Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match Berbantuan Media terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V Semester II SD Negeri Munding Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 20

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1

Kajian Teori

2.1.1 Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
Ilmu Pengetahuan Alam berarti “Ilmu” tentang “Pengetahuan Alam”. Ilmu
artinya suatu pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar artinya pengetahuan
yang dibenarkan menurut tolok ukur kebenaran ilmu, yaitu rasional dan obyektif.
Rasional artinya masuk akal atau logis, diterima oleh akal sehat, sedangkan obyektif
artinya sesuai dengan objeknya, sesuai dengan kenyataannya, atau seesuai dengan
pengalaman pengamatan melalui panca indra. Pengetahuan alam artinya pengetahuan
tentang alam semesta dengan segala isinya. Adapun “pengetahuan” itu sendiri artinya
segala sesuatu yang diketahui oleh manusia. Jadi secara singkat IPA adalah
pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam semesta dengan segala isinya
(Kaligis dan Hendro, 1992: 3).
Pembelajaran IPA di SD menekankan pada pemberian pengalaman belajar baik
secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan
sikap ilmiah. Sedangkan disebutkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) 2006, Pendidikan IPA di Sekolah Dasar (SD) berupa mata pelajaran yang

mulai di ajarkan pada jenjang kelas tinggi. IPA sebagai cara mencari tahu tentang
alam secara sistematis dan bukan hanya kumpulan pengetahuan yang berupa faktafakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan proses penemuan.
Pendidikan IPA di SD dan MI diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk
mempelajari dirinya sendiri dan alam sekitarnya, serta prospek pengembangan lebih
lanjut dalam menerapkan didalam kehidupan sehari-hari.
Menurut H.W. Fowler dalam Trianto (2012: 136), IPA adalah pengetahuan
yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan
dan didasarkan terutama atas pengamatan dan dedukasi. Sedangkan Wahyana dalam
Trianto (2012: 136) mengatakan bahwa IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan

7

8

tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada
gejala-gejala alam. Perkembangannya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan
fakta, tetapi oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah.
Nash 1963 (dalam Kaligis dan Hendro, 1992: 3) menyatakan bahwa IPA adalah
suatu cara atau metode untuk mengamati alam. Nash juga menjelaskan bahwa cara
IPA mengamati dunia ini bersifat analisis, lengkap, cermat serta menghubungkannya

antara suatu fenomena dengan fenomena lain, sehingga keseluruhannya membentuk
suatu perspektif yang baru tentang objek yang diamatinya.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang hakikat IPA, dapat disimpulkan bahwa
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah suatu ilmu yang bersifat rasional dan empirik,
yang berarti IPA adalah ilmu pengetahuan yang dapat dibuktikan kebenarannya dan
dapat diperoleh melalui pengalaman. Pelajaran IPA tidak hanya di dapat melalui
membaca atau mendengarkan saja, namun pelajaran IPA berkaitan dengan penemuan
sehingga harus dilakukan oleh seseorang. Karena dengan sesorang melakukan maka
akan terjadi proses menemukan.

2.1.2 Ruang Lingkup IPA
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, menyebutkan bahwa
Ruang Lingkup Pelajaran IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut: 1)
Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan dan tumbuhan, 2)
Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaan meliputi: cair, padat dan gas, 3) Energi dan
perubahannya, meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat
sederhana, dan 4) Bumi dan alam semesta, meliputi: tanah, bumi, tata surya dan
benda-benda langit lainnya.
Ilmu pengetahuan alam (IPA) sebagai disiplin ilmu yang berhubungan dengan
mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

kumpulan pengetahuan berupa fakta, konsep atau prinsip saja, tetapi juga merupakan
suatu proses penemuan. Pengajaran IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa
untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih

9

lanjut dalam menerapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pelajaran IPA
menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan
kompetensi agar menjelajah dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pembelajaran
IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri untuk menumbuhkan kemampuan fisik,
bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting
kecakapan hidup. Oleh karena itu Pendidikan IPA menekankan pada pemberian
pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan
keterampilan proses dan sikap ilmiah.

2.1.3 Tujuan Pelajaran IPA
Tujuan mata pelajaran IPA di SD dalam kuriulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) 2006, yaitu:
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaanNya.

2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan salam kehidupan sehari-hari.
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya
hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan
masyarakat.
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan.
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga
dan melestarikan lingkungan alam.
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturan
sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7. Memperoleh bakal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar
untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTS.
Tujuan pembelajaran IPA adalah memahami konsep-konsep IPA yang terkait
dengan kehidupan sehari-hari, memiliki keterampilan proses supaya pengetahuan dan

10

gagasan tentang alam sekitar dapat berkembang, mempunyai minat untuk dapat
mengenal serta mempelajari benda-benda serta kejadian dilingkungan sekitar,

bersikap ingin tahu, kritis, dapat bekerja sama serta kreatif mampu menerapkan
konsep-konsep IPA sehingga menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan YME.

