DARI ASETISME KE ZUHD Reorientasi Makna

DARI ASETISME KE ZUHD
(Reorientasi Makna Zuhd dalam Islam)
Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy, M. Hum.1
Abstrak

Selama ini, ‚zuhd‛ telah salah-kaprah diterjemahkan
dengan asetisme. Kesalahan ini disebabkan oleh kegagalan
umat Islam memahami kehidupan para sufi, pemahaman
yang parsial terhadap teks-teks agama tentang zuhd dan
sejarah Islam yang tidak dibaca secara kontekstual.
Implikasinya, alih-alih sebagai konsep luhur tentang
pemusatan obsesi kepada Tuhan, zuhd lebih sering
dikonotasikan sebagai pandangan anti kemapanan. Artikel
ini ditulis untuk mendeskripsikan dua terminologi di atas
(zuhd dan asetisme) dalam kaitannya dengan paradigma
umat Islam tentang ‚hidup miskin‛.
Melalui kajian historis, tulisan ini menyimpulkan bahwa
di antara kedua terminologi di atas terdapat perbedaan yang
mendasar. Pertama, dalam asetisme, pola hidup ‚serba
kekurangan‛ menjadi satu-satunya standar, sedang dalam
zuhd, hal tersebut hanya menjadi salah satu tanda saja;

Kedua, asetisme menekankan pada sikap seseorang menjaga
jarak dari kemewahan dunia. Sedangkan zuhd menekankan
pada proses penemuan kebahagiaan sejati yang lebih tinggi
dari apa yang disediakan oleh dunia tanpa harus
meninggalkannya, karena dalam definisi zuhd, terkandung
makna mentalitas hati untuk merasa cukup dengan apa yang
dimiliki. Tidak seperti pelaku asetisme, seorang za>hid juga
tidak perlu tidak perlu mengasingkan diri dari posisinya
sebagai makhluk sosial.
Konsep zuhd layak diaktualisasikan ke dalam konteks
kekinian umat Islam dalam kaitannya untuk memberantas
kemiskinan. Mindset umat Islam yang pada awalnya
menganggap zuhd sebagai sesuatu sikap yang pasif harus
diubah menjadi pola zuhd aktif yang mencerahkan, baik
untuk masyarakat desa maupun perkotaan.
Keywords: Zuhd Aktif, Asetisme Pasif, Tafsir Teks-Teks Keagamaan

Penulis Adalah dosen al-Qur’an dan Hadith di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah
Islamiyyah (STITI) Karya Pembangunan, Paron, Ngawi.
1


1|Page

A. Kemiskinan Yang Diatasnamakan Agama
Ketertinggalan umat Islam –khususnya di Indonesia- dalam hal
kemapanan ekonomi2 perlu ditinjau dari berbagai sudut pandang. Salah satunya
dari pemahaman-pemahaman relijius yang mempengaruhi pandangan komunitas
muslim di Indonesia tentang hakikat kekayaan dan kemiskinan. Tidak sedikit
yang mengatakan bahwa kemiskinan umat Islam di Indonesia disebabkan oleh
paradigma anti kemapanan yang teraktualisasikan –secara teoretik dan praktikdalam konsep ‚zuhd‛.
Konsep luhur tentang zuhd, jika disalahpahami, rawan untuk dijadikan
alibi apologis bagi seorang muslim yang secara ekonomi belum mapan. Pada titik
ini, zuhd bukan berarti penolakan total terhadap dunia. Zuhd telah menjadi
tempat pelarian yang nyaman bagi sekelompok orang yang gagal bertahan dan
bersaing di kehidupan duniawi. Pada akhirnya, zuhd pasif tersebut berpotensi
mengurung etos kerja seseorang yang terlanjur miskin, sehingga sulit baginya
untuk bangkit dari kemiskinannya3. Dengan demikian, adagium-adagium yang
masyhur di masyarakat muslim seperti ‚nrimo ing pandhum‛ (menerima apa
yang telah diberikan Allah) dan ‚urip moloikatan‛ (hidup seperti malaikat), di
satu sisi mampu mendorong tumbuhnya sikap sabar menghadapi kemiskinan, di

sisi lain berpotensi membentuk pribadi yang pasif dan apatis dalam bekerja.
Dengan kata lain, Zuhd seringkali diasosiakan dengan ‚hidup sangat
sederhana‛, ‚hidup tanpa dunia‛ atau ‚hidup menderita‛. Padahal, dalam definisi
2

Pada 1978, Bank Dunia merilis laporan bahwa dalam 132 juta penduduk Indonesia saat
itu, 72 juta jiwa dalam keadaan miskin. Dari 1976 hingga 2000, angka kemiskinan di Indonesia
berubah-ubah. Jumlah penduduk miskin pada 1998 adalah 29,5 juta orang atau 24,2% dari total
penduduk Indonesia. Lihat: Siahaan N. H.T; Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan
(Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 83-84.
3

Etos kerja, dalam teori kemiskinan, termasuk kedalam kategori individual explanation,
yaitu sebab-sebab kemiskinan dari diri si miskin itu sendiri. Baik karena ketidak cakapannya
bersaing dalam bidang ekonomi, maupun karena sifat alaminya yang tidak memiliki hasrat untuk
memperbaiki kehidupannya. Selain individual explanation, sebab kemiskinan yang lain menurut
teori ini adalah: familial explanation (misalkan saja jika si miskin berasal dari keluarga
berpendidikan rendah), subcultural explanation (misalnya kultur masyarakat yang melarang
wanita berkarir), structural explanation (jika ada golongan tertentu yang secara sengaja
memonopoli kemakmuran dan mewariskan kemiskinan). Bandingkan dengan: Suroyo dkk. Agama

dan Kepercayaan Membawa Pembaruan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 97.

