ARSITEKTUR KOLONIAL KARYA C.P. WOLF SCHO

ARSITEKTUR KOLONIAL KARYA C.P. WOLF
SCHOEMAKER SEBAGAI AKULTURASI ARSITEKTUR
BARAT DAN BUDAYA JAWA
Lano Hapia Penta

ABSTRAK
Pada masa kolonial di Indonesia banyak dibangun gedung – gedung yang
berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pusat aktivitas warga Belanda, rumah
tinggal, dan fasilitas lainnya di bumi Nusantara. Dalam tulisan ini akan dibahas
karya arsitektur kolonial di kota Bandung yang dirancang oleh Charles Prosfer
Wolf Schoemaker, seorang arsitek Belanda yang lahir di Pulau Jawa, mencintai
filosofi Jawa, tetapi mengenyam pendidikan arsitektur modern hingga ke Amerika
dan pernah berguru kepada Frank Loyd Wright. Karya arsitektur CP. Wolf
Schoemaker ini sangat kental dengan perpaduan gaya arsitektur modern barat
tetapi terpengaruh juga oleh arsitektur dan budaya lokal dimana bangunan tersebut
berdiri.

1. PENDAHULUAN
Perkembangan perancangan arsitektur sejak jama pra-kalsik hingga masa
post-modern selalu memperlihatkan pergeseran nilai dan esensi terhadap cara
pandang dan teorinya, pergeseran ini dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan

peradabaan manusia. Pada masa arsitektur klasik eropa (barat) paradigm arsitektur
ditik-beratkan kepada estetika/ keindahan bangunan. Proporsi, simetri, geometri
dan ornamentasi merupakan sasaran esensial dalam konsepnya, sedangkan aspek
struktur dan fungsi berperan minor (Wahid dan Alamsyah 2013).
Perancangan arstektur modern di barat banyak mempengaruhi arsitek –
arsitek pada masa kolonial yang berkarya di Indonesia, terdapat pertentangan –
pertentangan antara arsitek tersebut dimana ada tokoh yang mengagungkan gaya

arsitektur modern barat dan menganggap remeh arsitektur nusantara, ada tokoh
yang sebaliknya mengganpa arsitketur nusantara sebagai sesuatu kekayaan yang
menambah khasanah ilmu arsitektur, dan ada tokoh yang menenghai keduanya.
Arsitektur modern barat yang memiliki cara pandang yang berbeda dengan
arsitektur timur khususnya Nusantara membuat suatu pertentangan ideologis dan
pemaknaan yang berbeda terhadap suatu bangunan. Dasar berfikir barat yang
senantiasa sesuatu selalu dikaitkan dengan logika, dimana para arsitek barat
melihat arsitektur sebagai suatu gejala obyek yang diamati dalam pola pikir
logika. Teori arsitektur modern barat ini mungkin tidak akan sesuai untuk
mengkaji hasil –hasil dari arsitektur nusantara yang berakar mistis atau kosnep
kosmologi dan proses penciptaanya.
Cara pandang yang berbeda antara Barat dan Timur ini menjadi suatu nilai

lebih dari arsitek Schoemaker dalam mengakomodir kearifan lokal dalam berbagai
karyanya. Schoemaker, seorang arsitek yang memiliki filosofi Jawa dan berprofesi
juga sebagai seniman patung dan lukis ini, dalam konsep perancangan karyanya
sangat mungkin untuk mengaitkan segala filosofi dan kosmologi lokal kedalam
karyanya yang bernuansa modern.

2.

AKULTURASI ARSITEKTUR BARAT DENGAN TEORI
KOSMOLOGI DAN BUDAYA JAWA

Paradigma Arsitektur Barat
Cara dan pola berfikir perancangan di dunia barat pada jaman klasik eropa
lebih pada estetika bangunan yang terbentuk dari proporsi, simetri, geometrid an
ornamentasi. Kemudian pada era modern dengan pengaruh revolusi industri dan
pola fikir religious mulai ditinggalkan, titik berat teori perancangan lebih kepada
logika dan rasionalitas, dimana ditemukannya teknologi baru dala struktur dan
material menjadikan ekspersi estetika yang berbeda dengan jaman klasik.
Arsitektur modern barat yang merupakan penentangan terhadap gaya
arsitektur klasik eropa berkembang di nusantara dibawa oleh arsitek-arsitek


Belanda pada masa kolonial. Arsitektur modern yang berkembang adalah gaya
Streamline, art deco.