2.1.4 Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan
yang tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum KTSP
(Depdiknas, 2006) bahwa, “IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam
secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan
yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga
merupakan proses penemuan”. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi sarana bagi
peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek
pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran IPA secara khusus sebagaimana tujuan pendidikan tercantum
dalam taksonomi bloom bahwa diharapkan dapat memberikan pengetahuan
(kognitif), yang merupakan tujuan utama dari pembelajaran. Jenis pengetahuan yang
dimaksud adalah pengetahuan dasar dari prinsip dan konsep yang bermanfaat untuk
kehidupan sehari-hari. Pengetahuan secara garis besar tentang fakta yang ada di alam
untuk memahami dan memperdalam lebih lanjut, dan melihat adanya keterangan serta
keteraturannya. Di samping itu, pembelajaran IPA diharapkan pula memberikan
keterampilan (psikomotorik), kemampuan sikap ilmiah (afektif), pemahaman,

kebiasaan dan apresiasi.
Berdasarkan uraian tentang pembelajaran IPA, maka Trianto (2012: 143)
mengemukakan tentang hakikat dan tujuan pembelajaran IPA diharapkan dapat
memberikan antara lain: 1) Kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam untuk
meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2) Pengetahuan, yaitu
pengetahuan tentang dasar dari prinsip dan konsep, fakta yang ada di alam. Hubungan
saling ketergantungan, dan hubungan antara sains dan teknologi, 3) Keterampilan dan

11

kemampuan untuk menangani peralatan, memecahkan masalah dan melakukan
observasi, 4) Sikap ilmiah, antara lain skeptik, kritis, sensitive, obyektif, jujur,
terbuka, benar dan dapat bekerja sama, 5) Kebiasaan mengembangkan kemampuan
berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip sains
untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam, dan 6) Apresiatif terhadap sains dengan
menikmati dan menyadari keindahan keteraturan perilaku alam serta penerapannya
dalam teknologi.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 untuk SD/MI
dijelaskan mengenai pembelajaran IPA, yaitu:
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang

alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja
tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan
dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan
alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya
di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada
pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar
menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA
diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. BSNP
(2007: 13)
Berdasarkan pemaparan tentang pembelajaran IPA di SD, dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara
langsung. Pada prinsipnya, pembelajaran IPA harus dirancang dan dilaksanakan
sebagai cara mencari tahu dan cara mengerjakan atau melakukan yang dapat
membantu siswa memahami fenomena alam secara mendalam. Selain itu proses
belajar mengajar IPA lebih ditekankan pada pendekatan keterampilan proses,
sehingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori-teori
dan sikap ilmiah siswa itu sendiri yang akhirnya dapat berpengaruh positif terhadap
kualitas proses pendidikan maupun produk pendidikan.


12

2.2

Model Pembelajaran Kooperatif

2.2.1 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa
sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling
bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pembelajaran. Dalam
pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam
kelompok belum menguasai bahan pelajaran. (Isjoni, 2012: 12)
Rusman (2012: 202) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan
bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompokkelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam
orang dengan struktur kelompok bersifat heterogen.
Menurut Slavin (2010: 100), pembelajaran kooperatif bukan hanya sebuah
teknik pengajaran yang ditujukan untuk meningkatkan pencapaian prestasi para
siswa, ini juga merupakan cara untuk menciptakan keceriaan, lingkungan yang prososial di dalam kelas, yang merupakan salah satu manfaat penting untuk memperluas

perkembangan interpersonal dan keefektifan siswa.
Sunal dan Hans (2000) dalam Isjoni (2012: 12) mengemukakan bahwa
pembelajaran kooperatif merupakan suatu cara pendekatan atau serangkaian strategi
khusus dirancang untuk memberi dorongan kepada siswa agar bekerja sama selama
proses pembelajaran.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang pembelajaran kooperatif, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran yang
menggunakan grup kecil yang heterogen dimana siswa bekerja sama belajar satu
sama lain, berdiskusi dan saling berbagi ilmu pengetahuan, saling berkomunikasi,
saling membantu untuk memahami materi pelajaran.

13

2.2.2 Macam-macam Pembelajaran Kooperatif
Menurut Trianto (2007: 49-63) terdapat beberapa variasi model yang
dikembangkan dalam pembelajaran kooperatif, yaitu:
a. Numbered Heads Together (NHT) adalah suatu metode belajar dimana setiap
siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru
memanggil nomor dari siswa.
b. Jigsaw, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi

komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam
kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap
anggota bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik yang
ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya.
c. Model Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu tipe atau model
pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh
siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran sebagai tutor sebaya
dan mengandung unsur permainan dan reinforcement.
d. Model pembelajaran Make a Match artinya model pembelajaran mencari
pasangan. Setiap siswa mendapat sebuah kartu (bisa soal atau jawaban), lalu
secepatnya mencari pasangan yang sesuai dengan kartu yang ia pegang. Dalam
pembelajaran kooperatif tipe Make a Match siswa belajar bersama dalam satu
kelompok-kelompok kecil dan saling membantu satu sama lain.