2|Page

zuhd, terkandung makna kompleks yang lebih dari sekedar kemiskinan lahiriah
saja. Ada beberapa hal yang membentuk kesalahpahaman umat Islam tentang
makna zuhd, sehingga kebanyakan dari mereka menyamakan arti zuhd dengan
perilaku asetis (dalam bahasa Inggris: asceticism) -padahal keduanya memiliki
perbedaan yang fundamental-. yaitu:

Pertama, kesalahan umat Islam memahami kehidupan para sufi, figurfigur yang dianggap memelopori aplikasi zuhd dalam kehidupan nyata. Dalam
diskursus ilmu tasawuf, ada dua istilah kunci: zuhd dan faqr. Yang pertama
adalah langkah awal seorang sufi untuk mendekat dan ‚bersatu‛ dengan Allah.
Yang kedua adalah manifestasi maqam tertinggi melalui fana>’ dan baqa>’ yang
dialami seorang sufi. Dua konsep ini memunculkan stigma bahwa setiap ahli
tasawuf adalah anti dunia dan anti peradaban. Lebih jauh, gerakan keruhanian
mereka –oleh para pemikir belakangan- dipandang sebagai sumber kemunduran
dan keterbelakangan Islam4.
Padahal, sejarah Islam Indonesia menunjukkan bahwa para sufi berperan
aktif dalam penyebaran Islam di nusantara pada abad ke-13 sampai abad ke-17.

Dalam hikayat-hikayat Melayu, mereka disebut darwish, sedang dalam babad
Jawa, mereka kerap disebut wali. Di antara para sufi tersebut ada yang
berdagang, menjadi tabib, perajin, pengusaha kapal, guru bela diri dan lain
sebagainya. Sebagian mereka berperan secara aktif mendirikan pesantren, seperti
misalnya Hamzah Fansuri serta para wali di Jawa seperti Sunan Bonang dan
Sunan Giri.5

Kedua, pemahaman yang parsial terhadap teks-teks hadith tentang
keutamaan zuhd dan ciri-ciri pelakunya. Di antara Nas}-nas} mengenai keutamaan

zuhd adalah hadith yang menyebutkan bahwa orang yang bersikap zuhd terhadap

4

Abdul Hadi W. M., Zuhd dan Faqr dalam Pemikiran Hamzah Fansuri dan Ayatullah
Khomeini, dalam www.al-shia.org diakses tanggal 8 September 2014.
5

Bahkan, Sarekat Dagang Islam yang kemudian bernama Sarekat Islam (SI) adalah
gerakan kebangsaan pertama yang pada tahun 1905 didirikan oleh para pemimpin dan anggota

tarikat sufi seperti H. Omar Said Cokroaminoto dan H. Samanhudi. Ibid.

3|Page

dunia dianggap memiliki kebijaksanaan (yulqi> al-h}ikmah)6. Tentang siapa yang
termasuk ahli zuhd, sebuah riwayat lain dari ‘Ali> Ibn Abi> T}al> ib menyebutkan,
ketika turun al-Muja>dalah: 127 yang menganjurkan orang-orang mukmin
memberikan sedekah pada orang-orang miskin, Rasul bertanya kepada Ali apakah
ia memiliki satu dinar untuk disedekahkan. ‘Ali menafikannya karena ia hanya
memiliki secuil emas (sha’i>rah min dhahab). Rasul lalu mengatakan kepada ‘Ali:
‚innaka lazahi>d‛ (sungguh kamu adalah orang yang zuhd).8 Hadith-hadith
semacam ini, jika tidak disandingkan dengan hadith-hadith lain lalu dimaknai
secara kontekstual dapat dislahpahami sebagai legitimasi makna miskin dalam
definisi zuhd.

Ketiga, sejarah Islam yang dibaca dengan tidak lengkap. Dalam kitabkitab klasik tentang zuhd, tak hanya perilaku pelaku zuhd yang hidup miskin dan
serba kekurangan saja yang disebutkan, melainkan juga kisah-kisah lain tentang
pertobatan dan penyesalan para za>hid, sikap mereka yang senantiasa tawa>dhu’
dengan menjaga lisan dan perbuatan, serta bagaimana mereka setiap malam
menyibukkan diri dengan ritual-ritual ibadah. Karenanya, sangat riskan, jika

kisah-kisah para za>hid yang miskin saja yang popular di masyarakat kita.
Di antaranya adalah riwayat Muja>hid tentang ‘Isa> A.S. yang hanya makan
dari apa yang disediakan pepohonan (ya’kulu al-shajar), memakai pakaian
seadanya, tinggal di sembarang tempat, dan tidak pernah menyimpan makanan
untuk esok hari9. Lalu cerita Anas bin Ma>lik tentang ‘Umar Ibn al-Khat}t}a>b yang
di kesehariannya memakai kain sejenis sarung dengan 14 tambalan dari kulit

6

Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th al-Shari>f (Solo:
Ridwana Press, 2007), hadith ke- 4091.
7

8

‫َ ا َأ َهُّي َ ا ِذَّل ِا َيا ٓ َ ُ ا َ ا َ َ ْ ُ ْ ا ِذَّلمل ُ َلا َ َ ِّ ُ ا َ ْ َ ا َ َ ْ ا َ ْ َ ُ ْاا َ َ َ ًةا‬
‫ِإ‬
Al-Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi>, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith ke-

3222.

9

Abu> H}a>tim al-Ra>zi>, al-Zuhd, dalam DVD RoM al-Maktabah al-Sha>milah, (Solo:
Ridwana Press, 2007), hal. 4.

