BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabun 2.1.1 Pengertian Sabun - Penetapan Kadar Alkali Bebas Pada Sabun Mandi Sediaan Padat Secara Titrimetri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sabun

2.1.1 Pengertian Sabun

  Sabun adalah bahan yang digunakan untuk mencuci dan mengemulsi, terdiri dari dua komponen utama yaitu asam lemak dengan rantai karbon C16 dan sodium atau potasium. Sabun merupakan pembersih yang dibuat dengan reaksi kimia antara kalium atau natrium dengan asam lemak dari minyak nabati atau lemak hewani. Sabun yang dibuat dengan NaOH dikenal dengan sabun keras (hard soap), sedangkan sabun yang dibuat dengan KOH dikenal dengan sabun lunak (soft soap). Sabun dibuat dengan dua cara yaitu proses saponifikasi dan proses netralisasi minyak. Proses saponifikasi minyak akan memperoleh produk sampingan yaitu gliserol, sedangkan proses netralisasi tidak akan memperoleh gliserol. Proses saponifikasi terjadi karena reaksi antara trigliserida dengan alkali, sedangkan proses netralisasi terjadi karena reaksi asam lemak bebas dengan alkali (Qisti, 2009).

  Sabun merupakan senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti

  natrium stearat, C

  17 H

  35 COO Na . Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkan

  dari kekuatan pengemulsian dan kemampuan menurunkan tegangan permukaan dari air. Konsep ini dapat di pahami dengan mengingat kedua sifat dari anion sabun (Achmad, 2004).

2.1.2 Komposisi Sabun

  Sabun konvensional yang dibuat dari lemak dan minyak alami dengan garam alkali serta sabun deterjen saat ini yang dibuat dari bahan sintetik, biasanya mengandung surfaktan, pelumas, antioksidan, deodorant, warna, parfum, pengontrol pH, dan bahan tambahan khusus.

  a. Surfaktan Surfaktan adalah molekul yang memiliki gugus polar yang suka air

  (hidrofilik) dan gugus non polar yang suka minyak (lipofilik) sehingga dapat memperasatukan campuran yang terdiri dari minyak dan air yang bekerja menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan merupakan bahan terpenting dari sabun. Lemak dan minyak yang dipakai dalam sabun berasal dari minyak kelapa (asam lemak C12), minyak zaitun (asam lemak C16-C18), atau lemak babi. Penggunaan bahan berbeda menghasilkan sabun yang berbeda, baik secara fisik maupun kimia. Ada sabun yang cepat berbusa tetapi terasa airnya kasar dan tidak stabil, ada yang lambat berbusa tetapi lengket dan stabil. Jenis bahan surfaktan

  a

  pada syndet dewasa ini mencapai angka ribuan (Anonim , 2013; Wasitaatmadja, 1997).

  b. Pelumas Untuk menghindari rasa kering pada kulit diperlukan bahan yang tidak saja meminyaki kulit tetapi juga berfungsi untuk membentuk sabun yang lunak, misal: asam lemak bebas, fatty alcohol, gliserol, lanolin, paraffin lunak, cocoa butter, dan minyak almond, bahan sintetik ester asam sulfosuksinat, asam lemak isotionat, asam lemak etanolamid, polimer JR, dan carbon resin (polimer akrilat).

  Bahan-bahan selain meminyaki kulit juga dapat menstabilkan busa dan berfungsi sebagai peramas (plasticizers) (Wasitaatmadja, 1997).

  c. Antioksidan dan Sequestering Agents

  Antioksidan adalah senyawa atau zat yang dapat menghambat, menunda, mencegah, atau memperlambat reaksi oksidasi meskipun dalam konsentrasi yang kecil. Untuk menghindari kerusakan lemak terutama bau tengik, dibutuhkan bahan penghambat oksidasi, misalnya stearil hidrazid dan butilhydroxy toluene (0,02%-0,1%). Sequestering Agents dibutuhkan untuk mengikat logam berat yang

  b

  mengkatalis oksidasi EDTA. EHDP (ethanehidroxy-1-diphosphonate) (Anonim , 2013; Wasitaatmadja, 1997).

  d. Deodorant Deodorant adalah suatu zat yang digunakan untuk menyerap atau mengurangi bau menyengat. Deodorant dalam sabun mulai dipergunakan sejak tahun 1950, namun oleh karena khawatir efek samping, penggunaannya dibatasi. Bahan yang digunakan adalah TCC (trichloro carbanilide) dan 2-hidroxy 2,4,4-

  c trichlodiphenyl ester (Anonim , 2013; Wasitaatmadja, 1997).

  e. Warna Kebanyakan sabun toilet berwarna cokelat, hijau biru, putih, atau krem.

