digunakan metode library research (penelitian pustaka) yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari yurisprudensi, buku-buku ilmiah, yang telah disebutkan sebelumnya itu. c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup :

1) Bahan – bahan yang memberi petunjuk – petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder.

2) Bahan – bahan primer, sekunder dan tertier ( penunjang ) di luar bidang hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan

3. Alat Pengumpulan Data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui putusan Pengadilan Negeri Medan No 144/Pdt.G/2012/PN.Mdn.

4. Analisis Data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, putusan Pengadilan Negeri Medan,dan hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif.Dan beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.


(21)

G. Sistematika Penulisan

Materi skripsi ini pada garis besarnya terbagi menjadi lima bab, dimana di dalam setiap bab masih terbagi lagi menjadi beberapa sub bab, yaitu sebagai berikut :

BAB I : Isinya merupakan Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II : Isinya merupakan Tinjauan Umum Tentang Perkawinan

yang terdiri dari : Pengertian Perkawinan,Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan,Perkawinan Berbeda Agama Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata,Pengertian Perceraian,Akibat Dari Suatu Perceraian.

BAB III : Isinya merupakan Kedudukan Anak Dalam Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang yang terdiri dari Pengertian Anak Menurut Undang-Undang,Hak Dan Kewajiban Anak,Makna Kehadiran Anak Dalam Sebuah Keluarga.

BAB IV : Isinya merupakan Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan yang terdiri dari Perlindungan Terhadap Anak Akibat Perceraian,Status Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama,Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum


(22)

Perdata,Kasus Posisi Berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri Medan No.144/Pdt.G/2012/PN.MDN.

BAB V : Merupakan kesimpulan dan saran berdasarkan apa yang telah dikemukakan pada bab–bab sebelumnya sebagai hasil dari


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

Subekti mengatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

6

Beberapa aturan syari’at perkawinan Islam yang telah menjadi bagian dari sistem hukum positif Indonesia,antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

c. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;dan

d. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.7

5

Ibid , hal 12

6

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, 1992, hal.11.

7

Abdulkadir Muhammad , Hukum Perdata Indonesia , Bandung , PT . Citra Aditya Bakti , 2010 , hal. 67


(24)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sumber hukum perkawinan yang mengatur secara lengkap dan modern tentang perkawinan dan perceraian.Sebenarnya undang-undang ini jauh lebih sempurna dan lengkap mengenai substansi yang diatur di dalamnya,baik berupa asas-asas maupun norma-norma hukum perkawinan dan perceraian serta kehidupan berkeluarga.

Perbuatan tersebut perlu menjadi fokus kajian untuk diketahui motivasi, alasan, dan tujuannya sehingga dapat dicari solusi yang tepat untuk diatasi atau dicegah terjadinya pelanggaran yang berdampak luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.Dampak tersebut, antara lain, berupa pengacauan administrasi kependudukan, status kewarganegaraan, perlindungan istri dan anak, serta harta kekayaan mereka.Hal ini akan menjadi masalah dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga,baik selama perkawinan maupun jika terjadi perceraian suami istri.

Berdasar pada beberapa kelemahan tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur beberapa asas yang dapat berfungsi sebagai penghambat dan mengatur sedemikian rupa dalam pasal-pasalnya guna mencegah terjadinya pelanggaran, baik terhadap asas-asas maupun terhadap norma-norma yang terjelma dalam rumusan pasal-pasal Undang-Undang Perkawinan. Asas-asas dimaksud,antara lain, asas suka rela, asas partisipasi keluarga,asas perceraian dipersulit,asas poligami dibatasi dengan ketat, asas kematangan calon mempelai,


(25)

asas kebaikan derajat kaum wanita, dan asas keharusan pencatatan perkawinan dan perceraian maupun pejabat pencatat perkawinan dan perceraian.8

Rumusan perkawinan di atas ini merupakan rumusan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang dituangkan dalam Pasal 1. Dalam penjelasannya disebutkan:

’’Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke-Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian,sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani,tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting”9

Rumusan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 di atas ini pada dasarnya mengandung inti dan tujuan yang sama dengan rumusan-rumusan perkawinan dari para ahli/sarjana .

Menurut Anwar Harjono mengatakan Pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.Dari rumusan perkawinan tersebut jelaslah bahwa perkawinan itu tidak hanya merupakan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja , akan tetapi ikatan kedua-duanya .

Sebagai ikatan lahir ,perkawinan merupakan hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.ikatan lahir ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Ikatan lahir ini terjadi dengan adanya upacara perkawinan yakni pengucapan akad nikah bagi yang beragama Islam .

8

Ibid , hal. 69

9


(26)

Sebagai ikatan bathin , perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri . Dalam taraf permulaan , ikatan bathin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan . Selanjutnya dalam hidup bersama ikatan bathin ini tercermin dari adanya kerukunan suami istri yang bersangkutan . Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal .

Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 itu tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal . Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan , akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya , dan tidak boleh diputuskan begitu saja .Karenanya tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak . Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa .10

B. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku,kalau perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata-tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan Undang-undang No 1

10


(27)

Tahun 1974 berarti tidak sah menurut perundangan, kalau tidak menurut aturan hukum agama berarti tidak sah menurut agama, begitu pula kalau tidak menurut tata-tertib hukum adat tidak sah menurut hukum adat.11

Syarat Materil dan Formal:

Syarat adalah segala hal yang harus dipenuhi menurut ketentuan peraturan undang-undang. Syarat perkawinan adalah segala hal mengenai perkawinan yang harus dipenuhi menurut ketentuan peraturan undang-undang sebelum perkawinan dilangsungkan. Syarat perkawinan itu banyak dan telah dirinci dalam ketentuan Undang-Undang Perkawinan.