4|Page

hewan yang di-sama’10. Belum lagi cerita-cerita tentang Muh}ammad yang oleh
‘Amr Ibn al-‘A>s} disebut sebagai azhad al-na>s fi> al-dunya> (baca: manusia yang
paling zuhd terhadap dunia), sedangkan orang Islam selain Nabi, disebutnya
sebagai arghob al-na>s fi>ha> (baca: manusia yang paling tidak zuhd terhadap dunia)
11

. ‘A>ishah misalnya, menceritakan sosok Nabi yang tidur hanya beralaskan kulit

hewan12. Paparan di atas menjelaskan pentingnya peninjauan ulang, apakah benar
jika zuhd dialih-bahasakan sebagai asetisme. Makalah ini akan membahas hal
tersebut serta relevansinya dengan kondisi sosial ekonomi umat Islam di zaman
sekarang.


B. Asetisme Vis a Vis Zuhd: Kajian Historis
Merriam Webster, dalam Encyclopedia of World Religions mendefiniskan
asetisme sebagai ‚The practice of the denial of physical or psychological desires

in order to attain a spiritual ideal or goal.‛ 13 (Praktik menghilangkan hasrat fisik
maupun psikologis untuk mencapai tujuan spiritual). Dari definisi di atas, ada
dua makna kunci yang bisa ditangkap: (1) praktek pengendalian diri seseorang
dari ‚kesenangan duniawi‛ secara fisik maupun psikologis, dan (2) adanya
keyakinan dalam diri pelakunya bahwa perilaku yang ia lakukan merupakan
bagian dari ajaran agama/keyakinannya.14
Makna ini berbeda dengan asal arti kata Asetisme yang dalam bahasa
Yunani disebut ascesis yang berarti ‚gaya hidup yang sangat teratur (ketat/
10

Abu> Da>wu>d al-Sajasta>ni>, al-Zuhd, dalam DVD RoM al-Maktabah al-Sha>milah…, hal.

11

Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ah}mad, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith ke-


12

Abu> Da>wu>d al-Sajasta>ni>, al-Zuhd…, hal. 14.

59.
17105.

13

Merriam Webster, Merriam Webster’s Enclyclopedia of World Religions¸ (Springfield:
Merriam-Webster, 1999), hal. 80.
14

Dalam The Oxford Dictionary of World Religions disebutkan: ‛it’s the practice of
self-denial or self-control as a means of religious attainment through discipline. Baca: John
Bowker (ed.), The Oxford Dictionary of World Religions (New York: Oxford University Press,
1997), hal. 96. Baca juga: James Hastings, Encyclopedia of Religion and Ethnics, volume II (New
York: Morrison and Gibb Limited, tt), hal. 99-105.

5|Page


disciplined lifestyle) baik lahir maupun batin‛. Dalam tradisi Yunani kuno, kata
ascesis sering dipakai untuk menyifati salah satu dari dua golongan: atlit dan
filosof. Para atlit disebut Asetik karena mereka sangat keras berlatih untuk
mempersiapkan sebuah kompetisi tertentu. Sedang para Filosof, disebut
demikian karena dalam usaha mencari ‚kebijaksanaan‛, mereka secara kontinyu
menghabiskan banyak waktu untuk merenung dan menjauhi banyak pekerjaan
yang menurut mereka tidak lebih penting dari kontemplasi- kontemplasi yang
telah menjadi kebiasaan mereka.15
Dalam tradisi–tradisi peradaban kuno, Asetisme seringkali dipraktikkan
dengan cara yang ekstrim. Pelakunya memisahkan diri dari kehidupan
bermasyarakat, pergi menuju hutan, gua atau tempat terpencil lain untuk
melakukan meditasi. Dalam proses meditasi tersebut, mereka kerap mengabaikan
urusan - urusan sehari – hari seperti makan dan minum. Tradisi Jawa mengenal
istilah semedhi atau tapa bratha yang berarti praktik menjauh dari keramaian
dunia untuk meditasi, mencari wangsit dan lain sebagainya16.
Tradisi beberapa agama mengamalkan pola asetis yang seperti itu. Di dunia
Hindu, ada istilah pravrajya yang digunakan untuk menyebut seseorang yang
meninggalkan rumahnya untuk mencari ketenangan batin. Juga Yoga yang
sekarang mulai marak dilakukan orang-orang yang tidak beragama Hindu
sekalipun. Yoga pada awalnya, adalah perilaku Asetik seorang pemeluk agama
Hindu untuk bermeditasi, mengosongkan pikiran mereka dari keinginan–
keinginan duniawi. Sedang dalam tradisi Kiristen, Asetisme dapat dilihat dari
perilaku beberapa penganutnya yang memilih jalan hidup yang ekstrim, yaitu
dengan menghabiskan waktunya untuk berpuasa, berdoa, dan bahkan rela untuk
tidak menikah17. Jadi, bisa disimpulkan bahwa asetisme merujuk pada perilaku
15

Elizabeth M. Dowling and W. George Scarlet (ed.), Encyclopedia of Religious and
Spiritual Development (London: Sage Publications, 2006), hal. 15.
16

Baca: Jonathan Z. Smith (ed,) The Harpercollins Dictionary of Religion, (San
Fransisco: HarperCollins Publisher, tt), hal. 81.
17

Lihat lebih lengkap : John Bowker (ed.), The Oxford Dictionary... Hal. 97.