2.2.3 Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif
Berdasarkan beberapa pengertian pembelajaran kooperatif, terlihat adanya
pergeseran peran guru yang sentral kepada peran guru yang mengelola aktifitas
belajar siswa melalui kerja sama kelompok di kelas. Hamdani (2011: 30)
mengemukakan ciri-ciri pembelajaran kooperatif antara lain: (1) setiap anggota
memiliki peran, (2) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (3) setiap

anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman
sekelompoknya, (4) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan

14

interpersonal kelompok, dan (5) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat
diperlukan.
Siswa tidak hanya belajar dari buku, namun juga dari sesama teman.
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja
mengembangkan interaksi yang saling asuh untuk menghindari ketersinggungan dan
kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan sebagai latihan hidup di
masyarakat.
Tiga konsep

sentral karakteristik pembelajaran kooperatif, sebagaimana

dikemukakan oleh Slavin (1995) dalam Isjoni (2012: 21-22), yaitu penghargaan
kelompok, pertanggungjawaban individu dan kesempatan yang sama untuk berhasil.
a. Penghargaan kelompok
Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan kelompok untuk memperoleh
penghargaan kelompok. Penghargaan ini diperoleh jika kelompok mencapai skor
di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok didasarkan pada
penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan
personal yang saling mendukung, membantu dan peduli.
b. Pertanggungjawaban individu
Keberhasilan kelompok bergantung pada pembelajaran individu dari semua
anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan aktivitas
anggota

kelompok

yang

saling

membantu

dalam

belajar.

Adanya

pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk
menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya secara mandiri tanpa bantuan teman
sekelompoknya.
c. Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan
Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skorsing yang mencakup nilai
perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang
terdahulu. Dengan menggunakan metode skorsing ini, siswa yang berprestasi
rendah, sedang atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil
dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.

15

2.2.4 Unsur Pembelajaran Kooperatif
Roger dan David Johnson (dalam Suprijono, 2009: 58) mengatakan bahwa tidak
semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil
yang maksimal, lima unsur model pembelajaran cooperative learning harus
diterapkan, yaitu: (1) Positive interdependence (saling ketergantungan positif), (2)
Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan), (3) Face to face promotive
interaction (tatap muka), (4) Interpersonal skill (komunikasi antar anggota), dan (5)
Group processing (pemrosesan kelompok).

2.2.5 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif menjadi enam langkah atau fase (Rusman,
2012: 211), yang dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Tabel 1
Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Langkah-langkah
Tingkah Laku Guru
Menyampaikan
tujuan
dan Guru menyampaikan semua tujuan
memotivasi siswa
pembelajaran yang ingin dicapai pada
pelajaran tersebut dan memotivasi siswa
belajar.
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa
dengan jalan demonstrasi atau lewat
bahan bacaan.
Mengorganisasikan siswa ke dalam Guru
menjelaskan
kepada
siswa
kelompok-kelompok belajar
bagaimana
caranya
membentuk
kelompok belajar agar melakukan transisi
secara efisien.
Membimbing kelompok bekerja dan Guru membimbing kelompok-kelompok
belajar
belajar pada saat mereka mengerjakan
tugas mereka.
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari atau masingmasing kelompok mempresentasikan
hasil kerjanya.
Memberikan penghargaan
Guru
mencari
cara-cara
untuk
menghargai baik upaya maupun hasil
belajar individu dan kelompok.

16

2.2.6 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif memiliki manfaat atau kelebihan yang sangat besar
dalam memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih mengembangkan
kemampuannya dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini dikarenakan dalam kegiatan
pembelajaran kooperatif, siswa dituntut untuk aktif dalam belajar melalui kegiatan
kerjasama dalam kelompok.
Jarolimek dan Parker (1993) dalam Isjoni (2012: 24), keunggulan yang
diperoleh dalam pembelajaran kooperatif adalah: (1) saling ketergantungan yang
positif, (2) adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu, (3) siswa
dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas, (4) suasana kelas yang rileks
dan menyenangkan, (5) terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara
siswa dengan guru, dan (6) memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan
pengalaman emosi yang menyenangkan.
Penggunaan model pembelajaran kooperatif dalam kegiatan pembelajaran di
sekolah, memiliki berbagai kelebihan atau manfaat. Kelebihan berorientasi pada
optimalnya kegiatan pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai
secara efektif melalui dukungan guru dan siswa dalam pembelajaran.
Selain kelebihannya, model pembelajaran kooperatif juga memiliki kelemahan.
Kelemahan model pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor, yaitu faktor
dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam (intern), yaitu:
(1) guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu
memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu, (2) agar proses pembelajaran
berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang
cukup memadai, (3) selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada
kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak
yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dan (4) saat diskusi kelas,
terkadang didominasi seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi
pasif.