Syarat perkawinan diklasifikasikan menjadi dua kelompok,yaitu:

a. Syarat materil(subjektif)

Syarat materil adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan.Karena itu, disebutjuga syarat subjektif.

b. Syarat formal (objektif)

Syarat formal adalah tata cara dan prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan Undang-Undang yang disebut juga syarat objektif.

11

H.Hilman Hadikusuma , Hukum Perkawinan Indonesia , Bandung , CV Mandar Maju , 2007 , hal. 25


(28)

Syarat-syarat perkawinan yang dibahas dalam uraian ini hanya terbatas pada syarat materil (subjektif). Syarat materil (subjektif) tersebut meliputi syarat materil perkawinan monogami.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut di bawah ini , sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 s/d 12 :

1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai:

Pasal 6 ayat (1) :Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.Pada penjelasannya disebutkan:Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun’’

Syarat perkawinan ini memberikan suatu jaminan agar tidak terjadi lagi adanya perkawinan paksa dalam masyarakat kita. Ketentuan ini sudah selayaknya mengingat masalah perkawinan sebenarnya merupakan urusan pribadi seseorang sebagai bagian daripada hak asasi manusia. Sehingga oleh karena itu maka sudah seharusnya apabila urusan perkawinan ini lebih banyak diserahkan kepada keinginan masing-masing pribadi untuk menentukan pilihan sendiri siapa yang akan dijadikan kawan hidup dalam berumah tangga. Pilihan ini harus benar-benar dilakukan secara bebas tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga.

2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 Tahun

Syarat perkawinan ini disebutkan dengan jelas dalam Pasal 6 ayat (2) , (3) , (4) , (5) dan (6) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut :


(29)

Pasal 6 ayat (2) : Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Pasal 6 ayat (3) : Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin maksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Pasal 6 ayat (4) : Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

Pasal 6 ayat (5) : Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya , maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2) , (3) dan (4) pasal ini.

Pasal 6 ayat (6) : Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain12

3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 Tahun

Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan:

’’Perkawinan hanya boleh diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”

Ketentuan Undang-undang perkawinan ini adalah untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak yang masih di bawah umur . Sehingga oleh karena itu perkawinan gantung yang dikenal dalam masyarakat ataupun juga tidak diperkenankan.Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah yang tidak boleh kawin.

12


(30)

Hubungan darah yang tidak boleh kawin menurut Undang-undang Perkawinan pada pasal 8 adalah sebagai berikut:

a) Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah

b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya

c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan , anak susuan , saudara susuan dan

bibi/paman susuan

e) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang

f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku , dilarang kawin.

4. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain

Syarat untuk melangsungkan perkawinan ini tercantum dalam Pasal 9 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan : Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi , kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.13

13


(31)

Pasal 3 menyatakan:

Pasal 3 Ayat (1) :Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Pasal 3 Ayat (2):Pengadilan dapat member izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

5. Bagi suami istri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin kembali untuk ketiga kalinya

Dalam Pasal 10 Undang-undang perkawinan disebutkan: ”Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

6. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda Menurut Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 waktu tunggu tersebut diatur sebagai berikut :

1.Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) undang-undang ditentukan sebagai berikut:

a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari

b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tungu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan


(32)

sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari

c) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan

2. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.

3. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.14

Syarat-Syarat perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dicantumkan pada buku ke satu tentang orang, Bab ke empat, bagian ke satu tentang perkawinan mulai dari Pasal 27 sampai Pasal 49:

Pasal 27: Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat oleh perkawinan dengan satu orang perempuan saja; seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.

Pasal 28: Asas perkawinan menghendaki adanya persetujuan bebas dari calon suami dan calon istri.

Pasal 29: Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah berkuasa menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi.

14


(33)

Pasal 30: Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak-beradik laki-perempuan, sah atau tidak sah.

Pasal 31 KUH Perdata Perkawinan juga dilarang karena alasan-alasan berikut: 1.Antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain;

2.Antara paman atau paman orang tua dan kemenakan perempuan atau anak perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dan kemenakan laki-laki atau anak laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, pemerintah dengan memberi dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.

Pasal 32: Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zinah, sekali-kali tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinahnya itu.

Pasal 33: Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan pasal 199 nomor 3? atau 4?, tidak boleh untuk kedua kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar catatan sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang. Pasal 34: Seorang wanita tidak boleh melakukan perkawinan baru, kecuali setelah

lampau jangka waktu tiga ratus hari sejak pembubaran perkawinan yang terakhir.

Pasal 35: Untuk melaksanakan perkawinan, anak sah di bawah umur memerlukan izin kedua orang tuanya. Akan tetapi bila hanya salah seorang dari mereka memberi izin dan yang lainnya telah dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian atas anak itu, maka pengadilan negeri di daerah tempat tinggal anak itu, atas permohonannya, berwenang memberi izin melakukan perkawinan itu, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya menjadi syarat beserta keluarga-keluarga sedarah atau keluarga-keluarga semenda. Bila salah satu orang tua telah


(34)

meninggal atau berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang lain.

Pasal 36: Selain izin yang diharuskan dalam pasal yang lalu, anak-anak sah yang belum dewasa memerlukan juga izin dari wali mereka, bila yang melakukan perwalian adalah orang lain daripada ayah atau ibu mereka; bila izin itu diperlukan untuk kawin dengan wali itu atau dengan salah satu dari keluarga sedarahnya dalam garis lurus, diperlukan izin dari wali pengawas. Bila wali atau wali pengawas atau ayah atau ibu yang telah dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwaliannya, menolak memberi izin atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka berlakulah alinea kedua pasal yang lalu, asal orang tua yang tidak dipecat dari kekuasaan orang tua atau dari perwaliannya atas anaknya telah memberikan izin itu. Pasal 37: Bila ayah dan ibu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka, maka mereka masing-masing harus digantikan oleh tua mereka, sejauh mereka masih hidup dan tidak dalam keadaan yang sama. Bila orang lain daripada orang-orang tersebut di atas melakukan perwalian atas anak-anak dibawah umur itu, maka dalam hal seperti yang dimaksud dalam alinea yang lalu, si anak memerlukan lagi izin dari wali atau wali pengawas, sesuai dengan perbedaan kedudukan yang dibuat dalam pasal yang lalu. Alinea kedua pasal 35 berlaku, bila antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea satu atau alinea dua pasal ini ada perbedaan pendapat atau bila salah satu atau lebih tidak menyatakan pendiriannya.

