View of PEMBERDAYAAN MADRASAH; Upaya Meningkatkan Kualitas Pendidikan Islam

  Tela’ah perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahirnya Islam (Mekkah). Meskipun Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan Pendidikan Agama Islam di Indonesia.

  Lembaga Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk pesantren. Dengan karakternya yang khas “religius oriented”, pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemaham an tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam.

  

PEMBERDAYAAN MADRASAH;

Upaya Meningkatkan Kualitas Pendidikan Islam

Ali Murtadho

  

Dosen Fak. Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung

E-mail: wedang_asem @ yahoo.co.id

  Abstract:

  In the history of Moslem education, the history of Islamic Schools development will always be atractive to be analized critically. The study is being urgent because it is expected that the Islamic schools will have some roles in the Moslem education development objectively and comprehensively. It is regarded as the important one because in every phase of Islamic schools’ development is always found some efforts to be better, the innovation, and other improvements. Islamic school is one of the Islamic isntitutions of education in Indonesia. The islamic school has long cronology on its development. Since it is formed until now, there are some improvements which are trasforming the Islamic education institutions to be qualified which are supported by the Moslem reformers. The lack of the awareness of the Moslem education importance in Indonesia in the beginning of Islamic schools’ development is felt by the Moslem doers of education. That is why, the Islamic schools should be forceful.

  Key words: Islamic school, quality, Islamic education, and Indonesia.

  Aktivitas belajar di pesantren pun bukan hanya diposisikan sebagai media (alat), tetapi sekaligus dijadikan sebagai tujuan. Oleh karena itu, proses belajar mengajar di pesantren sering tidak mengalami dinamika dan tidak mempertimbangkan waktu, strategi, dan metode yang lebih kontekstual dalam perkembangan zaman. (Muhibbuddin, 2005: 36).

  Perubahan kelembagaan paling penting terjadi setelah berkembangnya sistem klasikal, yang awalnya diperkenalkan oleh pemerintah kolonial melalui sekolah-sekolah umum yang didirikannya di berbagai wilayah Nusantara. Di Sumatera Barat pendidikan keagamaan klasikal itu dilaporkan dipelopori oleh Zainuddin Labai el-Junusi (1890-1924), yang pada tahun 1915 mendirikan sekolah agama sore yang diberi nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School, al-

  Madrasah al-Diniyah). (Deliar Noer, 1996: 49,

  635 Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 4, Nomor 1, Juni 2012, hlm. 634-715

  lihat juga Karl A. Steenbrink, 1994: 44). Sistem klasikal seperti rintisan Zainuddin berkembang pula di wilayah Nusantara lainnya, terutama yang mayoritas penduduknya Muslim. Di kemudian hari lembaga-lembaga pendidikan keagamaan itulah yang menjadi cikal bakal dari madrasah- madrasah formal yang berada pada jalur sekolah sekarang.

  Meskipun sulit untuk memastikan kapan madrasah didirikan dan madrasah mana yang pertama kali berdiri, namun Kementerian Agama mengakui bahwa setelah Indonesia merdeka sebagian besar sekolah agama berpola madrasah madrasah formal. (Hanun Asrohah, 1999: 193).

  Dengan perubahan tersebut berubah pula status kelembagaannya, dari jalur “luar sekolah” yang dikelola penuh oleh masyarakat menjadi “sekolah” di bawah pembinaan Kementerian Agama.

  Masuknya model pendidikan sekolah membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi umat Islam saat itu, yang mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama (Islam) dan ilmu sekuler/umum. Dualisme model pendidikan yang konfrontatif tersebut telah mengilhami munculnya gerakan reformasi dalam pendidikan pada awal abad dua puluh. Gerakan reformasi tersebut bertujuan mengakomodasi sistem pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pesantren. Corak model pendidikan ini dengan cepat menyebar tidak hanya di pelosok pulau Jawa tetapi juga di luar pulau Jawa. Dari situlah embrio madrasah lahir.

  Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam dan sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional. Sebagai warisan, ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh umat Islam dari masa ke masa. Sedangkan sebagai aset, pen- didikan Islam yang tersebar di berbagai wilayah ini membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menata dan mengelolanya, sesuai dengan sistem pendidikan nasional. Dalam kedua perspektif di atas, pendidikan Islam di Indonesia selalu menjadi lahan pengabdian kaum muslimin dan sekaligus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.