6|Page

hidup yang menjaga jarak dari dunia dengan sebisa mungkin tidak mengejarnya.
Itu karena pelaku hidup asetis memiliki keyakinan bahwa dunia akan menjauhkan
mereka dari tujuan hidup yang hakiki.
Adapun Zuhd, secara bahasa berarti ‚mencegah (man’)‛18. Menurut Ibn
Manz}u>r, zuhd atau zaha>dah adalah terminologi khusus yang hanya dipakai dalam
lingkup ‚ke-beragama-an‛. Secara terminologis, zuhd bermakna ‚tidak
membutuhkan hal-hal duniawi‛ sebagai lawan dari kata ‚cinta dan tamak
terhadap dunia (al-raghbah wa al-h}ars} ‘ala> al-dunya>)19. Dengan makna demikian,
pengarang kitab Lisa>n al-‘Arab mengkonotasikan zuhd dengan ‚kemiskinan‛.
Pendapat ini berdasarkan sebuah hadith yang memaknai al-muzhid (orang yang

zuhd) dengan al-qali>l al-ma>l (orang yang sedikit hartanya)20.
Telah diuraikan sebelumnya, bahwa terminologi zuhd, mulai dikenal
secara masif dalam tradisi Islam, pasca muncul dan berkembangnya gerakan sufi
yang menelurkan konsep zuhd bersandingan dengan konsep faqr. Gerakan sufi
muncul pada akhir abad pertama Hijriah, sebagai reaksi atas pola hidup mewah
para khalifah dan keluarganya serta para pembesar negara yang merupakan
dampak dari kekayaan yang diperoleh oleh umat muslim dalam pembebasan
negeri–negeri suriah, Mesir, Mesopotamia, dan Persia. Golongan ini terdiri dari
orang–orang yang rindu untuk kembali pada kehidupan sederhana yang
ditunjukkan oleh Nabi dan sahabat–sahabatnya. Muncul di Kufah dan Basrah,
tokoh-tokoh sufi seperti Hasan al-Bas}ri, Rabi>’ah al-‘Adawiyyah dan Sufyān alThawri>.21
Lalu, meluasnya ajaran sufi beserta konsep zuhd dan faqr nya, oleh
beberapa ahli sejarah dikaitkan dengan paradigma sosial masyarakat muslim
18

al-Thāhir ahmad al-Zāwi, Tartib al-Qāmūs al-Muhith juz 2, (Riyādh: Dār ‘Alam alKutub, 1996), hal. 484.
19

Muh}ammad Ibn Mukrim Ibn Mand}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Beirut: Da>r S}a>dir, tt), vol. 3,

20

Ibid.

21

Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993) hal. 241.

hal. 196.

7|Page

yang mengalami pergeseran fundamental pasca diserbunya peradaban Islam oleh
tentara Salib dari Barat dan tentara Mongol dari Timur. Penyerbuan ini meluluhlantahkan perpustakaan-perpustakaan dan observatorium milik umat Islam.
Sebagai reaksinya, umat Islam mundur ke pedalaman sembari melakukan
perlawanan dari zawiyyah-zawiyyah dan khanaqah-khanaqah kaum sufi dan
mengikuti tarekat-tarekat yang berkembang di sana. Itulah sebabnya, ketika
peradaban Islam bangkit kembali, warna dasarnya telah berubah dari peradaban
Islam yang pada awalnya rasional-relijius menjadi peradaban yang mitisrelijius22.
Komparasi historis terhadap makna asetisme dan zuhd di atas
memberikan beberapa kesimpulan penting mengenai kesamaan dan perbedaan
dua istilah tersebut. yaitu: (1) baik zuhd maupun asetisme, sama-sama
terkandung di dalamnya makna ‚menjadi miskin‛. Tetapi, jika dalam asetisme,
berperilaku ‚sangat sederhana‛ bahkan ‚serba kekurangan‛ menjadi satu-satunya
tolok ukur, dalam zuhd, hal tersebut hanya menjadi salah satu tanda saja; (2)
ditinjau dari sejarahnya, keduanya memiliki makna ‚menjauhi dunia‛ tetapi
dengan penekanan yang berbeda. Dalam asetisme, lebih ditekankan pada usaha
untuk menjaga jarak dari kemewahan dunia. Sedangkan dalam zuhd,
penekanannya pada usaha untuk menemukan kebahagiaan sejati yang lebih tinggi
dari apa yang bisa didapat dari dunia tanpa harus meninggalkannya.
Kesimpulan ini sekaligus menjawab pertanyaan tentang korelasi zuhd
dengan kehidupan bersosial. Karena esensi zuhd adalah peniadaan perhatian
kepada selain-Nya untuk semata-mata fokus kepada-Nya tanpa harus
mengacuhkan sisi kemanusiaan pelakunya, seorang za>hid, dengan demikian, tidak
perlu mengasingkan diri dari posisinya sebagai makhluk sosial. Ini sepenuhnya
berbeda dengan asetisme yang pelakunya menarik diri dari interaksi sosial
dengan manusia lain.

22

Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam 1, (Bandung:
Pustaka Setia, 2009), hal. 142.

8|Page

C. Zuhd dalam al-Qur’an dan Hadith: Dari Asetisme Pasif ke Zuhd Aktif
Untuk memperkuat kesimpulan pada pembahasan sebelumnya, akan
dilakukan pembacaan terhadap makna zuhd dalam teks-teks keagamaan. Dalam
al-Qur’an, istilah zuhd hanya dipakai satu kali pada Yu>suf: 20 dalam bentuk al-