Pasal 38: Bila ayah dan ibu serta kakek dan nenek si anak tidak ada, atau bila mereka semua berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka, anak sah yang masih di bawah umur tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali dan wali pengawasnya. Bila baik wali maupun wali pengawas, atau salah seorang dari mereka, menolak untuk memberi izin atau tidak menyatakan pendirian, maka pengadilan negeri di daerah tempat tinggal anak masih di bawah umur, atas permohonannya berwenang memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar dan memanggil dengan sah wali, wali pengawas, dan keluarga sedarah atau keluarga semenda.

Pasal 39: Anak luar kawin yang diakui sah, selama masih di bawah umur, tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin ayah dan ibu yang mengakuinya, sejauh kedua-duanya atau salah seorang masih hidup dan tidak berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka. Bila semasa hidup ayah atau ibu yang mengakuinya, orang lain yang melakukan perwalian atas anak itu, maka harus pula diperoleh izin dari wali itu atau dari wali pengawas bila izin itu diperlukan untuk perkawinan dengan wali itu sendiri atau dengan salah seorang dari keluarga sedarah dalam garis lurus. Bila terjadi perselisihan pendapat


(35)

antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea pertama dan kedua, dan salah seorang atau lebih menolak memberikan izin itu, maka pengadilan negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang di bawah umur itu, atas permohonan si anak berkuasa memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya diperlukan. Bila baik ayah maupun ibu yang mengakui anak di bawah umur itu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka, diperlukan izin dari wali dan wali pengawas. Bila kedua-duanya atau salah seorang menolak untuk memberi izin, atau tidak menyatakan pendirian, maka berlaku pasal 38 alinea kedua, kecuali apa yang ditentukan di situ mengenai keluarga sedarah atau keluarga semenda.

Pasal 40: Anak tidak sah yang tidak diakui, tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali atau wali pengawas, selama ia masih di bawah umur. Bila kedua-duanya, atau salah seorang, menolak untuk memberikan izin atau untuk menyatakan pendirian, pengadilan negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang masih di bawah umur itu, atas permohonannya, berkuasa memberikan izin untuk setelah mendengar atau memanggil dengan sah wali atau wali pengawas si anak.

Pasal 41: Penetapan-penetapan pengadilan negeri dalam hal-hal yang termaksud dalam enam pasal yang lalu, diberikan tanpa bentuk hukum acara. Penetapan-penetapan itu, baik yang mengabulkan permohonan izin, maupun yang menolak, tidak dapat dimohonkan banding. (s.d.u. dg. S. 1927-456.) Mendengar mereka yang izinnya diperlukan seperti yang termaksud dalam enam pasal yang lalu, bila mereka bertempat tinggal di luar kabupaten tempat kedudukan pengadilan negeri itu, boleh dilimpahkan kepada pengadilan negeri di tempat tinggal atau tempat kedudukan mereka, dan pengadilan negeri ini akan menyampaikan berita acaranya kepada pengadilan negeri yang disebut pertama. Pemanggilan mereka yang izinnya diperlukan, dilakukan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 333 terhadap keluarga sedarah dan keluarga semenda. Mereka yang disebut pertama, ataupun mereka yang disebut terakhir, boleh mewakilkan diri dengan cara seperti yang tercantum dalam pasal 334.

Pasal 42: Anak sah, yang telah dewasa, tetapi belum genap tiga puluh tahun, juga wajib untuk mohon izin ayah dan ibunya untuk melakukan perkawinan. Bila ia tidak memperoleh izin itu, ia boleh memohon perantaraan pengadilan negeri tempat tinggalnya, dan dalam hal itu harus diindahkan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.

Pasal 43: Dalam waktu tiga minggu, atau dalam jangka waktu yang lain jika dianggap perlu oleh pengadilan negeri, terhitung dari hari pengajuan surat permohonan itu, pengadilan harus berusaha menghadapkan si ayah


(36)

dan si ibu, beserta anak itu, agar dalam suatu sidang tertutup kepada mereka diberi penjelasan-penjelasan yang dianggap berguna oleh pengadilan demi kepentingan mereka masing-masing. Mengenai pertemuan pihak-pihak tersebut harus dibuat berita acara tanpa mencantumkan alasan-alasan yang mereka kemukakan.

Pasal 44: Bila baik ayahnya maupun ibunya tidak hadir, perkawinan dapat dilangsungkan dengan penunjukan akta yang memperlihatkan ketidakhadiran itu.

Pasal 45: Bila anak itu tidak hadir, maka perkawinannya tidak dapat dilaksanakan, kecuali sesudah permohonan diajukan sekali lagi untuk perantaraan pengadilan.(KUH Perdata 47, 48.)

Pasal 46: Bila, setelah anak itu dan kedua orang tua atau salah satu orang tua hadir, kedua orang tua itu atau salah seorang tetap menolak, maka perkawinan tidak boleh dilaksanakan bila belum lampau tiga bulan, terhitung dari hari pertemuan itu.

Pasal 47: Ketentuan-ketentuan dalam lima pasal terakhir ini juga berlaku untuk anak tak sah terhadap ayah dan ibu yang mengakuinya.