  Pewarna sabun dibolehkan sepanjang memenuhi syarat dan peraturan yang ada, pigmen yang digunakan biasanya stabil dan konsentrasinya kecil sekali (0,01- 0,5%). Titanium dioksida 0,01% ditambahkan pada berbagai sabun untuk menimbulkan efek berkilau. Akhir-akhir ini dibuat sabun tanpa warna dan transparan (Wasitaatmadja, 1997).

  f. Parfum Isi sabun tidak lengkap bila tidak ditambahkan parfum sebagai pewangi.

  Pewangi ini harus berada dalam pH dan warna yang berbeda pula. Setiap pabrik memilih bau dan warna sabunbergantung pada permintaan pasar atau masyarakat pemakainya. Biasanya dibutuhkan wangi parfum yang tidak sama untuk membedakan produk masing-masing (Wasitaatmadja, 1997).

  g. Pengontrol pH Penambahan asam lemak yang lemah, misalnya asam sitrat, dapat menurunkan pH sabun (Wasitaatmadja, 1997).

  h. Bahan tambahan khusus Menurut Wasitaatmadja (1997), berbagai bahan tambahan untuk memenuhi kebutuhan pasar, produsen, maupun segi ekonomi dapat dimasukkan ke dalam formula sabun. Dewasa ini dikenal berbagai macam sabun khusus, misalnya: 1. Superfatty yang menambahkan lanolin atau paraffin.

  2. Transparan yang menambahkan sukrosa dan gliserin.

  3. Deodorant, yang menambahkan triklorokarbon, heksaklorofen, diklorofen, triklosan, dan sulfur koloidal.

  4. Antiseptik (medicated = carbolic) yang menambahkan bahan antiseptic, misalnya: fenol, kresol, dan sebagainya.

  5. Sabun bayi yang lebih berminyak, pH netral, dan noniritatif.

  6. Sabun netral, mirip dengan sabun bayi dengan konsentrasi dan tujuan yang berbeda.

  7. Apricot, dengan sabun menambahkan apricot atau monosulfiram.

  2.1.3 Fungsi Sabun Fungsi sabun dalam anekaragam cara adalah sebagai bahan pembersih.

  Sabun menurunkan tegangan permukaan air, sehingga memungkinkan air itu membasahi bahan yang dicuci dengan lebih efektif, sabun bertindak sebagai suatu zat pengemulsi untuk mendispersikan minyak dan gemuk; dan sabun teradsorpsi pada butiran kotoran (Keenan, 1980).

  Kotoran yang menempel pada kulit umumnya adalah minyak, lemak dan keringat. Zat-zat ini tidak dapat larut dalam air karena sifatnya yang non polar.

  Sabun digunakan untuk melarutkan kotoran-kotoran pada kulit tersebut. Sabun memiliki gugus non polar yaitu gugus –R yang akan mengikat kotoran, dan gugus

  • –COONa yang akan mengikat air karena sama-sama gugus polar. Kotoran tidak dapat lepas karena terikat pada sabun dan sabun terikat pada air (Qisti, 2009).

