makalah sistem pendidikan sosial budaya

1

MAKALAH
KAJIAN KONDISI DAN NILAI SOSIAL BUDAYA PENDIDIKAN, SERTA
PENDEKTAN HOLISTIK INTEGRALISTIK FUTURISTIK DALAM MEMECAHKAN
MASALAH PENDIDIKAN

Disusun Oleh:

C A H Y O N O, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

2015 - 2016

2

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan sarana utama untuk mensukseskan pembangunan nasional,
karena dengan pendidikan diharapkan dapat mencetak sumber daya manusia berkualitas yang
dibutuhkan dalam pembangunan. Titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada
peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan serta perluasan kesempatan belajar
pada jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Pendidikan juga merupakan hal
mutlak yang harus dipenuhi dalam upaya meningkatkan taraf hidup suatu bangsa agar tidak
sampai menjadi bangsa yang terbelakang dan tertinggal dengan bangsa lain.
Berbicara tentang konsep pendidikan saat ini, bahwasanya pendidikan itu ada dan
hidup dan berkembang di dalam masyarakat, maka keduanya memiliki hubungan
ketergantungan yang sangat erat. Pendidikan mengabdi kepada masyarakat dan masyarakat
menjadi semakin berkembang dan maju melalui pendidikan. Pendidikan adalah sebuah
proses pematangan dan pendewasaan masyarakat. Maka lembaga-lembaga pendidikan harus
memahami perannya tidak sekadar menjual jasa tetapi memiliki tugas mendasar memformat
Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. Hal ini senada apa yang dikatakan oleh
Suwarma, (2001:39), bahwa pendidikan nasional kita masih dihadapkan pada beberapa
masalah, antara lain: peningkatan kualitas proses dan hasil, terbatasnya dana yang tersedia
dan belum tergalinya sumber dana dari masyarakat secara professional. sesuai dengan prinsip
pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang
tua.

Sementara itu, pendidikan masih terus bergelut dengan semakin menguatnya
pendekatan kuantitas sebagai dampak dari upaya memberikan tempat kepada prinsip
demokratisasi pendidikan. Disisi lain, masalah kesempatan memperoleh pendidikan lebih
memiliki kekuatan politis untuk menyita perhatian para pengambil keputusan dalam
pendidikan. Dampaknya, menambah beban kerumitan dalam usaha meningkatkan mutu
pendidikan dan peningkatan kualitas manusia Indonesia.
Peningkatan kualitas manusia Indonesia berkaitan erat dalam masalah budaya bangsa,
dimana pendidikan yang merupakan bagian integral yang memiliki peran strategis dalam
usaha tersebut. Manusia Indonesia harus mampu mengembangkan kualitasnya, sesuai dengan
gerak perkembangan masyarakat yang bersifat dinamis, yang menantang manusia serupa
tetap survive, memiliki daya tahan dalam mempertahankan eksistensinya sebagai khalifah di
muka bumi.
Kulitas manusia Indonesia dalam menyongsong tahun 2020 harus dan diantisipasi
kadar kualitasnya, dimana dalam era abad informasi modern ini diperlukan manusia yang
canggih dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Maka pendidikan harus bisa
tanggap terhadap tuntutan ini, apabila pendidikan mau memelihara eksistensinya sebagai
“ilmu” yang mampu memecahkan berbagai fenomena pendidikan.
Untuk dapat berperan secara optimal, pendidikan harus mampu menata dirinya,
menunjukkan keterbukaan untuk menerima masukan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan


3

dan teknologi, harus bisa menempatkan fenomena pendidikan sebagai masalah social yang
merupakan tanggung jawab semua pihak.
Masalah pendidikan amat luas jikalau kita pikirkan, menyangkut berbagai aspek
kehidupan, tidak hanya dibtasi dalam kelas saja, bukan persoalan proses belajar mengajar
semata, oleh karena itu diperlukan berpikir holistic integralistik futuris dalam memecahkan
masalah-masalah pendidikan itu. Kontribusi intervensi berbagai disiplin ilmu-ilmu social
yang diperlukan, untuk memecahkan masalah pendidikan dalam menyongsong pembentukan
kulitas manusia Indonesia, harus sesuai dengan tuntutan perubahan masyarakat.
Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan di atas, maka untuk lebih mempertegas
masalah yang akan dikaji dan memperjelas lebih mendalam lagi mengenai kondisi dan nilai
social budaya pendidikan, dan pendekatan holistik integralistik futuristik dalam memecahkan
masalah pendidikan, di bawah ini di rumuskan satu persatu permasalahan yang akan di bahas
pada bab berikutnya, yaitu:
1. Bagaimana masalah pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia
2. Bagaimana peluang dan tantangan pendidikan
3. Bagaimana implikasi peluang dan tantangan pendidikan terhadap lembaga pendidikan
tenaga kependidikan (LPTK)
4. Seperti apa kondisi dan nilai social budaya pendidikan ilmu pengetahuan social (IPS)

dalam pembangunan nasional
5. Bagaimana tantangan dan peluang bagi pendidikan ilmu pengetahuan social (PIPS)
6. Apa saja implikasi social budaya terhadap pendidikan ilmu pengetahuan social
7. Bagaimana pendekatan integralistik dan futuristic dalam memecahkan masalah
pendidikan
8. Bagaimana data empirik tentang kualitas manusia Indonesia dan pendidikan
B. Identitas buku
1. Judul Buku

: Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya

2. Pengarang

: Prof. Dr. Suwarma Al Muchtar, SH.,M.Pd

3. Penerbit

: Gelar Pustaka Mandiri, Bandung

4. Konsentrasi Ulasan


: Bab 3 dan Bab 4 (Hal. 39-57)

5. Perihal : Kondisi dan Nilai Sosial Budaya Pendidikan (bab 3), dan Pendekatan Holistik
Integralistik Futuristik Dalam Memecahkan Masalah Pendidikan