Pasal 48: Sekiranya kedua orang tua atau salah satu tidak berada di Indonesia, pemerintah berkuasa memberi dispensasi dari kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam pasal 42 sampai dengan pasal 47.

Pasal 49: Dalam pengertian ketidakmungkinan bagi para orang tua atau para kakek-nenek untuk memberi izin kepada anak di bawah umur untuk melakukan perkawinan, dalam hal-hal yang diatur dalam pasal 35, 37, 38 dan 39, sekali-kali tidak termasuk ketidakhadiran terus-menerus atau sementara di Indonesia.15

Kekurangan Pasal 26 KUH Perdata, tidak memperhatikan beberapa hal seperti : 1.Unsur agama,Undang-Undang tidak mencampurkan upacara-upacara perkawinan menurut peraturan Undang-Undang tidak memperhatikan larangan-larangan untuk kawin seperti ditentukan peraturan agama.

2.Segi biologis,Undang-Undang tidak memperhatikan faktor-faktor biologis seperti kemandulan.

3.Segi motif,Undang-Undang tidak memperdulikan motif yang mendorong para pihak untuk melangsungkan perkawinan.

15


(37)

Jadi, KUH Perdata hanya memperhatikan segi-segi formalitasnya saja. Positifnya Pasal 26 KUH Perdata:

A. Perkawinan monogami sesuai dengan Pasal 27 KUH Perdata.

B. Hakikat perkawinan adalah suatu lembaga yang abadi dan hanya dapat putus karena kematian.

C. Cerai tetap dibolehkan tetapi karena alasan-alasan tertentu (limitatif).

C. Perkawinan Berbeda Agama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata

Indonesia adalah Negara yang dikenal kemajemukannya dalam adat – istiadat, budaya dan Agama. Kebebasan beragama di Indonesia juga dijamin oleh Konstitusi pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Salah satu sorotan utama dalam sistem pergaulan di masyarakat terkait dengan keberadaan agama adalah tentang perkawinan antar umat beragama atau perkawinan beda agama.

Perkawinan beda agama dapat diartikan sebagai perkawinan yang dilaksanakan oleh sepasang calon suami istri yang berbeda agama atau keyakinan pada saat melangsungkan perkawinan.

Menurut pendapat yang berpegang teguh pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini,Undang-Undang-Undang-Undang Perkawinan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebenarnya bukan tidak mengatur tentang perkawinan beda agama, tetapi secara implisit ada (diatur) dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi: ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”16

Karena itu tergantung kepada agama yang dianut calon mempelai, apakah agamanya memperkenankan atau tidak dilangsungkannya perkawinan beda agama, dengan memperhatikan Pasal 8 butir f Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

16

Djaja S. Meliala , Hukum Perdata Dalam Perspektif BW , Bandung , Nuansa Aulia , 2012 , hal. 97


(38)

Tahun 1974 tentang larangan perkawinan yang berbunyi: ”Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”17

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :

1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata 2. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

4. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974

5. Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia18

Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perkawinan memberikan peluang yang besar terhadap agama atau kepercayaan untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.19

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas dan eksplisit menentukan apakah perkawinan beda agama dibolehkan atau dilarang. Hal ini dikarenakan UU No. 1 Tahun 1974 menggunakan norma penunjuk (

verwijzingsgregel ) pada hukum agama dan kepercayaan masing – masing. Oleh

karena itu para penegak hukum di badan peradilan maupun lembaga pencatat perkawinan sering tidak konsisten dalam menyelesaikan persoalan perkawinan beda agama ini karena bergantung pada penafsiran agama dan hukum yang berbeda – beda.20

Undang-undang perkawinan hanya ada pembatasan pada perbedaan kewarganegaraannya antara mereka yang berkawin. Dengan demikian,

Undang-17

Ibid , hal. 98

18

Abdulkadir Muhammad, Op.cit , hal.67

19

Ahmad Tholabi Kharlie , Hukum Keluarga Indonesia , Jakarta , Sinar Grafika , 2013 , hal.244

20

http://darahapsarinastiti.blogspot.com/2011/12/perkawinan-beda-agama.html di akses pada tanggal 26 januari 2014


(39)

undang perkawinan tidak mengatur antara dua orang yang berbeda golongan maupun agama. Misalnya, bagaimana kalau golongan bumiputera yang beragama Islam harus berkawin dengan golongan keturunan agama lain, sekiranya tiap-tiap agama dalam peraturannya melarang seorang pemeluk agama itu berkawin dengan orang yang memeluk agama lain. Maka apabila laki-laki dan seorang perempuan, yang masing-masing memeluk agama lain, maka biasanya salah satu dari mereka mengalah dan beralih kepada agama dari pihak lain.

Tetapi sering pula terjadi, bakal suami isteri masing-masing memeluk teguh kepercayaannya dan tetap akan memeluk agama masing-masing. Hal demikian ini tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Hanya sebelum Undang-Undang Perkawinan ini ada, perkawinan yang demikian itu juga digolongkan perkawinan campuran yang diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijken yang termuat dalam Staatsblad 1898-158 atau lebih dikenal dengan GHR. Dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan di Indonesia antara dua orang yang masing-masing takluk pada hukum yang berlainan satu sama lain, dinamakan ‘perkawinan campuran’. Sedangkan Pasal 1 ayat (2) menentukan bahwa perbedaan agama, kebangsaan atau asal usul tidak merupakan penghalang bagi suatu perkawinan.

Dalam GHR ini cukup jelas, kepada siapa ia harus tunduk kalau terjadi perkawinan antaragama. Oleh karena itu dengan adanya Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan, GHR ini tidak berlaku lagi. Pasal ini, bunyi lengkapnya adalah: untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesien S. 1933


(40)

No. 74). Dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.Kalau memang terjadi perkawinan yang berlainan agama, hukum mana yang akan berlaku, ini juga tidak jelas dalam Undang-Undang Pekawinan.Karena dalam Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal 2 menyebutkan: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.21

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai landasan perkawinan beda agama adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 huruf f dan Pasal 57.