  2.1.4 Efek Samping Sabun pada Kulit

  Sabun digunakan untuk membersihkan kotoran pada kulit baik berupa kotoran yang larut dalam air maupun yang larut dalam lemak. Namun dengan penggunaan sabun kita akan mendapatkan efek lain pada kulit, pembengkakan dan pengeringan kulit, denaturasi protein dan ionisasi, antimikrobial, antiperspiral, dan lain sebagainya (Wasitaatmadja, 1997). a. Daya Alkalinisasi Kulit Daya alkalinisasi sabun dianggap sebagai faktor terpenting dari efek samping sabun. Reaksi basa yang terjadi pada sabun konvensional yang melepaskan ion OH sehingga pH larutan sabun ini berada antara 9-12 dianggap sebagai penyebab iritasi pada kulit. Bila kulit terkena cairan sabun, pH kulit akan naik beberapa menit setelah pemakaian meskipun kulit telah dibilas dengan air. Pengasaman kembali terjadi setelah 5-10 menit, dan setelah 30 menit pH kulit menjadi normal kembali. Alkalinisasi dapat menimbulkan kerusakan kulit bila kontak berlangsung lama, misalnya pada tukang cuci, dokter, pembilasan tidak sempurna, atau pH sabun yang sangat tinggi. Efek alkalinisasi pada sabun sintetik sudah jauh berkurang karena sabun sintetik memakai berbagai bahan yang tidak alkalis. Berbagai penelitian mengenai daya iritasi sabun pada kulit akibat pH sabun yang tinggi telah banyak dilakukan. Pada tahun-tahun terakhir beberapa peneliti membuktikan bahwa sifat iritasi sabun berada di kulit setelah dibilas dan bagaimana absorpsi kulit terhadap sabun (Wasitaatmadja, 1997).

  b. Daya Pembengkakan dan Pengeringan Kulit Kontak air (pH) pada kulit yang lama akan menyebabkan lapisan tanduk kulit membengkak akibat kenaikan permeabilitas kulit terhadap air. Cairan yang mengandung sabun dengan pH alkalis akan mempercepat hilangnya mantel asam pada lemak kulit permukaan sehingga pembengkakan kulit akan terjadi lebih cepat. Marchionini dan Schade (1928), yang meneliti hal tersebut menyatakan bahwa kelenjar minyak kulit berperan dalam membentuk keasaman kulit dengan pembentukan lapisan lemak permukaan kulit yang agak asam. Seperti air dan sabun, deterjen sintetik juga dapat mengganggu lapisan lemak permukaan kulit yang agak asam. Seperti air dan sabun, deterjen sintetik juga dapat mengganggu lapisan lemak permukaan kulit dalam kapasitas yang lebih kecil. Besarnya kerusakan lapisan lemak kulit yang terjadi bergantung pada: temperatur, konsentrasi, waktu kontak, dan tipe kulit pemakai. Kerusakan lapisan lemak kulit dapat meningkatkan permeabilitas kulit sehingga mempermudah benda asing menembus ke dalamnya. Bergantung pada lama kontak dan intensitas pembilasan, maka cairan sabun dapat diabsorpsi oleh lapisan luar kulit sehingga dapat tetap berada di dalam kulit sesudah dibilas. Kerusakan lapisan lemak kulit dapat menambah kekeringan kulit akibat kegagalan sel kulit mengikat air.

  Pembengkakan kulit inisial akan menurunkan pula kapasitas sel untuk menahan air sehingga kemudian terjadi pengeringan yang akan diikuti oleh kekenduran dan pelepasan ikatan antarsel tanduk kulit. Kulit tampak kasar dan tidak elastis. Terjadi pula peningkatan permeabilitas stratum korneum terhadap larutan kimia yang iritan. Inilah yang sering dirasakan pada kulit oleh mereka yang sering dan lama berhubungan dengan deterjen (rasa deterjen). Penambahan sabun/deterjen dengan bahan-bahan pelumas (superfatty) dapat mengurangi efek ini (Wasitaatmadja, 1997).

c. Daya Denaturasi Protein dan Ionisasi

  Reaksi kimia sabun dapat mengendapkan ion kalsium (K) dan magnesium (Mg) di lapisan atas kulit. Pada kulit yang kehilangan lapisan tanduk,

  pengendapan K dan Mg akan mengakibatkan reaksi alergi. Pengendapan K dan

  • Mg di atas lapisan epidermis akan menutup folikel rambut dan kelenjar palit
sehingga menimbulkan infeksi oleh kuman yang larut dalam minyak. Berbeda dengan sabun, deterjen sintetik tidak menimbulkan pengendapan itu, namun iritasi kulit dapat terjadi karena adanya gugus SH akibat denaturasi keratin. Pada keratin normal tidak ada gugus merkapto (SH) bebas, dan adanya deterjen dapat melepas gugus ini dari sistein dan sistin (Wasitaatmadja, 1997).