4

BAB II
Kondisi dan Nilai Sosial Budaya Pendidikan
dan
Pendekatan Holistik Integralistik Futuristik Dalam Memecahkan Masalah Pendidikan
A. Pendidikan dan Sumber Daya Manusia
Pembicaraan tentang sumber daya manusia senantiasa diorientasikan dalam pemikiran
ekonomi yang menempatkan manusia sebagai faktor produksi, sehingga sering terperangkap
pada upaya memperkecil peran dan potensi menusia sebagai subyek seutuhnya. berkaitan dengan
pendidikan, sumber daya manusia mesti ditempatkan dalam pemikiran manusia sebagai subjek
pendidikan yang seutuhnya memiliki potensi untuk mandiri dan berkembang sesuai dengan
kodrat dan lingkungannya.
Kaitannya dengan peran pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia, kiranya

perlu diantisipasi masalah demografi. Muncul pemikiran para pakar yang memperkirakan bahwa
menjelang abad ke 21 penduduk Indonesia akan mencapai sekitar 250 juta orang lebih. Kondisi
jumlah seperti ini akan melahirkan empat masalah utama; pangan, lapangan kerja, urbanisasi,
tata ruang dan mutu lingkungan hidup. Para pakar ekonomi dan manajemen mengisyaratkan
bahwa yang di-pandang strategis adalah usaha peningkatan produktivitas sistem nasional,
seyogyanya mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan nasional. Jika hal ini dilakukan
akan memiliki dampak positif ke berbagai sektor dan dimensi kehidupan bangsa.
Di lain pihak perlu disadari bahwa keberhasilan produktivitas sistem nasional ditentukan
oleh kualitas sumber daya manusianya yang diakui bahwa pendidikan merupakan wahana dan
aset sosial yang dapat meningkatkan kualitas tersebut. Konsekuensinya, pendidikan tidak hanya
terbatas pada proses pendidikan sekolah akan tetapi posisi dan perannya akan semakin meluas
menjadi kekuatan sosial budaya.
Pentingnya peran pendidikan dan ilmu pendidikan dalam meningkatkan sumber daya
manusia (SDM). Dimana kehidupan manusia makin diwarnai oleh menguatnya hidup kompetitif,
dimana kemampuan kompetitif ini merupakan tuntutan bagi pengembangan kualitas. Pendidikan
jelas tidak hanya sekedar mengajarkan atau menjejalkan informasi, akan tetapi pendidikan
merupakan tranformasi kualitas personal dan kehidupan social budaya. Pendidikan yang
merupakan pencurahan informasi, tanpa mengembangkan potensi berpikir peserta didik, akan
menjadi sumber daya manusia berkualitas yang tidak mampu berkompetitif.
B. Peluang dan Tantangan Pendidikan

Pendidikan memiliki banyak peluang untuk menciptakan kondisi berkembangnya potensi
manusia, untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, pengetahuan, keterampilan dan
kemampuan etos kerja dalam kerangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Peran pendidikan dan ilmu pendidikan seyogyanya tertata dalam proses pembangunan
nasional. Kecenderungan menunjukkan titik berat pembangunan dalam bidang pendidikan lebih
diarahkan kepada peningkatan mutu pada semua jenjang pendidikan dan memperluas
kesempatan pendidikan; terutama pada Sekolah Tingkat Lanjutan Pertama (SLTP). Pendekatan
kualitas dan kuantitas sering menimbulkan pemikiran dilematis karena dalam memecahkan
pengambilan keputusan dihadapkan kepada dua pilihan kebijakan yang keduanya penting tetapi

5

karena keterbatasan sumber daya (dana, tenaga, dan waktu) dan kendala lain, kedua pilihan itu
tidak menggembirakan. Kiranya sulit dihindari bahwa kondisi dan posisi seperti ini merupakan
salah satu kelemahan pendidikan sekolah sekarang ini, sementara itu peningkatan kualitas
sumber daya manusia menyongsong abad ke-21 yang membawa tuntutan kualitas SDM semakin
meningkat merupakan tantangan.
Kemudian persoalan pendidikan nasional dalam peningkatakan sumber daya manusia
tidak hanya terperangkap oleh peningkatan mutu dan memperluas kesempatan, akan tetapi juga
terperangkap oleh pemikiran, yang memperkecil arti pendidikan dalam formalistik persekolahan

yang nantinya akan mempersempit peran pendidikan juga memperckecil makna pendidikan.
C. Implikasi terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
Peluang dan tantangan dalam usaha memerankan pendidikan dan ilmu pendidikan dalam
dalam meningkatkan sumber daya manusia seperti dikemukakan di atas, berdampak terhadap
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) serta nilai sosial tenaga kependidikan
dewasa ini. Salah satu dampaknya LPTK lebih terkesan sebagai lembaga yang mempersiapkan
“Guru” persekolahan, ketimbang tenaga kependidikan dalam arti luas, yang secara sosiologis
menempatkan lapangan kerja lulusan LPTK “dibatasi” pada jalur persekolahan. Kondisi ini
makin memperkuat berbagai pihak untuk tidak menerima lulusan lembaga ini, walaupun
sebenarnya mereka memerlukan jasa pendidikan dalam rangka peningkatkan sumber daya
manusia melalui DIKLAT pada lembaga atau perusahaan mereka. Kondisi ini cenderung
menguat dengan adanya berbagai kebijakan yang telah diformalkan masih dirasakan amat
membatasi mobilitas SDM lulusan LPTK.
Kiranya sulit disangkal bahwa semakin berkurangnya minat calon mahasiswa untuk
LPTK ada kaitannya dengan kondisi tersebut, ditambah dengan jaminan kesejahteraan guru
belum menggembirakan, dibanding dengan tenaga pada lapangan lain. Sementara itu peran
LPTK dalam pendekatan kuantitas untuk memenuhi kebutuhan guru, lebih menonjol perannya
sebagai lembaga pemasok ketimbang sebagai pengembang dan pendukung ilmu pengetahuan.
Kiranya LPTK sebagai subsistem dari pendidikan nasional masih juga dihadapkan pada
pemikiran dilematis kuantitas dan kualitas yang sulit berkelit dari beban perekayasaan

sentralistik dalam kebijakan akademiknya.
D. Mengamati Kondisi dan Nilai Sosial Budaya Pendidikan IPS
Penghargaan yang “berlebih” terhadap pendidikan MIPA dan kurang memberikan arti
penting terhadap non-MIPA. Demikian pula proses pendidikan masih lemah karena orientasi
pada hasil pendidikan seperti dikemukakan di atas. Pendidikan masih dirasakan kurang
penyentuh aspek nilai dan moral sosial. Menguatnya orientasi nilai ini mempengaruhi sementara
para pengambil keputusan pendidikan kurang memberikan perhatian terhadap pendidikan ilmu
sosial dan humaniora. Hingga saat sekarang orientasi ini masih menguat bahkan terus akan
dilanjutkan dan hali ini dirasakan terhadap bidang ilmu pengetahuan social.
Nilai social pendidikan IPS dapat dilihat dari nilai, sementara orang tua cenderung untuk
memaksakan anaknya belajar di program pendidikan IPA di SMU. Siswa sangat bangga apabila
ia berada pada bidang ini, dan menganggap remeh atau menganggap rendah kualitas siswa yang
berada di bidang IPS.