Pasal 2 ayat (1) berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Sedangkan pasal 8 huruf f berbunyi:

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi :

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Terhadap ketiga pasal di atas muncul beberapa penafsiran yang berbeda yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pemahaman tentang perkawinan beda agama di Indonesia sebagaimana akan dijelaskan pada uraian di bawah.

Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab

Undang-21

Soedharyo Soimin , Hukum Orang Dan Keluarga , Jakarta , Sinar Grafika , 2001 , hal. 95


(41)

undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974.

Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada Pasal 10 PP No.9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi.Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.

Memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada Pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat

ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, oleh karena itu berdasarkan Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.22

Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat. Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat pentingnya peranan hidup bersama,pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh

22

http://alexanderizki.blogspot.com/2011/03/perkawinan-beda-agama-hukum-dan.html,di akses pada tanggal 26 januari 2014


(42)

negara.Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks.Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai mmedia terjadinya perkawinan yang dianggap dalam kehidupan bermasyarakat.Sebagai contoh,perkawinan campuran,perkawinan sejenis,kawin kontrak,dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda.Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda agama.

Hal ini disebabkan karena pasangan yang berbeda agama.selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan atau agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari, terutama untuk perkawinan berbeda agama.Salah satu pendapat mengatakan bahwa masalah agama merupakan masalah pribadi sendiri-sendiri.Namun, di pihak lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama dilarang oleh agama sehingga tidak dapat diterima.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Dalam konsepsi hukum perdata, perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan keperdataan saja.Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-Undang terhadap upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan.Undang-Undang hanya mengenal perkawinan perdata,yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil. Demikian juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berlaku di Indonesia.Untuk melangsungkan sebuah perkawinan,hanya dibutuhkan dua macam syarat yaitu:

Syarat materil yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat ini meliputi :

A. Syarat materil mutlak yang merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya.


(43)

B. Syarat materil relative, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu terdiri atas:

1) Larangan kawin dengan keluarga sedarah 2) Larangan kawin karena zina

3) Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun. C. Syarat formal yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan

dilangsungkan mencakup pemberitahuan ke pegawai catatan sipil (Pasal 50-51 KUH Perdata)23

Dengan aturan tentang peraturan yang mengatur tentang keabsahan perbedaan agama di Indonesia tidak dijelaskan secara lengkap di KUH Perdata, tetapi untuk aturan yang lebih jelas Indonesia menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.mengenai kasus tentang perkawinan berbeda agama tersebut.

Perkawinan di Luar Negeri:

Pada pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang dilakukan olehsesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah warga negara asing, adalah sah bila dilakukan menuruthukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga negara Indonesia tidak

melanggar Undang-Undang ini.

Pasal 56 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinantempat tinggal mereka.

23

http://herdianaheri.blogspot.com/2012/04/keabsahan-kawin-beda-agama-di-indonesia.html di akses pada tanggal 19 maret 2014


(44)

D. Pengertian perceraian

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami isteri itu perkawinannya putus.Kemudian tidak kalah urgensinya adalah alasan-alasan yang mendasari putusnya perkawinan itu serta sebab-sebab apa terjadi perceraian.24

Dengan diundangkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka perceraian tidak dapat lagi dilakukan dengan sewenang-wenang seperti banyak terjadi sebelumnya.Tetapi sekarang ini harus dilakukan dengan prosedur hukum dan alasan-alasan yang dapat dibenarkan.25

Istilah Perceraian Menurut Undang-Undang:

Kata ”cerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: v (kata kerja),1. Pisah; 2. Putus hubungan sebagai suami istri; talak. Kemudian, kata ”perceraian”mengandung arti: n (kata benda), 1. Perpisahan; 2. Perihal bercerai (antara suami istri); perpecahan.26

Istilah ”perceraian” secara yuridis berarti putusnya perkawinan,yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti barlaki-bini (suami istri) sebagaimana diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas.

24

Martiman Prodjohamidjojo ,Hukum Perkawinn Indonesia , Jakarta , PT. Abadi , 2002 , hal. 41

25

Victor M. Situmorang , Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia , Jakarta , 1996 , hal. 44

26

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa , Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1997, hal.185


(45)

Istilah perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 sebagai aturan hukum Positif tentang perceraian menunjukkan adanya:

a. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk memutuskan hubungan perkawinan di antara mereka.

b. Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami dan istri, yaitu kematian suami atau istri yang bersangkutan, yang merupakan ketentuan yang pasti dan langsung ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

c. Putusan hukum yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat hukum putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri.

Pengertian perceraian menurut Undang-undang:

Perceraian menurut Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 adalah ”Putusnya perkawinan”. Adapun yang dimaksud dengan perkawinan adalah ”Ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Jadi, perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri tersebut.

Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 memuat ketentuan imperative bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.Sehubungan dengan pasal ini, Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati menjelaskan bahwa walaupun perceraian adalah urusan pribadi, baik itu atas kehendak satu di antara dua pihak


(46)

yang seharusnya tidak perlu campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah, tetapi demi menghindari tindakan sewenang-wenangan, terutama dari pihak suami (karena pada umumnya pihak yang superior dalam keluarga adalah suami) dan juga untuk kepastian hukum,maka perceraian harus melalui saluran lembaga peradilan.27

Pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspektif hukum berikut:

1. Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal dan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain sebagai berikut.

a) Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan Agama,yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan siding Pengadilan Agama (vide Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975).

b) Perceraian dalan pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (vide Pasal 20 sampai dengan Pasal 36).

27

Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, PT. Rambang Palembang, 2006, hal. 110-111.