  d. Daya Antimikrobial Sabun yang mengandung surfaktan, terutama kation, mempunyai daya antimikroba, apalagi bila ditambah bahan antimikroba. Daya antimikroba ini terjadi pula akibat kekeringan kulit, pembersihan kulit, oksidasi di dalam sel keratin, daya pemisah surfaktan, dan kerja mekanisme air (Wasitaatmadja, 1997).

  e. Daya Antiperspirasi Kekeringan kulit juga dibantu oleh penekanan perspirasi. Pada percobaan dengan larutan natrium lauril sulfat, didapat penurunan produksi kelenjar keringat antara 25-75% (Wasitaatmadja, 1997).

  f. Lain-lain Efek samping lain berupa dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak alergik, atau kombinasi keduanya. Sabun merupakan iritan lemah. Penggunaan yang lama dan berulang akan menyebabkan iritasi, biasanya mulai di bawah cincin yang tidak dicuci bersih, dan terjadi di dalam rumah tangga, bartender,

  hairdresser, sehingga disebut sebagai soap atau housewife contact dermatitis.

  Pembuktian efek iritasi sering kontroversial. Uji tempel konvensional dengan larutan sabun tidak adekuat sebab menimbulkan reaksi eritema monomorfik dengan intensitas yang bervariasi. Reaksi alergi terhadap deterjen sintetik lebih jarang, lebih mungkin terjadi secara kumulatif akibat penggunaan yang berulang pada kulit yang sensitif (Wasitaatmadja, 1997).

2.1.5 Proses Pembuatan Sabun

  Sabun dapat dibuat melalui dua proses, yaitu:

  1. Saponifikasi Saponifikasi melibatkan hidrolisis ikatan ester gliserida yang menghasilkan pembebesan asam lemak dalam bentuk garam dan gliserol. Garam dari asam lemak berantai panjang adalah sabun (Stephen, 2004).

  Reaksi kimia pada proses saponifikasi adalah sebagai berikut:

  2. Netralisasi Netralisasi adalah proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (Ketaren, 2008).

  Reaksi kimia pada proses saponifikasi adalah sebagai berikut:

2.2 Sabun Mandi Padat

2.2.1 Pengertian Sabun Mandi Padat

  Sabun mandi merupakan garam logam alkali (Na) dengan asam lemak dan minyak dari bahan alam yang disebut trigliserida. Lemak dan minyak mempunyai dua jenis ikatan, yaitu ikatan jenuh dan ikatan tak jenuh dengan atom karbon 8-12 yang berikatan ester dengan gliserin. Secara umum, reaksi antara kaustik dengan gliserol dan sabun yang disebut dengan saponifikasi. Setiap minyak dan lemak mengandung asam-asam lemak yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut menyebabkan sabun yang terbentuk mempunyai sifat yang berbeda. Minyak dengan kandungan asam lemak rantai pendek dan ikatan tak jenuh akan menghasilkan sabun cair. Sedangkan rantai panjang dan jenuh menghasilkan sabun yang tak larut pada suhu kamar (Andreas, 2009).

  Sabun mandi merupakan senyawa natrium atau kalium dengan asam lemak yang digunakan sebagai bahan pembersih tubuh, berbentuk padat, berbusa, dengan atau penambahan lain serta tidak menyebabkan iritasi pada kulit (SNI, 1994).

  Menurut Keenan (1980), dalam pembuatan sabun, lemak dipanasi dalam ketel besi yang besar dengan larutan natrium hidroksida dalam air, sampai lemak itu terhidrolisis sempurna. Pereaksi semacam itu sering disebut penyabunan (latin, sapo adalah sabun), karena reaksi itu telah digunakan sejak zaman Romawi kuno untuk mengubah lemak dan minyak menjadi sabun. Persamaan untuk reaksi itu adalah: (RCO ) C H + 3NaOH

  3RCO Na + C H (OH)

  2

  3

  3

  3

  2

  3

  5

  3 Lemak Basa Sabun Gliserol Jika lemak/minyak dihidrolisis, akan terbentuk gliserol dan asam lemak yang dengan adanya Na(NaOH) akan terbentuk sabun karena sabun merupakan garam Na atau K dari asam lemak. Sabun Na dan K larut dalam air, sedangkan Ca dan Mg tidak larut. Sabun Na (sabun keras) digunakan untuk mencuci dan sabun K (sabun lunak) digunakan untuk sabun mandi (Panil, 2008).