  Mendiskusikan masalah pendidikan Islam di Indonesia secara garis besar terbagi ke dalam pertama, pendidikan Islam bersentuhan dengan sistem pendidikan nasional dan faktor-faktor eksternal lain. Sedangkan pada level yang kedua, pendidikan Islam dihadapkan pada tuntutan akan proses pendidikan yang efektif sehingga meng- hasilkan lulusan yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. (Husni Rahim, 2001: 3).

  Berbagai persoalan dari kedua level di atas pada prinsipnya mendorong adanya perubahan arah pendidikan Islam mengingat tantangan kontemporer dan tantangan masa depan yang ber- beda dengan tantangan masa lalu. Oleh karena itu untuk menyiapkan pendidikan Islam menyongsong arus globalisasi, umat Islam dituntut untuk selalu berupaya memberdayakannya. Salah satu bentuk dari pendidikan Islam yang perlu di berdayakan adalah madrasah.

  METODE

  Dalam penelitian ilmiah, metode-metode yang digunakan untuk mengeksplorasi dan menganalisa data harus tersusun sistematis dan valid. Ini merupakan syarat mutlak apabila meng inginkan hasil penelitian yang sempurna serta objektif dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Sebelum lebih lanjut membahas metode-metode yang digunakan, terlebih dahulu di kemukakan jenis dan sifat penelitian ini

  Jenis Penelitian ini adalah jenis penelitian kepustakaan (library research). Ditinjau dari sifatnya merupakan penelitian kualitatif (quali-

  tatif research). Sedangkan yang menjadi sumber

  data dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, sumber primer dari penelitian ini adalah data-data pokok tentang pemberdayaan madrasah dan data- data pokok tentang pendidikan Islam. Data itu diperoleh dari buku-buku, jurnal, majalah, artikel yang membicarakan tentang hal itu. Kedua, sember skunder penelitian ini adalah buku- buku atau dokumentasi yang dapat dijadikan sumber pendamping dan ada keterkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

  Berikut ini metode-metode yang di- guna kan dalam penelitan ini. Pertama, metode pengumpulan data. Dalam penelitian ini digunakan metode pengumpulan data. Pengumpulan data- data tersebut dengan cara membaca, mencatat,

   Ali Murtadho, Pemberdayaan Madrasah 636

  diperoleh menurut pokok bahasannya. Oleh karena itu penggalian data dilakukan terperinci dan sedalam mungkin (in depth). Kedua, metode dokumen tasi. Metode dokumentasi adalah in- formasi yang didokumentasikan dalam rekaman baik gambar/ foto, suara, tulisan/ manuskrip, atau yang lainnya. Metode dokumentasi ini digunakan dalam penelitian untuk mengumpulkan data dari sumbernya. Penggunaan dokumentasi di dasarkan pada lima alasan : pertama, sumber ini tersedia dan siap pakai. Kedua, dokumentasi merupakan sumber informasi yang stabil, akurat, dan dapat dianalisis kembali. Ketiga, yang secara kontekstual relevan dan mendasar dalam penelitian. Keempat, sumber dokumen ini merupakan pernyataan legal yang dapat memenuhi akuntabilitas. Kelima, sumber ini bersifat non reaktif, sehingga tidak sukar ditemukan dengan teknik kajian. Ketiga, metode analisis data. Setelah data-data yang diperlukan dalam penelitian ini terkumpul me- lalui instrumen penelitian di atas, selanjutnya data tersebut dianalisa secara kualitatif supaya pem bahasannya tersusun secara kronologis dan sistematis. Selain itu, penganalisisan data ter- sebut juga menggunakan teknik analisis data deskriptif fenomenologik yaitu dengan jalan mendeskripsikan dan mengklasifikasikan tentang persoalan yang diteliti. Langkah selanjutnya adalah diadakan ekstrapolasi, yaitu mengangkat makna dari hasil penelitian yang dicapai sebagai sumbangan pemikiran yang mungkin di reko- mendasikan baik dalam pengertian teoritik maupun praktis. Penganalisisan data dalam penelitian ini pun menggunakan paradigma berpikir induktif. Karena memang penelitian kualitatif menekankan pentingnya memahami bagaimana orang menginterpretasikan berbagai kejadian dalam kehidupan mereka. Paradigma berpikir induktif ini operasionalisasinya dengan cara menyimpulkan data tersebut dimulai dari pernyataan atau fakta-fakta khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat umum. Keempat, metode deskriptif-analitik, yaitu metode yang berupaya memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang dihadapi pada masa sekarang. Dilakukan dengan menempuh langkah- langkah pengumpulan, klasifikasi, analisa atau membuat kesimpulan laporan secara menyeluruh

  HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Problematika Madrasah

  Madrasah merupakan salah satu dari tiga lembaga pendidikan di Indonesia. Berbeda dengan pesantren dan sekolah, madrasah adalah lembaga pendidikan yang memadukan sistem keduanya. Dari sudut umurnya, keberadaan madrasah patut diacungi jempol, berkat kerja keras masyarakatlah ia tetap eksis hingga saat ini. Namun kita juga tidak bisa menampik kesan bahwa madrasah terlihat jalan di tempat. Memang kita juga bisa menemukan madrasah yang relatif bagus, namun jumlahnya masih sedikit dibandingkan dengan jumlah keseluruhan madrasah.

  Sebagai lembaga yang usianya sudah tua, madrasah yang seperti penulis utarakan di atas, justru masih tertatih mencari identitas dan belum berdaya mengejar ketertinggalan dari sekolah yang berada di bawah naungan Kemendiknas.

  Sebagai gambaran saja, data Emis menye- butkan dari jumlah 22.035 MI dan 10.365 MTs untuk tahun ajaran 2000-2001, hanya sekitar 20% yang bisa dianggap baik. Sedangkan sisanya 80% berkondisi sebaliknya. Untuk melihat dari kondisi madrasah-madrasah tersebut dapat dilihat dari aspek pengelolaan, pembiayaan, letak geografis dan orang tua murid. (Jurnal MP (Masyarakat Pendidikan) untuk Pemberdayaan dan Kemandirian Madrasah, 2001: 5)

  Belum lagi persoalan guru yang miss

  match dan under qualified atau bisa dikatakan

  belum layak. Menurut data Departemen Agama tahun 2002, seperti yang diungkapkan oleh M. Amin Abdullah dari 456.281 guru Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA), 80 persen berstatus guru swasta. Ini, disebutnya, relevan dengan kenyataan bahwa 96 persen madrasah dikelola oleh pihak swasta. Hanya saja, para gu ru non PNS tersebut, 60 persen berstatus guru tidak tetap. Bagaimana dengan kualitas para pendidik itu? Husni Rahim (2001), menyebutkan, hampir 60 persen guru madrasah negeri termasuk kategori tidak layak. Angka ini menjadi 80 persen pada madrasah swasta. Guru yang termasuk layak tapi salah kamar (mismatch) sebesar 20 persen, dan sisanya 20 persen yang betul-betul layak dan

  637 Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 4, Nomor 1, Juni 2012, hlm. 634-715 studi yang diajarkan. (http://www.republika.

  co.id, diakses tanggal 01 Januari 2011) Selain persoalan di atas, masalah sarana dan prasarana yang minim, partisipasi masya- rakat yang rendah, juga merupakan persoalan lain yang dihadapi oleh madrasah. Bila mem- bicarakan masalah dana pendidikan untuk madrasah ini pun tidak jauh berbeda. Pemerintah sepertinya mendiskriminasikan madrasah. Anggaran pendidikan untuk madrasah dari pe- merintah selalu lebih kecil jika dibandingkan dengan sekolah.(http://www.indomedia.com / sripo/2004/08/27/2708dae1.htm, diakses tangal

  Padahal, berdasarkan undang-undang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) No 20 tahun 2003, bahwa sistem pendidikan di Indonesia bersifat semesta dan menyeluruh. Menyeluruh dalam artian semua jenis pendidikan termasuk madrasah dan pondok pesantren adalah bagian dari sistem tersebut. Dalam tuntutan UU Sisdiknas pun dijelaskan alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen, namun itu belum terealisir sepenuhnya, yang mengakibatkan persoalan yang dihadapi madrasah untuk persoalan dana menjadi semakin berat.

  Dualisme pendidikan Islam di madrasah juga muncul dalam bidang manajerialnya, khususnya di lembaga swasta. Lembaga swasta umumnya memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah dan ketua yayasan (atau pengurus). Meskipun telah ada garis kewenangan yang memisahkan kedua top manager tersebut, yakni kepala madrasah memegang kendali akademik sedangkan ketua yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan prasarana, sering di dalam praktik terjadi overlapping. Masalah ini biasanya lebih buruk jika di antara pengurus yayasan tersebut ada yang menjadi staf pengajar. Di samping ada kesan mematai-matai kepemimpinan kepala madrasah, juga ketika staf pengajar tersebut melakukan tindakan indisipliner (sering datang terlambat), kepala madrasah merasa tidak berdaya menegumya.