(47)

2. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah pula dipositifkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975,yaitu perceraian yang gugatan cerainya diajukan oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada Pengadilan Negeri, yang dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar cacatan oleh Pegawai Pencatat di Kantor Catatan Sipil (vide Pasal 20 dan Pasal 34 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975).28

E. Akibat Dari Suatu Perceraian

Perceraian adalah peristiwa hukum yang akibatnya diatur oleh hukum, atau peristiwa hukum yang diberi akibat hukum. Perceraian menimbulkan akibat hukum putusnya perkawinan. Selain itu, ada beberapa akibat hukum lebih lanjut dari perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU No. 1 tahun 1974, sebagai berikut.

1. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,pengadilan memberi keputusannya.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

28


(48)

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.29

Karena terjadi perceraian, ada tiga akibat yang perlu diperhatikan,yaitu akibat terhadap anak dan istri, terhadap harta perkawinan, dan terhadap status. Ketiga macam akibat perkawinan putus karena perceraian tersebut dibahas dalam uraian berikut ini.

Akibat terhadap anak dan istri

Menurut ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, ada tiga hal yang perlu dipatuhi sebagai akibat perkawinan putus karena perceraian.Tiga hal tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pertama

Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya mereka semata-mata untuk kepentingan anak. Apabila ada perselisihan tentang penguasaan anak,pengadilan putusannya.

b. Kedua

Bapak bertanggung jawab atas smua biaya pemeliharaan dan pendidikn yang diperlukan anak.Apabila bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

29


(49)

c. Ketiga

Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada mantan istri dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi mantan istri.30

Untuk harta bawaan dan harta perolehan tidak menimbulkan masalah karena harta tersebut tetap dikuasai dan adalah hak masing-masing pihak.Apabila terjadi penyatuan harta karena perjanjian, penyelesaiannya juga disesuaikan dengan ketentuan perjanjian dan kepatutan.

Akan tetapi, mengenai harta bersama, mungkin akan timbul

persoalan.Menurut ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan, apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut ”hukumnya” masing-masing.Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain, seperti KUH Perdata.Dengan demikian, penyelesaian harta bersama adalah bagi mereka yang kawin menurut hukum Islam,hukum Islam tidak mengenal harta bersama karena istri diberi nafkah oleh suami. Yang ada harta milik masing-masing suami dan istri.Harta ini adalah hak mereka masing-masing.

Masalah yang timbul adalah bagaimana cara menyelesaikan harta bersama yang diperoleh selama perkawinan bagi mereka yang tidak tunduk pada hukum adat dan KUH Perdata, sedangkan hukum agama tidak mengenal harta bersama?hal ini belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

30


(50)

Jika terjadi sengketa tentang penyelesaian harta bersama,sengketa tersebut dapat diajukan kepada pengadilan yang berwanang walaupun bagi mereka yang beragama Islam.

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi: Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Ketentuan ini sama bunyinya dengan penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.31

Ternyata, Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan belum memberikan penyelesaian tuntas megenai harta bersama dalam hal terjadi perceraian, malahan masih menghidupkan dualisme hukum. Padahal, hukum adat sudah dan separuh lagi bagi mantan istri. Demikian juga KUH Perdata memberikan penyelesaian bahwa harta bersama dibagi dua antara suami dan istri.

Sebaikya Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan dirumuskan:

”Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama dibagi dua, separuh bagi mantansuami separuh bagi mantan istri.Rumusan ini sesuai dengan asas hak dan kedudukan seimbang antara suami istri.”

Memperhatikan substansi Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, dan mantan suami/istri.Selain itu, perceraian juga mempunyai akibat hukum terhadap harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan bahwa akibat hukum terhadap harta bersama diatur menurut

31


(51)

hukum agama, hukum adat atau hukum yang lain. Jika dicermati esensi dari akibat-akibat hukum perceraian yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah mengakui dan melindungi hak-hak anak dan hak-hak mantan suami/istri sebagai hak-hak asasi manusia.

Pasal 8 PP No. 10 tahun 1983 menyatakan:

1) Apabila percerian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk menghidupkan bekas istri dan anak-anaknya.

2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.

3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak, maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas istrinya ialah setengah dari gajinya.

4) Apabila perceraian terjadi atas kehendak istri , maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.

5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak berlaku, apabila istri meminta cerai karena dimadu.

6) Apabila bekas istri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi.32

32

Riduan Syahrani , Op.cit, hal. 71


(52)

Ketentuan Pasal 8 PP No. 10 Tahun 1983 ini dalam surat Edaran Kepala BAKN No. 08/SE/1983 dijabarkan pada bagian III (PERCERAIAN) angka 19 s/d 28 sebagai berikut:

Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a) Apabila anak mengikuti bekas istri, maka pembagian gaji ditetapkan sebagai berikut:

(1) Sepertiga gaji untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan (2) Sepertiga gaji untuk bekas istrinya

(3) Sepertiga untuk anaknya yang diterimakan kepada Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan.

b) Apabila perkawinan tidak menghasilkan anak, maka gaji dibagi dua, yaitu setengah untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan dan setengah untuk bekas istrinya.

c) Apabila anak mengikuti Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, maka pembagian gaji ditetapkan sebagai berikut:

(1) Sepertiga gaji untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan. (2) Sepertiga gaji untuk bekas istrinya.

(3) Sepertiga gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan.


(53)

d) Apabila sebagian anak mengikuti Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dan sebagian lagi mengikuti bekas istri, maka 1/3 (sepertiga) gaji yang menjadi hak anak itu dibagi menurut jumlah anak.