za>hidi>n dalam frasa wa sharawhu bithaman bakhsin dara>hima ma’du>dah wa ka>nu>
fi>hi min al-za>hidi>n (dan mereka menjual Yu>suf dengan harga yang murah. Yaitu
beberapa dirham saja. Dan mereka tidak tertarik hati kepadanya)23. Ada dua versi
tafsir untuk yang dimaksud ‚mereka‛ dalam ayat ini. Menurut Ibn ‘Abba>s,
Muja>hid dan al-Dhah}h}a>k, yang juga dibenarkan oleh Ibn Kathi>r, yang dimaksud
‚mereka‛ adalah para saudara Yu>suf. Sedangkan menurut Qata>dah, yang
dimaksud adalah para kafilah yang menemukan Yu>suf di dalam sumur. Dalam hal
ini, pendapat yang pertama lebih masuk akal, karena para kafilah nampaknya
girang ketika pertama kali mereka menemukan Yu>suf, hingga mereka berkata ‚ya>

bushra> ha>dza> ghula>m‛24. Para saudara Yu>suf tidak menaruh simpati padanya
karena mereka belum memgetahui kenabian dan kedudukannya yang mulia di sisi
Allah25.
Pada ayat al-Qur’an ini, kita mendapati makna Zuhd yang masih umum,
yaitu ‚ketidak tertarikan‛ atau ‚ketidak perdulian‛ pada sesuatu. Dalam hadith,
juga bisa ditemukan zuhd dalam artinya yang umum. Misalnya sebuah hadith
dari Ibn ‚Abba>s yang memakai redaksi ‚lialla> tazhadu> fi> al-H}arb‛ untuk merujuk
pada orang-orang yang bermalas-malasan dalam berperang26. Sebagaimana dapat
ditemukan pula dalam h}adi>th, penggunaan kata zuhd dalam makna khusus (baca:
tidak tertarik terhadap dunia). Berbeda dengan al-Qur’an yang hanya
menyebutkan kata zuhd satu kali dengan satu variasi kata saja, hadith Nabi
23

Muh}ammad Bassa>m Rushdi> al-Zayn, al-Mu’jam al-Mufahras li Ma’a>ni> al-Qur’a>n al‘Azi>m, (Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir, 1995), vol. 1, hal. 545.
Isma’i>l Ibn ‘Umar Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (Beirut: Da>r T}ayyibah,
1999), Vol. 4, hal. 377.
24

25

Ibid.

26

Abu> Da>wud, Sunan Abi> Da>wu>d, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith ke-

2158.

9|Page

menyebutkan beberapa sifat seorang zahi>d dengan memakai beberapa istilah: al-

muzhid, al-za>hid, yuzahhiduha>, zahida, zahidna>, zuhd, yazhadu>na, tuzahhidu,
azhadu, dan la> tazhadanna. Pengkajian terhadap nas}-nas{ di atas akan dilakukan
untuk menemukan makna zuhd yang komprehensif, yang tidak terbatas hanya
pada makna ‚kemiskinan‛ atau ‚anti dunia‛ saja.
Dalam definisi zuhd, terdapat pengertian ‚tidak memperdulikan dunia,
meskipun pada hakikatnya memiliki‛. Abu> Hurairah meriwayatkan:

ْ َ ‫َح ِذَّل ثَن َ ا َأ ُ ا ُك َل ْ ٍبا َح ِذَّل ثَن َ ا ُ َحمِذَّل ُ اب ْ ُيا ُضَ يْ ٍلا َع ْي‬
‫اَح َزةَا ِذَّلمز ِذَّل ِتا َع ْيا ِز َ ٍدا ِذَّلمط ِ ِ ّئا َع ْيا َأ ِِبا‬
‫ه َُل ْ َلةَا َ َلا ُ ْلن َ ا َ ا َر ُ َلا ِذَّل َِّللا َ ا َمن َ ا َ ا ُكن ِذَّل ِاعنْ َ كَ ا َر ِذَّل ْتا ُ ُل ُن َ ا َو َز ِه ْ َ ِاِفا دلَهُّي نْي َ ا َو ُكن ِذَّل ا ِ ْيا‬
‫ِإ‬
27
…‫َأه ِْلا ْ ٓل ِخ َلِةا َ َ اخ ََل ْ َ ا ِ ْي ِاعنْ ِ كَ ا َآٓن َ ْس ن َ ا َأ َه ِمين َ ا َو َ ََش ْمن َ ا َأ ْو ََل َد َ ا َأنْ َك ْل َ ا َأنْ ُف َس ن َ ا‬
‫ِإ‬
“… Dari Abu> Hurairah berkata: wahai Rasululah, mengapa
kami ketika bersama denganmu, bergetar hati kami, kami merasa
tidak butuh dunia dan kami menjadi ahli akhirat. Lalu ketika kami
pergi dari hadapanmu, keluarga dan anak-anak kami memenuhi
pikiran kami sehingga kami mengingkari diri kami sendiri?...‛

Ada dua hal yang bisa ditarik dari pertanyaan Abu> Hurairah di atas.

pertama, dunia yang dijauhi oleh zuhd tidak ‚melulu‛ harta. Keluarga, istri
bahkan anakpun termasuk ke dalam definisi dunia yang harus dilupakan ketika
seseorang memilih untuk bersikap zuhd. Kedua, ‚tidak menghiraukan dunia‛
bukan berarti tidak mencari dan tidak memilikinya. Karena para sahabat mestilah
memiliki keluarga meskipun mereka bersikap zuhd terhadap keluarganya.
Jika dikaitkan dengan harta, bersikap zuhd tidak berkaitan dengan
mencari harta tersebut atau tidak. Seorang za>hid tetap mencari harta untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi harta tersebut bukan menjadi satu-satunya
tujuan hidupnya. Ini juga berarti bahwa seorang za>hid tidak harus membenci
dunia. Ia malah harus bersikap ‚biasa saja‛ tentang harta yang ia miliki. Dalam
konteks ini, benarlah adagium dari para ulama’ yang mengatakan: ‚al-za>hid

h}aqqan la> yadhummu al-dunya>, wa la> yamdah}uha>, wa la> yanz}uru ilayha>, wa la>
yafrah>u biha> idha> aqbalat, wa la> yah}zan ‘alayha> idha> adbarat‛ (seorang za>hid
sejati tidak membenci dunia, tidak pula memujanya. Ia tidak menjadikan dunia
27

Al-Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi>, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith ke-

2449.