17

Kelebihan dan kelemahan dalam penggunaan pembelajaran kooperatif sebagai
strategi mengajar guru, maka hal tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi guru
dalam penggunaannya. Namun, faktor profesionalisme guru menggunakan model
tersebut sangat menentukan dan kesadaran murid mengikuti pembelajaran melalui
strategi kelompok. Sasaran pembelajaran adalah meningkatkan kemampuan belajar
siswa sehingga penggunaan model ini akan memungkinkan siswa lebih aktif, kreatif
dan mandiri dalam belajar sesuai tuntutan materi pelajaran atau kurikulum.

2.3

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match

2.3.1 Pengertian Make a Match
Teknik belajar mengajar mencari pasangan (Make a Match) dikembangkan oleh
Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari
pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang
menyenangkan. Teknik ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk
semua tingkat usia siswa. (Lie, 2010: 55)
Menurut (Suprijono, 2010: 94) hal-hal yang perlu dipersiapkan jika
pembelajaran dikembangkan dengan Make a Match adalah kartu-kartu. Kartu-kartu
tersebut terdiri dari kartu berisi pertanyaan-pertanyaan dan kartu lainnya berisi
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

2.3.2 Langkah-langkah Pembelajaran Make a Match
Langkah-langkah Make a Match dalam proses belajar mengajar (Lie, 2010: 55),
yaitu:
1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang
mungkin cocok untuk sesi review (persiapan menjelang tes atau ujian).
2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
3. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan
kartunya.

18

4. Siswa bisa juga bergabung dengan dua atau tiga siswa lain yang memegang kartu
yang cocok.
Adapun langkah-langkah Make a Match dalam (Hanafiah dan Cucu Sahana,
2009: 46), yaitu:
1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang
cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian kartu
lainnya jawaban.
2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
3. Setiap siswa memikirkan jawaban atas soal dari kartu yang dipegang.
4. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan
kartunya (soal jawaban).
5. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.
6. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar setiap siswa mendapat kartu yang
berbeda dari sebelumnya.
7. Kesimpulan.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Make a Match
merupakan teknik mencari pasangan dimana setiap siswa menerima satu kartu. Kartu
itu bisa berisi pertanyaan, bisa berisi jawaban. Selanjutnya mereka mencari pasangan
yang cocok sesuai dengan kartu yang dipegang. Perkembangan berikutnya, para
pengguna model ini berusaha memodifikasi dan mengembangkannya sesuai dengan
kreativitas guru sehingga memotivasi siswa untuk aktif dalam proses belajar
mengajar.

2.3.3 Tujuan Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match
Menurut Slavin (Isjoni, 2011: 24) menyebutkan pembelajaran kooperatif
merupakan model pembelajaran yang telah dikenal sejak lama, dimana pada saat itu
guru mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan
tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya (peer teaching). Dalam
melakukan proses belajar mengajar guru tidak lagi mendominasi seperti lazimnya

19

pada saat ini, sehingga siswa dituntut untuk berbagi informasi dengan siswa lainnya
dan saling belajar mengajar sesama mereka. Tujuan pokok belajar kooperatif adalah
memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman
baik secara individu maupun secara kelompok. Karena siswa bekerja dalam suatu tim,
maka dengan sendirinya dapat memperbaiki hubungan di antara para siswa dari
berbagai latar belakang etnis dan kemampuan, mengembangkan keterampilanketerampilan proses kelompok dan pemecahan masalah.
Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match merupakan sebuah kelompok
strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk
mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match disusun dalam
sebuah usaha untuk meningkatkan prestasi siswa, memfasilitasi siswa dengan
pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kerjasama
berpasangan, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar
bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya. Jadi, dalam pembelajaran
kooperatif tipe Make a Match siswa berperan ganda yaitu sebagai siswa ataupun
sebagai guru. Dengan bekerja secara kolaboratif akan mengembangkan keterampilan
berhubungan dengan sesama manusia yang akan sangat bermanfaat bagi kehidupan di
luar sekolah.

2.3.4 Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match dalam
Proses Belajar Mengajar di SD
Prosedur penerapan pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dalam proses
belajar mengajar mengacu pada langkah-langkah pembelajaran Make a Match yang
dikemukakan oleh Lie (2007: 550) dan Suprijono (2009: 94). Akan tetapi, ada sedikit
penambahan dan pengurangan oleh peneliti dengan maksud menyesuaikan materi
yang akan diajarkan kepada siswa serta menyesuaikan kondisi siswa dimana baru
pertama

kalinya

mendapatkan

pembelajaran

Make

a

mempermudah guru dalam menerapkan pembelajaran tersebut.