Paradigma Kosmologi dan Budaya Jawa
Kosmologi menyelidiki dunia sebagai suatu keseluruhan menurut
dasarnya. Kosmologi bertitik pangkal pada pengalaman mengenal gejal-gejala
dana data-data. Akan teteapi gejala-gejala dan data-data itu tidak ditangkap dalam
kekhususannya, tetapi langsung dipahami menurut intinya dan menurut tempatnya
dalam keseluruhan dunia (Bakker 1995).
Di Jawa adanya tuntutan keagamaan dan mistis yang menjadi asas hidup
masyarakatnya yang menyembah kosmos sebagai sesuatu yang maha memberikan
paradigm dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam membangun suatu karya
arsitektur. Penghayatan terhadap suatu ‘pusat dunia’ atau poros, axis mundi
merupakan penghayatan terdala dari manusia Jawa. Manusia tidak dapat hidup
dalam angkasa kosong atau ruang homogeny, seolah-olah segala titik dan arah itu
sama saja, ia membutuhkan orientasi, pengkiblatan diri (Mangunwijaya 1988).
Konsep kosmologi ini yang tercermin pada budaya Jawa di terapakan juga
dalam perancangan arsitektur mereka, mulai dari rumah peribadatan, istana, dan
tempat tinggal sebagai satu kesatuan kosmos. Dalam filosofi Jawa ini dikenal

alam raya beserta isinya sebagai makro kosmos dan rumah tinggal beserta isinya
sebagai mikro kosmos.

Arsitektur Kolonial Karya Arsitektur CP. Wolf Schoemaker di Bandung
Arsitektur kolonial adalah sebutan singkat untuk langgam arsitektur yang
berkembang selama masa pendudukan Belanda di tanah air yang hadir melalui
karya arsitek Belanda dan diperuntukkan bagi bangsa Belanda yang tinggal di
Indonesia. Pada masa tersebut para arsitek Belanda banyak membawa serta
pengaruh-pengaruh langgam arsitektur yang saat itu sedang berkembang di benua
Eropa, dan meninggalkan jejak aneka konsep dengan keistimewaan tersendiri baik
dari wujud maupun nilai sejarahnya. Arsitektur kolonial juga menyimpan sebuah
tantangan untuk dipahami secara lebih dalam baik konsep maupun gaya
bangunannya

Arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya
barat dan timur, yang memiliki ciri-ciri spesifik sebagai hasil kompromi dari
arsitektur modern yang berkembang di Belanda dengan arsitektur Indonesia
karena budaya dan kondisi iklim yang berbeda jauh dari kedua negara tersebut
(Handinoto 1996)
Ir.Charles Prosper Wolff Schoemaker, pria kelahiran Banyubiru, 1882 ini

memulai karir di militer sebagai insinyur. Schoemaker kemudian bergabung
dengan Algemeen Ingenieur Architectenbureau, dan bekerja di Bandung.
Karyanya antara lain bangunan-bangunan yang menjadi ikon kota Bandung,
seperti Gedung Asia Afrika, Villa Isola, Aula Barat - Timur ITB, Gedung PLN,
Gereja Kathedral di Jln. Merdeka, Gereja Bethel di Jln. Wastukencana, Masjid
Cipaganti, Bioskop Majestic, Villa Merah, dan Hotel Preanger. Tahun 1922,
Schoemaker diangkat sebagai profesor Technische Hogeschool Bandoeng
(disingkat TH, sekarang menjadi ITB-red) dengan salah satu mahasiswanya yaitu
Ir. Soekarno. Selama hidupnya, beliau banyak melakukan penelitian ilmiah
terhadap karya-karya arsitektur vernakular di Jawa. Beliau juga pernah menimba
ilmu arsitektur di Amerika Serikat dari Frank Lyoid Wright, salah satu arsitek
ternama di dunia. Schoemaker meninggal pada 1949 dan dimakamkan di Ereveld
Pandu, Bandung (www.itb.ac.id 2009).
Dalam rancangannya, Schoemaker berupaya memadukan unsur budaya
timur dan barat dalam desainnya. Budaya timur sangat terlihat dari bentuk atap
yang dominan seperti rumah-rumah tradisional Indonesia dengan kemiringan yang
tinggi, serta material pada atap (sirap) dan dinding (batu bata), pada bangunan
villa mrah di Jl. Tamansari. Bangunan ini sekarang digunakan sebagai kantor
Satuan Kekayaan dan Dana serta Ikatan Alumni ITB.