  Praktek manajemen di madrasah sering menunjukkan model manajemen tradisional, yakni model manajemen paternalistik atau feodalistik. Dominasi senioritas semacam ini terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarah pada ujung ekstrem negatif, hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su’ul adab.

  Dualisme pengelolaan pendidikan juga terjadi pada pembinaan yang dilakukan oleh departemen yaitu Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan Kementerian Agama (Kemenag). Pembinaan Madrasah di bawah naungan Kemenag berhadapan dengan Sekolah umum di bawah pembinaan Depdiknas sering dan MI) hingga perguruan tinggi. Dari alokasi dana, perhatian, pembinaan manajerial, bantuan buku dan media pembelajaran, serta penempatan guru, hingga pemberian beasiswa pendidikan lanjut sering tidak sama antara yang diterima oleh sekolah umum (Kemendiknas) dengan madrasah (Kemenag).

  Kesenjangan antara madrasah swasta dan madrasah negeri pun tampaknya juga menjadi masalah yang belum tuntas diselesaikan. Gap tersebut meliputi beberapa hal seperti pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa dan sebagainya yang kesemuanya itu berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada mutu pendidikan. Yang demikian ini karena munculnya SKB tiga menteri tersebut belum diimbangi penyediaan guru, buku-buku dan peralatan lain dari departemen terkait.

  Karena permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh madrasah sangat banyak sudah selayaknya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam perlu diberdayakan untuk mengejar keter- tinggalan dengan sekolah-sekolah umum.

  Pemberdayaan Madrasah: Sebuah Upaya Peningkatan Mutu

  Eksistensi madrasah dalam tradisi pen- didikan Islam di Indonesia tergolong fenomena modern yang dimulai sekitar awal abad ke 20. Evolusi kelembagaan pendidikan madrasah di Indonesia pada umumnya bermula dari pesantren, madrasah dan sekolah. (lebih lengkapnya baca Karel A Steinbrink, 1994). Madrasah di Indonesia bisa di anggap sebagai perkembangan lebih lanjut atau pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren atau surau.

   Ali Murtadho, Pemberdayaan Madrasah 638

  Upaya untuk meningkatkan mutu pen- didikan agama di Indonesia memang selalu dilakukan, baik dalam lingkungan sekolah sekolah agama, maupun dalam sekolah umum. Salah satu upaya yang pernah dilakukan untuk meningkatkan mutu sekolah agama (madrasah) agar sederajat dengan sekolah umum adalah dengan penerbitan SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 Menteri tahun 1975 yang diterapkan di madrasah. Isi SKB 3 Menteri tersebut antara lain; pendidikan agama diajarkan di madrasah mencapai 30 % dan pendidikan umum 70 %. Status madrasah pun diakui sama sederajatnya siswa Madrasah Ibtida’iyah kelas V dapat pin dah ke SD kelas V dan begitu pula sebaliknya. Ijazah madrasah juga diakui sederajat dengan sekolah umum yang setingkat.

  Setelah lahirnya SKB 3 Menteri tersebut tidak serta merta madrasah lepas dari berbagai persoalan. Memang dengan lahirnya SKB 3 Menteri tersebut posisi madrasah sama dengan sekolah umum; tetapi kenyataanya masih banyak masyarakat kita memandang bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan “kelas dua”-- dengan tidak mengatakan--“kelas pinggiran”. Se hingga, usaha untuk meningkatkan mutu pen didikan lembaga ini selalu mengalami ham- batan.

  Apabila dicermati setelah sekian lama menerapkan SKB 3 Menteri itu sepertinya madrasah sampai saat ini belum banyak berubah, khususnya dalam berkompetisi dengan sekolah- sekolah umum .Secara de facto, para siswa madrasah tidak/ belum mampu bersaing dan me manfaatkan kesempatan yang terbuka untuk melanjutkan ke sekolah atau perguruan tinggi lanjutan terbaik yang berada di bawah Diknas. Sebagai akibatnya, bisa diduga alumni madrasah hampir sama seperti sebelumnya; mereka masih tetap merupakan alumni yang berada pada strata marginal di sektor kehidupan modern.