Match

serta

untuk

20

Pada penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match, diperoleh
beberapa temuan bahwa model pembelajaran Make a Match dapat memupuk
kerjasama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang
dibagikan oleh guru kepada siswa, proses pembelajaraannyapun lebih menarik dan
nampak sebagian besar siswa lebih antusias mengikuti proses pembelajaran pada saat
siswa mencari pasangan kartunya masing-masing.

2.3.5 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a
Match
Menurut Lie (2007: 56) kelebihan dan kelemahan pembelajaran kooperatif tipe
Make a Match dalam proses belajar mengajar yaitu sebagai berikut:
Kelebihan:
a. Siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam
suasana belajar aktif dan menyenangkan.
b. Materi pembelajaran yang disampaikan lebih menarik perhatian siswa.
c. Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi.
d. Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match bisa digunakan dalam semua mata
pelajaran.
e. Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran (Let them move).
f. Kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis.
g. Munculnya dinamika gotong royong yang merata di seluruh siswa.
Kelemahan:
Disamping manfaat yang dirasakan oleh siswa, pembelajaran kooperatif tipe Make a
Match berdasarkan temuan dilapangan mempunyai sedikit kelemahan, yaitu:
a. Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan.
b. Waktu yang tersedia perlu dibatasi jangan sampai siswa terlalu banyak bermainbaim dalam proses pembelajaran.
c. Guru perlu persiapan bahan dan alat memadai.

21

d. Kelas yang gemuk (lebih dari 30 siswa/kelas) jika kurang bijaksana yang akan
muncul adalah suasana seperti pasar dengan keramaian yang tidak terkendali.
Tentu saja kondisi ini akan mengganggu ketenangan belajar kelas kiri dan
kanannya. Apalagi jika gedung kelas tidak kedap suara. Tetapi hal ini bisa
diantisipasi dengan menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan siswa
sebelum “pertunjukan” dimulai. Pada dasarnya mengendalikan kelas itu
tergantung bagaimana kita memotivasi pada langkah pembukaan.

2.4

Media Pembelajaran

2.4.1 Pengertian Media Pembelajaran
Ridha Sarwono dan Stefanus (2009: 17), media pembelajaran merupakan
seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak baik
menggunakan teknologi sederhana maupun kompleks untuk menciptakan lingkungan
atau pengalaman yang memungkinkan siswa untuk belajar sehingga tercapainya
tujuan pembelajaran.
Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan
(Sadiman, 2009: 6). Sadiman juga menjelaskan bahwa banyak batasan yang diberikan
orang tentang media, yaitu:
a. Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (Association of Education and
Communication Technology/AECT) di Amerika, membatasi media sebagai
segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan /
informasi.
b. Gagne (1970) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam
lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar.
c. Briggs (1970) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat
menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar. Buku, film, kaset, film
bingkai adalah contoh-contohnya.

22

d. Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association/ NEA) memiliki
pengertian yang berbeda yaitu media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik
cetak maupun audio visual serta peralatannya.
Media hendaknya dapat dimanipulasi, dapat dilihat, didengar, dan dibaca.
Apapun batasan yang diberikan, ada persamaan diantara batasan tersebut yaitu bahwa
media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari
pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan
minat, serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.
Secara umum media pendidikan mempunyai kegunaan untuk memperjelas
penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata-kata tertulis
atau lisan belaka); mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera; penggunaan
media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik;
dengan sifat yang unik pada tiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan dan
pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan ditentukan
sama untuk setiap siswa, maka guru banyak mengalami kesulitan bilamana semuanya
itu harus diatasi sendiri. Hal ini akan lebih sulit bila latar belakang lingkungan guru
dengan siswa juga beda. Masalah ini dapat diatasi dengan media pendidikan, yaitu
dengan kemampuannya dalam memberikan perangsang yang aman; mempersamakan
pengalaman; menimbulkan persepsi yang sama (Sadiman, 2009: 17).
Media pembelajaran yang baik dapat merangsang timbulnya proses atau dialog
mental pada diri siswa. Dengan kata lain, terjadi komunikasi antara siswa dengan
media atau secara tidak langsung tentunya antara siswa dengan penyalur pesan
(guru). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran telah terjadi.
Media tersebut berhasil menyalurkan pesan/bahan ajar apabila kemudian terjadi
perubahan tingkah laku (behavioral change) pada diri siswa (Sri Anitah, 2009: 6.6)
Jadi, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang
dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang pikiran, perasaan dan kemauan siswa
sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri siswa. Media
pembelajaran mempunyai manfaat yang besar dalam memudahkan siswa mempelajari

23

materi pelajaran. Media pembelajaran yang digunakan harus menarik perhatian siswa
pada kegiatan belajar mengajar dan lebih merangsang kegiatan belajar siswa.