10 | P a g e

orientasi hidupnya, tidak senang apabila dunia mendatanginya, pun pula tidak
sedih jika dunia meninggalkannya)28.
Adagium di atas senada maknanya dengan al-H}adi>d: 2329 yang
menegaskan bahwa kondisi mental orang-orang beriman seharusnya tidak
terpengaruh dengan datang atau hilangnya kenikmatan dunia yang dianugerahkan
Allah kepadanya. Termasuk dalam definisi zuhd dengan demikian adalah jika
seseorang tidak terlalu bersedih hatinya jika ia mendapatkan musibah dari Allah
(al-H}adi>d: 2230). Dalam hadith lain tentang ziyarah kubur, Rasul menyebutkan:

‚kuntu nahaytukum ‘an ziya>rah al-qubu>r fazu>ru>ha> fa innaha> tuzhidu fi> al-dunya>
wa tudhakkiru al-a>khirah‛31. Jadi, istilah zuhd tidak serta merta harus berarti
‚menjauhi dunia‛, tetapi lebih kepada proses di mana seseorang tidak
menganggapnya sebagai orientasi utama kehidupannya.
Intinya,

seorang

Muslim

yang

bersikap

Zuhd

berusaha

untuk

meninggalkan segala sesuatu yang menurutnya dapat menghalanginya dari Tuhan
karena untuk bertemu sang Pencipta, dia harus lepas dari semua ciptaan-Nya. Ini
bukan berarti bahwa seorang Zāhid harus miskin. Lebih dari itu, seorang Zāhid
bukanlah seorang yang ‚papa‛, tapi seorang Zāhid adalah seseorang yang
hidupnya terlepas dari keinginan–keinginan duniawi (The poor man is not he

whose hand is empty of possesions, but he whose life is empty of desires) (orang
miskin bukanlah orang yang tidak memiliki apa-apa di tangannya, tetapi orang
miskin adalah yang tidak memiliki keinginan apa-apa)32.
Dalam definisi zuhd, terdapat makna mentalitas hati untuk merasa cukup
dengan apa yang dimiliki. Sebagaimana dalam hadith fi’li> berikut:
28

al-Bayhaqi>, al-Zuhd al-Kabi>r, dalam DVD RoM al-Maktabah al-Sha>milah…, vol. 1,

29

‫وو‬
‫ِك َك ْي َك تَكأْي َكسوْي ا َكعلَكى َكما َكاتَك ُك ْي َك َك تَك ْيف َكرحُكوا بِك َكما َكتَكا ُكا ْي َك ُهَّللا ُك َك ُك ِك ُّب ُكا ُهَّللا ُكم ْي ٍل‬
‫َكاا َك ُك ٍل‬

30

‫ا ِكم ْي َك ْيي ِك َك ْي َكي َكْير َكهَكا‬
‫ِك َك َك ِكي َك ْيفُك ِك ُك ْي ِك ُهَّللا ِكي ِكا َكا ٍل‬

31

Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith ke-: 1560.

32

John Bowker (ed.), The Oxford Dictionary..., hal. 1072.

hal. 5.

11 | P a g e

‫اا ِكم ْي ُكم ِك يَك ٍل ِكي ْيااَكوْي‬
‫َكما َك َك َك‬

ْ َ َ ‫َح ِذَّل ثَن‬
َ ْ ‫اَي ََياب ْ ُيا‬
‫ِيبا َع ْياع َ ِ ِ ّلاب ْ ِيا‬
ٍ ‫ْس َقا َ َلاثَن َ ا َميْ ُثاب ْ ُيا َ ْع ٍ ا َع ْيا َ ِز َ اب ْ ِيا َأ ِِبا َحب‬
‫ِإ‬
ْ َ ‫اَس ْع ُت‬
ِ َ ‫َر ََبحٍا َ َل‬
‫اَع َلواب ْ َيا ْمعَ ِصا َ ُ ُلا َم َ ْ ا َأ ْ ب َ ْح ُ ْا َو َأ ْ َسيْ ُ ْات َ ْل َغبُ َناِ مي َ َاَك َنا َر ُ ُلا‬
‫ِذَّل َِّللا َ ِذَّلَّلا ِذَّل َُّللاع َليْ ِها َو َ ِذَّل ََّلا َ ْز َه ُ ا ِ ِها َأ ْ ب َ ْح ُ ْات َ ْل َغبُ َن ِاِفا دلَهُّي نْي َ ا َو ََك َنا َر ُ ُلا ِذَّل َِّللا َ ِذَّلَّلا ِذَّل َُّللا‬
‫ع َليْ ِها َو َ ِذَّل ََّلا َ ْز َه ُ ا ِ هي َ ا َو ِذَّل َِّللا َ ا َأت َْتاع َ ََّلا َر ُ لِ ا ِذَّل َِّللا َ ِذَّلَّلا ِذَّل َُّللاع َليْ ِها َو َ ِذَّل ََّلا َميْ َ ٌَلا ِ ْيا َد ْه ِلها‬
33
…‫ِذَّلَل َاَك َنا ِذَّل ِا اع َليْ ِها َأ ْك َ َ ا ِ مِذَّل ا َ ُا‬
‫ِإ‬
‚… ‘Amr Ibn al-‘A>s}s} berkata: kalian telah melalui hari-hari

kalian dengan menyenangi apa yang Rasulullah malah
menjauhinya. Kalian lalui hari-hari kalian dengan mencintai dunia
padahal Rasulullah SAW mencukupkan diri darinya. Demi Allah,
tidaklah berlalu satu malampun pada Rasulullah selama hidupnya,
kecuali apa yang telah ada pada beliau hari itu, dirasanya lebih
banyak dari yang ia butuhkan…‛.
Sampai di sini, kita mengetahui bahwa zuhd bukanlah sikap pasif

seseorang yang pasrah dengan ‚bagian dunia‛ yang memang tidak ia usahakan.