6

E. Tantangan dan Peluang Bagi Pendidikan IPS
Pendidikan IPS dihadapkan kepada tantangan untuk berperan dalam meningkatkan
kemampuan dan optimalisasi potensi berpikir, untuk itu perlu ditransformasikan dari pelajaran
yang hanya dipandang hapalan kepada pelajaran yang mampu mempertajam potensi berpikir dan

memperluas cakrawala pemikiran peserta didik. Dalam kaitan ini, pendidikan IPS perlu
ditingkatkan

kualitasnya,

dengan

mengfungsionalkan

pendidikan

ini

sebagai

media

pengembangan kemampuan berpikir, sekaligus memperkuat apresiasi dan pemilikan nilai-nilai
yang tumbuh dna berkembang dalam masyarakat.
Peluang ini makin tampak dengan perkembangan IPTEKS, terutama dalam system

komunikasi informasi, lingkungan social budaya menjadi lebih terbuka, memungkinkan peserta
didik berinterkasi lebih terbuka. Sehingga pendidikan IPS bisa menjadi sebuah kebutuhan khusus
bagi siswa. Pendidikan IPS perlu diintergrasikan dengan pendidikan luar sekolah agar lebih
mengembangkan wawasan dan pemikirannya.
F. Implikasi Sosial Budaya dan Pendidikan
Pendidikan nasional masih diwarnai oleh pemikiran dilematis antara kuantitas dan
kualitas pendidikan, memunculkan tantangan bagaimana menjadikan dua sisi tersebut menjadi
kekuatan dalam menggali sumber daya pendidikan. Terbatasnya dana dan tenaga pendidikan
yang tersedia dihadapkan kepada masalah peningkatan mutu dan kesempatan belajar. Menuntut
penggalian sumber daya pendidikan yang terdapat dalam masyarakat dengan konsep pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama. Disamping itu menempatkan pendidikan tidak terbatas
dalam pemikiran formalistik persekolahan. Sementara itu perlu adanya reposisi pendidikan
termasuk pendidikan IPS dijadikan titik orentasi pengembangan, Maka pendidikan akan lebih
berperan dalam mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul untuk mendukung
tumbuh berkembangnya teknologi social dan system social.
G. Pendekatan Integralistik dan Futuristik
Pendekatan integralistik menempatkan masalah pendidikan merupakan bagian integral
dari masalah social budaya, konsekuensinya keharusan menggunakan pendekatan interdisipliner
dan multi disiplin dalam menganalisa masalah sosial. Pendekatan futuris, pendekatan yang
mengantisipasi pendidikan menjorok kepada masa mendatang, pendekatan pemecahan masalah
pendidikan didasarkan atas antisipasi perubahan social. Menurut Tilaar (1967), futurisme lahir
dikarenakan oleh adanya dua jenis keresahan menganalisis pendidikan dewasa ini: pendekatan
tidak mengantisipasi perubahan social yang bakal terjadi, isi kurikulum terutama diarahkan
kepada masyarakat sekarang, yang mengakibatkan pendidikan itu steril terhadap masa depan dan
terpaku terhadap kebutuhan jangka pendek. Menurut Tilaar, sikap ini tidak lain membuka jalan
kearah katasropi, dan dengan demikian pendidikan telah kehilangan “nilai moralnya”. Tanpa
dilakukan pendekatan ini, pendidikan tidak akan mampu memecahkan persoalannya secara
tuntas dan akan timbul kembali masalah yang lebih serius dalam waktu yang sangat singkat.
Dalam menyongsong era informasi modern, kualitas manusia yang menurut Soepardjo
Adikusumo ditandai dengan informational capability, analytical capability, dan scanning

7

capability, pendidikan harus mampu memunculkan ketiga kemampuan tersebut. Untuk itu
pendidikan harus mampu memberikan kemudahan memperoleh informasi, menganalisis
informasi, dan mendayagunakannya untuk memecahkan masalah kehidupan.
H. Data empirik tentang kualitas manusia Indonesia dan Pendidikan
Manusia Indonesia lebih mengutamakan ijazah (hasil) daripada kemampuan, sejalan
dengan itu pendidikan hanya bersifat hafalan dan orientasi kepada pemilikan ijazah, ditunjang
dengan budaya sector formal yang lebih mementingkan aspek formal daripada kemampuan
nyata, lembaga pendidikan formal nyaris sebagai tempat pendapatan ijazah daripada melatih
guna mendapatkan kemampuan.
Masalah pendidikan di Indonesia masih berkisar/bergelut dengan masalah kuantitas untuk
sekolah menengah, dengan kualitas lebih ditekankan kepada pendidikan dasar dan pendidikan
tinggi. Pendidikan masih menutup diri dari intervensi IPTEK, mempersempit diri hanya
bertumpu pada pendidikan formal, wawasan filosofis tergeser oleh desakan pragmatis dan
konvensional, sehingga antisipasi futuris kualitas manusia Indonesia tidak menjadi dasar
pembentukan kebijaksanaan pemecahan masalah pendidikan. Akibatnya pendekatan parsial dan
formal mendominasi pengahampiran fenomena pendidikan, makin menjauh tuntutan dan
kenyataan.
Terdapat beberapa gejala perilaku yang dapat merusak kualitas manusia Indonesia yang
merupakan tantangan dan ancaman, seperti: kemerosotan nilai-nilai etis idealitas tergeser oleh
egoisme untuk keuntungan pribadi, rendahnya nilai-nilai kesetiakawanan, tumbuhnya nilai-nilai
spekulatif, responsive terhadap kemudahan-kemudahan yang ditawarkan tanpa pemikiran yang
rasional, budaya gengsi lebih tinggi sehingga nilai-nilai keropos berusaha ditutupi, menampilkan
berbagai pola tingkah laku yang tidak solid, menurunnya mitos simbolik.
Meluntunya nilai-nilai kemandirian seiring dengan membudayanya nilai-nilai korupsi,
melemahnya semangat kerja keras, mudah menyerah, semanat kejuangan yang dapat melahirkan
pasrah terhadap keadaan apatis, menghindari dari kesulitan, ingin selalu mendapatkan
“kebijaksanaan” sekalipun melanggar kesepakatan umum.