  SKB ini juga mengandung kelemahan bagi lulusan madrasah, karena tuntutan penguasaan pengetahuan umum, maka penguasaan siswa terhadap pengetahuan agama menjadi berkurang, yang selanjutnya melahirkan siswa madrasah yang berpengetahuan setengah-setengah, termasuk dalam pengetahuan agama bahkan dapat mendangkalkan pengetahuan agama di masyarakat. (Jurnal Komunikasi Perguruan Madrasah, Volume 5, No.1, 2001: 7).

  Oleh karena itu, untuk mensiasati ini menteri Agama yang pada waktu itu dijabat oleh Mukti Ali mengingatkan bahwa madrasah SKB yang paling baik ialah yang diselenggarakan di lingkungan pondok pesantren atau madrasah memakai sistem pondok/ asrama. (Marwan Saridjo,1995: 103). Kebijakan yang paling akhir yang bersifat umum, tetapi juga langsung berpengaruh terhadap madrasah adalah ditetapkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Untuk diketahui pendidikan nasional saat ini tidak berlaku lagi (dihapus) dan diganti dengan Undang-undang Sisdiknas No. 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas); di mana, dalam undang-undang tersebut diatur sangat jelas tentang sistem pendidikan di Indonesia.

  Undang-undang tersebut, menunjukkan bahwa status madrasah berubah menjadi “sekolah umum berciri khas Islam”. Di mana perubahan ini penting artinya, karena dengan demikian berarti madrasah tidak hanya telah menjadi lembaga pendidikan Islam modern, tetapi juga yang lebih penting status madrasah mendapat legitimasi sepenuhnya sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.

  Akan tetapi dengan perubahan status tersebut banyak para ahli dan praktisi pendidikan Islam tidak menyambut gembira. Tentunya wajar dengan berubahnya status madrasah menjadi sekolah umum berciri khas Islam tidak disepakati oleh para ahli tersebut, mengingat masih terdapat sebagian orang yang memandang madrasah semata-mata sebagai lembaga pendidikan agama dalam pengertian tradisional. Artinya dengan perubahan status tersebut diperkirakan akan menghilangkan identitas madrasah yang selama ini identik dengan “ tempat mempelajari ilmu- ilmu agama”. (Jurnal Komunikasi Perguruan Madrasah, Volume 5, No.1, 2001: 8).

  Dalam sejarah, seperti dicatat Zamakhsari

Dhofier, madrasah memang merupakan perkembangan lebih lanjut dari nggon ngaji

  sekolah al-Qur’an dan pesantren. Menghapus identitas itu dan menggantikannya dengan yang lain, tentu saja, sama dengan mencabut madrasah dari akarnya.

  639 Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 4, Nomor 1, Juni 2012, hlm. 634-715 PEMBAHASAN

  Agar madrasah tetap dapat memper- tahankan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan yang berbasis Islam perlu adanya terobosan. Dalam hal ini struktur kurikulum pendidikan agama yang menghendaki agar lingkungan sekolah memberikan suasana agamis dan menyediakan fasilitas tempat ibadah yang memadai tidak mudah diwujudkan. Kenyataannya, banyak madrasah yang belum memiliki konsep desain lingkungan keagamaan yang sesungguhnya merupakan bagian dari struktur kurikulum bawah para penyelenggara madrasah dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit antara mengejar target penguasaan materi pengetahuan umum bagi para siswanya, sehingga perolehan nilai UN murni dapat memberikan harapan atau memprioritaskan pengembangan pendidikan agamanya.

  Agaknya madrasah sebagian memilih yang pertama, sebagian yang lain memilih yang kedua. Lebih memprihatinkan lagi ternyata banyak madrasah yang tidak mendapatkan apa-apa dari dua pilihan yang sama-sama sulit itu. Pengelolaan pengetahuan umum gagal, sementara pendidikan agama masih berjalan secara konvensional. (Khozin, 2001: 82).

  Tentu saja tidak semua kalangan sepen- dapat dengan pandangan di atas. Sebagian ahli mempunyai pandangan bahwa perubahan itu harus dipandang sebagai implikasi logis dari modernisasi madrasah yang selama ini telah dilaksanakan. Meminjam istilahnya Karel A. Steenbrink, perubahan itu digambarkan sebagai perkembangan pendidikan Islam dari “ pesantren, madrasah, sekolah”.