2.2.2 Syarat Mutu Sabun Mandi

  Syarat mutu sabun mandi menurut Standar Nasional Indonesia 06-3235- 1994 dapat dilihat pada Tabel 1.

  Tabel 1. Syarat Mutu Sabun Mandi

  Superfat No. U r a i a n Satuan Tipe I Tipe II

  1. Kadar air % maks. 15 maks. 15 maks. 15

  2. Jumlah asam % > 70 64 – 70 > 70 lemak

  3. Alkali bebas % maks. 0,1 maks. 0,1 maks. 0,1

  • Dihitung sebagai NaOH

  % maks. 0,14 maks. 0,14 maks. 0,14

  • Dihitung sebagai KOH

  4. Asam lemak bebas % < 2,5 < 2,5 2,5 – 7,5 dan atau lemak netral

  5. Minyak mineral - negatif negatif Negatif Acuan SNI 06-3235-1994

1. Kadar Air Kadar air merupakan bahan yang menguap pada suhu dan waktu tertentu.

  Maksimal kadar air pada sabun adalah 15%, hal ini disebabkan agar sabun yang dihasilkan cukup keras sehingga lebih efisien dalam pemakaian dan sabun tidak mudah larut dalam air. Kadar air akan mempengaruhi kekerasan dari sabun (Qisti, 2009).

  2. Jumlah Asam Lemak Jumlah asam lemak merupakan jumlah total seluruh asam lemak pada sabun yang telah atau pun yang belum bereaksi dengan alkali. Sabun yang berkualitas baik mempunyai kandungan total asam lemak minimal 70%, hal ini berarti bahan-bahan yang ditambahkan sebagai bahan pengisi dalam pembuatan sabun kurang dari 30%. Tujuannya untuk meningkatkan efisiensi proses pembersihan kotoran berupa minyak atau lemak pada saat sabun digunakan.

  Bahan pengisi yang biasa ditambahkan adalah madu, gliserol, waterglass, protein susu dan lain sebagainya. Tujuan penambahan bahan pengisi untuk memberikan bentuk yang kompak dan padat, melembabkan, menambahkan zat gizi yang diperlukan oleh kulit (Qisti, 2009).

  3. Alkali Bebas Alkali bebas merupakan alkali dalam sabun yang tidak diikat sebagai senyawa. Kelebihan alkali bebas dalam sabun tidak boleh lebih dari 0,1% untuk sabun Na, dan 0,14% untuk sabun KOH karena alkali mempunyai sifat yang keras dan menyebabkan iritasi pada kulit. Kelebihan alkali bebas pada sabun dapat disebabkan karena konsentrasi alkali yang pekat atau berlebih pada proses penyabunan. Sabun yang mengandung alkali tinggi biasanya digunakan untuk sabun cuci (Qisti, 2009).

  4. Asam Lemak Bebas Asam lemak bebas merupakan asam lemak pada sabun yang tidak terikat sebagai senyawa natrium atau pun senyawa trigliserida (lemak netral). Tingginya asam lemak bebas pada sabun akan mengurangi daya membersihkan sabun, karena asam lemak bebas merupakan komponen yang tidak diinginkan dalam proses pembersihan. Sabun pada saat digunakan akan menarik komponen asam lemak bebas yang masih terdapat dalam sabun sehingga secara tidak langsung mengurangi kemampuannya untuk membesihkan minyak dari bahan yang berminyak (Qisti, 2009).

  5. Minyak Mineral Minyak mineral merupakan zat atau bahan tetap sebagai minyak, namun saat penambahan air akan terjadi emulsi antara air dan minyak yang ditandai dengan kekeruhan. Minyak mineral adalah minyak hasil penguraian bahan organik oleh jasad renik yang terjadi berjuta-juta tahun. Minyak mineral sama dengan minyak bumi beserta turunannya. Contoh minyak mineral adalah: bensin, minyak tanah, solar, oli, dan sebagainya. Kekeruhan pada pengujian minyak mineral dapat disebabkan juga oleh molekul hidrokarbon dalam bahan (Qisti, 2009).