8

BAB III
ANALISIS BAB 3 DAN BAB 4
Teori orientasi nilai sosial budaya yang dikembangkan oleh Kluckhohn dan Strodtbeck
yang mana dalam teori ini mengatakan bahwa dalam masyarakat terlihat dimana orientasi nilainilai yang menekankan pandangan waktu yang berorientasi kemasa depan, pandangan terhadap
alam yang menekankan bahwa hukum alam dapat diketahui dan dikuasai, pandangan bahwa
bekerja itu sesuatu yang dapat menimbulkan kerja yang lebih banyak, pandangan bahwa semua
manusia itu sama, semuanya merupakan orientasi nilai yang telah membawa kemajuan.
Berbicara tentang pendidikan dan kaitannya dengan nilai social budaya, realitasnya carutmarut situasi pendidikan di Indonesia memang tidak lepas dari pengaruh perubahan sosial. Dan
setiap berbicara mengenai pendidikan, orang selalu berkonotasi sekolah formal. Meski tidak
semuanya salah namun konsep ini menisbikan peran pendidikan informal dan non formal,
padahal keduanya sama pentingnya. Dengan demikian keterpurukan pendidikan tidak boleh
didefinisikan sebagai kegagalan pendidikan formal semata. Kebobrokan sistem dan perilaku
sejumlah pemuka masyarakat dan negara, dengan demikian bukan dosa sekolah semata.
Oleh sebab itu sekolah juga mendapat tempat yang istimewa dalam pemikiran tiap orang
dalam usahanya meraih tangga sosial yang lebih tinggi. Sedemikian istimewanya hingga sekolah
telah menjadi salah satu ritus yang harus dijalani orang-orang muda yang hendak mengubah
kedudukannya dalam susunan masyarakat.
Esensi dari sekolah adalah pendidikan dan pokok perkara dalam pendidikan adalah
belajar. Oleh sebab itu tujuan sekolah terutama adalah menjadikan setiap murid di dalamnya
lulus sebagai orang dengan karakter yang siap untuk terus belajar, bukan tenaga-tenaga yang siap
pakai untuk kepentingan industri. Dalam arus globalisasi dewasa ini perubahan-perubahan
berlangsung dalam tempo yang akan makin sulit diperkirakan. Cakupan perubahan yang
ditimbulkan juga akan makin sulit diukur. Pengaruhnya pada setiap individu juga makin
mendalam dan tak akan pernah dapat diduga dengan akurat.
1. Pendidikan dan Sumber Daya manusia
Pendidikan merupakan investasi besar bagi sebuah negara. Pendidikan menyangkut
kepentingan semua warga negara, masyarakat, negara, kelembagaan dan berbagai kepentingan
lain. Ini disebabkan pendidikan berkaitan erat dengan outcomenya berupa tersedianya sumber
daya manusia (SDM) yang handal untuk menyuplai berbagai kepentingan. Oleh sebab itu titik
berat pembangunan pendidikan terletak pada peningkatan mutu setiap jenis dan jenjang, serta
perluasan kesempatan belajar pada pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Pendidikan
memegang kunci keberhasilan suatu negara di masa depan. Namun kenyataan membuktikan,
khususnya di Indonesia, pendidikan masih belum dipandang vital, khususnya oleh para
pemegang tampuk kepemimpinan negara.
Menurut Tilaar (2004), pendidikaan saat ini telah direduksikan sebagai pembentukan
intelektual semata sehingga menyebabkan terjadinya kedangkalan budaya dan hilangnya
identitas lokal dan nasional. Perubahan global dan liberalisasi pendidikan memaksa lembagalembaga pendidikan menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Pendidikan

9

yang hanya berorientasi pasar sesungguhnya telah kehilangan akar pada kesejatian dan identitas
diri. Gejala-gejala pendangkalan ini sekarang mudah dibaca.
Misi pendidikan adalah mewariskan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Ilmu
yang dimaksud antara lain pengetahuan, tradisi dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Secara
umum penularan ilmu tersebut telah diemban oleh orang-orang yang konsen terhadap generasi
selanjutnya. Mereka diwakili oleh orang yang punya visi kedepan, yaitu menjadikan generasi
yang lebih baik dan beradab. Apabila berbicara pendidikan berskala nasional maka secara umum
konsep pendidikan nasional di Indonesia tak lagi memperlihatkan keberpihakan terhadap dunia
pendidikan di berbagai daerah. Salah satu contoh yaitu kontroversial mengenai Ujian Nasional
yang memperlihatkan betapa sentralistiknya pendidikan saat ini. Pusat terkesan memaksa
seleranya terhadap anak didik di daerah.
Hal senada dengan apa yang dikatakan oleh Tilaar (2012:156), bahwa: system pendidikan
nasional yang sangat sentralistik dan kemudian melaksanakan Ujian Nasional (UN) yang kaku
bahkan akan mematikan kemampuan kreativitas peserta didik. Dengan adanya UN yang sama
dari Sabang sampai Merauke, maka tidak da peluang untuk pengembangan kreativitas peserta
didik. Belum lagi impilkasi yang terjadi terhadap kerusakan moral dari peserta didik karena
tujuannya ialah lulus dari UN dengan berbagai cara meskipun dengan cara-cara amoral.
Sesungguhnya pendidikan nasional harus bertitik-tolak kebutuhan anak Indonesia.
Artinya pendidikan tidak terlepas dari kebudayaan serta dalam konteks social ekonomi suatu
bangsa. Pendidikan nasional yang sesuai dengan kebutuhan anak Indonesia berkaitan dengan
kebijakan desentralisasi serta otonomi daerah. Dengan adanya otonomi pendidikan yang
diberikan kepada Pemerintah Daerah merupakan suatu hal yang positif dalam rangka
kontekstualisasi pendidikan yang disesusaikan dengan kebudayaan local serta potensi kekayaan
alam Nusantara. Dengan proses belajar kritis dan kreatif berarti pendidikan nasional meletakkan
dasar bagi lahirnya para inventor dan manusia yang bisa menciptakan peluang usaha dalam
masyarakat Indonesia.
2. Bagaimana Peluang dan Tantangan Pendidikan Kita ke depan
Menghadapi perubahan dan tuntutan zaman, maka sistem pendidikan kita semestinya
harus memikirkan bagaimana bisa menciptakan manusia-manusia yang handal dan manusia yang
kreatif apabila telah keluar dari lembaga pendidikan yang telah ditempuhnya. Bukan malah
sebaliknya hanya terfokus pada kuantitas keluarannya, melainkan kualitas juga perlu
dipertimbangkan dengan matang. Saat ini semua umat manusia sedang memuja globalisasi
(manusia mengglobal). Maka sudah semestinya lah semua pihak yang terkait (pemerintah
maupun komponen masyarakat) memikirkan kualitas pendidikan untuk pendidikan generasi
masa kini dan masa depan.
Namun untuk mencapai dan meningkatkan kualitas pendidikan kita pastinya akan
mengalami hambatan atau tantangan baik dari penyusunan kurikulum mapun pelaksana
kurikulum serta dihadapkan masalah pengaruh negative globalisasi terhadap manusia Indonesia.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, Tilaar, (1998), mengemukakan bahwa pendidikan nasional
dewasa ini sedang dihadapkan pada empat krisis pokok, yang berkaitan dengan kuantitas,
relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme dan manajemen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa

10

sedikitnya ada enam masalah pokok sistem pendidikan nasional: (1) menurunnya akhlak dan
moral peserta didik, (2) pemerataan kesempatan belajar, (3) masih rendahnya efisiensi internal
sistem pendidikan, (4) status kelembagaan, (5) manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan
pembangunan nasional, dan (6) sumber daya yang belum profesional.
Menghadapi hal tersebut, perlu dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan secara
kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan
kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Dalam hal ini perlu adanya perubahan sosial yang
memberi arah bahwa pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam proses perubahan itu.
Pendidikan adalah kehidupan, untuk itu kegiatan belajar harus dapat membekali peserta didik
dengan kecakapan hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan
kehidupan dan kebutuhan peserta didik. Pemecahan masalah secara reflektif sangat penting
dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan melalui kerjasama secara demokratis. Unesco
(1990) mengemukakan dua prinsip pendidikan yang sangat relevan dengan Pancasila: pertama;
pendidikan harus diletakkan pada empat pilar, yaitu belajar mengetahui (learning to know),
belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together),
dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be); kedua,

belajar seumur hidup (life long

learning). Kultur yang demikian harus dikembangkan dalam pembangunan manusia, karena pada
akhirnya aspek kultural dari kehidupan manusia lebih penting dari pertumbuhan ekonomi.
3. Bagaimana implikasi tantangan pendidikan terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga
Pendidikan (LPTK)
Mengutip pendapat Al Muchtar, S. (2001:45), bahwasanya peluang dan tantangan dalam
usaha memerankan pendidikan dan ilmu pendidikan dalam meningkatkan sember daya manusia,
berdampak terhadap LPTK serta nilai social tenaga kependidikan dewasa ini. Salah satu
dampaknya LPTK lebih terkesan sebagai lembaga yang mempersiapkan “Guru” persekolahan,
ketimbang tenaga kependidikan dalam arti luas, yang secara sosiologis menempatkan lapangan
kerja lulusan LPTK “dibatasi” pada jalur persekolahan.
Dari pendapat di atas, menurut saya, pemikiran tersebut masih relevan dengan keadaan
yang terjadi saat ini. Lulusan LPTK kurang diperhatikan dan kurang dipedulikan dalam dunia
kerja yang berkenaan dengan lapangan kerja untuk perusahaan. Dan yang lebih kasihan lagi,
LPTK menjadi pusat kesalahan besar bagi masyaralat dalam dunia pendidikan apabila tingkat
kelulusan siswa sangat rendah. Hal ini sering terjadi, apabila siswanya bodoh dan tidak naik
kelas atau tidak lulus, maka yang disalahkan adalah gurunya. Kemudian akan merembet kepada”
lulusan perguruan tinggi mana guru itu”. Nah, ini yang menjadi bahan pemikiran bersama,
bagaimana LPTK bisa mencetak guru-guru yang professional dan mempunyai kompetensi di
bidangnya. Dan tidak hanya kompetensi yang harus dikembangkan, namun juga kemampuan
bidang lainnya dan keterampilan (skill) juga perlu dimiliki calon lulusan guru. Mengapa
demikian, karena untuk mencetak siswa yang berprestasi dan handal, maka peran guru sangat
penting (urgen) mendidik, mengajar. membimbing, dan melatih siswa dalam proses
pembelajaran di sekolah.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas tenaga guru, maka guru dan tenaga
kependidikan professional harus menjalani proses pembinaan dan pengembangan secara

11

kontinyu. pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru, termasuk juga tenaga
kependidikan pada umunya, dilaksanakan melalui berbagai strategi dalam bentuk pendidikan dan
pelatihan (diklat) maupun bukan diklat (Danim, S. 2010), antara lain:
1) Pendidikan dan pelatihan
a. In-house training (IHT)
b. Program magang
c. Kemitraan sekolah
d. Belajar jarak jauh
e. Pelatihan berjenjang
f. Kursus singkat diperguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya
g. Pembinaan internal oleh sekolah
h. Pendidikan lanjut
2) Kegiatan selain pendidikan dan pelatihan
a. Diskusi masalah-masalah pendidikan
b. Seminar
c. Workshop
d. Penelitian
e. Penulisan buku/bahan ajar
f. Pembuatan media pembelajaran
g. Pembuatan karya teknologi/karya seni
4. Bagaimana kondisi dan nilai social budaya pendidikan IPS
Pendidikan ilmu pengetauan social sebenarnya memiliki kedudukan yang sangat sentral
dalam disiplin ilmu-ilmu social dan ilmu lainnya, hal ini dikarenakan orang-orang social sangat
cerdas dalam melihat sudut pandang, mempertimbangkan, dan memutuskan berbagai fenomena,
gejala-geajal dan realitas yang ada dalam kehidupan manusia. Dan pendidikan ilmu social sudah
seharusnya menjadi sebuah kebutuhan dalam pendidikan, baik dari jenjang pendidikan dasar dan
samapai jenjang pendidikan tinggi.
Namun melihat kondisi dan nilai social budaya pendidikan ilmu pengetahuan social di
Negara ini, jurusan IPS atau orang-orang social dianggap nomor dua dalam status social
pendidikan. Hal ini disebabkan bahwa, yang diperlukan oleh Negara untuk membangun negeri
ini adalah orang-orang pintar yang berasal dari bidang Ilmu Pengetahuan Alam, dan orang social
hanya sebatas cadangan atau pemain pengganti saja. Artinya kuantitas lebih didahulukan
daripada kualitasnya.
Fenomena di atas telah membuktikan bahwa, ilmu social dianggap sebagai ilmu
pengetahuan yang dinomorduakan. Padalah bangsa ini sangat membutuhkan manusia yang
handal dan berkualitas. Namun apalah daya, yang terjadi saat ini di lembaga pendidikan sekolah,
siswa kurang tertarik untuk masuk di bidang atau jurusan IPS karena dianggap kurang
diperhitungkan dalam dunia kerja.
Bukti nyata adalah keberadaan mata pelajaran PKn sebagai bagian dari disiplin ilmu
social sangat memprihatinkan. keberadaan mata pelajaran PKn dalam penentuan kelulusan siswa
dalam satuan pendidikan dasar dan menengah, dimana dengan tidak termasuk pada mata