Sejalan dengan semakin terdiversifikasi jenis-jenis keterampilan pembangunan yang

  Lebih jauh, perubahan itu diharapkan dapat meruntuhkan tembok dualisme pendidikan yang selama ini dianggap sebagai biang keladi rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. (Isma’il SM, Nurul Huda dan Abdul Kholiq (ed), 2002: 228). Mengingat banyaknya persoalan yang dihadapi dalam pengembangan madrasah secara nasional sebagai contohnya pengelolaan madrasah kurang professional, organisasi kelembagaan kurang lengkap, sarana dan prasarana pendidikan belum memenuhi standar, kebanyakan kepemilikan oleh swasta dengan implikasinya sistem akreditasi yang belum pada setiap komunitas umat Islam, jumlah guru kurang memadai, penempatan guru tidak merata , kualitas mengajar guru masih rendah, keahlian guru tidak sesuai , tenaga administrasi jumlahnya terbatas. Namun demikian madrasah jumlah siswanya terus bertambah, walaupun mereka datang dari masyarakat berlatar belakang sosial ekonomi rendah.

  Oleh karena itu, di samping kejelasan rancangan, rencana pengembangan juga harus lentur terhadap kemungkinan perubahan situasi dan kondisi. Dalam kaitan ini, kearifan rekayasa bagi kegiatan yang tepat sasaran, merupakan jemen baik tingkat nasional maupun regional/ wilayah. Untuk maksud tersebut, ada beberapa hal yang menjadi dasar strategi pengembangan madrasah: pertama menjadikan ajaran agama Islam sebagai “basic reference” seluruh kegiatan pengembangan pendidikan di madrasah. Kedua, madrasah sebagai lembaga pendidikan umum yang berciri khas agama Islam; berfungsi se- bagai pengembang dasar-dasar ketrampilan multi dimensi. Hal ini lantaran pendidikan pada madrasah pada dasarnya merupakan sub system dari pendidikan umum yang sederajat. Pendidikan pada madrasah memiliki fungsi yang sama dengan pendidikan umum lainnya yakni untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. (Abdul Rachman Shaleh, 2000: 128 -131).

  diperlukan dan malah dikehendaki masyarakat, maka pengembangan dasar-dasar keilmuan dan penguasaan keterampilan profesional tingkat menengah pun (dalam hal ini pendidikan di madrasah) perlu pengembangan ke segala sektor kehidupan. Sudah barang tentu hal ini dengan memperhitungkan kondisi daerah, kecenderungan penyediaan sumber daya alam, keterbukaan peluang sektor-sektor profesi kehidupan serta ketersediaan sumber daya manusianya. Diharapkan dengan itu, yakni kompetisi bagi pengembangan potensi dirinya sendiri dan mengabdikan dirinya sesuai dengan kemampuan profesionalnya sebagai aktualisasi rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaannya.

   Ali Murtadho, Pemberdayaan Madrasah 640 Ketiga, pengembangan secara bertahap.

  Pengembangan madrasah baik negeri maupun swasta ke arah yang menjadi visi rencana pengembangan harus dilakukan secara bertahap. Hal ini mengingat adanya beberapa hal : (1) keadaan madrasah yang selain banyak, juga keadaanya tidak seragam dalam permasalahan yang dihadapi. Pada sisi lain, sumber daya yang dimiliki dan menjadi akses madrasah pada komponen utama secara generik, namun variasi keragaman tetap perlu dicermati. Demikian pula dalam hal memberikan prioritas, dengan mendahulukan komponen strategis bagi peng- dalam rangka menghindari tumpang tindih atau kemubaziran dalam perlakuan pengembangan. (2) penting untuk diperhatikan adalah kenyataan semangat para pendiri madrasah di daerah- daerah yang sangat tinggi yang harus dihadapi secara rasional. Untuk menghindari kegiatan yang sifatnya kontra produktif dari semangat para pengelola madrasah (khususnya madrasah

  swasta), perlu diusahakan kegiatan pembinaan

  yang hasilnya dapat terlihat nyata dan langsung dirasakan. Untuk mencapai hasil nyata tersebut, pentahapan pembinaan hendaklah layak, tujuannya jelas, dengan urutan yang logis dan saling menunjang satu sama lain kegiatan, sehingga (sekali lagi khususnya terhadap

  madrasah swasta yang jumlahnya sangat dominan) setiap tahapan pembinaan memiliki

  implikasi terhadap perubahan citra yang semakin baik di masyarakat. (3) sebagai penata sosial Islam yang hidup dengan sejarah yang panjang, sesungguhnya kehidupan dan perkembangan madrasah berlangsung dalam tahapan kegiatan yang dapat dikenali. Masing-masing tahapan memiliki ciri-ciri dan persoalan yang berbeda. (4) berkenaan dengan kemudahan mendeteksi perolehan kegiatan. Se bagai mana dimaklumi bahwa kegiatan dengan rentang waktu yang panjang akan menimbulkan berbagai kesukaran, khususnya berkenaan dengan timbulnya masalah- masalah baru yang belum terdeteksi sebelumnya, malah akan menghambat perkembangan selanjutnya.