2.4.2 Kegunaan Media Pembelajaran
Secara umum, media pembelajaran mempunyai kegunaan-kegunaan sebagai
berikut (Sadiman, Raharja, Haryono dan Rahadjito, 1984: 17):
a. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat versibilitas (dalam bentuk
kata-kata tertulis atau lisan belaka).
b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, seperti misalnya:
1) Objek yang terlalu besar, bisa digantikan dengan realita, gambar, film bingkai,
film atau model;
2) Objek yang kecil, dibantu dengan proyektor mikro, film bingkai, film atau
gambar;
3) Gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat, dapat dibantu dengan timelapse
atau high-speed photography;
4) Kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat
rekaman film, video, film bingkai, foto maupun secara verbal;
5) Objek yang terlalu kompleks (misalnya mesin-mesin) dapat disajikan dengan
model, diagram dan lain-lain, dan
6) Konsep yang terlalu luas (gunung berapi, gempa bumi, iklim, dan lain-lain)
dapat divisualkan dalam bentuk film, film bingkai, gambar dan lain-lain.
c. Penggunaan media pembelajaran secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi
sikap pasif siswa. Dalam hal ini media pembelajaran berguna untuk:
1) Menimbulkan kegairahan belajar;
2) Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara siswa dengan lingkungan
dan kenyataan;
3) Memungkinkan siswa belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan
minatnya.

24

d. Dengan sifat yang unik pada setiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan dan
pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan
ditentukan sama untuk semua siswa, maka guru banyak mengalami kesulitan
bilamana semuanya itu harus diatasi sendiri. Hal ini akan lebih sulit lagi bila latar
belakang lingkungan guru dengan siswa juga berbeda. Masalah ini dapat diatasi
dengan media pembelajaran, yaitu kemampuannya dalam: (1) Memberikan
perangsang yang sama; (2) Mempersamakan pengalaman; dan (3) Menimbulkan
persepsi yang sama.
Media sangat diperlukan dalam proses pembelajaran. Dalam memilih media
pembelajaran, perlu disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masingmasing. Dengan perkataan lain, media yang terbaik adalah media yang ada.

2.4.3

Jenis Media Pembelajaran
Media pembelajaran pada umumnya dapat sikelompokkan menjadi 3, yaitu

(Ridha Sarwono dan Stefanus, 2009: 31-47):
a. Media visual yaitu media yang hanya dapat dilihat dengan menggunakan indera
penglihatan. Media visual dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Non-projected visuals (media yang tidak dapat diproyeksikan). Jenis media
visual ini dalam kegiatan belajar mencakup gambar/foto, grafis (graphic) dan
media tiga dimensi.
2) Projected visual (media yang dapat diperoyeksikan). Projected visual pada
dasarnya adalah media yang menggunakan alat proyeksi sehingga gambar
ataupun tulisan nampak pada layar (screen). Media proyeksi bisa berbentuk
proyeksi diam (still picture) dan proyeksi bergerak (motion picture). Jenis alat
proyeksi yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran antara lain: Overhead
Projector (OHP), Opaque Projector dan Slide Projector.
b. Media audio adalah media yang dalam penyampaian pesan melalui auditif
(pendengaran saja) yang dapat merangsang perasaan, pikiran, kemampuan dan

25

perhatian untuk mempelajari. Jenis media audio terdiri atas program kaset suara
(audio cassette), CD audio, Lab. Bahasa dan Program Radio.
c. Media audio visual yaitu kombinasi dari media yang sudah ada, yaitu media audio
dan visual. Media audio visual merupakan media yang dapat dilihat sekaligus
didengar seperti video pendidikan, televisi pendidikan, video intruksional, televisi
intruksional, slide suara, serta CD interaktif. Dalam penemuan baru contoh media
audio visual yang dibuat dengan menggunakan komputer adalah media ulead
video editor.

2.4.4

Kriteria Pemilihan Media
Menurut Ariani dan Haryanto (2010: 146), media pembelajaran yang baik

harus memenuhi beberapa syarat. media pembelajaran harus meningkatkan motivasi
pembelajar. Penggunaan media mempunyai tujuan memberikan motivasi kepada
pembelajar. Selain itu media juga harus merangsang pembelajar mengingat apa yang
sudah dipelajari selain memberikan rangsangan belajar baru. Media yang baik juga
akan mengaktifkan pembelajar dalam memberikan tanggapan, umpan balik dan juga
mendorong siswa untuk melakukan praktik-praktik dengan benar.
Ada beberapa kriteria untuk menilai keefektifan sebuah media. Hubbard
(1993) dalam Ariani dan Haryanto (2010: 146) mengusulkan sembilan kriteria.
Kriteria pertamanya adalah biaya. Biaya memang harus dinilai dengan hasil yang
akan dicapai dengan penggunaan media itu. Kriteria lainnya adalah ketersediaan
fasilitas pendukung seperti listrik, kecocokan dengan ukuran kelas, keringkasan,
kemampuan untuk dirubah, waktu dan tenaga penyiapan, pengaruh yang ditimbulkan,
kerumitan dan yang terakhir adalah kegunaan. Semakin banyak tujuan pembelajaran
yang bisa dibantu dengan sebuah media semakin baiklah media itu.