Gambar 01. Villa Merah
Sumber: www.arsitekturbandung.blogspot.com
Dalam perancangannya Schoemaker selalu mengetengahkan aspek budaya
timur atau lokal dalam perancangannya, seperti halnya selalu memakai atap
yang menjulang tinggi seperti rumah – rumah tradisional Indonesia. Selain
itu kosmologi Jawa yang mempengaruhi Schoemaker dalam perancangan
karyanya terlihat pada bangunan Villa Isola yang beroirentasi kepada
gunung Tangkuban Parahu. Schoemaker menerapkan filsafat landscape
tradisional Jawa, yaitu bangunan dan lingkungan memiliki orientasi kosmis
ke arah sesuatu yang dianggap sakral. Gunung tersebut merupakan elemen
sakral dalam kepercayaan masyarakat Sunda.

Gambar 02. Villa Isola
Sumber : www.belajarbahasadisini.blogspot.com

KESIMPULAN
Arsitektur sebagai karya fisik dari budaya terus berkembang mengikuti
pola berfikir manusia yang terus berubah. Setiap masa perkembangan budaya
manusia selalu menghasilkan karya atau artifak arsitektur yang sesuai dengan
masanya. Begitu pula di Nusantara, perkembangan arsitektur modern yang masuk

pada masa kolonialisme menjadi suatu tolok ukur penggayaan baru dalam
perjalanan arsitektur di Indonesia, yang terlebih dahulu telah memiliki budaya
kosmologis yang tinggi.
Pasa mada perkembangan arsitektur modern di Indonesia ini dipengaruhi
oleh local genius yang telah ada sehingga menghasilkan karya arsitektur terendiri
yang khas dan penuh makna. Karya arsitektur modern yang biasanya lebih
termaknai secara denotasi saja tidak terjadi pada karya-karya CPW Schoemaker.
Beliau berhasil memadukan kedua budaya timur dan barat tersebut menjadi suatu
karya arsitektur modern tetap tetap penuh makna denotasi lokal yang terkandung
didalamnya.

DAFTAR PUSTAKA
Harimu, A. (2012), “Tipologi Wajah Bangunan Arsitektur Kolonial Belanda Di
Kawasan Pabrik Gula Semboro-Jember”, (Online), ARSKON, Jurnal
Arsitektur & Konstruksi,
(https://www.academia.edu/7026799/Tipologi_Wajah_Bangunan_Arsitektu
r_Kolonial_Belanda_di_Kawasan_Pabrik_Gula_Semboro-Jember, diakses
20 Maret 2015)
Kania. (2009), “Menelusuri Jejak Karya Schoemaker; sang Arsitek Bandung”,
(Online) News, (http://www.itb.ac.id/news/2586.xhtml, diakses 20 Maret

2015)
Sopandi, Setiadi. Sejarah Arsitektur Sebuah Pengantar. (2013). UPH Press, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Widagdo. Desain dan Kebudayaan. (2015). Penerbit ITB, Bandung
Wahid, J., Alamsyah, B. (2013). Teori Arsitektur Suatu Kajian Perbedaan
Pemahaman Teori Barat dan Timur. Cetakan Pertama. Graha Ilmu,
Yogyakarta