Zuhd bukanlah asetisme, karena pelaku asetisme dengan sengaja meninggalkan
dunia. Sedangkan pelaku zuhd, tetap mencarinya namun tidak terobsesi atasnya.
Dalam terminologi Islam, zuhd juga tidak ‚melulu‛ tentang harta, tetapi juga
tentang hal-hal keduniawian lainnya. Zuhd adalah mentalitas hati untuk merasa
cukup dengan apa yang dimiliki. Dengan demikian, pelaku zuhd bersikap aktif
dan senantiasa berpikiran positif terhadap dunia, tidak malah pasrah dan bersikap
apatis terhadapnya.

D. Aktualisasi Zuhd Aktif Dalam Pengentasan Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara
dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu
memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. perlu
dicatat bahwa masing-masing masyarakat memiliki cara pandangnya sendiri
terhadap kemiskinan. Soerjono Soekanto membagi masyarakat dalam kaitannya
dengan kemiskinan ke dalam tiga kategori: masyarakat miskin di desa,
masyarakat miskin di kota, dan masyarakat urban yang miskin. Pada masyarakat
pedesaan yang umumnya masih bersahaja organisasinya dan sederhana pola
pemikirannya, kemiskinan bisa jadi bukan merupakan masalah sosial, karena
33

Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ah}mad, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith ke-

17149.

12 | P a g e

mereka menganggap bahwa semuanya telah ditakdirkan, sehingga tak ada usahausaha memperbaikinya. Mereka tidak akan terlalu memikirkan kemiskinan
tersebut kecuali apabila mereka menderita karenanya34.
Teori Soekanto ini sesuai dengan premis awal makalah ini yang
mengandaikan segolongan masyarakat yang bersikap pasif dengan kemiskinan
yang mereka alami. Pada masyarakat seperti ini, kemiskinan adalah bagian dari
takdir yang harus diterima dan –lebih jauh- disyukuri. Hal tersebut sekilas tidak
menjadi masalah karena masyarakat tersebut terlihat nyaman-nyaman saja
dengan keadaan mereka. Tetapi, problemnya adalah bahwa kemiskinan, keadaan
serba kekurangan dan jiwa sangat sederhana identik dengan pola kehidupan yang
‚tidak sehat‛, ‚rendah‛, dan ‚koproh‛ (atau meminjam istilahnya Nurcholis
Madjid ketika menganalisa kehidupan di Pesantren: gaya hidup yang sebenarnya
merupakan manifestasi kegagalan dari mendapatkan sebuah kemapanan).35
Konsep zuhd aktif harus dikembangkan dalam masyarakat di atas dalam
kaitannya untuk menyadarkan bahwa ‚mencari dunia‛ bukanlah sesuatu yang
berlawanan dengan takdir, sekaligus tidak menunjukkan bahwa seseorang tidak
menyukuri apa yang telah ia miliki.
Sedangkan pada masyarakat modern yang rumit, kemiskinan menjadi
suatu problem sosial karena –berlawanan dengan masyarakat desa yang
sederhana- mereka membenci kemiskinan. Seseorang di perkotaan tidak merasa
miskin karena kurang makan, pakaian atau perumahan. Tetapi karena harta yang
ia punya dianggap tidak memenuhi standar hidup masyarakat kota. Di sana,
sebuah keluarga dianggap miskin jika tidak memiliki sepeda montor, mobil, dan
barang mewah lain. Barang-barang sekunder atau bahkan tersier dianggap
sebagai barang primer untuk menentukan apakah orang tersebut miskin atau
kaya36.
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta, Raja Grafindo Persada,
1995), hal. 406.
34

35

Lihat: Nurcholis Madjid, Bilik – bilik Pesantren (Sebuah potret perjalanan),(Jakarta :
Penerbit Paramadina, 1997), hal. 100.
36

Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar…,hal. 407.

13 | P a g e

Pada masyarakat semacam ini, konsep zuhd seharusnya dikembangkan.
Utamanya karena sifat zuhd memuat makna agar setiap individu merasa puas
dengan apa yang telah ia miliki. Pada prinspinya, Islam tidak pernah melarang
seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan dunianya, sebagaimana hadithhadith yang mengesankan bahwa dunia itu penting. Tetapi, Islam juga
mengingatkan –melalui konsep zuhd- kepada manusia agar tidak menjadikan
dunia sebagai obsesi utama yang justru akan menjadikannya berat menghadapi
hidup.
Kategori masyarakat miskin ketiga adalah masyarakat urban yang gagal
bersaing dalam persaingan ekonomi di kota. Bagi mereka, pokok persoalan
kemiskinannya

secara

sosiologis

adalah

tidak

berfungsinya

lembaga

kemasyarakatan di bidang ekonomi. Dalam hal ini, apa yang telah dipaparkan
mengenai pelaku zuhd yang sosial bisa diaktualisasikan. Pemerintah juga bisa
mengaplikasikan zuhd aktif dengan cara mengaktifkan kembali lembaga-lembaga
ekonomi di pedesaan yang mampu menjaring tenaga kerja, sehingga laju
urbanisasi bisa ditekan.
Aktualisasi konsep zuhd untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan
adalah bagian dari usaha agar Islam tidak menjadi ritual saja, melainkan mampu
mempengaruhi semangat dan psikologi pemeluknya. Islam adalah proses
ketaatan terhadap aturan Allah berkenaan dengan hubungan manusia dengan-Nya
dan hubungan antar sesama manusia, baik dalam urusan domestik, politik,
ekonomi, pendidikan, rekreasi, reproduksi, dan semua bidang yang secara
bersama-sama menopang kehidupan bermasyarakat di muka bumi ini37.