  Lantaran itulah pentahapan dan malah kesiapan untuk penjadwalan kembali tetap di- perlukan. (5) dengan tahapan yang jelas dalam kurun waktu tertentu, maka keberhasilan akan embangn selanjutnya, sementara manakala terjadi kegagalan akan mudah memperbarui kembali sebab tahapan-tahapan dibuat dalam rentang waktu yang tidak terlalu panjang.

  Dengan melihat permasalahan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dalam pengembangan madrasah secara nasional sangat diperlukan antara lain adanya peningkatan keterampilan manajemen dan kesadaran fungsi masing-masing bagian pengelola madrasah secara keseluruhan, diperlukan pengadaan dan penyempurnaan sarana dan prasarana pendidikan baik fasilitas fisik maupun fasilitas non fisik (seperti perangkat mutu staf pengajar, pengadaan dan peningkatan mutu staf tata usaha, rangsangan kegiatan siswa serta pembinaan lulusan-lulusan. Keempat, ta- hapan-tahapan pengembangan madrasah. Dengan melihat permasalahan-permasalahan madrasah tersebut di atas, diperlukan paling tidak empat tahapan pengembangan madrasah dari manajemen madrasah tingkat nasional. Tahap pertama, pemerataan kesadaran dan keterampilan manajemen pada tingkat pengelola dan pelaksanaan pendidikan madrasah. Tahap kedua, pengembangan sarana dan prasarana pendidikan madrasah. Tahap ketiga pengadaan dan peningkatan mutu staf pengajar dan tahap keempat pengadaan dan peningkatan mutu staf dan tata usaha.

  Memang dalam memberdayakan madrasah tidak bisa dilepaskan peran serta masyarakat dan pemerintah. Rasanya tidak adil, kalau pemerintah atau pemegang kebijakan pendidikan (Islam) menuntut lebih banyak peran serta masyarakat, khususnya dalam segi sumber daya dan finansial. Justru lebih fair dan adil kalau masyarakat menuntut “peran serta” yang lebih banyak dari pihak pemerintah (salah satunya persoalan anggaran). Apalagi memandang kenyataan historis selama ini –-dan bahkan sampai saat ini-- pemerintah cenderung “menganaktirikan” madrasah, khususnya dari segi anggaran dan pem binaan.

  Meski demikian, “peran serta” masyarakat dalam pemberdayaan pendidikan Islam (dalam hal ini madrasah) bukan tidak bisa dituntut lebih besar lagi. Secara garis besar peningkatan “peran serta” masyarakat dalam pemberdayaan itu dapat dikerangkakan sebagai berikut, (Azyumardi

  641 Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 4, Nomor 1, Juni 2012, hlm. 634-715 Pertama, peningkatan peran serta ma-

  sya rakat dalam pemberdayaan manajemen pendidikan. Yakni pengembangan manajemen yang lebih accountable, baik dari segi keuangan maupun organisasi pendidikan itu sendiri. Melalui peningkatan ini, sumber-sumber finansial masyarakat dapat dipertanggung jawabkan secara lebih efisien untuk pemberdayaan dan pen ingkatan kualitas pendidikan Islam (dalam hal ini madrasah); sehingga menjadi lebih viable dan durable dalam perubahan dan tantangan jaman.

  Kedua, peningkatan peran serta masyarakat oriented, yakni madrasah yang berkualitas

  dan berkeunggulan, yang pada gilirannya akan mendorong perkembangan madrasah itu sendiri menjadi “centers of excellence” yang meng- hasilkan anak didik yang berparadigma keilmuan “komprehensif”, yakni pengetahuan umum dan agama, plus imtaq.