2.3 Alkali Bebas

2.3.1 Pengertian Alkali Bebas

  Alkali bebas merupakan alkali dalam sabun yang tidak diikat sebagai senyawa. Kelebihan alkali bebas dalam sabun tidak boleh lebih dari 0,1% untuk sabun Na dan 0,14% untuk sabun KOH karena alkali mempunyai sifat yang keras dan menyebabkan iritasi pada kulit. Kelebihan alkali bebas pada sabun dapat disebabkan karena konsentrasi alkali yang pekat atau berlebih pada proses penyabunan. Sabun yang mengandung alkali tinggi biasanya digunakan untuk sabun cuci (Qisti, 2009).

  Mutu sabun sangat ditentukan oleh kadar alkali bebas di dalamnya. Jika terlalu basa alkali bebas dapat merusak kulit bila dipakai. Oleh karena itu, kadar alkali bebasnya tidak boleh lebih dari 0,1% untuk sabun Na dan 0,14% untuk sabun KOH. Kadar alkali bebas juga dapat dipakai sebagai indikator dari tidak sempurnanya proses penyabunan (Nandawai, 2009).

2.3.2 Efek Samping Alkali pada Kulit

  Alkali juga dapat merusak kulit dibandingkan dengan menghilangkan bahan berminyak dari kulit. Sungguh pun demikian dalam penggunaan sabun dengan air akan terjadi proses hidrolis sehingga mendapatkan sabun yang baik maka diukur sifat alkalisnya yakni pH 5,8-10,5. Pada kulit yang normal kemungkinan pengaruh alkali lebih banyak. Beberapa penyakit kulit sensitif terhadap reaksi alkalis, dalam hal ini pemakaian cairan sabun merupakan kontra indikasi. pH kulit normal antara 3-6, tetapi bila dicuci dengan sabun pH menjadi 9, walaupun kulit cepat bertukar kembali menjadi normal mungkin ini tidak diinginkan pada penyakit kulit tertentu (Sari, 2003).

2.3.3 Kandungan Alkali pada Sabun

  Kandungan alkali yang cukup besar menandakan bahwa produk sabun yang dihasilkan memiliki kualitas yang kurang baik, karena semakin besar kandungan / kadar alkali dalam produk sabun yang dihasilkan maka kualitas produk yang dihasilkan pun semakin menurun kualitasnya. Akan tetapi, produk sabun yang bebas alkali pun tidak berarti bahwa kualitasnya lebih baik. Sabun yang bebas alkali justru dapat menyebabkan kerusakan kulit (Zaelana, 2011).

2.4 Metode Titrimetri

  Titrimetri atau analisis volumetri adalah pemeriksaan jumlah zat yang didasarkan pada pengukuran volume larutan pereaksi yang dibutuhkan untuk bereaksi secara stoikiometri dengan zat yang ditentukan (Rivai, 1995).

2.4.1 Penggolongan Titrimetri

  Analisis secara titrimetri (volumetri) dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Berdasarkan reaksi kimia

  Berdasarkan reaksi yang terjadi selama titrasi, volumetri dapat dikelompokkan menjadi 4 jenis:

1. Reaksi asam-basa (asidi-alkalimetri = netralisasi)

  Penetapan kadar ini berdasarkan pada perpindahan proton dari zat yang bersifat asam atau basa, baik dalam lingkungan air ataupun dalam lingkungan bebas air (TBA = titrasi bebas air).

  2. Reaksi oksidasi-reduksi (redoks) Dasar yang digunakan adalah perpindahan elektron. Penetapan kadar senyawa berdasarkan reaksi ini digunakan secara luas seperti permanganometri, serimetri, iodi-iodometri, iodatometri, serta bromatometri.

  3. Reaksi pengendapan (presipitasi) Penetapan kadar berdasarkan pada terjadinya endapan yang sukar larut misalnya pada penetapan kadar secara argentometri.

  4. Reaksi pembentukan kompleks Dasar yang digunakan adalah terjadinya reaksi antara zat-zat pengkompleks organik dengan ion logam menghasilkan senyawa kompleks yang mantap. Penetapan kadar yang menggunakan prinsip ini adalah metode kompleksometri.

b. Berdasarkan cara titrasi

  Teknik volumetri berdasarkan cara titrasinya dapat dikelompokkan menjadi:

  1. Titrasi langsung Cara ini dilakukan dengan melakukan titrasi langsung terhadap zat yang akan ditetapkan. Cara ini mudah, cepat, dan sederhana.