Umpamanya: Seorang Pegawai Negeri Sipil bercerai dengan istrinya. Pada waktu perceraian terjadi mereka mempunyai 3 (tiga) orang anak, yang seorang mengikuti Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dan yang 2 (dua) orang mengikuti bekas istri. Dalam hal yang demikian, maka bagian gaji yang menjadi hak anak itu dibagi sebagai berikut:

(1) 1/3 (sepertiga) dari 1/3 (sepertiga) gaji = 1/9 (sepersembilan) gaji diterimakan kepada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

(2) 2/3 (duapertiga) dari 1/3 (sepertiga) gaji = 2/9 (sepersembilan) gaji diterimakan bekas istrinya.33

Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas,baik dalam lapangan hukum keluarga maupun dalam hukum kebendaan serta hukum perjanjian.Akibat pokok dari perceraian adalah bahwa bekas suami dan bekas isteri,kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah.

1) Janda dan Duda

Janda (bekas isteri) tidak dapat segera kawin kembali dengan pria lain,kecuali bekas suaminya, sebelum habis masa tunggu selama 3 (tiga) bulan suci (iddah), yaitu sekurang-kurangya setelah 90 hari setelah bercerai.Apabila janda itu sedang dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu itu ditetapkan sampai ia melahirkan anaknya.

33


(54)

Sedangkan seorang duda (bekas suami) tidak ada waktu tunggu. Apabila ada perceraian, maka bapak atau ibu adalah wali dari anak-anak di bawah umur 18 tahun tersebut.Siapa yang menjadi wali dari masing-masing anak ditetapkan oleh hakim.

2) Pemeliharaan Anak

Kewajiban memelihara dan mendidik anak tidak sama dengan kewajiban menjadi seorang wali dari anak-anak34

Baik bekas suami maupun bekas isteri berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak.Suami dan isteri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya.

Apabila suami tidak mampu, maka pengadila dapat menetapkan bahwa ibu yang memikul biaya anak-anaknya.

Sedangkan terhadap perwalian anak-anak, apakah wali itu jatuh pada suami atau isteri tersebut ditetapkan oleh hakim. Perwalian tidak bersifat abadi. Jika pihak yang menerima perwalian dalam pengasuhan anaknya, atau melalaikan kewajiban sebagai wali, maka perwalian dapat dicabut oleh hakim dan digantikan kepada pihak lainnya.

Perwalian atau voogdy ialah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta benda anak yang belum dewasa,jika anak tersebut tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya.

34


(55)

3) Harta Benda Bersama

Harta benda bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung disebut gono-gini, harus dibagi dua antara suami dan isteri,apabila mereka bercerai.

Harta bawaan atau harta asal dari suami atau isteri tetap berada di tangan pihak masing-masing. Apabila bekas suami atau bekas isteri tidak melaksanakan hal di atas, maka mereka dapat digugat melalui pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat dilaksanakan.35

35


(56)

BAB III

KEDUDUKAN ANAK DALAM PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

Menurut KUH Perdata anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh suami sebagai ayahnya (Pasal 250). Sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari keseratus delapan puluh (6 bulan) dari perkawinan.Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dikatakan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42). Menurut KUH Perdata anak yang lahir atau dibesarkan selama perkawinan, walaupun anak itu benih orang lain adalah anak dari suami ibunya yang terikat dalam perkawinan. Sedangkan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.36

A. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang.

Anak mengandung banyak arti apalagi bila kata anak diikuti dengan kata lain misalnya anak turunan, anak kecil, anak sungai, anak negeri, dan sebagainya.37 Anak adalah putra putri kehidupan memerlukan pembinaan agar dapat berkembang mental dan spiritualnya secara maksimal.38

Berdasarkan beberapa aturan perundang-undangan anak sah diberikan definisi antara lain sebagai berikut:

36

Hilman Hadikusuma , op. cit , hal. 124

37

Ibid, hal.83

38

Darwan Prints dalam Imam Jauhari (1), Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press, Jakarta,2003,hal.80


(57)

1) Pasal 42 Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa ”Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan sah.”

2) Pasal 250 KUH Perdata menyebutkan bahwa ”Anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh si suami sebagai ayahnya”.

3) Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa anak sah adalah: - Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah

- Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Menurut BW, dengan perkawinan suami isteri memperoleh keturunan. Yang dimaksudkan dengan keturunan disini adalah hubungan darah antara bapak,ibu dan anak-anaknya. Jadi antara bapak dan ibu serta anak ada hubungan biologis.Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan biologis ini dan ditumbuhkan sepanjang perkawinan adalah anak-anak yang sah (wettige of echte kinderen).

Undang-undang memberikan beberapa pandangan tentang terminologi anak berdasarkan fungsi dan kedudukannya antara lain sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi


(58)

penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

2. Undang-Undang Nomo 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak:

Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah di letakan oleh generasi sebelumnya.

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak:

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai cirri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan social secara utuh,serasi,selaras dan seimbang

4. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak:

Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.39

5. Undang-undang Pengadilan Anak

Undang-undang Pengadilan Anak (Undang-undang No. 3 Tahun 1997) Pasal 1 (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara Anak Nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun,tetapi belum mencapai umur 18

39


(59)

(delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Jadi anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

6. Anak dalam Hukum Perburuhan

Pasal 1 (1) Undang-undang Pokok Perburuhan (Undang-undang No. 12 Tahun 1948) mendefenisikan, anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 ke bawah.

7. Anak menurut KUHP

Pasal 45 KUHP, mendefenisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya.walinya atau pemeliharaannya dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman. Ketentuan Pasal 35, 46 dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 1997.


(1)

anak memberikan biaya keperluan dan pendidikan ketiga anak saya dan Penggugat.