12

pelajaran yang di UN (ujian nasional) kan, ada kecenderungan mengabaikan, baik oleh siswa
maupun pihak sekolah akan pentingnya materi PKn.
Hal ini sangat kentara terasa pada siswa kelas IX dan XII, dimana menjelang UN, mata
pelajaran PKn ditiadakan atau ditinggal pada kegiatan pemadatan materi pelajaran di sekolahsekolah. Padahal, pada ujian sekolah untuk mata pelajaran PKn masih banyak siswa yang
mendapat nilai dibawah standar/KKM. Ironisnya, pihak sekolah dengan alasan klise meminta
(memerintahkan) pada guru agar mata pelajaran-mata pelajaran yang tidak di UN kan, termasuk
PKn, agar mendokrak nilai ujian sekolah tersebut demi gengsi sekolah dan untuk memenuhi
tuntutan pengguna lulusan yang mensyaratkan nilai PKn minimal 7 untuk dapat diterima di
lembaganya. Akibatnya, posisi PKn dengan materi yang begitu penting dan wajib seakan bias
dengan keadaan nyata oleh kebijakan sekolah yang terkesan bahwa PKn hanyalah pelengkap
penderita.
5. Apa saja tantangan dan peluang bagi pendidikan IPS
Menurunya kualitas bersamaan dengan merosotnya penghargaan peserta didik dan
masyarakat, dan munculnya perlakuan diskriminatif memungkinkan semakin berkembangnya
penilaian yang menempatkan posisi pendidikan IPS hanya sebagai pelajaran pelengkap, hapalan
yang tidak dapat menumbuhkan kemampuan berpikir. (Suwarma, 2001:48).
Akar masalah dari problem mata pelajaran sosial

adalah bahwa pembelajaran

pengetahuan sosial lebih menekankan pada aspek pengetahuan, fakta dan konsep-konsep yang
bersifat hapalan belaka. Hal ini sejalan dengan pendapat Somantri, 2001 yang menyatakan
bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu disajikan dalam bentuk faktual, konsep yang kering,
guru hanya mengejar target pencapaian kurikulum, tidak mementingkan proses. Hal ini
menyebabkan pembelajaran IPS selalu menjenuhkan dan membosankan dan dianggap oleh
peserta didik sebagai pelajaran kelas dua.
Adanya beberapa hambatan yang menjadikan pembelajaran IPS tidak berhasil bahkan
cenderung membosankan, yaitu:
1. Sebagian besar guru IPS belum terampil menggunakan beberapa model mengajar yang
dapat merangsang motivasi belajar siswa
2. Ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagian besar sekolah ikut mempengaruhi proses
belajar IPS
3. Proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk pembelajaran konvensional,
sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil faktual saja dan tidak mendapat hasil
proses.
4. Dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat
sosialisasi dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga faktor ini
juga menyebabkan mereka masih belum memahami hakekat kurikulum baru ini
sebagaimana mestinya.
Standar kompentensi dari mata pelajaran IPS menurut Depdiknas (2003: 5) adalah
peserta didik diarahkan, dibimbing dan dibantu untuk menjadi warga negara Indonesia dan
warga dunia yang baik. Hal ini merupakan tantangan yang berat karena masyarakat global selalu
mengalami perubahan yang besar setiap saat.

13

Salah satu bentuk perubahan yang dituntut dari kurikulum IPS adalah menyesuaikan
dengan perubahan yang terjadi secara global tersebut. Oleh karena itu, pendidikan IPS harus
berkualitas internasional seperti yang dikatakan oleh Alfin Tofler yaitu harus berpikir global dan
bertindak lokal. Dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut, materi IPS harus berwawasan global,
yaitu meliputi:
1) Kesadaran diri; sebagai makhluk Tuhan, eksistensi, potensi dan jati diri sebagai warga
dari sebuah bangsa yang berbudaya dan bermartabat dengan bangsa lain di dunia (tidak
lebih rendah dari bangsa lain)
2) Tentang kecakapan berpikir seperti kecakapan berpikir kritis, menggali informasi,
mengolah informasi, mengambil keputusan dan memecahkan masalah.
3) Tentang kecakapan akademik; tentang ilmu-ilmu sosial seperti kemampuan memahami
fakta, konsep dan generalisasi tentang sistem sosial budaya, lingkungan hidup, perilaku
ekonomi dan kesejahteraan serta tentang waktu dan keberlanjutan perubahan yang terjadi
di dunia.
4) Mengembangkan sosial skill dengan maksud supaya pada masa mendatang kita tidak
hanya menjadi obyek penguasaan globalisasi belaka.
6. Implikasi sosial budaya dan pendidikan
Pendidikan saat ini telah direduksikan sebagai pembentukan intelektual semata, sehingga
menyebabkan terjadinya kedangkalan budaya dan hilangnya identitas lokal dan nasional (Tilaar,
2004). Perubahan yang global dengan liberalisasi pendidikan sehingga menuntut lembaga
pendidikan untuk mampu menghasilkan kualitas peserta didik yang dapat bersaing secara
kompetitif agar dapat diterima pasar. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan pasar ini pada
akhirnya akan mendorong lembaga pendidikan menjadi lebih bercirikan knowledge based
economy institution. Pendidikan yang hanya berorientasi untuk mencetak generasi yang bisa
diterima pasar secara ekonomis hanya akan mampu mencetak peserta didik yang berpikir dan
bertindak global sehingga mereka tidak memiliki kecerdasan emosional yang akhirnya bermuara
pada terjadinya krisis moral dari peserta didik.
Landasan sosial budaya pendidikan mencakup kekuatan sosial masyarakat yang selalu
berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Kekuatan tersebut dapat berupa
kekuatan nyata dan potensial yang berpengaruh dalam perkembangan pendidikan dan sosial
budaya seiring dengan dinamika masyarakat. Sehingga kondisi sosial budaya diasumsikan
mempengaruhi terhadap program pendidikan yang tercermin dalam kurikulum. Hunt (1975)
mengemukakan:
Study hits base social and culture from education aims to supply teacher with erudition
that deepen about society and where they alive and to help student teacher to detect that
explanation hits society and culture of vital importance mean to realize about education
problem.
Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa kajian mengenai dasar sosial dan budaya
dari pendidikan bertujuan untuk membekali guru dengan pengetahuan yang mendalam tentang
masyarakat dan kebudayaan di mana mereka hidup dan untuk membantu calon guru untuk