  2. Titrasi kembali Dilakukan dengan cara penambahan titran dalam jumlah berlebihan, kemudian kelebihan titran dititrasi dengan titran lain. Pada cara ini ada 2 sumber kesalahan karena menggunakan 2 titran sehingga kesalahan menjadi lebih besar. Disamping itu cara ini juga memakan waktu yang lama.

c. Berdasarkan jumlah sampel

  Menurut Rohman (2007), berdasarkan jumlah sampel, teknik volumetri dibedakan menjadi:

1. Titrasi makro

  Jumlah sampel : 100 – 1000 mg

  • - Volume titran : 10 – 100 ml
  • - Ketelitian buret : 0,02 ml
  • - 2. Titrasi semi mikro

  Jumlah sampel : 10 – 100 mg

  • - Volume titran : 1 – 10 ml
  • - Ketelitian buret : 0,001 ml
  • - 3. Titrasi mikro

  Jumlah sampel : 1 – 100 mg

  • - Volume titran : 0,1 – 1 ml
  • - Ketelitian buret : 0,001 ml
  • - 2.4.2 Asidimetri-Alkalimetri

  Asidimetri dan alkalimetri termasuk reaksi netralisasi yakni reaksi antara ion hidrogen yang berasal dari asam dengan ion hidroksida yang berasal dari basa untuk menghasilkan air yang bersifat netral. Netralisasi dapat juga dikatakan sebagai reaksi antara donor proton (asam) dengan penerima proton (basa) (Rohman, 2007).

  Asidimetri merupakan penetapan kadar secara kuantitatif terhadap senyawa-senyawa yang bersifat basa dengan menggunakan baku asam.

  Sebaliknya alkalimetri adalah penetapan kadar senyawa-senyawa yang bersifat asam dengan menggunakan baku basa (Rohman, 2007).

  Titrasi Langsung Asam-Basa Dalam Larutan Air

  1. Titrasi asam kuat/basa kuat Pada awal titrasi perubahan nilai pH berlangsung lambat sampai menjelang titik ekivalen. Pada saat titik ekivalen, nilai pH meningkat secara drastis. Untuk mengamati titik akhir titrasi dapat digunakan indicator atau menggunakan metode elektrokimia.

  Suatu indikator merupakan asam atau basa lemah yang berubah warna diantara bentuk terionisasinya dan bentuk tidak terionisasinya. Kisaran penggunaan indikator adalah 1 unit pH disekitar nilai pKa-nya. Sebagai contoh fenolftalein (pp), mempunyai pKa 9,4 (perubahan warna antara pH 8,4 – 10,4).

  Struktur fenolftalein akan mengalami penataan ulang pada kisaran pH ini karena proton dipindahkan dari struktur fenol dari pp sehingga pH-nya meningkat akibatnya akan terjadi perubahan warna. Metil orange (MO) mempunyai pKa 3,7 (perubahan warna antara pH 2,7 dan pH 4,7), mengalami hal yang serupa terkait dengan perubahan warna yang tergantung pada pH. Kedua indikator ini berada pada kisaran titik balik (titik infeksi) pada titrasi asam kuat dan basa kuat.

  2. Titrasi asam lemah dengan basa kuat dan titrasi basa lemah dengan asam kuat Jika sejumlah kecil volume asam kuat atau basa kuat ditambahkan pada basa lemah atau asam lemah maka nilai pH akan meningkat secara drastis sekitar

  1 unit pH, di bawah atau di atas nilai pKa. Seringkali pelarut organik yang dapat campur dengan air, seperti etanol ditambahkan untuk melarutkan analit sebelum dilakukan titrasi.

3. Titrasi tidak langsung dalam pelarut air

  Titrasi tidak langsung ini dapat dilakukan untuk titrasi asam kuat/basa kuat, titrasi asam lemah dengan basa kuat, ataupun titrasi basa lemah dengan asam kuat. Contoh yang paling umum dilakukan adalah titrasi asam lemah dengan basa kuat (Rohman, 2007; Watson, 2009).