26

2.5

Hasil Belajar
Keberhasilan pengajaran dapat dilihat dari segi hasil. Anggapan dasar ialah

proses pengajaran yang optimal memungkinkan hasil belajar yang optimal pula. Ada
korelasi antara proses pengajaran dengan hasil yang dicapai. Makin besar usaha untuk
menciptakan kondisi proses pengajaran, makin tinggi pula hasil atau produk dari
pengajaran itu.
Menurut Purwanto (2013: 38), hasil belajar merupakan proses dalam diri
individu yang berinteraksi dengan lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam
perilakunya.
Sedangkan menurut Sudjana (2011: 22), hasil belajar adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Setiap
guru pasti memiliki keinginan agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang
dibimbingnya. Karena itu, guru harus memiliki hubungan dengan siswa yang dapat
terjadi

melalui

proses

belajar

mengajar.

Setiap

proses

belajar

mengajar

keberhasilannya diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai siswa.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006: 3), hasil belajar merupakan hasil dari
suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar
diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan
berakhirnya penggal dan puncak proses belajar. Hasil belajar, untuk sebagian adalah
berkat tindak guru, suatu pencapaian tujuan pengajaran. Pada bagian lain, merupakan
peningkatan kemampuan mental siswa.
Bloom (Sudjana, 2005: 22-23) mendefinisikan hasil belajar sebagai hasil
perubahan tingkah laku yang meliputi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif
dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sintesis dan evalusi. Pengetahuan, pemahaman dan aplikasi, digolongkan
sebagai tingkat kognitif rendah. Analisis, sintesis dan evaluasi disebut sebagai tingkat
kognitif tinggi. Ranah afektif meliputi penerimaan, perhatian, penanggapan,
penyesuaian, penghargaan dan penyatuan. Ranah psikomotor meliputi peniruan,
penggunaan, ketelitian, koordinasi dan naturalisasi.

27

Maka dapat ditegaskan bahwa salah satu fungsi belajar siswa diantaranya ialah
siswa dapat mencapai prestasi yang maksimal sesuai dengan kapasitas yang mereka
miliki, serta siswa dapat mengatasi berbagai macam kesulitan belajar yang mereka
alami. Aktifitas siswa mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses belajar
mengajar, tanpa adanya aktifitas siswa maka proses belajar mengajar tidak akan
belajar dengan baik, akibatnya hasil belajar yang dicapai siswa rendah. Untuk
mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar siswa digunakan alat penilaian
untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan tercapai atau tidak. Hasil
belajar yang berupa aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotik menggunakan
alat penilaian yang berbeda-beda. Untuk aspek kognitif digunakan alat penilaian
berupa tes, sedangkan untuk aspek afektif digunakan alat penilaian yaitu skala sikap
(ceklist) untuk mengetahui sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran dan aspek
psikomotorik digunakan lembar observasi.
Berdasarkan uraian tentang hasil belajar dapat disimpulkan hasil belajar
merupakan hasil akhir proses kegiatan belajar siswa dari seluruh kegiatan siswa
dalam mengikuti pembelajaran di kelas dan menerima suatu pelajaran untuk
mencapai kompetensi yang berupa aspek kognitif yang diungkapkan dengan
menggunakan suatu alat penilaian yaitu tes evaluasi dengan hasil yang dinyatakan
dalam bentuk nilai, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti
pembelajaran dan aspek psikomotorik yang menunjukkan keterampilan dan
kemampuan bertindak siswa dalam mengikuti pmbelajaran.

2.6

Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Nofiyanto (2013) dengan judul “Pengaruh

Penggunaan Metode Pembelajaran Make a Match Terhadap Hasil Belajar IPA pada
Siswa Kelas 5 SD Di Kecamatan Pagetan Kabupaten Banjarnegara Semester 2 Tahun
Ajara 2012/2013”, menyimpulkan bahwa ada pengaruh penggunaan metode
pembelajaran Make a Match dalam pembelajaran IPA pada siswa kelas 5 SD Di
Kecamatan Pagetan Kabupaten Banjarnegara Semester 2 Tahun Ajaran 2012/2013.