15.Bahwa oleh karena itu,cukup beralasan gugatan Penggugat tidak berdasar hukum dan terkesan mengada-ada dan oleh karenanya harus ditolak, karena apa yang dikatakan oleh Penggugat dengan kaidah hukum dimana antara saya dan Penggugat mempunyai tanggung jawab yang sama dalam membesarkan dan mendidik ketiga anak-anak saya dan Penggugat tersebut.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat di tarik dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam Pasal 1 memberikan defenisi, yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang.Kewajiban tanggung jawab keluarga dan orang tua dalam perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang perlindungan anak yaitu mengasuh,memelihara,mendidik,dan melindungi anak.Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan,bakat,dan minatnya.Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

2. Status anak akibat perceraian di ketahui bahwa anak memeliki status sejak ia dilahirkan.Di dalam Undang-Undang tidak diatur secara tegas kepada siapa anak tersebut akan diserahkan perwaliannya,hak asuhnya,tetapi di Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan nantinya hakim yang menentukan kepada siapa anak itu diserahkan dan melihat faktor-faktor yang menjadi alasan dalam perceraian.


(3)

3. Tanggung jawab orang tua atas pemeliharaan anak-anaknya,baik orang tua dalam keadaan rukun maupun dalam keadaan sudah bercerai.Dari ketentuan ini kedua orang tua masih diwajibkan untuk mengurus kepentingan anak-anaknya.apabila terjadi perceraian bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak.Akan tetapi bilamana bapak dalam kenyataan tidak sanggup atau tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

4. Bahwa bukti tergugat menjalankan kewajiban yaitu dengan tetap menjalin komunikasi yang baik dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya setiap bulannya serta membelikan kebutuhan anak-anak dan penggugat.Bahwa selain itu,tergugat telah memenuhi kewajiban terhadap anak-anaknya dan penggugat dengan membiayai nafkah anak dan memberikan biaya keperluan dan pendidikan anak-anaknya.


(4)

B. Saran

1. Perkawinan adalah ikatan suci antara pria dan wanita untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia maka untuk dapat mempertahankan perkawinan ada baiknya sebelum perkawinan dilangsungkan diadakan bimbingan,agar setiap pasangan yang akan melakukan perkawinan lebih memahami perkawinan dan siap akan kendala yang kemungkinan dihadapi dalam perkawinan.

2. Terhadap orang yang ingin melalukan suatu perceraian hendaklah berfikir panjang akan hal itu.Sebab akibat-akibat yang timbul dari suatu perceraian berdampak tidak baik,baik bagi keluarga dan anak itu sendiri.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ernaningsih, Wahyu dan Putu Samawati, 2006, Hukum Perkawinan Indonesia, PT. Ramban Palembang

Harahap, Yahya M ,1975, Hukum Perkawinan Nasional , Medan , C.V. Zahir Trading Hadikusuma, H.Hilman ,2007, Hukum Perkawinan Indonesia , Bandung , CV Mandar Maju

Kharlie, Ahmad Tholabi,2013, Hukum Keluarga Indonesia , Jakarta , Sinar Grafika Muhammad,Abdulkadir ,2010 Hukum Perdata Indonesia , Bandung , PT . Citra Aditya Bakti

Meliala, Djaja S. ,2012 Hukum Perdata Dalam Perspektif BW , Bandung , Nuansa Aulia

Mahdi, Susilowati Sri,Surini Ahlan Sjarif, dan Cahyono Budi Akhmad, Hukum Perdata: Suatu

Prodjohamidjojo, Martiman ,2002, Hukum Perkawinn Indonesia , Jakarta , PT. Abadi

Prints, Darwan dalam Imam Jauhari (1),2003, Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, PustakaBangsa Press, Jakarta

Raja, Grafindo,2005, 1996 Pengantar (Jakarta: Gitama Jaya Jakarta)

Syahrani, Riduan ,1986 Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil , Jakarta: PT Media Sarana Press

Subekti,1992, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung


(6)

Situmorang, Victor M ,1996, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia , Jakarta

Syaifuddin, Muhammad ,2013, Hukum Perceraian ,Jakarta , Sinar Grafika

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa , Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta

Vollmar, HFA,1997, Pengantar Studi Hukum Perdata, terj. IS. Adiwiranta,jil ,cet. Ke IV,Jakarta Witanto, D.Y ,2012 Hukum Keluarga , Jakarta , Prestasi Pustakaraya

B. Internet

http://darahapsarinastiti.blogspot.com/2011/12/perkawinan-beda-agama.html http://alexanderizki.blogspot.com/2011/03/perkawinan-beda-agama-hukum-dan.html

http://nukeulfaa.blogspot.com/2013/01/hak-dan-kewajiban-peserta-didik-atau.html

http://ejournal.unsrat.ac.id

http://lutfichakim.blogspot.com/2012/12/perlindungan-terhadap-anak-yang.html

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37306/Chapter2011.pdf

http://herdianaheri.blogspot.com/2012/04/keabsahan-kawin-beda-agama-di-indonesia.html

C. Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)

0 59 130

KONFLIK PERCERAIAN PASANGAN SUAMI ISTERI (STUDI KASUS PENGADILAN AGAMA MEDAN KELAS IA).

0 6 27

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP ANAK SETELAH PERCERAIAN Tinjauan Yuridis Tentang Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Surakarta).

0 2 17

SKRIPSI Tinjauan Yuridis Tentang Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Surakarta).

0 2 13

PENDAHULUAN Tinjauan Yuridis Tentang Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Surakarta).

2 6 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata - Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Meda

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 2 13

BAB II DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN TANGGUNG JAWAB PENGASUHAN ANAK SETELAH PERCERAIAN A. Perceraian dan Akibat Hukumnya 1. Perceraian - Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/20

0 0 41

TANGGUNG JAWAB HUKUM SUAMI ATAU ISTRI DALAM PERCERAIAN TERHADAP ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR : 209Pdt.G2007PN.Mdn) TESIS

0 0 11

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP ANAK AKIBAT ADANYA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG - Unissula Repository

0 1 13