14

mengetahui bahwa pengertian mengenai masyarakat dan kebudayaan sangat penting artinya guna
memahami tentang masalah pendidikan.
Kebudayaan dan pendidikan memiliki hubungan timbal balik sebab kebudayaan dapat
dilestarikan dan dikembangkan dengan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi
penerus dengan jalan pendidikan, baik secara formal, nonformal, dan informal. Sebaliknya
bentuk, ciri-ciri, dan pelaksanaan pendidikan ikut ditentukan oleh kebudayaan masyarakat di
mana proses pendidikan itu berlangsung (Tirtarahardja dan Sulo, 2005). Pendidikan jika
diabaikan dapat diasumsikan sosial budaya suatu bangsa akan mengalami kepunahan karena
tidak ada proses transfer budaya sehingga tidak ada yang melestarikan dan mengembangkan
budaya.
Pendidikan bisa dikatakan sebagai proses transformasi budaya yang merupakan kegiatan
pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Pendidikan merupakan proses
pemanusiaan untuk menjadikan manusia memiliki rasa kemanusiaan (memanusiakan manusia),
menjadi manusia dewasa, dan manusia seutuhnya agar mampu menjalankan tugas pokok dan
fungsi secara penuh dan mengembangkan budaya.
7. Bagaimana pendekatan Integralistik dan futuristik dalam memecahkan masalah pendidikan
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Mengapa?, kita dapat
melihat bahkan merasakan bahwa cita-cita pendidikan yang tertuang dalam tujuan pendidikan
nasional tidak terealisasi hingga kini. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang RI
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3, yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan.
Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang
pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa
terpuruk.
Dan hal inilah yang terjadi, sehingga semua bidang kehidupan bermasalah. Beberapa
kenyataan yang sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya raya justru tidak dermawan,
seorang politikus malah tidak peduli pada tetangganya yang kelaparan, atau seorang guru justru
tidak prihatin melihat anak-anak jalanan yang tidak mendapatkan kesempatan belajar di sekolah
dan begitu banyak pemimpin-pemimpin negara ini yang korupsi dari lapisan bawah hingga atas.
Sehingga jika ini terus dibiarkan maka lambat laun negara dan bangsa ini akan hancur.
Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam
pembangunan negeri ini.
Berbicara tentang keadaan atau kondisi pendidikan Indonesia, maka dapat dikatakan
proses globalisasi telah membuat perubahan yang besar dalam lapangan ekonomi dan politik,
karena itu mau tidak mau juga akan menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam bidang

15

pendidikan baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Saat sekarang terjadi
reorientasi pendidikan baik pada tingkat kelembagaan, kurikulum maupun manajemen sesuai
dengan perkembangan-perkembangan baru yang terjadi dalam proses globalisasi tersebut.
a. Pendidikan Mahal
Meminjam pepatah kaum kapitalis menyebutkan “tidak ada sarapan pagi yang gratis”.
tampaknya pepatah ini mulai digunakan oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia dalam
menjalankan visi pendidikannya. Beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memasang tarif yang
gila-gilaan, akibatnya sebagian besar orang tua dan anak anak lulusan SMA menjadi
kelimpungan. Impian untuk dapat mengenyam pendidikan di PTN favorit seakan dihadang
ranjau yang membahayakan masa depannya. Ada sebuah fenomena menarik dikalangan PTN
besar dan favorit di Indonesia yang terkesan “money oriented”, hanya bersifat materialistis
belaka, yang hanya dengan sebuah argumentasi bahwa subsidi dari pemerintah/negara untuk
PTN minim sekali dan tidak dapat memenuhi kebutuhan PTN. PTN ini telah membuat kebijakan
pembayaran uang kuliah yang sulit dijangkau masyarakat umum, tanpa mau berpikir panjang
mencari sumber sumber dana alternatif selain “memeras” mahasiswanya.
Pihak PTN berpikir bahwa kampus yang mereka kelola sangat marketable sehingga
merekapun mengikuti hukum ekonomi, “biaya tinggi mengikuti permintaan yang naik”. Memang
cukup dilematis, disatu sisi masyarakat dan negara selalu ingin meningkatkan kemampuan atau
kecerdasan penerus bangsanya tetapi secara paradoks, masyarakat telah dibelenggu oleh biaya
pendidikan yang mahal dan membuat seolah olah hanya kaum yang berduitlah yang mampu
menyekolahkan anaknya Liberalisasi pendidikan terutama pada perguruan tinggi yang
dipromosikan oleh WTO (World Trade Organization) sebetulnya dibungkus dengan sesuatu
yang positip yakni agar lembaga pendidikan asing bisa memacu peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia namun realitas dilapangan tidak sepenuhnya sesuai dengan cita cita awalnya.
Pendidikan tinggi di Indonesia semakin mahal sehingga semakin menjauhkan masyarakat
menengah ke bawah untuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi negeri favorit yang
murah.
b. Pendidikan Tidak Terfokus
Pendidikan di Indonesia selama ini terkesan tidak terfokus, ganti menteri pendidikan
maka ganti juga kurikulum dan sistem pendidikannya. Pendidikan di Indonesia kurang
membentuk kepribadian akademis (academic personality) yang utuh. Kepribadian akademis
sangat penting dimiliki oleh pelaku pendidikan (anak didik dan pendidik) yang akan maupun
yang sudah menguasai ilmu pengetahuan. Kepribadian akademislah yang dapat membedakan
pelaku pendidikan dengan masyarakat umum lainnya. Perkembangan pendidikan di Indonesia
tak ubahnya seperti industri, pendidik hanya bertindak sebagai pencetak produk masal yang
seragam tanpa memikirkan dunia luar yang berubah menjadi lebih rumit. Cara pendidik
mengajar juga cenderung mengarah pada pembentukan generasi muda yang dingin dan
mengagungkan individualisme. Diskusi yang bersifat dialog jarang terjadi dalam proses