28

Terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara siswa kelas 5 SD Negeri 2 Babadan dan
SD Negeri 1 Babadan. Setelah diberikan perlakuan (treatment) dengan menggunakan
metode pembelajaran Make a Match dan metode konvensional ditemukan bahwa nilai
t hitung 8,041 dengan signifikansi (0,000 0,05 maka H0 dan Ha
diterima. Jika mean kelompok eksperimen lebih tinggi maka perlakuan memberikan
pengaruh terhadap hasil belajar dibanding dengan kelompok kontrol. Dari analisis
tersebut dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan pengaruh antara penggunaan Make
a Match berbantuan gambar dengan pembelajaran konvensional berbantuan gambar
terhadap hasil belajar IPA pada siswa kelas 5 Gugus Wisanggeeni Kecamatan
Susukan Kabupaten Semarang 2 Tahun Ajaran 2012/2013.

29

Dari beberapa hasil penelitian yang sudah dijelaskan, menunjukkan bahwa
pemberian perlakuan (treatment) pembelajaran yang efektif dan penggunaan model
pembelajaran yang sesuai dapat meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar.
Pada penelitian ini peneliti menekankan pada pembelajaran IPA dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif Make a Match berbantuan media.

2.7

Kerangka Berpikir
Pada umumnya pembelajaran IPA di Sekolah Dasar masih menggunakan model

pembelajaran yang konvensional, dimana kegiatan pembelajaran masih berpusat pada
guru. Peran guru masih sebagai sumber belajar yang ada didalam kelas, sehingga
siswa hanya mendengarkan penjelasan dari guru. Bahkan peran siswa didalam kelas
cenderung pasif, serta siswa kurang berminat mempelajari materi yang disajikan oleh
guru. Terbukti dalam pembelajaran konvensional, hasil belajar IPA siswa kelas V
tidak merata dan masih banyak siswa yang memperoleh nilai dibawah KKM.
Salah satu faktor yang berpengaruh dalam hasil belajar adalah faktor model dan
media pembelajaran yang digunakan yang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
Pemilihan model dan media pembelajaran sangat penting dalam keberhasilan
seseorang dalam belajar. Pada model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match
berbantuan media terjadi kesepakatan antara siswa tentang aturan-aturan dalam
berkolaborasi. Masalah yang dipecahkan bersama akan disimpulkan bersama. Peran
guru hanya sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
Dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan hasil belajar antara kelas
eksperimen yang diberikan perlakuan (treatment) dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dan kelas kontrol yang menggunakan
pembelajaran biasa (konvensional). Jika hasil belajar IPA siswa kelas eksperimen
lebih tinggi daripada siswa kelas kontrol, maka model pembelajaran kooperatif tipe
Make a Match memberikan pengaruh terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V. Untuk

30

mengetahui langkah pembelajaran pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka
dapat digambarkan bagan kerangka berpikir sebagai berikut:

31

Kelas Kontrol

Pretest

Pembelajaran
Konvensional

Posttest

Hasil Belajar
IPA

Hasil Pretest
tidak ada
perbedaan yang
signifikan
Pembelajaran dengan menggunakan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Make a Match Berbantuan Media

Kelas
Eksperimen

Pretest

1. Pembagian
kartu
berupa
pertanyaan dan jawaban
2. Pembagian kelompok
3. Siswa mendiskusikan kartu yang
sudah
didapat
bersama
kelompoknya
4. Siswa mencari pasangan kartu
berdasarkan kartu yang didapat
5. Siswa presentasi dan menempel
kartu
6. Pembahasan
7. Kesimpulan

Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir

Posttest

32

2.8

Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian,

dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat
pertanyaan (Sugiyono, 2010: 84). Peneliti mengemukakan hipotesis penelitian yaitu
terdapat perbedaan pada hasil belajar IPA yang menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Make a Match sebagai berikut:
H0 = tidak ada perbedaan pengaruh antara penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe Make a Match berbantuan media dengan pembelajaran
konvensional terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V semester II SD Negeri
Munding Kabupaten Semarang tahun pelajaran 2014/2015.
Ha = ada perbedaan pengaruh antara penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe
Make a Match berbantuan media dengan pembelajaran konvensional terhadap
hasil belajar IPA siswa kelas V semester II SD Negeri Munding Kabupaten
Semarang tahun pelajaran 2014/2015.

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

A DESCRIPTIVE STUDY ON THE TENTH YEAR STUDENTS’ RECOUNT TEXT WRITING ABILITY AT MAN 2 SITUBONDO IN THE 2012/2013 ACADEMIC YEAR

5 197 17

A DISCOURSE ANALYSIS ON “SPA: REGAIN BALANCE OF YOUR INNER AND OUTER BEAUTY” IN THE JAKARTA POST ON 4 MARCH 2011

9 161 13