E. Kesimpulan
Tidak tepat, jika ‚Zuhd‛ disamakan artinya dengan asetisme. Melalui
kajian historis, tulisan ini menyimpulkan bahwa di antara kedua terminologi di
atas terdapat perbedaan yang mendasar. Pertama, dalam asetisme, pola hidup
‚serba kekurangan‛ menjadi satu-satunya standar, sedang dalam zuhd, hal
37

Ilyas BA-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, terj.
Hamid Basyaih, (Bandung: Penerbit Mizan, 1989), hal. 65.

14 | P a g e

tersebut hanya menjadi salah satu tanda saja; Kedua, asetisme menekankan pada
sikap seseorang menjaga jarak dari kemewahan dunia. Sedangkan zuhd
menekankan pada proses penemuan kebahagiaan sejati yang lebih tinggi dari apa
yang disediakan oleh dunia tanpa harus meninggalkannya.
Di dalam nas}-nas} keagamaan (al-Qur’an dan hadith), kata zuhd kadang
dipakai untuk merujuk makna ‚ketidak tertarikan‛ secara umum, kadang juga
digunakan untuk merujuk makna ‚ketidak tertarikan terhadap dunia‛ secara
khusus. Dunia yang dimaksud bukan hanya harta, melainkan juga keluarga,
teman, kenikmatan-kenikmatan serta cobaan-cobaan di dalamnya. Arti yang
kedua ini memiliki beberapa acuan, di antaranya: (1) tidak memperdulikan dunia
bukan berarti tidak mencari dan memilikinya, (2) mentalitas hati untuk merasa
cukup dengan apa yang dimiliki, (3) mentalitas hati untuk tidak terlalu bahagia
ataupun terlalu bersedih dengan datang dan perginya anugerah Tuhan.
Tiga hal di atas membentuk sebuah konsep mengenai zuhd yang aktif.
Artinya, mengamalkan zuhd bukan berarti bersikap pasif dan apatis terhadap
dunia, melainkan aktif untuk mencari kesejahteraan duniawi untuk tujuan
ukhrawi yang lebih mulia. Zuhd harus dikembangkan dalam masyarakat Islam di
pedesaan dalam kaitannya untuk menyadarkan bahwa ‚mencari dunia‛ bukanlah
sesuatu yang berlawanan dengan takdir, sekaligus tidak menunjukkan bahwa
seseorang tidak menyukuri apa yang telah ia miliki. Sedangkan pada masyarakat
perkotaan, konsep zuhd dikembangkan agar setiap individu merasa puas dengan
apa yang telah ia miliki dan tidak menjadikan harta dunia sebagai obsesi utama
yang justru akan menjadikannya berat menghadapi hidup.

15 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mahmud. Involusi Pendidikan Islam (Mengurai Problematika dalam

perspektif Historis- filosofis). Yogyakarta: IDEA PRESS, 2006.
Bowker, John (ed.). The Oxford Dictionary of World Religions. New York:
Oxford University Press, 1997.
CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th al-Shari>f. Global Islamic Software, 2007.
Dowling, Elizabeth M. dan W. George Scarlet (ed.), Encyclopedia of Religious

and Spiritual Development. London: Sage Publications, 2006.
DVD RoM al-Maktabah al-Sha>milah. Solo: Ridwana Press, 2007.
Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Hadi. Abdul. Zuhd dan Faqr dalam Pemikiran Hamzah Fanzsuri dan Ayatullah
Khomeini, dalam www.al-shia.org
Hastings, James. Encyclopedia of Religion and Ethnics, volume II. New York:
Morrison and Gibb Limited, tt.
Kathi>r, Isma’i>l Ibn ‘Umar Ibn. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Beirut: Da>r T}ayyibah,
1999.
Madjid, Nurcholis. Bilik – bilik Pesantren (Sebuah potret perjalanan). Jakarta :
Penerbit Paramadina, 1997.
Mand}u>r, Muh}ammad Ibn Mukrim Ibn. Lisa>n al-‘Arab. Beirut: Da>r S}a>dir, tt.
N.H.T, Siahaan. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta:
Erlangga, 2004.
Saebani, Beni Ahmad dan Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam 1. Bandung:
Pustaka Setia, 2009.
Smith, Jonathan Z. (ed,) The Harpercollins Dictionary of Religion. San
Fransisco: HarperCollins Publisher, tt.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta, Raja Grafindo Persada,
1995.
Suroyo dkk. Agama dan Kepercayaan Membawa Pembaruan. Yogyakarta:
Kanisius, 2006.

16 | P a g e

Webster, Merriam. Enclycopedia of World Religions. Springfield: MerriamWebster, 1999.
Yunus, Ilyas BA- dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat
Kontemporer, terj. Hamid Basyaih. Bandung: Penerbit Mizan, 1989.
al-Zāwi, al-Thāhir Ahmad. Tartib al-Qāmūs al-Muhith juz 2. Riyādh: Dār ‘Alam
al-Kutub, 1996.
al-Zayn, Muh}ammad Bassa>m Rushdi>. al-Mu’jam al-Mufahras li Ma’a>ni> al-Qur’a>n

al-‘Azi>m. Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir, 1995.

17 | P a g e