16

pendidikan kita, bersuara kadangkala diartikan keributan yang dikaitkan dengan tanda bahwa
anak yang bersangkutan tidak disiplin atau bahkan dianggap bodoh.
Kondisi pendidikan utamanya di perguruan tinggi dewasa ini terlihat kurang kondusif dan
kurang konstruktif karena terjadi gejala sosial yang kurang baik muncul dalam lingkungan
kampus. Konflik antar mahasiswa atau pimpinan lembaga pendidikan tinggi telah terjadi di
beberapa kampus, sehingga citra lembaga pendidikan tinggi agak mengalami kemunduran.
Tampaknya pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya mampu mewujudkan watak dari ilmu
pengetahuan yang bersifat terbuka.
Ditengah gejala kurang fokusnya orientasi pendidikan kita, pendidikan di negara kita juga
dihinggapi oleh masalah masih minimnya tingkat kesejahteraan para pendidik (kaum guru) yang
mengemban tugas meningkatkan kecerdasan anak bangsa. Ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa
yang dilabelkan kepada sosok guru telah membentuk kesadaran masyarakat tersendiri bahwa
tugas guru hanya mencerdaskan bangsa tanpa mengurus kesejahteraannya sebagai manusia. Guru
merupakan faktor yang penting dalam pendidikan, sebaik apapun sistem dan kurikulumnya yang
dibuat, jika tidak didukung oleh profesionalisme guru maka bisa dipastikan hasilnya tidak
maksimal. Undang-Undang tentang Guru dan Dosen yang telah disahkan tidak secara cepat
ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pemerintah dalam melakukan reorientasi pendidikan belum
menyentuh substansi dasar pada pihak pendidik dan sarana prasarana belajar, selama ini
pembaharuan baru ditunjukkan melalui perubahan perubahan kurikulum saja dan masih minim
melakukan perbaikan sarana dan prasarana, kita bisa lihat di pedesaan banyaknya gedung gedung
sekolah yang rusak dan kurang mendapat perhatian serius.
c. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang
gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai
dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak
memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
d. Proses pembelajaran yang konvensional
Dalam

hal

pelaksanaan

proses

pembelajaran,

selama

ini

sekolah-sekolah

menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh
ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan
model pembelajaran yang efektif.
Dalam PP NO 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19
sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan
pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis

17

peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan
pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan
antara peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang
konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien
e. Pendidikan Yang Belum Berbasis Pada Masyarakat Dan Potensi Daerah
Struktur kurikulum yang ditetapkan berdasarkan uu no.20/2003 dalam pasal 36 tentang
kurikulum menyebutkan: (1) pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar
nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) kurikulum pada semua
jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (3) kurikulum disusun sesuai dengan jenjang
pendidikan dalam kerangka negara kesatuan republik indonesia dengan memperhatikan: a.
Peningkatan iman dan takwa; b. Peningkatan akhlak mulia; c. Peningkatan potensi, kecerdasan,
dan minat peserta didik; d. Keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. Tuntutan pembangunan
daerah dan nasional; f. Tuntutan dunia kerja; g. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni; h. Agama; i. Dinamika perkembangan global; dan j. Persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan. (4) ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dalam pp no.19/2005 antara lain dalam pasal 6 yang menyebutkan:1) kurikulum untuk
jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan akhlak
mulia, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan. 6). Kurikulum
dan silabus sd/mi/sdlb/paket a, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya
kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis. Kecakapan berhitung, serta kemampuan
berkomunikasi
Masyarakat dan lingkungan tempat tinggal merupakan bagian yang terintegrasi dengan
siswa sebagai peserta didik. Proses pendidikan yang sebenarnya tentu melibatkan peranan
keluarga, lingkungan-masyarakat dan sekolah, sehingga jika salah satunya tidak berjalan dengan
baik maka dapat mempengaruhi keberlangsungan pendidikan itu sendiri.
f. Pendidikan Yang Membebaskan
Meminjam pendapat seorang tokoh terkenal di bidang pendidikan dari negara Brazil
yakni Paulo Friere dalam bukunya berjudul Pedegogy of Hope yang mengatakan bahwa “tujuan
pendidikan hendaknya bukan berpihak kepada partai ini atau partai itu, juga bukan kepada agama
ini atau agama itu yang sectarian atau ideologis, melainkan pendidikan harus ditujukan untuk
pembebasan yakni agar orang mampu secara beradab menentukan pilihannya”. Kita mengenang
pikiran Rene Descartes yang mengatakan bahwa “aku berpikir, aku sadar, maka aku ada” dengan
demikian, kesadaran yang ada dalam pikiran itu membuat kita memiliki pengetahuan. Dari
kesadaran itu kemudian muncul pemahaman tentang nilai-nilai, dimana kita memiliki kebebasan

18

untuk memberikan pengertian terhadap istilah yang dibuat dengan menggunakan kebebasan
berpikir yang disertai dengan rasio.
Kondisi pendidikan di Indonesia harus mulai diarahkan kepada peningkatan kesadaran
peserta didik dalam memandang objek yang ada, peran pendidik yang sangat dominan dan
otoriter harus dikurangi, peranan pemerintahpun dalam “mengacak-acak” kurikulum harus dikaji
secara cermat, kalaupun itu harus dilakukan maka terlebih dahulu harus dilakukan penyerapan
aspirasi secara demokratis. Segenap komponen bangsa harus turut melakukan pembenahan
sistem pendidikan di Indonesia sehingga penciptaan kesadaran individu dalam rangka kebebasan
berpikir dan bertindak dengan mengedepankan etika dan norma di masyarakat dapat diwujudkan,
hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal di bangku sekolah dan juga pendidikan non
formal sebagai metode pendampingan masyarakat luas dalam proses pendidikan bangsa yang
harus terus dilakukan secara kontinyu, karena di masa sekarang maupun di masa mendatang,
seorang intelektual tidak hanya cukup bergutat dengan ilmunya belaka namun realita sosial di
masyarakat juga harus menjadi objek pemikiran dalam dirinya. Pemerintah dan lembaga politik
lainnya harus memiliki komitmen untuk terus berupaya meningkatkan anggaran bagi dunia
pendidikan di Indonesia sehingga angka 30% dapat segera terealisasikan. Dengan ketatnya
persaingan dewasa ini, arah pendidikan di Indonesia harus mampu berperan menyiapkan peserta
didik dalam konstelasi masyarakat global dan pada waktu yang sama, pendidikan juga memiliki
kewajiban untuk melestarikan national character dari bangsa Indonesia. Semoga!
Pendidikan di Indonesia masih mengalami berbagai macam problematika. Salah satunya
adalah kerancuan sistem pendidikan yang masih bersifat positivistic dan parsial dalam
memandang peserta didik. Dalam konteks parsialisasi ini, peserta didik tidak dipandang sebagai
sosok manusia yang memiliki kepribadian secara utuh (integral), melainkan seakan terdiri dari
berbagai unsur (komponen) yang berdiri sendiri. Cara pandang t