  Ketiga, peningkatan peran serta masyarakat

  dalam pengelolaan sumber-sumber belajar lain yang terdapat dalam masyarakat, sehingga system pendidikan Islam (madrasah) tidak terpisah, atau tetap menjadi bagian integral dari masyarakat Muslim secara keseluruhan. Melalui pengembangan ini, madrasah sebagai pendidikan Islam di Indonesia dapat menjadi “core” dari “learning society” , masyarakat belajar, yang pada gilirannya membuat anak didik keluaran lembaga pendidikan Islam (madrasah) ini lebih berkualitas, capable, fungsional dan integrated dengan masyarakatnya.

  KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

  Uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan melihat persoalan-persoalan yang dihadapi madrasah sehingga lembaga ini tertinggal dengan sekolah umum dikarenakan adanya sikap diskriminatif dari pemerintah. Untuk itu sesuai dengan alam reformasi saat ini, hendaknya pemerintah tidak lagi mendiskriminasikan madrasah; karena sesuai dengan Undang-undang Sisdiknas madrasah pun sama statusnya dengan sekolah-sekolah umum. Oleh karena itu wujud perhatian pemerintah ini sudah menjadi keharusan. Wujud perhatian pemerintah ini bisa ditunjukkan melalui upaya-upaya memberikan bantuan-bantuan dana ataupun kegiatan-kegiatan yang sifatnya meningkatkan mutu madrasah, seperti pelatihan- pelatihan kepada kepala madrasah dan guru-guru, memberikan bantuan sarana dan prasarana yang memadai, bahkan yang terpenting untuk lebih menyantuni kesejahteraan guru-guru madrasah baik.

  Saran

  Berdasar pada hasil penelitian tersebut di atas, dapat disarankan sebagai berikut: Pertama, kepada institusi madrasah agar lebih pro aktif menciptakan dan mengembangkan inovasi- inovasi yang melibatkan kepala madrasah, guru, dan siswa agar mutu madrasah dapat bersaing di era global saat ini; Kedua, kepada masyarakat hendaknya lebih memperhatikan atau peduli terhadap lembaga madrasah, dalam wujud kongkritnya, masyarakat berperan serta aktif masyarakat dalam meningkatkan mutu madrasah; Ketiga, pemerintah harus lebih peduli kepada madrasah, karena saat ini status madrasah dalam undang-undang sistem pendidikan nasional sama dengan institusi sekolah umum. Wujud perhatian pemerintah ini ditunjukkan melalui upaya-upaya memberikan bantuan-bantuan dana ataupun kegiatan-kegiatan yang sifatnya meningkatkan mutu madrasah, seperti: pelatihan-pelatihan, memberikan bantuan sarana dan prasarana yang memadai, dan yang tidak kalah penting adalah pemerintah harus menyantuni kesejahteraan guru-guru madrasah yang masih berstatus honorer agar taraf hidupnya lebih baik.

   Ali Murtadho, Pemberdayaan Madrasah 642 DAFTAR PUSTAKA

  Rachman Shaleh, Abdul. 2000. Pendidikan Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam Tradisi

  Agama dan Keagamaan Visi Misi dan dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Aksi. Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa.

  Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

  Rahim, Husni. 2001. .Arah Baru Pendidikan A Steinbrink, Karel. 1994. Pesantren, Madrasah,

  Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun

  Ilmu.

  Modern. Jakarta: LP3ES.

  SM, Isma’il. 2002. Nurul Huda dan Abdul Kholiq Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan (ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah.

  Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

  Yogyakarta: IAIN Walisanga dan Pustaka Dhofier, Zamakhsyari. 2001. Tradisi Pesantren Pelajar.

  Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya

  Saridjo, Marwan. 1995. Bunga rampai Pendidikan

  Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: Islam. Jakarta: Tanpa penerbit.

  Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003

  Jurnal Komunikasi Perguruan Madrasah,

  tentang Sistem Pendidikan Nasional Volume 5, No.1, 2001. (Sisdiknas), Fokus Media, Bandung,

  Khozin. 2001. Jejak-jejak Pendidikan Islam di 2006.

  Indonesia. Malang: UMM Press.

  Muhibbuddin. “Modernisasi Manajemen Pendidikan Pesantren” dalam Mozaik

  Pesantren, Edisi 02/ tahun 1/ November, 2005.

  Noer, Deliar. 1994. Gerakan Modern Islam

  di Indonesia 1900-1942, (Jakarta,

  LP3ES, 1996), hal. 49. Lihat juga Karl

  A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah,

  Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Waktu Modern. Jakarta: LP3ES.